“Ma, papa pernah selingkuh, ya?” Belvina bertanya pada Livy selepas mereka selesai makan malam bersama.“Heh? Kenapa tiba-tiba nanya begitu?” Livy dibuat terkejut akan pertanyaan yang diberikan oleh putri sulungnya.“Mama sama papa dulu pisah karena papa selingkuh?” Belvina kembali menanyakan hal yang serupa. Ia tahu jika kedua ornagtuanya pernah pisah sebelum akhirnya kembali memutuskan hidup bersama demi dirinya. “Iya kan, Ma?” Belvina kian mendesak jawaban. Ia benar-benar ingin tahu mengenai Alice yang ia temui di sekolah siang tadi, sebab garis wajahnya yang sangat mirip dengan Leonel.“Kenapa? Ada apa? Cerita sama mama.” Livy berusaha menggali informasi. Sebab, Belvina tidak akan berhenti bertanya sebelum ia puas dengan jawabannya.“Ada anak baru di sekolah yang mirip sama papa.” Belvina memberitahu dengan wajah kesal, menunjukkan bahwa ia tidak suka dengan adik kelasnya itu.Livy tertawa tipis. “Itu biasa, kan manusia di dunia ini ada milyaran. Wajar kalau ada yang mirip.”“Tapi
Robin tiba di bandara menjelang malam. Lelaki itu menghirup udara kota kelahiran dengan sangat dalam. Setelah lima belas tahun, akhirnya ia kembali dari negeri rantauan. Ia akan menepati janjinya pada Airin, mencari dan menemui putranya sebagai orang asing.Lima belas tahun bukan waktu yang gampang dilewati dengan hati yang diselimuti oleh kerinduan mendalam. Ia selalu rindu Airin sepanjang waktu. Setiap detik, setiap menit, setiap helaan napas yang ia hirup. Ada rasa rindu yang menggunung di dalam dada yang hampir meledak karena tidak pernah ada temu di antara mereka. Apalagi ia tidak tahu seperti apa wajah putranya. Ia tidak ingin mengganggu hidup Airin, sebab ia pikir Airin akan bahagoa jika ia tidak lagi menunjukkan wajahnya.“Opaaa!” Belvina melambaikan tangan. Menyambut dengan penuh girang. Setelah ratusan kali berbicara lewat video call, akhirnya kakek dan cucu itu bertemu juga.Belvina berlari menuju Robin, memeluk lelaki paruh baya itu tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Mere
“Kamu cantik sekali. Siapa namamu? Ibumu pasti bangga punya anak sepertimu.” Airin berucap dengan senyuman ketika Alice memandikannya pagi ini.Alice tersenyum getir. Kedua sudut bibirnya tertarik ke samping membentuk simpul senyum, tapi hatinya menangis ketika ibunya tidak mengenali dirinya.“Alice.” Alice menjawab dengan lembut. Ia gosok tubuh ibunya dengan penuh kasih sayang. membersihkan semua kotoran yang menempel di kulit putihnya.Ada banyak luka yang bisa Alice tangkap dari sorot mata yang ia terima. Luka yang hanya Airin bisa merasakannya.“Alice?” Airin bertanya memastikan. “Putriku juga namanya Alice. Dia cantik sekali, anaknya baik dan penurut. Aku benci pada diriku karena belum bisa jadi ibu yang baik. Aku selalu melarangnya ini dan itu. Kau tahu, ada banyak orang jahat di luar sana kan. Aku hanya ingin melindungi putriku. Aku tidak ingin dia merasakan apa yang sudah kurasakan. Rasanya sakit sekali.” Airin berucap seraya memukul dadanya, sebab merasa sesak saat berucap de
Alice tidak bisa konsentrasi sama sekali. Tubuhnya ada di sekolah, tapi pikirannya berada di rumah. Ia tidak sabar ingin lekas pulang, sebab ingin cepat-cepat bertemu dengan sang ibu. Gadis itu menatap ke luar jendela. Menyorot jauh ke depan sana. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Tampak wajah ibunya tergambar di atas awan.Bel pulang terdengar berbunyi. Alice bangkit berdiri, menyandang tas dan lekas menyerobot keluar dari kelas setelah guru keluar lebih dulu.“Tuh anaknya sudah keluar.” Silmi menunjuk Alice yang tengah berlari.Belvina menatap ke arah jari telunjuk Silmi. Tatapannya tampak begitu tajam, seakan hendak menikam.Alice berlari tanpa memerhatikan sekitar. Ia bahkan tidak fokus pada jalan. Saat melewati Belvina, ia terjatuh karena tersandung oleh kaki Belvina yang terjulur.“Sialan.” Alice mengumpat seraya kembali bangkit berdiri. Tampak sikunya memar karena terbentur dengan lantai.“Makanya, kalau jalan itu hati-hati. Ini sekolah, bukan jalur lomba lari.” Belvina tertaw
“Robin.” Arie tampak sangat terkejut ketika mantan sahabat lamanya itu datang berkunjung. Sudah lama sekali semenjak mereka terakhir bertemu.Arie tampak sangat gelisah. Ada rasa takut yang luar biasa memenuhi hati dan pikiran. Ia menoleh ke semua sudut ruangan, berharap Alice ataupun Airin tidak muncul dan bertemu dengan lelaki paruh baya itu.Suara gelak tawa terdengar dari arah dalam sana. Itu suara Jaya dan Arka yang tertawa setelah berhasil membuat Alice kesal. Mereka suka sekali menggodanya. Menganggap gadis itu seperti adik mereka.Arie tampak semakin gelisah. Ia tidak ingin Robin mencium keberadaan Airin dan Alice di sana. Biarkan saja semua orang berpikir jika Airin menghilang bersama putranya.“Jangan ih! Mami, lihat tuh Om Arka!”“Arka! Jangan diganggu Alice-nya!”Rumah itu terdengar ramai meski anak-anak mulai tumbuh dewasa.“Mau apa?” Arie berusaha mengalihkan perhatian Robin dari keributan yang diciptakan oleh anak-anak dari ruang keluarga.“Alice itu putriku?” Robin la
“Alice! Alice!” Terdengar teriakan Airin berasal dari dalam sebuah kamar. Disusul dengan barang-barang yang dibanting ke lantai.“Airin?” Robin tersentak mendengar suara itu. Ia spontan bangkit berdiri, hendak mencari sumber suara agar bisa bertemu dengan Airin. Ia harus memastikan jika Alice benar-benar putri mereka.“Mau ke mana kau?” Arie langsung menahan langkah Robin. Tidak ia benarkan lelaki itu untuk menjelajahi rumah lebih dalam lagi.“Alice!” Teriakan Airin semakin histeris. Teriakan itu terdengar seperti orang yang tengah menahan rasa takut.“Itu Airin?”“Airin tidak ada di sini.” Arie berusaha menutupi. Ia tidak ingin kondisi Airin semakin parah jika wanita itu bertemu dengan Robin.“Apa yang terjadi? Airin baik-baik saja?” Robin dibuat khawatir.“Itu bukan urusanmu. Kau yang sudah menghancurkan hidupnya, jadi tolong cepat pergi dari sini sebelum aku menghubungi polisi untuk menyeretmu keluar dari sini.”“Airin!” Robin memanggil dengan suara tinggi. Lelaki itu memberontak d
Robin berdiri di depan pagar tinggi menjulang. Sebab, ia tidak diizinkan untuk masuk sama sekali. Sudah lama lelaki itu berdiri di sana, menunggu seseorang membukakan pintu gerbang untuknya. Dari kejauhan, ia melihat Airin dan Alice yang tengah merawat tanaman di taman sisi kanan halaman.Halaman rumah itu memang sangat luas. Bahkan dari pintu gerbang ke rumah cukup jauh untuk dilewati dengan berjalan kaki.“Alice!” Robin memanggil dengan setengah berteriak.Alice mendengar, hanya saja ia mengabaikan. Gadis itu sudah lelah karena merasa selalu diganggu oleh Robin. Ia tidak suka, apalagi Robin selalu memancing keributan setiap kali mereka berjumpa.“Kamu suka bunga apa?” Alice bertanya dengan lembut. Jemarinya menuntun tangan Airin untuk menyentuh tanah menanam bunga. Seperti artikel yang pernah ia baca. Energi negative yang ada pada diri akan diserap oleh bumi jika kita menyatu dengan alam.“Alice suka bunga mawar.” Airin berucap dengan senyuman. Yang ada di pikiran dan hatinya hanya
[Aku ada kelas tambahan. Kamu pulangnya naik taksi aja atau minta dijemput sama Bang Arka.] Alice membaca pesan yang masuk dari Jaya.Gadis berhidung mancung itu menghela napas dengan berat. Ia memesan ojek online, sebab tidak ingin merepotkan Arka yang kantornya berlainan arah dengan sekolah.Belvina masih tidak terima akan tamparan yang ia dapatkan. Sungguh, ia tidak mengira jika Alice akan berani melawan. Apalagi kerap kali guru selalu membela dirinya dan menghukum Alice setiap kali mereka terlibat pertengkaran.Lingkungan sekolah sudah tampak sunyi. Hanya beberapa siswa yang tersisa menunggu jemputan. Belvina melangkah mendekat. Hendak mendorong Alice ke jalan raya yang ramai dilewati oleh kendaraan lalu-lalang.“Vina!” Panggilan itu menghentikan aksi Belvina.“Opa.”Alice menoleh ke belakang. Menatap Belvina yang hanya berjarak beberapa senti dari dirinya.“Mau ngapain kamu?” Alice menatap dengan penuh selidik. Ia harus sangat berhati-hati mulai sekarang.“Apa?” Belvina memasang
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener