Hantaman yang Lenzy berikan benar-benar memberikan efek yang sangat besar. Robin dirawat di rumah sakit dan belum sadarkan diri hingga kini. Dokter menjelaskan terjadi luka dalam yang cukup serius, sehingga lelaki itu terjatuh dalam koma. Antara hidup dan mati.Alex yang cukup paham dunia kedokteran, tidak terima begitu saja dengan kondisi ayahnya. Ia melaporkan Lenzy ke pihak berwajib agar mendapatkan hukuman yang setimpal. Ia didakwa atas percobaan pembunuhan.Airin dibuat begitu kelimpungan ketika ibunya diseret menuju kantor polisi. Ia tidak bisa melakukan apa pun. Karena terbiasa disokong oleh kedua orang tua, ia tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendirian bersama neneknya yang sudah tua.“Mi ….” Airin bangkit berdiri ketika seorang petugas membawa Lenzy dari sel tahanan untuk menemui Airin. Sudah tiga hari Lenzy dtahan, seraya menunggu persidangan. Sebab, bukti kuat sudah ada berupa rekaman CCTV.“Airin.” Lenzy memeluk putrinya dengan perasaan yang tidak bisa didefenisikan. C
“Gila!” Airin tertawa mendengar jawaban Leonel. Bagaimana mungkin mereka menganggap pernikahan sebagai permainan? Dia seakan tidak memiliki harga diri yang dioper ke sana ke mari. Bapak dan anak ternyata sama saja. Pikirannya tidak ada yang waras. Pantas saja Robin menduda selama itu tanpa ada wanita di sisinya. Ternyata ia red flag untuk dijadikan pasangan.Airin tidak lagi ingin merendahkan harga diri. Ia berbalik, lalu beranjak pergi. Sepanjang perjalanan ia bertanya-tanya dalam hati. Mengapa dulu ia bisa jatuh cinta pada dua lelaki itu hanya karena fisiknya yang memikat hati.Airin menghentikan taksi setelah ia berjalan cukup jauh dari area rumah sakit. Saran dari Leonel barusan membuka hati dan pikirannya. Bisa-bisanya ia lupa jika ia masih punya Arie yang bisa dimintai pertolongan. Persetan dengan sakit hati yang masih berbekas hingga kini. Masa bodo dengan hinaan yang akan kembali ia dapatkan nanti. Inilah saatnya ia membalas budi pada Lenzy.Taksi berhenti ketika ia tiba di ge
“Kau baru datang, dan sekarang kau mau pergi lagi? Apa kau tidak merindukan papi? Ayo kita temui mami.” Arie berucap dengan suara serak. Ia cekal lengan Airin ketika wanita itu hendak beranjak pergi.Airin kembali berbalik, ia tatap lelaki paruh baya itu dengan sorot begitu dalam. Matanya tampak berkaca-kaca. Tidak percaya jika ayahnya ingin mengulurkan tangan untuk membantu diirnya setelah apa yang ia lakukan hingga sejauh ini.“Makasih, Papi. Airin sayang Papi.” Airin kembali menenggelamkan diri ke dalam pelukan Arie. Menumpahkan segala perasaan yang ada dalam hati.“Papi juga sayang sama kamu.” Arie membalas pelukan itu. Ia kecup puncak kepala Airin berulang kali.Mobil lain menyusul dari belakang sana. Mobil yang dikendarai oleh supir, mengantar anak-anak menuju sekolah masing-masing. Arka akan mulai masuk SD tahun depan, sementara Jaya masih harus TK. Mobil itu berhenti, sebab jalan keluarnya dihalangi oleh mobil Arie.Arka dan Jaya lekas turun dari mobil ketika mereka melihat Ai
Setelah menunggu untuk waktu yang cukup lama, akhirnya persidangan dilakukan secara tertutup. Airin datang bersama ayah dan neneknya, didampingi pengacara kelas kakap yang disewa oleh Arie. Sementara di pihak penuntut ada Alex bersama Leonel dan pengacara dari pihak mereka yang tampak cukup cakap dalam berbicara.Airin terlihat begitu gelisah. Ini hari penentuan, entah hukuman apa yang akan Lenzy dapatkan. Ia tidak mengira jika tindakan yang ia lakukan akan membuat ibunya berada di situasi sepelik ini. Ia menggigit bibir bawahnya untuk mengurangi rasa gugup. Memainkan ujung-ujung jarinya agar hati bisa sedikit lebih tenang.Arie menoleh menatap sang putri. Ia bisa merasakan kegelisahan yang dirasakan oleh Airin. Diraihnya telapak tangan wanita itu, lalu ia bawa ke dalam genggaman. Telapak tangan itu terasa dingin dan basah.“Pi ….” Airin meremas lembut punggung tangan ayahnya dengan telapak tangan yang lain.“Apa pun keputusannya, itu yang terbaik buat mami. Kita harus terima.” Arie m
Hari ini hari pertama Alice mulai masuk SMA. Karena Arka harus ke kantor sebagai pekerja magang sembari menunggu jadwal wisuda, terpaksa Jaya yang mengantar keponakannya meski mereka belum berbaikan sejak kemarin lusa.Alice tampak kesal berpegangan pada besi penyangga. Sepanjang perjalanan mereka tidak ada bertukar kata sama sekali. Mereka seperti sepasang kekasih yang tengah bertengkar. Raut wajah gadis cantik itu terukir dengan jelas bahwa ia tengah menahan kesal.Motor berhenti ketika mereka tiba di depan gerbang sekolah. Alice turun dengan wajah merungut, tidak mengatakan apa pun ketika ia hendak beranjak memasuki gerbang.“Sopan banget jadi anak, tangan sudah terulur pun tidak disambut. Itu helm dilepas!” Jaya berkomentar.Alice berhenti melangkah, ia berusaha melepas helm yang terpasang di kepalanya. Namun, gadis itu tampak kesulitan karena pengaitnya susah dilepas.“Kalau tidak bisa, minta tolong!” Jaya mengingatkan.Alice berbalik, melangkah mendekat seraya menyodorkan kepalan
“Ma, papa pernah selingkuh, ya?” Belvina bertanya pada Livy selepas mereka selesai makan malam bersama.“Heh? Kenapa tiba-tiba nanya begitu?” Livy dibuat terkejut akan pertanyaan yang diberikan oleh putri sulungnya.“Mama sama papa dulu pisah karena papa selingkuh?” Belvina kembali menanyakan hal yang serupa. Ia tahu jika kedua ornagtuanya pernah pisah sebelum akhirnya kembali memutuskan hidup bersama demi dirinya. “Iya kan, Ma?” Belvina kian mendesak jawaban. Ia benar-benar ingin tahu mengenai Alice yang ia temui di sekolah siang tadi, sebab garis wajahnya yang sangat mirip dengan Leonel.“Kenapa? Ada apa? Cerita sama mama.” Livy berusaha menggali informasi. Sebab, Belvina tidak akan berhenti bertanya sebelum ia puas dengan jawabannya.“Ada anak baru di sekolah yang mirip sama papa.” Belvina memberitahu dengan wajah kesal, menunjukkan bahwa ia tidak suka dengan adik kelasnya itu.Livy tertawa tipis. “Itu biasa, kan manusia di dunia ini ada milyaran. Wajar kalau ada yang mirip.”“Tapi
Robin tiba di bandara menjelang malam. Lelaki itu menghirup udara kota kelahiran dengan sangat dalam. Setelah lima belas tahun, akhirnya ia kembali dari negeri rantauan. Ia akan menepati janjinya pada Airin, mencari dan menemui putranya sebagai orang asing.Lima belas tahun bukan waktu yang gampang dilewati dengan hati yang diselimuti oleh kerinduan mendalam. Ia selalu rindu Airin sepanjang waktu. Setiap detik, setiap menit, setiap helaan napas yang ia hirup. Ada rasa rindu yang menggunung di dalam dada yang hampir meledak karena tidak pernah ada temu di antara mereka. Apalagi ia tidak tahu seperti apa wajah putranya. Ia tidak ingin mengganggu hidup Airin, sebab ia pikir Airin akan bahagoa jika ia tidak lagi menunjukkan wajahnya.“Opaaa!” Belvina melambaikan tangan. Menyambut dengan penuh girang. Setelah ratusan kali berbicara lewat video call, akhirnya kakek dan cucu itu bertemu juga.Belvina berlari menuju Robin, memeluk lelaki paruh baya itu tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Mere
“Kamu cantik sekali. Siapa namamu? Ibumu pasti bangga punya anak sepertimu.” Airin berucap dengan senyuman ketika Alice memandikannya pagi ini.Alice tersenyum getir. Kedua sudut bibirnya tertarik ke samping membentuk simpul senyum, tapi hatinya menangis ketika ibunya tidak mengenali dirinya.“Alice.” Alice menjawab dengan lembut. Ia gosok tubuh ibunya dengan penuh kasih sayang. membersihkan semua kotoran yang menempel di kulit putihnya.Ada banyak luka yang bisa Alice tangkap dari sorot mata yang ia terima. Luka yang hanya Airin bisa merasakannya.“Alice?” Airin bertanya memastikan. “Putriku juga namanya Alice. Dia cantik sekali, anaknya baik dan penurut. Aku benci pada diriku karena belum bisa jadi ibu yang baik. Aku selalu melarangnya ini dan itu. Kau tahu, ada banyak orang jahat di luar sana kan. Aku hanya ingin melindungi putriku. Aku tidak ingin dia merasakan apa yang sudah kurasakan. Rasanya sakit sekali.” Airin berucap seraya memukul dadanya, sebab merasa sesak saat berucap de
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener