“Pa!” Alice menepuk pundak ayahnya ketika mereka tengah makan malam bersama. Wajahnya tampak memerah, ia terlihat kesulitan bernapas.Livy menatap dengan tajam. Merasa jengah menunggu drama selanjutnya. Ia memutar bola mata dengan malas, kembali mengunyah makanan dengan susah payah. Nafsu makannya menurun semenjak Alice bergabung di meja makan. Ia sangat muak, ingin muntah setiap kali melihat Alice yang sok polos bak malaikat.Ruang makan yang tadinya sengang, kini berubah heboh karena keributan yang Alice ciptakan.“Alice, kenapa?” Robin tampak sangat khawatir ketika Alice bangkit berdiri seraya memukul dada.“Tersedak mungkin, Opa.” Belvina menebak.Robin bangkit berdiri, ia pukul dengan lembut punggung Alice. Berharap dengan itu bisa membuat Alice kembali bernapas dengan normal. Namun, wajah Alice tampak semakin memerah. Ia memukul dadanya semakin kuat. Napasnya terdengar berat, juga tersendat.Robin mendekap tubuh putrinya dari belakang. Menekan dada Alice dengan kedua telapak tan
“Mama.” Alice memanggil dengan lembut. Tangannya terulur, ingin dipeluk.Airin menoleh, menatap Alice yang beberapa hari ini tidak pernah ia temui. Senyum Airin mendadak hilang di saat sekelebat bayangan Alice kecil muncul dalam pikiran. Seperti dejavu ketika ia melihat putrinya terbaring lemah di sana dan mengulurkan tangan ingin dipeluk olehnya. Bintik-bintik merah di kulit putihnya mengingatkan Airin akan Alice yang pernah mengalami hal serupa.“Alice!” Airin mendadak panik. Ia berbalik, hendak berlari keluar dari ruangan. Namun, Arka dengan cepat menutup pintu.“Alice! Di mana Alice?!” Airin sangat histeris. Wajahnya tampak memerah dengan mata berkaca-kaca. Ada rasa khawtair yang begitu besar di sana. Ia menginginkan putrinya.“Mama! Alice di sini!” Alice berucap menahan tangisan. Ia tidak sabar menungg Airin sembuh dan bisa hidup dengan tenang. Ia ingin memiliki ibu yang normal.“Alice!” Airin memberontak ketika Arie memeluk menenangkan. Ia bahkan menggigit dan mencakar. Sudah beb
“Saya sendiri tidak mengerti mengapa tiba-tiba pikirannya menjadi membaik seperti itu. Omongannya sudah nyambung. Dia juga sudah mulai bisa mengatur emosi. Ia tahu kapan ia harus tersenyum dan menangis.”“Apa itu artinya Airin telah pulih?” Lenzy bertanya dengan penuh harap. Ia tatap lelaki yang ada di hadapannya. Dokter jiwa yang menangani Airin beberapa bulan ini.“Belum bisa dipastikan. Dia harus rutin minum obat seperti biasa. Beberapa hari lagi saya akan melakukan tes ulang. Tolong beritahu saya apa pun yang dia lakukan selama beberapa hari ini. Catat perkembangannya, aktivitasnya.” Psikiater itu berucap dengan kening berkerut. Sebab, bingung sendiri akan kasus Airin yang tidak biasa. Biasanya, butuh waktu bertahun-tahu untuk penyembuhan jiwa. Namun, Airin hanya butuh dua bulan untuk itu. Ia tidak yakin bahwa Airin pulih karena obat dan teraphi yang ia berikan.“Mi, Airin ke rumah sakit sebentar. Katanya Alice mau pulang.” Airin pamit pada Lenzy. Ia tampak rapi sore ini, sudah bi
Robin bangkit berdiri, ia mendekat untuk menggendong Alice. Alice menggeliat seraya bergumam pelan ketika ia berada dalam gendongan ayahnya, merasa kenyamanannya telah direnggut.Alice dibawa menuju kamar. Tubuh lemahnya dibaringkan di sana. Airin menyelimuti dengan lembut, lalu memberikan kecupan. Ia tatap wajah lelap putrinya untuk waktu yang lama. Tidak ada bosan-bosannya ia menatap gadis itu.“Mau ke mana kamu?” Pertanyaan Livy terdengar hingga ke kamar. Mengalihkan perhatian Airin dan Robin dari Alice.“Mau ke kamar, Ma? Kenapa?”“Ada Alice di dalam.”“Ya emang kenapa? Kan kamarnya bagi dua.”“Kamu tidak liat, kulitnya jadi jorok begitu. Nanti nular ke kamu. Tidur di kamar Alya saja. Nanti barang-barang kamu bawa ke sana.”“Tapi, Ma—”“Kamu harus nurut sama mama.” Livy berucap dengan kesal. Ia tidak pernah berucap dengan nada sekesal itu pada putrinya. Kekesalannya pada Alice dan Airin ia lampiaskan pada Belvina.Belvina terpaksa menurut. Langkahnya terhenti ketika melihat pintu
Lenzy dihubungi oleh pihak sekolah, memberi kabar jika siang ini teman sekelas dan wali kelas akan datang untuk menjenguk, sebab sudah hampir seminggu Alice libur dikarenakan sakit. Lenzy memberikan alamat rumah Robin. Ia lekas meluncur ke sana sebelum pihak sekolah tiba lebih dulu. Wanita itu membeli beberapa jenis camilan untuk dihidangkan.Alice tampak duduk di kursi teras, melamun sendirian.Lenzy merasa nyeri di dada melihat cucunya melamun seperti itu. Seakan ia tahu apa yang tengah dipikirkan oleh gadis itu.Setelah berdiam diri di mobil yang ia parkir tidak jauh dari pintu pagar, Lenzy turun seraya membawa beberapa kantung belanjaan. Ia membeli banyak jenis camilan dan juga minuman kaleng. Sebab, tidak ingin teman sekolah Alice kembali mengejek Alice karena tidak disuguhkan makanan dan juga minuman oleh keluarga Robin.“Sayang, kenapa di luar sendirian?” Lenzy menegur ketika ia menghampiri gadis itu.Alice cukup terkejut ketika tiba-tiba mendapati di hadapannya ada sang nenek.
“Alice.” Belvina menghampiri dengan ragu. Ia duduk di tepian ranjang, menatap Alice yang tampak tengah berbalas pesan.Alice tidak menanggapi, fokus gadis itu tertuju pada ponsel yang ada dalam genggaman.“Alice!” Belvina kembali memanggil.Alice mneoleh, menatap dengan malas.Belvina semakin memangkas jarak yang ada di antara mereka. Ia mendekat, menatap menuju pintu dan juga jendela yang tengah terbuka. Tampak sangat berhati-hati ingin bertanya.“Kamu … kamu tahu hubungan mama kamu sama opa?” Belvina bertanya dengan penuh kehati-hatian. “Ada banyak teka-teki yang ingin aku cari jawabannya. Jaya tidak ingin memberitahu, katanya tanya padamu saja.” Gadis itu berucap dengan penuh kelembutan, berharap bisa mendapat jawaban dari Alice.Alice menatap dengan tajam. “Bukan urusanmu.” Ia berucap dengan kasar.Belvina menghela napas dalam. Ia sudah berusaha baik dan ingin mengakrabkan diri, tapi respons Alice sungguh tidak sesui harapan. Ia memasang wajah kesal, lalu beranjak keluar dari kama
“Yang ini mau?” Airin bertanya dengan penuh perhatian pada sang putri. Ia menunjukkan baju model terbaru.Alice menggeleng.Setelah belasan tahun ia hidup di dunia, ini pertama kali ia menghabiskan waktu bersama kedua orangtuanya. Ruam di kulitnya membuat ia merasa malu ketika diajak untuk mengunjungi pusat perbelanjaan. Ia tampak tidak nyaman. Apalagi melihat tatapan orang-orang yang seakan mengejek dirinya.Robin seakan paham apa yang tengah Alice rasakan.“Kita pulang?” Lelaki paruh baya itu bertanya. Mereka bahkan belum membeli apa pun, baru sampai dan sudah diajak untuk pulang.Alice tidak menjawab. Gadis itu bersikap seolah ia tidak mendengar apa pun.“Alice, coba ini dulu, Sayang.” Airin menyerahkan sebua dress tanpa lengan.“Maaf, Mbak. Baju-baju di sini tidak bisa dicoba sembarangan. Saya benar-benar meminta maaf, takut pelanggan yang lain ketularan jika bajunya tidak jadi dibeli.” Pelayan itu berucap dengan ekspresi tidak enak hati.Alice berusaha menutupi ruam di kulitnya.
“Kenapa kamu ngajak ketemuan di sini?” Jaya bertanya seraya mengambil posisi duduk di samping Belvina. Posisi mereka sedikit berjarak dari Silmi yang ikut menemani setelah disogok dengan makanan. Jika tanpa Silmi, ia tidak akan memiliki alasan untuk terlambat pulang.Belvina tidak menjawab selama beberapa waktu. Ia hanya diam dengan helaan napas yang terdengar begitu berat. Gadis itu menatap, memberikan sorot yang begitu melenakan.“Alice sudah memberitahuku.” Gadis itu berucap dengan lemah.Ekspresi Jaya seketika berubah. Senyum di sudut bibirnya menghilang begitu saja. Ia menatap tidak percaya.“Aku ingin bertanya padamu untuk validasi. Sebenarnya apa yang terjadi? Orangtuaku marah jika aku bertanya tentang Alice.” Nada bicaranya terdengar begitu menuntut. Sorot matanya begitu dalam, seakan ingin menyelami apa yang ada dalam pikiran Belvina.Jaya terdiam untuk waktu yang lama. Ia tahu semuanya karena kedua orangtuanya telah membongkar kisah lama. Rasanya sakit sakit jika mengulang c
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener