Airin tidak bisa tidur sepanjang malam. Ciuman yang Robin berikan benar-benar membuatnya kepikiran. Berulang kali ia balik kiri dan kanan, memejamkan mata dan berharap agar lekas bisa terjatuh ke alam bawah sadar. Namun, nyatanya sekuat apa pun ia berusaha untuk tidur, ia tetap saja terjaga karena bising yang ada di kepala.Terdengar langkah kaki yang mendekat menuju kamar. Airin bisa tahu jika itu adalah ayahnya hanya dengan mendengar derak langkah kakinya. Segera ia memejamkan mata dan berpura-pura bahwa ia telah lama jatuh dalam dunia mimpi. Ia tidak ingin ayahnya jadi khawatir jika tahu akan kondisi putrinya saat ini.Pintu kamar terbuka. Arie melongok, menatap Airin yang tengah terpejam dengan sangat lelap di ranjangnya. Bergegas lelaki itu memasuki kamar, membenarkan posisi selimut, lalu memberikan satu kecupan lembut. Ia berdiri cukup lama di sana. Memandangi wajah putrinya dari samping ranjang. Anak-anak tumbuh dengan sangat cepat. Ia masih belum puas menikmati masa-masa bersa
Robin terbangun Ketika ia merasakan pelukan di tubuhnya. Lelaki paruh baya itu sempat terpaku sejenak, mengumpulkan kesadaran setelah bangkit dari tidurnya. Ia menatap Airin yang tersenyum padanya. Lelaki itu tetap belum sadar, sebab separuh kesadarannya masih tertinggal di alam mimpi.“Aku membangunkanmu?” Airin bertanya dengan sangat lembut. Bibir itu tetap saja tersenyum dengan sangat manis. Sementara dalam hati ia tengah menahan muntah karena bersikap semanis itu.Robin mengusap wajah dengan kasar. Ia menguap beberapa kali sebagai pertanda bahwa ia sangat mengantuk. Semalaman ia begadang untuk memeriksa file yang ia terima di laptopnya. Ia baru bisa tidur menjelang pagi.“Airin?” Robin menatap tidak percaya. Ia bingung sendiri, sebab Airin sangat marah padanya semalam karena ciuman yang ia berikan. Kini Wanita itu terbaring di ranjang dengan tatapan yang begitu lembut untuknya.“Mengapa kau terkejut seperti itu?” Airin memutus hubungan menantu dan mertua di antara mereka. Ia bersi
Robin mendongak setelah cengkeraman Airin di tengkuknya terlepas. Lelaki itu tampak gugup setengah mati. Bukan gugup karena Leonel memergoki mereka tengah melakukan hal yang tidak seharusnya, tapi karena Airin telah menciumnya secara tiba-tiba. Napas lelaki itu begitu memburu. Wajahnya memerah menahan nafsu. Jantungnya berdetak tidak sebagai mana semestinya. Dadanya berdebar dengan tidak karuan.Airin bangkit untuk duduk setelah Robin enyah dari atas tubuhnya. Ia membenarkan pakaian yang sedikit berantakan. Ia usap bibirnya yang sedikit basah karena ciuman barusan. Mata indahnya menunjukkan sorot yang tidak bisa dimengerti.Leonel melangkah masuk dengan dada yang panas. Ada bara yang membakar dada kirinya. Wajahnya memerah menahan amarah. Kecemburuan telah membuatnya gelap mata.Bugh!Satu pukulan mendarat tepat di wajah Robin Ketika lelaki itu hendak turun dari ranjang.“Apa yang kau lakukan di sini, Bajingan?! Apa kau tidak sadar jika Airin itu menantumu?! Apa tidak ada wanita lain
Setelah perdebatan yang cukup panjang, pada akhirnya Robin tetap saja keluar dari urmah Leonel. Airin ingin ikut pergi demi membuat Leonel lebih marah lagi. Namun, itu akan menghalangi jalannya untuk melakukan pendekatan dengan Belvina. Ia ingin anak itu menjadi miliknya. Merebut semua orang terdekat yang ada di hidup Leonel. Ia bisa merasakan cinta yang besar dan sangat tulus Leonel berikan untuk bayi itu, jadi akan sangat menyakitkan jika mereka dipisahkan.Hari ini Airin mendatangi rumah sakit untuk melakukan induksi laktasi. Mendengr penjelasan dokter yang mengatakan ia akan sangat kesulitan untuk hamil, membuat tekadnya semakin kuat untuk merebut Belvina. Induksi laktasi dilakukan agar ia bisa memiliki ASI tanpa melewati proses kehamilan sama sekali. Menjadi seorang ibu adalah impian yang sangat ingin ia dapatkan, tapi tampaknya kini mustahil untuk terjadi. Apalagi ia tidak lagi percaya akan sakralnya ikatan sebuah pernikahan.Mempertahankan pernikahan dengan Leonel ia lakukan ha
“Dari mana kamu?” Leonel langsung menyambut ketika Airin pulang menjelang malam. Di tangan Wanita itu ada beberapa kantung belanjaan berisi suplemen, dan makanan sehat.Airin menghela napas dengan kasar, merasa muak melihat wajah suaminya. Namun, rasa muak itu ia tutupi dengan senyum manis yang ia miliki. Garis wajahnya yang innocent membuat Leonel tidak bisa marah lebih besar. Hatinya langsung melembut, semua api amarah langsung lenyap ketika Airin memeluk tubuhnya.“Aku habis keluar sebentar, apa kau marah padaku?” Airin mendongak tanpa melepas pelukan. Ia tatap Leonel dengan sorot begitu polos.Leonel menghela napas dengan kasar. Ia masih kesal akan kejadian di dalam kamar waktu itu, tapi ia tidak bisa marah sama sekali. Ia usap puncak kepala Airin dengan penuh kelembutan, lalu memberikan kecupan di keningnya.“Mulai besok kau harus pamit padaku ke mana pun kau pergi. Aku ingin tahu kau ke mana dan dengan siapa.” Leonel berucap menahan kesal.“Tentu saja.” Airin tersenyum berucap.
“Hari ini aku akan mulai bekerja di kantor yang baru. Ini uang untukmu.” Leonel menyerahkan beberapa lembar uang kertas pecahan seratus ribu pada Airin. “Tolong jangan ke mana-mana tanpa izin dariku.” Lelaki itu berucap dengan tegas, sebab ia teringat dengan pesan yang diberikan oleh Robin tadi malam.“Untukku?” Airin bertanya memastikan.“Aku tahu ini tidak berarti apa-apa bagimu. Tapi tolong hargai, aku memberikan ini dengan tulus untukmu.”Airin tersenyum. “Terima kasih, ini banyak.” Wanita itu menerima uluran yang ia dapatkan. Memasang ekspresi yang menunjukkan bahwa ia merasa bersyukur dan puas.“Untukku mana?” Livy menimpali. Ia yang paling butuh uang di sini. Pertama, ia tidak bekerja. Kedua, ia tidak punya warisan dari orang tua dan tidak bisa meminta pada mereka. Ketiga, ia punya Belvina yang membuatnya membutuhkan biaya yang lebih besar. Sementara Airin hanya sendiri dan selalu dilimpahi dengan kekayaan.“Aku sudah memberimu jatah minggu lalu. Kau harus pintar mengelola uan
“Kamu mau?” Robin menawarkan makanannya ketika ia mengajak Airin untuk makan siang di sebuah restoran ternama sehabis mereka jalan-jalan di taman.Airin menggeleng. Menolak meski Robin telah menyodorkan sendok hendak memberikan suapan. Sorot matanya menunjukkan rasa jorok jika sendok bekas makan Robin ia masukkan ke mulutnya. Bagi Robin mungkin itu romantis, tapi bagi Airin itu tidak higienis.Akan sangat berbeda jika ia mencintai lelaki itu. Jangankan sendok bekas mulutnya. Air liurnya pun akan ia sesap ketika mereka berciuman.Robin menghela napas dengan kasar. Memberikan senyuman meski lagi-lagi harus menelan kekecewaan dari sebuah penolakan. Hari ini entah sudah berapa kali Airin menolak tawaran yang ia berikan. Ia bisa merasakan bahwa Airin sangat menjaga jarak dari dirinya. Namun, ia akan terus bersabar. Menunggu waktunya tiba, ketika Airin jatuh cinta kepadanya.Airin lebih banyak diam. Fokusnya lebih tertuju pada hidangan dibanding pada Robin yang ada di kursi berseberangan.“
Airin pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Ia lagi-lagi terlambat, kali ini karena Robin selalu menahan ketika ia meminta untuk pulang.“Besok kau ingin ke kantor Arie? Aku akan menjemputmu.” Robin berpesan sebelum Airin turun dari mobil.“Aku selalu dijemput dan diantar oleh supir.” Airin menolak.“Airin, tolong. Beri aku kesempatan untuk merebut hatimu.” Robin memohon dengan sangat.Airin tersenyum. Senyumnya begitu manis terlihat. Robin tidak pernah menemukan senyum yang lebih manis setelah ia melihat senyum Airin.“Ada kamu di sini. Di tempat paling istimewa yang belum pernah berpenghuni sebelumnya.” Airin berusaha meyakinkan. Ia bawa tangan Robin ke dada kirinya.Robin berusaha percaya meski ia tahu Airin tengah menipunya. Ia tahu ia tidak pernah ada di dalam hati wanita itu. Tidak ada cinta di sana.“Beri aku ciuman.” Robin berucap dengan suara parau menahan nafsu. Gairahnya selalu saja bangkit ketika ia dan Airin bersentuhan kulit.“Aku belum gosok gigi, aku
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener