“Cantik.” Alice memberikan pujian setelah ia mendandani sang ibu.Hari ini ulang tahun Airin yang ke 38 tahun. Di usianya yang mendekati kepala empat, ia masih terlihat begitu cantik.Lenzy dan Arie sudah memutuskan untuk merayakan bersama keluarga di rumah saja. Namun, Alice ingin ulang tahun ibunya dirayakan di luar. Ia ingin ibunya kembali bisa melihat dunia, juga dilihat oleh dunia. Ia ingin ibunya bisa hidup layaknya orang normal. Berbaur dengan yang lain.“Alice di mana?”“Ma, ini Alice.” Alice tidak lagi ingin masuk ke dalam dunia ibunya. Ia ingin ibunya yang keluar dari imajinasi dan hidup dalam dunia asli. Ia raih tangan ibunya, kedua telapak tangan wanita itu ia tempelkan ke pipi. “Ini Alice, Ma. Lihat wajah Alice, apa Mama tidak bisa mengenali putri Mama?” Gadis itu berucap dengan penuh kelembutan.“Kamu bukan putriku. Alice-ku masih kecil.” Airin menyangkal.Alice menghela napas dengan dalam. Ia beranjak pergi, lalu kembali lagi dengan album foto di tangan. Ia tunjukkan fo
Alice menangis mendengar penjelasan Arie mengenai kisah cinta Airin di masa silam. Gadis itu berulang kali menatap ibunya, memberikan remasan lembut pada jemari lentiknya. Berusaha menyalurkan rasa tenang dan aman dari genggaman tangan. Ia peluk tubuh ibunya dengan penuh kasih sayang.Setelah pertemuan dengan Zayyan kemarin malam. Alice dan kedua pamannya terus menuntut meminta penjelasan. Pada akhirnya, rahasia yang telah disembunyikan selama belasan tahun, terpaksa diberitahu pada mereka.Alice tidak menyangka jika ibunya akan melewati masa-masa sulit belasan tahun lamanya. Bahkan terpisah dari keluarga selama sepuluh tahun untuk menjalani pengobatan di rumah sakit jiwa. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya yang berada di posisi sang ibu.“Ma … Mama wanita kuat.” Alice berucap dengan suara bergetar.“Yang mana orangnya?” Arka ingin tahu. Ia ingin memberi pelajaran pada orang-orang itu.“Masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Kalian tidak perlu tahu yang mana orangnya. Mami tahu dend
“Alice?” Belvina tampak sangat terkejut ketika ia mendapati sang kakek pulang membawa adik kelasnya itu.“Hai.” Alice menyapa dengan senyuman. Menunjukkan wajah ramahnya pada semua orang.Kening Belvina tampak berkerut menatap kover yang ada di tangan Robin. Gadis itu sangat bingung melihat Alice yang memeluk lengan paruh baya itu dengan santai. Tampak mereka seakan orang-orang yang sudah saling kenal sejak lama.“Opa … kenapa Opa membawanya ke sini?” Akhirnya Belvina melontarkan pertanyaan yang sejak tadi bersarang dalam hati.“Dia akan tinggal di sini.” Robin menjawab dengan senyuman. Tampak lelaki itu sangat senang, sebab Alice mengakui dirinya sebagai ayah dan ingin tinggal bersama untuk menebus semua waktu yang telah terlewati selama lima belas tahun ini. Alice berkata ingin melakukan pendekatan agar ia tahu seperti apa rasanya punya seorang ayah.“Tapi kenapa?” Belvina masih terlihat bingung. Kerutan di keningnya bertambah seiring kebingungannya yang semakin besar.“Papa. Apa-ap
“Papa!” Alice memanggil dengan nada tinggi dari ambang pintu kamar yang terbuka. Matanya memerah dengan kaca-kaca yang menghalangi pandangan mata. Wajahnya tampak panik.“Kenapa, Alice?” Belvina berusaha untuk melakukan pendekatan. Ia merasa bingung, sebab Alice tiba-tiba berteriak memanggil Robin dengan ekspresi menahan tangis. Sementara ia tidak melakukan apa-apa, hubungan mereka masih sangat canggung meski telah tidur satu ranjang berdua.“Papa!” Alice kembali memanggil. Kali ini nadanya terdengar begitu menuntut.“Ada apa sih, masih pagi sudah bikin keributan. Ganggu orang saja.” Livy muncul dengan wajah garangnya.“Kamu apain, Belvina?” Leonel menatap putrinya.Belvina yang ditatap dan ditanya mengerutkan kening. Ia melambaikan tangan seraya menggeleng dengan cepat. “Bukan Vina, Papa.” Belvina melakukan pembelaan.Gadis itu tidur dan bangun seperti biasa. Tidak ada hal aneh yang ia lakukan. Ranjang dibagi dua dengan adil, ada guling di tengah-tengah sebagai pembatas. Ia tidak men
“Alice!” Jaya melambaikan tangan dari depan gerbang sana. Di tangannya tampak ada ponsel. Ia selalu main ponsel ketika menunggu Alice pulang.“Alice.” Belvina menghentikan langkah Alice. “Kalau Jaya nanyain aku, tolong cerita yang baik-baik ya.” Belvina menatap dengan penuh harap. Ia memasang wajah begitu manis, ingin Alice melupakan apa yang pernah terjadi di antara mereka sebelum ini.“Tenang saja. Aku tidak akan cerita yang buruk-buruk. Selama kamu baik, aku juga akan baik.” Alice memasang topeng agar tetap terlihat baik.“Tolong bujuk Jaya buat putusin pacarnya yang lain.” Belvina memohon dengan sangat.“Aku minta maaf, tapi aku tidak punya hak untuk itu.”Belvina memasang wajah masam. Ia sudah meminta berulang kali pada Jaya, tapi kerap kali ia mendapat laporan dari Silmi yang papasan dengan Jaya tengah berkencan dengan gadis lainnya.“Aku bakal lakuin apa pun, asal kamu mau bantu.” Belvina sangat memohon.Alice mengerutkan kening, menggigit bibir untuk berpikir.“Aku dengar-deng
“Pa!” Alice menepuk pundak ayahnya ketika mereka tengah makan malam bersama. Wajahnya tampak memerah, ia terlihat kesulitan bernapas.Livy menatap dengan tajam. Merasa jengah menunggu drama selanjutnya. Ia memutar bola mata dengan malas, kembali mengunyah makanan dengan susah payah. Nafsu makannya menurun semenjak Alice bergabung di meja makan. Ia sangat muak, ingin muntah setiap kali melihat Alice yang sok polos bak malaikat.Ruang makan yang tadinya sengang, kini berubah heboh karena keributan yang Alice ciptakan.“Alice, kenapa?” Robin tampak sangat khawatir ketika Alice bangkit berdiri seraya memukul dada.“Tersedak mungkin, Opa.” Belvina menebak.Robin bangkit berdiri, ia pukul dengan lembut punggung Alice. Berharap dengan itu bisa membuat Alice kembali bernapas dengan normal. Namun, wajah Alice tampak semakin memerah. Ia memukul dadanya semakin kuat. Napasnya terdengar berat, juga tersendat.Robin mendekap tubuh putrinya dari belakang. Menekan dada Alice dengan kedua telapak tan
“Mama.” Alice memanggil dengan lembut. Tangannya terulur, ingin dipeluk.Airin menoleh, menatap Alice yang beberapa hari ini tidak pernah ia temui. Senyum Airin mendadak hilang di saat sekelebat bayangan Alice kecil muncul dalam pikiran. Seperti dejavu ketika ia melihat putrinya terbaring lemah di sana dan mengulurkan tangan ingin dipeluk olehnya. Bintik-bintik merah di kulit putihnya mengingatkan Airin akan Alice yang pernah mengalami hal serupa.“Alice!” Airin mendadak panik. Ia berbalik, hendak berlari keluar dari ruangan. Namun, Arka dengan cepat menutup pintu.“Alice! Di mana Alice?!” Airin sangat histeris. Wajahnya tampak memerah dengan mata berkaca-kaca. Ada rasa khawtair yang begitu besar di sana. Ia menginginkan putrinya.“Mama! Alice di sini!” Alice berucap menahan tangisan. Ia tidak sabar menungg Airin sembuh dan bisa hidup dengan tenang. Ia ingin memiliki ibu yang normal.“Alice!” Airin memberontak ketika Arie memeluk menenangkan. Ia bahkan menggigit dan mencakar. Sudah beb
“Saya sendiri tidak mengerti mengapa tiba-tiba pikirannya menjadi membaik seperti itu. Omongannya sudah nyambung. Dia juga sudah mulai bisa mengatur emosi. Ia tahu kapan ia harus tersenyum dan menangis.”“Apa itu artinya Airin telah pulih?” Lenzy bertanya dengan penuh harap. Ia tatap lelaki yang ada di hadapannya. Dokter jiwa yang menangani Airin beberapa bulan ini.“Belum bisa dipastikan. Dia harus rutin minum obat seperti biasa. Beberapa hari lagi saya akan melakukan tes ulang. Tolong beritahu saya apa pun yang dia lakukan selama beberapa hari ini. Catat perkembangannya, aktivitasnya.” Psikiater itu berucap dengan kening berkerut. Sebab, bingung sendiri akan kasus Airin yang tidak biasa. Biasanya, butuh waktu bertahun-tahu untuk penyembuhan jiwa. Namun, Airin hanya butuh dua bulan untuk itu. Ia tidak yakin bahwa Airin pulih karena obat dan teraphi yang ia berikan.“Mi, Airin ke rumah sakit sebentar. Katanya Alice mau pulang.” Airin pamit pada Lenzy. Ia tampak rapi sore ini, sudah bi
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener