Mahanta baru saja akan membuka mulutnya ketika ponselnya berdering nyaring. Pria itu buru-buru mengeluarkan ponselnya dan melihat siapa yang menelponnya. “Sherena,” ucapnya lalu meletakkan ponsel itu di atas meja. Ziana melirik layar ponsel Mahanta yang sudah hilang nada deringnya tapi panggilan dari Sherena belum berakhir. Ibu Juwita juga ikut kepo dan melirik layar ponsel Mahanta. “Kenapa nggak diangkat?” Ibu Juwita menunjuk ponsel Mahanta saat panggilan kedua masuk. “Aku malas mendengar suaranya. Nggak penting, tante.” “Angkat saja. Kita dengerin rame-rame.” Mahanta mengikuti permintaan Ibu Juwita yang penasaran. Segera terdengar suara centil Sherena yang sepertinya sengaja dibuat-buat kalau bicara dengan Mahanta. [“Maha, lama banget angkat telponnya. Kamu lagi dimana sih?”] “To the point. Ada apa?” Nada suara Mahanta terdengar dingin. [“Besok om dan tante ‘kan pulang tuh. Nenek suruh kita menjemput ke bandara. Jemput aku ya di rumah.”] “Pulangnya bukan besok, lusa,” sahut
Sherena masih berharap dirinya akan dipanggil. Bahkan sampai sengaja memperlambat jalannya dan berpura-pura terhuyung. Tapi sampai lima menit berlalu, tidak ada siapapun yang mengejarnya. Saat Sherena berbalik, Mahanta dan kedua orang tuanya sudah pergi dari tempat mereka berdiri tadi.“Sialan! Mereka kemana sih,” dumel Sherena lalu mengedarkan pandangannya berusaha mencari keberadaan Mahanta.Lelah mencari-cari, Sherena buru-buru kembali ke mobilnya. Wanita itu menutup pintu dengan keras, lalu mengomeli sopirnya.“Kamu lihat nggak kemana sopirnya Maha pergi?!”“Tadi ke arah parkiran, Nona.”“Ck! Memang nggak berguna! Pulang sekarang!”Sopir Sherena menjalankan mobil keluar dari bandara dan tanpa mereka sadari kalau mobil Mahanta juga keluar dari gerbang yang berbeda. Kedua mobil itu berjalan beriringan, tapi sopir Sherena hanya diam, meskipun ia tahu keberadaan mobil Mahanta.Mahanta sengaja mengajak kedua orang tuanya makan di restoran favorit mereka. Pria itu akan memberitahu tenta
Renan meletakkan bungkusan kue buatan Hannah diatas meja kerja Ziana. “Baru saja. Hari ini kamu pulang ‘kan? Tidak baik lembur terus.” Pria itu melirik ke arah perut Ziana lalu tersenyum smirk.Ziana meneguk salivanya melihat arah pandangan Renan. Perempuan itu sengaja tidak menutupi perutnya agar Renan tidak semakin curiga. Ziana tidak percaya kalau Renan baru saja sampai karena sifat kepo kakak iparnya itu.“Nanti aku pulang, Pak,” sahut Ziana.“Oke. Riana juga nyariin kamu. Kemana buna katanya.” Pandangan Renan pun beralih pada Lintang yang sudah berdiri di samping pintu ruangannya. “Pak Lintang, saya cuma nganterin titipan kakaknya Ziana. Saya permisi dulu.”Ziana terus menatap punggung Renan yang berjalan kembali ke lift. Kedua kakinya terasa lemas hingga kembali terduduk di kursi kerjanya. Dengan tangan gemetar, Ziana meraih gelas air minum lalu meneguknya hingga tandas. Ziana belum memikirkan tanggapan Hannah kalau sampai tahu tentang kehamilannya.Reaksi Ziana membuat Lintang
Mahanta berjalan cepat diikuti Hasan dan Intan yang menyusul di belakangnya. Segera setelah Mahanta mendengar terjadi sesuatu pada Ziana, pria itu bergegas kembali ke kantornya. Dengan tidak sabaran Mahanta menekan tombol lift agar pintu kembali tertutup.“Tenanglah, Maha. Lintang bilang sudah memanggil dokter ‘kan?” kata Intan menenangkan Mahanta.“Tapi, mah. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Ziana. Dia sedang hamil muda. Padahal aku sudah menasehatinya untuk tetap di apartemen, tapi dia bersikeras ingin bekerja.”Hasan dan Intan bisa melihat kegelisahan yang terpancar dari ekspresi Mahanta. Sudah lama sekali mereka tidak melihat ekspresi seperti itu dari Mahanta, sejak tiga tahun yang lalu. Pintu lift segera terbuka di lantai kantor CEO.“Ziana!” seru Mahanta yang sudah melesat lebih dulu menuju ruang kerjanya. Pria itu membuka pintu dengan kasar dan mendapati Lintang sedang menunggu di samping ruang pribadinya. “Lintang! Mana Ziana?!”“Ada di dalam. Kavya sedang memeriksanya. Tungg
“Mau diangkat?” tanya Mahanta.“Aku nggak berani. Biarkan saja dulu. Nanti kuchat. Gimana dengan kedua orang tuamu?”“Apa kamu siap bicara sekarang?”Ziana mengangguk lalu merapikan penampilannya dibantu Mahanta. Setelah siap, mereka berdua keluar dari ruang pribadi itu dan menemui orang tua Mahanta. Ziana tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri.“Selamat siang, Bapak, Ibu. Nama saya Ziana.” Ziana tidak berharap uluran tangannya akan dibalas. Karena itu, perempuan itu menarik tangannya lalu mengangguk hormat.“Saya Hasan dan ini istri saya, Intan,” sahut Hasan lalu mengulurkan tangannya diikuti Intan.Ziana menyalami tangan Hasan dan Intan dengan hormat, sebelum duduk di samping Mahanta. Wanita itu sengaja menggerai rambutnya untuk menutupi pipinya yang membiru. Tapi mata awas Hasan lebih dulu melihatnya.“Pipimu kenapa?”Ziana sontak merapikan rambut yang menutupi pipinya lalu menyenggol Mahanta untuk membantunya memberikan alasan. Tapi jawaban Mahanta me
Ziana mengusap sudut matanya yang basah lalu tersenyum tipis pada Mahanta. “Kak Hannah menunggu kita di rumah. Bisa ‘kan?”“Iya. Kita ke rumahmu nanti ya,” sahut Mahanta lembut.“Kalau gitu, saya titip kue saja ya untuk keluargamu. Sebentar saya pesan dulu,” ucap Intan.“Jangan merepotkan, Bu.”“Tidak repot. Nanti sama Maha ngambilnya. Kue di toko ini enak banget ‘loh. Saya langganan disana.”Ziana mengangguk pelan lalu membiarkan Intan sibuk sendiri dengan ponselnya. Tapi setelah beberapa saat, raut wajah Intan sedikit berubah.“Yah, tokonya tutup hari ini. Aneh banget. Padahal tadi pagi ownernya masih posting story kue hari ini loh.”“Memangnya mama mau beli kue apa?” tanya Mahanta.Intan membalik ponselnya dan menunjukkan gambar beberapa jenis kue basah. Sejenak Ziana merasa tidak asing dengan gambar tersebut. Tapi perempuan itu tidak bertanya lebih lanjut.“Kue ini mama paling suka. Jarang banget ada toko kue seperti ini di dekat sini. Kamu ‘kan suka juga kue soes ‘kan? Lemper jug
“Kakak nggak bohong, Ziana. Sudah ya. Ada yang mau bayar,” ucap Hannah lalu memutuskan sambungan teleponnya.Ziana tidak bisa terima begitu saja. Feelingnya bisa merasakan ada sesuatu yang Hannah sembunyikan. Perempuan itu beranjak dari atas tempat tidur, lalu keluar dari ruangan itu. Sejenak Ziana tertegun karena Mahanta tidak ada di kursinya.“Kemana dia?”Tapi Ziana tidak punya waktu untuk mencari keberadaan Mahanta. Setelah keluar dari ruang kerja pria itu, Ziana langsung menyambar tasnya dan pergi dari sana. Dalam pikirannya saat ini hanya memikirkan untuk segera pergi ke toko kue Hannah.Dengan menaiki gocar, Ziana akhirnya sampai di depan toko kue itu. Sejenak ia tertegun melihat toko yang terlihat sepi. Seharusnya semakin sore, toko kue itu semakin ramai. Biasanya seperti itu. Tapi kini hanya ada satu mobil yang terparkir di depan toko kue itu.“Dari bank?” gumam Ziana lalu turun dari gocar yang ditumpanginya.Ziana berjalan cepat mendekati pintu toko yang terbuka lebar, lalu
Kaca jendela mobil itu terbuka memperlihatkan seorang wanita kaya yang elegan. Intan menatap toko kue itu sebelum bertanya pada sopirnya. “Apa benar disini?”“Sesuai peta, memang disini, Nyonya.”“Tapi kok sepi? Coba cek, tutup beneran atau nggak?”Sopir itu berlari menuju pintu dan melongok ke dalam toko kue. Tepat saat itu, Hannah menoleh ke arah pintu.“Maaf, kami tutup hari ini,” ucap Hannah lembut.“Tunggu! Bisa minta tolong buatkan lemper? Ini penting sekali,” pinta Intan yang sudah turun dari mobil.“Mertua saya sedang sakit dan tidak mau makan. Dia ingin sekali makan lemper dari toko ini. Saya langganan disini. Saya Ibu Intan.”Hannah terdiam sejenak, mengingat nama Intan diantara nama pelanggan yang biasa memesan kue dari tokonya. Sampai Hannah mengangguk lalu tersenyum ramah.“Ibu Intan, kita baru pertama bertemu ya. Kalau lemper, saya hanya punya sedikit adonan saja. Tidak apa-apa, Bu?”“Iya, tidak apa-apa. Asalkan bisa. Berapa lama saya harus menunggu?”“Sekitar sepuluh me
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar
“Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau
Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be
Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti