Share

3. Kabar Baik?

Author: Anindya Alfarizi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

**

Perlu waktu satu minggu untuk Inara memulihkan fisik serta psikisnya. Meski sebenarnya ia butuh waktu jauh lebih lama dari itu, tetapi Inara memaksakan diri melawan luka dan trauma. Sebab, ibu pengelola panti tidak akan memberikan toleransi apapun terkait keadaan yang ia rahasiakan. Jadi, Inara harus tetap membantu Ibu Yanti mengurus adik-adiknya seperti biasa. Memaksa diri sendiri untuk melupakan segalanya dan kembali menjalani hari, seperti tak ada yang terjadi.

“Inara? Inara, coba kamu lihat ini!”

Gadis manis itu sedang membantu Ibu Yanti memasak pagi ini. Saat kemudian suara seruan dari wanita itu, yang membuatnya sontak berhenti memotong sayuran dan memandang ke arah pintu.

“Ya, Bu? Ada apa?”

"Ini, lihat ini. Kamu dapat surat, lho." Wanita separuh baya itu menunjukkan amplop putih bersih yang sepertinya baru ia terima. Membuat Inara mengernyitkan dahi. Pasalnya, ia tidak merasa memiliki sahabat pena yang mungkin akan mengiriminya surat.

"Surat dari siapa, Bu?" tanya Inara pada wanita yang sudah ia anggap ibunya sendiri. Ia meletakkan pisau dan mendekat kepada Bu Yanti.

"Nggak tahu, tapi amplopnya bagus dan ada gambarnya, nih. Coba buka sini, Nak."

Rasa was-was memenuhi hati Inara ketika menerima benda itu. Takut kalau-kalau itu adalah surat tuntutan atau apa. Namun, kala terlihat olehnya print out nama pengirim di bagian depan amplop, wajahnya berubah 180 derajat. 

"Ibu, ini dari perusahaan yang aku lamar dua minggu lalu!" Dengan tidak sabar, gadis itu membuka amplop dan mengeluarkan isinya–selembar surat yang tampak resmi. Inara membacanya sekilas sebelum kemudian berseru dengan gembira, "Ibu, aku diterima kerja! Mereka bilang aku boleh kerja di sini!"

"Oh, benarkah? Astaga, syukurlah, Ra. Syukurlah, sepertinya ini perusahaan besar, ya?"

"Besar." Inara mengangguk dengan bersemangat. "Gedungnya tinggi. Yang kerja banyak, semuanya cantik dan ganteng. Aku bener-bener nggak nyangka akan dapat panggilan."

“Semoga ini memang rezeki kamu ya, Nak. Semoga ini bisa menjadi awal yang baik nantinya.”

Inara tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangan untuk memeluk Bu Yanti. Rasa bahagia membuatnya melupakan segala yang menjadi ganjalan dalam hatinya beberapa waktu belakangan.

 "Aku hanya akan bekerja sebagai office girl di sana, Bu. Tapi, nggak apa-apa, seenggaknya aku bisa bantu kerja buat adik-adik. Dan lagi, ini perusahaan besar. Office girl pun mereka gaji dengan layak." Inara menambahkan setelah melepas pelukannya.

Ibu Yanti menghela napas. Sebenarnya, ia merasa kasihan dengan Inara yang harus bekerja hanya demi bisa membantu adik-adiknya di panti. Seharusnya, ia bisa bebas menikmati masa muda. Namun bagaimana lagi, Inara adalah kakak tertua. Meski Ibu Yanti tidak pernah meminta, gadis itu cukup tahu diri. Dan lebih daripada itu, Ibu Pengelola pun sering melontarkan sindiran-sindiran pedas terkait keberadaan dirinya.

"Kenapa Ibu kelihatan nggak senang gitu?" Inara bertanya saat terlihat olehnya raut sang ibu yang tampak mendung. "Maaf, mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku cuma punya ijazah SMU, jadi mencari pekerjaan yang bagus agak sulit. Nanti pelan-pelan, aku akan berusaha lagi, Bu."

"Nggak, nggak. Bukan begitu," kilah Ibu Yanti sembari kembali meraih gadis itu dan memeluknya erat-erat, "Ibu hanya sedih karena kamu gak bisa menikmati hasil kerjamu untuk keperluanmu sendiri. Selama ini kamu nggak pernah memikirkan dirimu sendiri, Ra."

Mendengar itu, Inara tersenyum di balik bahu sang ibu. Ia menepuk pelan punggung wanita yang disayanginya sepenuh hati itu.

"Tidak apa, Bu. Aku akan berusaha keras demi Ibu dan adik-adik. Kalian adalah satu-satunya keluargaku. Jadi, ini sudah menjadi kewajibanku juga. Ayo kita lanjutkan dulu masaknya. Kasihan adik-adik, mungkin sudah lapar."

Hanya saja, keyakinan saat menerima pengumuman lolos itu mendadak sirna kala Inara menapakkan kakinya di depan bangunan tinggi berdinding kaca pada hari ini. Rasa percaya dirinya seperti menyusut habis. Sebenarnya, ini kali kedua ia datang kemari, yang pertama adalah saat menyerahkan lamaran pekerjaan sekitar dua minggu yang lalu. Namun, sekarang, entah mengapa rasanya berbeda.

Gadis itu sempat memandang sekilas pantulan bayangan dirinya pada permukaan dinding kaca. Mendesis dengan kecewa, mendapati dirinya terlalu sederhana dibanding dengan para perempuan yang bekerja di sini.

"Seharusnya tadi aku dandan sedikit, biar kelihatan lebih pantas. Ah, tapi nggak apa-apa. Pokoknya aku harus bisa kerja dengan baik." Inara berujar kepada dirinya sendiri disertai senyum optimis, "Anggap aja ini adalah langkah awal buat perbaiki masa depan aku. Ayo, semangat!"

Gadis itu bergegas mengayun langkah menuju pintu front office. Tak lupa, dirapikannya seragam office girl yang sudah ia kenakan sekali lagi, berharap menunjukkan penampilan terbaik meski pekerjaannya mungkin hanya membersihkan kantor. Besok, ia berjanji akan tampil lebih pantas dari hari ini.

"Minggir, minggir! Jangan berdiri di situ, dong!"

Inara tersentak kala bahunya didorong dengan kuat. Ia terhuyung hingga nyaris jatuh sebelum buru-buru berpegangan. Beberapa pegawai perempuan yang berpenampilan agak berlebihan melewatinya dengan langkah buru-buru, tanpa menoleh sama sekali. Sepenuhnya mengabaikan Inara yang terdorong-dorong, seakan gadis itu tidak kelihatan. Inara memilih jalan aman, merapat ke dinding seperti cicak dan membiarkan para perempuan itu lewat dulu.

"Kayaknya hari ini semua orang lagi bersemangat. Mereka sampai lari-lari gitu." Gadis itu bergumam sendiri sembari masih tertegun, memandang para pegawai yang kini berada di sekitar lift. Anehnya, mereka bertingkah seperti tidak sengaja berada di sana, entah apa maksudnya. Inara mengerutkan dahi dengan bingung.

Namun, pertanyaan itu seketika terjawab saat denting suara lift terdengar, disusul pintu berwarna silver yang membuka perlahan.

Menampakkan seseorang yang berjalan keluar dari sana dengan dagu terangkat serta pandangan tajam lurus ke depan.

Para pegawai perempuan yang tadi berbondong-bondong ke sana, menatap terpesona dengan sorot mata memuja pada lelaki yang baru saja keluar dari lift itu.

Namun, tidak dengan Inara. Gadis itu berdiri dengan tubuh membeku, seketika kejadian naas minggu lalu terbayang kembali dalam benaknya dengan sangat jelas.

"Ya Tuhan! Ya Tuhan, apa-apaan itu?" Kepala Inara seperti dipukul keras-keras saat menyadari siapa yang baru saja keluar dari lift.

Segera ia berbalik cepat menuju petugas front office di dekatnya agar tidak berpapasan dengan pria yang masih menjadi pusat perhatian.

"K-Kak, maaf ...." ujarnya terbata-bata kepada perempuan di balik meja.

"Ya?"

"Yang barusan lewat itu siapa, ya?" Inara memberanikan diri bertanya.

"Yang barusan lewat? Maksudmu Pak Gavin? Masa sama bos sendiri nggak kenal, sih?"

"B-bos?" Inara menatap gadis di hadapannya dengan bola mata bergetar tak percaya. Orang ini berkata bahwa iblis itu bosnya?

"Ya. Itu Pak Gavin Devano Sanjaya. Chief Executive Officer sekaligus putra pemilik perusahaan ini, SR Corporation." Si gadis menunjuk huruf-huruf besar berwarna emas yang bertuliskan SR di dinding belakang punggungnya.

"Astaga, CEO? Di sini? Benarkah laki-laki itu?" Lagi-lagi, Inara bergumam tanpa sadar kepada dirinya sendiri.

"Kenapa kamu heran begitu? Kayak yang udah kenal aja sama Pak Gavin."

"Ah? Nggak, Kak. Aku–"

"Kenapa? Kamu mau ikut berpartisipasi juga? Asal kamu tau, sebagian besar perempuan di kantor ini mengidolakan Pak Gavin. Dan kamu bisa lihat sendiri gimana penampilan mereka, kan?"

"Iya, Kak."

"Nah, kalau dibandingkan denganmu, kamu masih mau nekat ikut-ikutan juga? Sebaiknya kamu tahu diri lah. Ngaca sana, kira-kira pantes nggak kalo mau ikut kompetisi macam ini?"

Inara terdiam sembari menunduk. Ia sama sekali tidak peduli kepada gadis-gadis yang sedang berkompetisi menarik perhatian Gavin. Namun lebih daripada itu, ia justru merasa takut.

"Gimana kalau dia tahu aku ada di kantor ini? Gimana kalau dia mau sakitin aku lagi? Atau lebih buruk dari itu, gimana kalau dia mau pecat aku? Ya Tuhan, aku baru masuk kerja hari ini."

***

Related chapters

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   4. Office Girl

    **"Kamu mau tuker jadwal sama aku, nggak?"Inara mencolek bahu salah satu teman sesama office girl yang baru saja datang dan masih menyimpan tasnya di dalam loker.Beberapa saat yang lalu, Inara baru menyadari bahwa dirinya akan bertugas di ruang meeting utama yang digunakan Gavin pagi ini. Jadi, gadis itu buru-buru mengatur strategi. Kalau bisa, ia jangan sampai bertemu dengan Gavin saja."Kenapa harus tuker?" tanya gadis yang sebaya dengannya itu seraya mengangkat alis heran."Aku sebenernya alergi sama AC. Jadi nggak bisa lama-lama di ruangan meeting." Inara mencoba menjelaskan dengan gestur senatural mungkin. Meski ia harus mengucap dusta, bahkan pagi-pagi seperti ini, saat hari belum lagi dimulai.Kedua mata gadis teman Inara itu melebar tak percaya. Ia berujar dengan heboh. "Pagi ini, Pak Gavin yang pakai ruang meeting-nya. Hei! Kesempatan, dong! Kamu bisa cari-cari perhatian dikit sama itu pak bos tampan.""Tapi aku lebih sayang sama badanku," tukas Inara dengan senyum yang ma

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   5. Positif

    **"Ra, kamu sakit, ya?"Pagi ini ketika Inara sedang bersiap-siap berangkat bekerja, Ibu Yanti mencegatnya di ambang pintu kamar. Wanita itu menatap Inara lekat-lekat, tampak heran dengan keadaan si gadis yang tidak seperti biasanya."Sakit?" Inara mengernyit. "Kayaknya sih iya, Bu. Belakangan aku sering pusing tiba-tiba, kayaknya anemiaku kambuh.""Jangan capek-capek, Ra. Nanti mampir beli obat penambah darah di apotik dulu sebelum masuk kantor. Jaga kesehatan, karena nggak ada yang bisa kita andalkan selain diri sendiri." Bu Yanti menepuk lembut bahu gadis itu, yang dibalas dengan seulas senyum manis.Inara merasa bersyukur meski dirinya yatim piatu dan tinggal di panti asuhan sejak kecil, sebab Ibu Yanti selalu siap sedia dengan segala kasih sayangnya. Walau tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya dan bagaimana dirinya berakhir di tempat itu, namun Inara sudah merasa cukup dengan memiliki Ibu Yanti saja."Iya, Bu, nanti aku beli. Aku berangkat dulu, ya," ucap Inara sembari me

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   6. Aborsi

    **"Usianya baru empat minggu. Memang belum terlambat untuk memutuskan sekarang, tapi sekali lagi, saya nggak mendukung hal tersebut. Bagaimanapun, dia nggak bisa disalahkan dan kemudian harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kamu."Kata-kata dokter itu terus terngiang-ngiang dalam benak Inara. Berputar dalam kepala dan menggores rasa kemanusiaannya dengan tajam. Kemarin, Ibu Yanti memang menemaninya ke dokter kandungan seperti yang dirinya minta. Namun, Inara belum jadi menggugurkan janinnya saat itu juga, karena bujukan wanita itu. "Semua terserah kamu, Nak. Kamu yang menjalani semua ini. Walau jika memang harus berpendapat, Ibu jelas memilih jangan. Benar kata dokter, bayi ini nggak berdosa. Dia tetap anugerah dari Tuhan, walaupun kamu mendapatkannya dengan cara yang tidak benar."Ah, tapi untuk apa pula dipikirkan lebih lanjut? Untuk siapa ia berkeberatan? Anak itu hanya akan menjadi aib jika suatu saat harus lahir. Bahkan sampai matahari terbit dari barat pun, Inar

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   7. Bunuh Diri

    ** "Ada apa denganmu? Kamu sakit?" Ibu kepala pengelola panti asuhan bertanya dengan wajah heran, pada malam harinya ketika mereka semua sedang makan malam bersama. Inara sontak menggeleng gugup. Nyaris saja ia tersedak. "Ng-nggak, Bu. Saya nggak sakit, kok. Saya sehat." "Tapi, kamu kelihatan pucat sekali.” Perempuan yang berusia sebaya dengan Ibu Yanti itu menatap Inara dengan seksama–membuat yang bersangkutan gugup luar biasa. Sungguh, Inara merasa seperti ditelanjangi hanya dengan tatapan penuh telisik seperti itu. “Sudah periksa ke dokter? Serius, kamu kelihatan lagi nggak sehat.” "Saya baik-baik aja, Bu,” balas Inara cepat, “Mungkin, ini hanya kecapekan, karena saya bekerja sekarang." "Ah, begitu?" Wanita itu masih pula menatap penuh telisik, sementara Inara mengangguk kecil. "Kamu harus jaga kesehatan, Inara. Karena kamu adalah kakak yang paling tua di panti asuhan ini dan bertanggung jawab membantu adik-adikmu. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Mereka semua masih kecil." Ibu

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   8. Gadis Cilik

    [Lima tahun kemudian]“Siapkan saja mobilnya. Nanti saja di jalan, baru aku pikirkan aku mau ke mana.” Gavin Devano Sanjaya berdiri dari atas kursinya setelah mematikan ponsel. Ia menyimpan benda pipih itu di dalam saku, mengancingkan blazer seraya melangkah menuju pintu. Belum sampai ia menyentuh handle, seseorang dari balik ruangan sudah mendorong pintunya hingga terbuka. “Gavin!” Tanpa sadar lelaki itu mendesis tidak sabar. Ia memandang acuh kepada perempuan cantik yang baru saja muncul dan mencegat langkahnya. “Gavin, kamu mau ke mana? Aku bawakan makan siang.” “Aku ditunggu driver di bawah, maaf Jes.” “Tap– Gavin!” Lelaki rupawan itu mengayun langkah cepat menuju pintu lift di ujung ruangan. Dalam hati membatin dengan jengkel, harus ke kolong langit sebelah mana lagi ia pergi agar perempuan bernama Jessica itu tidak terus mengekorinya. Sebelum Jessica sempat menyusul hingga ke basement, Gavin segera memasuki mobil yang sudah siap menunggu. “Kita jalan ke mana, Pak?” tany

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   9. Bertemu

    ** Inara masih berdiri di tempatnya. tak bergerak sedikitpun, seakan kedua kakinya tertancap ke dalam lantai tempat ia berpijak saat ini. Kedua bola matanya yang bergetar memandang lurus kepada entitas tampan yang juga sedang memandang dirinya itu, hanya saja bedanya, manusia rupawan itu memandang dengan wajah seperti berusaha mengingat sesuatu. Tidak salah lagi. Itu Gavin Devano Sanjaya, mantan atasannya, CEO SR Corp yang namanya tersohor ke seantero negeri. Inara merasa pembuluh darahnya mendadak menyempit. Apa yang dilakukan lelaki itu di sini? “Mama? Mama!” Tarikan kecil pada ujung blusnya membuat Inara kembali tersadar. “Mama, kok malah diam?” “Aylin, kamu dari mana saja? Kenapa sudah keluar rumah pagi-pagi begini?” Inara mengalihkan perhatian kepada putri kecilnya untuk menetralkan degup jantung yang menggila. “Aylin main. Cuma main, kok.” Gadis cilik yang ternyata bernama Aylin itu membalas pandangan dengan takut-takut. “Ja-jadi, apa boleh Omnya duduk? Kasihan, Mama. Be

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   10. Rencana Gavin

    Gavin tercenung di depan meja kerjanya. Awangnya berkelana, teringat pada seraut wajah yang nyatanya timbul tenggelam dalam ingatannya. Ia tidak sepenuhnya melupakan raut itu.'Gadis itu? Office girl yang waktu itu?' Lelaki itu lantas meraih ponsel dan mendial satu nomor. Setelah menunggu beberapa saat, suara yang familiar terdengar dari seberang. “Halo?” “Aldo, ke kantor gue sekarang. Gue butuh informasi.” “Kenapa nggak langsung tanya aja ada apa?” “Sekarang.” Gavin matikan ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi kerja. Kembali berpikir-pikir kemungkinan yang paling tidak mungkin. Sepuluh menit kemudian, Aldo membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk dulu. “Ada apaan?” tanya pria itu, masih menyisakan raut kesal pada wajahnya. “Al, lo inget nggak sama perempuan panggilan yang lo cariin buat gue, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu?” Aldo sontak ternganga. Gavin menyuruhnya datang segera saat jam-jam sibuk, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak masuk

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   11. Melarikan Diri

    **Hari masih sangat pagi dan matahari belum lagi terbit saat Inara membangunkan Aylin. Dengan wajah yang cemas, perempuan itu mengemasi barang-barang penting yang ia perlukan.“Mau ke mana?” tanya sang putri kecil dengan kerutan halus di dahi.“Pergi sebentar, Nak.” Inara tersenyum, mengusap rambut gadis cilik itu. Berusaha tetap tenang meski dalam hati rasanya ingin segera pergi meninggalkan tempat yang ia rasa tak lagi aman. “Aylin mandi sendiri, ya. Mama akan siapkan baju-baju kamu.”“Kita mau pergi ke mana, Mama?”Entahlah, batin Inara gusar. Semuanya begitu mendadak sehingga ia tak punya banyak waktu untuk memutuskan akan pergi ke mana. Asal segera menyingkir dari tempat ini dulu saja, nanti sisanya akan ia pikirkan belakangan.“Nanti Mama kasih tahu kalau sudah di jalan, ya. Cepat ke kamar mandi, nanti kita ketinggalan kereta.”Aylin anak yang penurut. Meski ia punya banyak pertanyaan, ia memilih melaksanakan dulu apa yang dikatakan ibunya ; pergi ke kamar mandi dan membersihka

Latest chapter

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   163. Semuanya Baik-Baik Saja

    **Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   162. Dia Sudah Berubah

    **Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   161. She's Back?

    **“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   160. Usaha Menyatukan

    **Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   159. Memang Lucu

    **“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   158. Rencana Bertemu

    **Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   157. Permintaan Maaf Salsa

    **“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   156. Rasa Bersalah

    **Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   155. Penutup Hari

    **(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be

DMCA.com Protection Status