Kaki Arnesh berpijak di rumah besar dan megah, yang menjadi istananya bersama Livya sejak menikah. Keduanya sepakat, untuk tinggal pisah dengan orang tua, agar Arnesh tidak tertekan Mama Linda yang banyak maunya.Arnesh tidak menemukan siapa pun di kamarnya, Livya tidak ada di sini, di mana dia?"Bi, Livya pergi ke mana? Kenapa di kamar tidak ada?" tanya Arnesh pada Bi Ijum sang pembantu."Nggak tahu, Tuan. Dari kemarin teh Non Livya nggak kelihatan," jawab Bi Ijum apa adanya."Ya udah, Bi Ijum lanjutkan kerja saja."Arensh hanya bisa menimbang-nimang, di mana keberadaan istrinya yang hilang tanpa kabar. Ia sudah cek ponsel, Livya tidak mengabari.Siapa yang tidak kesal, istri tidak ada di rumah dari kemarin. Itu artinya, Livya tidak pulang ke rumah. Ia mencoba menghubungi mertuanya, siapa tahu Livya sedang bersama mereka."Halo, Ar. Tumben kamu nelpon Mama. Ada apa?" tanya Venny—ibu Livya."Livya ada di sana, Ma?" Arnesh balik bertanya."Nggak ada, Ar. Memangnya Livya ke mana? Bagaim
Bagai disambar petir di siang bolong, sekujur tubuh Gladys langsung melemas seketika saat Daniel memutuskan untuk memecatnya. Gladys meluruhkan air mata dengan berkaca-kaca, berbeda dengan si tua bangka yang tersenyum puas melihat penderitaannya.Gladys menatap sang atasan, memohon agar dirinya tidak dipecat. Jika tidak di sini, ke mana hendak Gladys mencari penghasilan? Konon katanya, mencari pekerjaan di zaman sekarang sulit."Pak, saya mohon jangan pecat saya. Beliau sudah memfitnah saya," lirih Gladys, menahan untuk tidak membuncahkan tangisan.Ia menyeka sudut matanya, memikirkan bagaimana nasibnya dan si buah hati jika dirinya tidak bekerja. Gladys tidak mau, hidup terlunta-lunta.Daniel mengalihkan pandangan, dengan wajah merah padam. Pagi harinya sudah dipusingkan dengan keributan."Saya nggak peduli. Mulai sekarang kamu saya pecat, Gladys! Ini gaji kamu bulan ini. Silahkan pergi dan angkat kaki dari Hotel ini, jangan pernah kembali ke sini!" ketus Daniel, melempar amplop cokl
Dokter Arnesh berlari menuju ruang gawat darurat dengan jantung berdebar kencang. Suara sirene ambulans masih terdengar di kejauhan, mengingatkan akan keadaan darurat yang sedang terjadi. Begitu dia memasuki ruangan, dia disambut oleh kekacauan dan kepanikan."Astaga!" pekiknya tertahan.Di salah satu tempat tidur, seorang pasien luka-luka akibat kecelakaan mobil terbaring dengan tubuhnya yang penuh luka dan berdarah. Dokter Arnesh segera mendekatinya dengan penuh perhatian, melihat kondisi yang memprihatinkan."Kita harus segera menghentikan pendarahan dan menstabilkan kondisinya," gumam Dokter Arnesh kepada tim medis yang sibuk bergerak di sekitarnya.Dengan tangan gemetar, Dokter Arnesh memeriksa luka-luka pasien tersebut. Dia melakukan tindakan pertolongan pertama dengan cepat dan hati-hati, mencoba menghentikan pendarahan dan membersihkan luka-luka yang parah.Waktu terasa berjalan sangat lambat saat Dokter Arnesh berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Setiap
"Jangan macam-macam, Daniel! Kamu nggak lihat kita sedang di mana sekarang?" ujar Livya sedikit menaikkan nada bicara, tidak habis pikir dengan kemauan Daniel seakan-akan mau mencari perkara.Bahu Daniel merosot. Di saat pikirannya pelik seperti ini, hanya Livya yang bisa menjernihkan pikirannya. Wanita itu bak obat penawar, yang menyembuhkan apa yang dirasakan.Kedatangan Daniel ke sini agar bisa melihat Livya, meski hanya sekedar melihat. "I need you, Babe. Hug me," pintanya.Menggelengkan kepala, Livya was-was, takut ada yang memperhatikan keduanya. "Akan aku lakukan, tapi nggak di sini, Dan. Gimana kalau ketahuan orang? Bisa berabe aku.""Pindah tempat?" tanya DanielMenatap Livya yang enggan bersitatap dengannya. Melihat penampilan Livya yang cantik dan seksi, membuat hormon libido Daniel meningkat. Andai mereka hanya berdua, Daniel takkan melepaskan Livya begitu saja."Nggak, nanti aja. Aku nggak mau mencari perkara," kata Livya, memelankan suara, meski ingin meledakkan amarahny
Jika Arnesh mengira Gladys akan setuju dan terima, maka jawabannya adalah salah. Gladys mendengkus, dengan kekesalan yang menggumpal dirasakannya. Meski hidup berkecukupan, kehidupan Arnesh dan Gladys berbeda, keduanya bagai langit dan bumi.Apalagi Gladys memang tidak mau tinggal berdua, itu hanya akan menambah kemungkinan mereka bertemu. Gladys menyorot tajam, pada pria yang menjadi suaminya."Apakah hidupku semenyedihkan ini? Sampai-sampai Pak Arnesh memberikan bantuan kepadaku? Aku nggak butuh dikasihani, aku masih mampu menghidupi kebutuhanku," kata Gladys menegaskan.Dia tidak mau, ketergantungan pada Arnesh. Terlebih dia wanita beristri, Gladys hanya memikirkan cara agar bisa pisah dengan Arnesh. Gladys tidak menginginkan pernikahan ini.Arnesh menghela napas gusar jika Gladys selalu saja salah menangkap maksud dan tujuannya. Sebagai suami, Arnesh hanya ingin memberikan pelayanan terbaik untuk istri dan juga anaknya."Kamu selalu berpikir aku kasihan padamu, ya? Apa aku kelihat
Aktivitas mereka terhenti, saling menatap satu sama lain. Daniel membelai wajah paripurna Livya yang terdiam ketika dia mengutarakan keinginannya. Ini sulit, tapi Daniel sangat mencintai Livya.Livya mematung, dia mendorong tubuh Daniel hingga terbaring di samping. Livya menarik selimut, menahan bibirnya yang bergetar."Nggak segampang itu, Dan. Aku ... mencintai Mas Arnesh, dia suamiku. Aku ingin mempertahankan rumah tanggaku," ungkap Livya disela-sela isakan tangisnya.Di belakang tubuh Livya, Daniel mendesah kecewa. Keinginannya memiliki Livya hanya sia-sia. Tapi ia tidak mau egois, begini saja Daniel bahagia.Daniel melingkarkan tangan ke perut Livya, mencari kenyamanan meski tidur di ranjang yang sudah berantakan."Kita benar-benar nggak bisa bersama, ya, Sayang? Sampai kapan kita akan seperti ini?" tanya Daniel, meminta jawaban.Salahnya, menaruh hati pada wanita yang sudah mengisi hatinya selama beberapa tahun ini dan nekat memacari wanita bersuami.Livya menggigit selimut, dil
Arnesh membuka pintu rumahnya ketika dia sudah kembali pada malam harinya. Sayang seribu sayang, Gladys tidak menuruti keinginannya. Tentu saja, mustahil sekali jika Gladys mau dipeluk olehnya, menatap saja enggan.Suara teriakan heboh begitu memekakkan, menghibur jiwa-jiwa lesu Arnesh saat melihat sahabatnya tengan main PS, kebiasaan dia, sering bermain game."Lo udah balik, Ar?" tanya Daniel, tanpa mengalihkan atensi dari layar TV. Bermain tinju di sana."Hmmm, berisik sekali suaramu, Dan. Untung saja komplek sini hidup individu, jadi nggak akan khawatir bakalan didemo," ujar Arnesh, menghempaskan bokong di sofa empuk.Yang diberi wejangan malah menyengir tanpa dosa, masih fokus pada kegiatannya."Mau main juga nggak lo? Suntuk gue, pinjem PS-nya, ya," kata Daniel, menyerahkan satu remote pada Arnesh.Tapi Arnesh sudah kantuk, biarlah dia bermain dahulu, agar tak terlalu penat."Gue main bentar," kata Arnesh, mulai bergabung dengan Daniel yang bertambah semangat karena ada lawan mai
Pasangan itu sudah sampai di kediaman. Rumah besar dan luas ini tidak berubah, masih indah dan juga enak dipandang tentunya."Wah, Non Livya dan Den Arnesh berkunjung. Selamat datang, silahkan masuk.""Mbok, tolong bawakan barang di bagasi, ya," ucap Livya pada asisten rumah tangga kediaman ini."Baik, Non."Wanita itu tampak ceria, dengan segurat senyum di wajahnya. Dan juga, tangannya masih setia melingkar di lengan kekar suaminya.Arnesh ingin menyingkirkan, tapi tak enak hati karena sedang ada di rumah mertuanya."Akhirnya setelah sekian lama, aku ke sini juga, makasih banyak, Mas," Livya berkata, memecah keheningan karena Arnesh tak kunjung membuka suara. "Ah, kamu malah diem terus. Nggak asik.""Kamu yang terlalu berisik, Liv. Pengang dengar kamu ngomong terus."Livya dan Arnesh naik ke lantai atas, letak kamar Mama Venny. Berhubung beliau sedang tidak sehat hari ini, jadi tak nampak sedari tadi.Sebelum masuk, mengetuk terlebih dahulu. Di ranjang miliknya, Mama Venny tersenyum
Livya terduduk di lantai, dia terus dimarahi oleh para tahanan lain karena terus menangis. Dia memeluk lututnya, menangisi takdir yang tak berpihak padanya.Ia ingin pulang dan keluar dari sini. Mama Venny datang untuk besuk, dia menghampiri Livya yang sedang duduk."Livya! Livya!" pekik mama Venny. Berhasil menyentak Livya yang sedang melamun.Livya yang tadinya duduk, buru-buru mendekat ke arah ibunya sambil memegang kedua tangannya. "Ma, tolong bantu aku keluar dari sini, Ma."Mama Venny tak bisa melakukan apapun sekarang. Bukti yang diberikan Arnesh sangat kuat."Nanti Mama pikirkan. Mama punya info penting Livya.""Info apa, Ma?""Soal Daniel."Mendengar nama Daniel disebut-sebut, Livya jadi mengharap sang kekasih datang dan membebaskannya."Ada apa soal Daniel, Ma?" Dengan cepat Livya bertanya."Daniel ... dia sudah menikah dengan perempuan lain, Livya," balas mama Venny.Deg! Tubuh Livya terbujur kaku. Ia berpegangan pada jeruji agar tubuhnya tidak limbung. Saraf-sarafnya tera
Satu minggu kemudian ....Setelah dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, akhirnya Gladys diizinkan pulang selama proses pemulihan. Bayinya pun sehat setelah melakukan pemeriksaaan.Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa Gladys dan Arnesh akan pulang ke kediaman mama Linda. Arnesh juga memutuskan untuk menjual rumah yang dulu ia tempati bersama Livya."Angkat aja, Nak, bawa masuk ke kamar," kata mama Linda, memberitahu anaknya agar menggendong Gladys yang masih kesulitan jalan. Dia menggendong Jesslyn, bayi perempuan yang mirip sekali dengan putranya.Gladys digendong ala bridal, menuju salah satu kamar di lantai bawah."Nah, Gladys, ini rumah kami. Saya harap kamu nggak merasa sungkan di sini," kata mama Linda. Perlahan mulai menerima kehadiran anak dan menantunya."Iy-iya, Ma."Gladys mengangguk. Sejak kejadian Livya datang, ibu mertuanya jadi perhatian sampai sekarang. Apalagi wanita paruh baya itu selalu membantu menjaga Jesslyn."Kamu temani aja istrimu. Biar Mama yang
Arnesh terkekeh sinis, saat Daniel meminta Livya untuk dibebaskan. Padahal sudah bersalah, bukti pun sudah jelas. Dia tak mengindahkan keinginan Daniel, pengkhianat yang sudah menusuknya dari belakang.Arnesh bangkit dari kursi, mengabaikan Livya dan Daniel yang ada di hadapannya. Sementara mama Venny, wanita paruh baya itu bingung mau bagaimana."Gila saja membebaskan orang yang sudah terbukti bersalah. Lanjutkan prosesnya, Pak, biarkan Livya menjalani hukumannya," ujar Arnesh berlalu bergitu saja, meninggalkan para dua pengkhianat itu.Mulai sekarang, Arnesh tidak ingin lagi berhubungan atau bertemi dengan mereka. Ia hanya ingin fokus pada kehidupannya yang sekarang bersama Gladys."Udah. Mulai sekarang kamu lupain mereka, fokus ke kebahagiaanmu," ujar papa Wandi menepuk pundak putranya.Pria berbeda usia itu menaiki mobil masing-masing untuk kembali ke rumah sakit. Ia khawatir dengan kondisi Gladys beserta anaknya.Ia menjalankan mobilnya dengan kebut-kebutan, ingin segera sampai,
Arnesh memutuskan untuk pergi, karena ia akan bicara dengan pengacaranya di sebuah caffe. Ia akan mengurus surat perceraiannya dengan Livya. Ia berpamitan dulu pada Gladys dan juga anaknya."Aku pergi dulu sebentar, kalau ada apa-apa hubungi aku," ujar Arnesh. Melabuhkan kecupan berulang-ulang pada pipi istri dan pipi anaknya.Gladys terkekeh, ia mendorong Arnesh agar menjauh. "Nanti Jesslyn bangun, Pak Arneh.""Gemas rasanya," ucap Arnesh diiringi dengan tawa.Arnesh melirik arloji yang melingkar di tangannya. Ia lantas pamit. Arnesh sudah mengundang pengacara datang. Dengan berat hati dia pun menaiki mobilnya.Kepergian Arnesh itu menjadi sebuah kesempatan bagi Livya yang diam-diam masuk ke dalan ruangan Gladys. Wanita itu memakai topi dan juga masker agar kehadirannya diketahui.Melihat ada Livya di sini, Gladys membeliakkan matanya sambil memeluk Jessyln. Livya membuka topi, ia menatap bengis pada wanita yang sudah menjadi simpanan suaminya."Sekarang kau bahagia bukan jika Mas Ar
Sementara di luar ruangan, papa Wandi sedang membujuk istrinya yang enggan masuk ke dalam. Mama Linda masih belum bisa menerima Gladys sebagai menantunya. Ia juga belum percaya, jika anak yang dikandung Gladys adalah anaknya.Papa Wandi juga sudah bercerita, jika ia sudah dikenalkan pada Gladys. Mama Linda kesal, selama ini hanya dia yang tidak tahu fakta sebesar ini. Ia kesal, itulah sebabnya enggan keluar."Ma, kenapa nggak masuk ke dalam? Yakin nih nggak mau lihat cucu kita? Bukannya Mama pengen banget punya cucu," ajak papa Wandi menggoda istrinya yang memiliki keinginan menimang cucu.Mama Linda tidak akan luluh begitu saja, dia bersedekap dada dan membuang pandangannya. "Ngapain Papa ngajak Mama? Biasanya juga main rahasiaan, 'kan? Udahlah sana. Mama di sini aja."Melihat istrinya yang sedang marah. Papa Wandi jadi gemas sendiri, pasalnya kemarahan sang istri sudah seperti anak ABG saja, tidak ada ubahnya dari dulu."Ada alasan kenapa Papa nyembunyiin dari kamu, Ma, sekarang ngg
Livya terusir paksa dari rumah suaminya. Dia harus pindah, ke kediamannya yang di Jakarta. Wanita hamil itu menangis tersedu-sedu, harus diceraikan karena Arnesh memilik madunya itu.Mama Venny merasa malu, dengan kelakuan Livya dan juga Daniel. Karena mereka, reputasinya hancur. Arnesh juga tidak mau percaya. Lelaki itu memilih menceraikan Livya.Sesampainya di kediaman. Mama Venny menyapu semua barang-barang sekitar, dia begitu geram dipermalukan. Tentu saja yang tak lain dan tak bukan karena Livya."Lihat sekarang, Livya! Atas perbuatanmu itu Mama yang harus menanggung malu! Sekarang Arnesh sudah menceraikanmu. Mama nggak akan membantumu! Silakan saja menikah dengan Daniel, pria yang menghamilimu!" sentaknya sembari menunjuk pelipis Livya menggunakan jari telunjuknya.Amarahnya sudah tak terkendali dengan semua ini. Apalagi Livya hanya bisa diam dan menangis, seolah itu bisa menyelesaikan masalah."Dan kamu, Daniel! Nikahkan anak saya jika benar itu anakmu! Saya tidak mau cucu saya
Pipi Gladys bersemu, ia menunduk dalam saat Arnesh mengatakan hal itu padanya, tepat di depan matanya. Pria itu menegakkan duduk, menggenggam tangan Gladys begitu erat dan mencium punggungnya tangannya dengan sangat lama."Kenapa, Glad? Apa kamu nggak cinta aku dan nggak mau hidup bersamaku?" tanya Arnesh dengan serius.Apa yang harus Gladys jawab? Dia sendiri pun bingung harus menjawab apa di saat dirinya belum bisa memahami yang dirasakan dirinya saat ini."Glad ...." Arnesh memanggil, dia menunggu jawaban istri keduanya. Dagu Gladys diangkat agar bisa menatapnya. "Maukah?" tanyanya.Gladys membalas tatapan Arnesh, kepalanya mengangguk begitu saja seolah setuju dengan pertanyaan Arnesh."Aku lakukan demi putri kita, ibumu sepertinya nggak menyukaiku," ujar Gladys. Masih terngiang-ngiang perkataan yang dilotarkan mama Linda padanya.Gladys tidak mau, mengganggu keluarga suaminya. Ia hanya ingin hidup tenang bersama putri yang baru dilahirkan.Jawaban Gladys membuat Arnesh senang, mes
Sekujur tubuh Livya terbujur kaku. Bagai tersambar petir di siang bolong Livya tersentak kaget saat Arnesh berkata seperti itu. Livya langsung memeluk Arnesh, dia tidak mau hubungannya berakhir."Apa maksud kamu, Mas? Aku nggak mau cerai, aku nggak pisah," ujar Livya menangis terisak-isak. Sial sekali, nasib buruk malah terjadi padanya hari ini.Arnesh mendengus. Sudah terlanjur murka dengan apa yang dilakukan Livya padanya, yang lebih parah lagi pada ayahnya. Papa Wandi hampir meregang nyawa karena perbuatan Livya.Apa yang sudah Livya lakukan sulit ditolelir. Arnesh jadi tidak mau lagi berhubungan dengannya. Livya sudah berkhianat dan mencelakai keluarganya. Begitipun mama Linda, dia juga sangat geram pada menantu kesayangannya, dengan tiba-tiba malah membencinya."Lepaskan aku, Livya! Aku nggak akan memberikanmu kesempatan! Kamu udah mencelakai ayahku!" sentak Arnesh. Tanpa rasa iba yang ia rasa, Arnesh dengan cepat menepis tangan Livya yang melingkar di perutnya."Mama, tolong Liv
Diberikan pilihan yang rumit seperti itu, Arnesh menjadi dilematis memilih salah satu di antaranya. Dia diam, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Livya terus mendesak jawaban.Livya memukul-mukul dada bidang Arnesh, sambil mencengkram kerah kemejanya. Sia-sia sudah perjuangannya mempertahankan rumah tangga, Arnesh malah tergoda oleh Gladys yang bernotabene sebagai orang ketiga di kehidupan rumah tangganya."Kenapa diam, Mas? Nggak bisa jawab 'kan kamu? Tinggalkan perempuan itu," pinta Livya, menuntun tangan Arnesh untuk mengelus perut besarnya. "Ini juga anak kamu, Mas Arnesh. Kenapa kamu lebih memilih gadis yang nggak jelas asal-usulnya?" "BOHONG! JANGAN PERCAYA PADA LIVYA!"Suara teriakan dari seseorang membuat ketiga orang itu menoleh ke arah belakang. Tepatnya pada seorang pria yang berdiri di ambang pintu, sontak saja mereka membelalak terkejut."Papa?" pekik Arnesh. Kaget saat Papa Wandi datang dengan keadaan yang sudah bisa berjalan."Ma-mas? Ka-kamu ... kenapa bisa? Kamu