"Sudah, ya? Besok kita cari sama-sama. Sekarang sudah malam, waktunya kita melanjutkan tentang kita." Kalimat terakhir yang diucapkan Mas Gio.
Degh!
Te-tentang kita? Tentang apa? Yang tadi? Ya, ampun. Apa aku harus semalaman di dalam lemari dengan baju-baju dan sprei yang terlipat rapi? Lalu, mereka melanjutkan ....
Aku menutup mata. Aku tidak mendengar apa pun. Begitulah aku meyakinkan diri di tengah tragedi ranjang bergoyang yang membuat hati ini terasa panas.
Kakiku yang sejak tadi dilipat terasa sulit digerakkan karena tidak juga berubah posisi. Aku memukul-mukulnya pelan untuk menghilangkan kebas. Keadaan yang sempit dan pengap membuat aliran air yang keluar dari pori-pori kulit bercucuran di dahi dan membasahi sebagian badanku.
Aku berusaha menampik apa yang kudengar dengan menutup telinga rapat-rapat. Namun, tetap saja suara gaduh mereka sampai ke telingaku. Dalam dada berdegup kencang, bagaimana caranya aku bisa pergi agar tidak mendengar p
Aku kembali menatap layar memperhatikan satu persatu foto, kemudian fokus pada satu video. Di situ, Mbak Sari tampak berbaring di ranjang seperti rumah sakit. Lalu, dokter menyuntikkan sesuatu di tangan Mbak Sari dan menepuk-nepuknya setelah beberapa saat.Tunggu, kenapa dia disuntik di lengan? Bukannya untuk memasang IUD hanya disuntik di bagian leher rahim? Lalu, operasi apa yang sedang dilakukan Mba Sari itu?!"Rimaaaaar ...." Lani mengejutkanku dari belakang sambil menepuk bahu.Sontak langsung kumatikan video yang baru berlangsung sekitar lima menit. Lalu, aku matikan ponsel dan meletakkannya kembali di meja."Nonton apa, sih?""Cuma ... nonton drakor, Lan." Kujawab asal saja padahal aku tak pernah menontonnya sama sekali, hanya sering mendengarnya saja."Ooh, drakor, ya? Judulnya apa? Mau, doong ... semua judul udah kulahap habis, nih.""Itu drakor apa gorengan?""Hahaha." Lani malah dan Bu Hani malah tergelak.
Dia dengan lihainya memacu kendaraan roda dua yang masih terlihat baru itu, badannya meliuk-liuk seperti Mark Marquez membelah jalanan kota Jakarta yang sangat padat. Beruntung hari sudah menjelang sore, cuaca agak teduh dan mendukung aku untuk berinvestigasi.Dalam waktu tujuh menit, aku sudah sampai di Wisma Tulip dari yang seharusnya dua puluh menit. Sebelumnya, aku meminta sang driver untuk berhenti di samping wisma itu agar tak terlalu kentara.Kemudian, aku memberinya tips lebih karena berhasil mengantar dengan kilat ekspres halilintar walaupun saat aku melihat wajah si pengemudi sudah tak jelas bentuknya.Setelah si driver pergi, aku berjalan mengendap di depan pagar dan bersembunyi di bawah pohon palem. Karena terlalu jauh jaraknya, aku sampai tak bisa melihat apa pun. Akhirnya, kuputuskan untuk sedikit mendekat dan bersembunyi di balik bekas batang pohon besar yang pernah ditebang, karena tak ada tempat lain untuk bersembunyi.Aku memperhatikan g
"Abah ...?""Rimar, kenapa? Tumben telepon Abah malam-malam?""Baaah ...?""Kenapa? Anak Abah nangis?"Aku tak bisa menahan isak tangis yang disebabkan Mas Gio. Hatiku benar-benar seperti ditusuk ribuan jarum."Baah, Rimar mau pulang ....""Kenapa pulang? Tak betah di sana?""Rimar mau pulang saja, Abaaah ...." Air mataku terus berderai. Aku berbaring dengan posisi miring dengan ponsel di antara telinga dan bantal."Ya sudah, Rimar di mana sekarang? Abah jemput ke rumah si Gio itu, ya?""Rimar ... Rimar di rumah sakit, Bah.""Astaghfirullahal'adzhiim!" Suara Abah memekakkan telinga. "Kenapa di rumah sakit?! Siapa yang bikin anak Abah dirawat di sana?!""Dokterlah, Baah.""Terus si Gio ke mana?""Hm ...?""Tuh, kan! Pasti gara-gara anak gila itu. Sudah, sekarang Abah jemput ke rumah sakit, ya?""Iya, Bah."Aku terpaksa melepas jarum infus yang menempel di lengan walau
Mata Abah begitu membesar dan bulat sempurna karena terhenyak dengan ucapan menantu yang tak diharapkannya itu. Ia menaikkan kaki hendak melangkahi meja."Gio!"Namun, mama mertuaku bergerak lebih cepat. Beliau menarik bahu putranya, mendorong ke kursi, lalu--PlakDua kali tamparan menyerang pipinya."Ma ...?""Jangan bicara lagi! Mama tak pernah mengajarkan kamu menjadi anak yang kurang ajar. Mama sekolahkan kamu tinggi-tinggi supaya berpendidikan dan beradab. Tapi nyatanya, kamu hanya mempunyai pangkat tanpa etika! Mama malu dengan tingkah kamu, Gio!""Ma, sudah. Mas Gio hanya berkata yang sebenarnya. Mungkin dia sedang emosi jadi tidak sadar berkata seperti itu.""Kamu jangan membela suamimu kalau dia bertingkah seperti ini, Sari?! Mama tidak mau kelak cucu Mama diwariskan sifat kurang ajarnya.""Kenapa selalu Gio yang disudutkan, Ma? Apa Mama lebih sayang Rimar daripada Gio--anak Mama, sekarang?!"
"Coba lihat dulu yang ini ...." Mbak Indah menunjukkan bagian video yang membuatku langsung tercengang.[Baiklah, anggap Mama tahu asal-usulnya, tapi siapa yang tahu juga kalau anak yang dikandungnya bukan benar-benar anak Gio, Ma. Kita tidak bisa membaca akal busuk dan hatinya ....]Mbak Indah menarik ponselnya dengan gesit saat aku mencoba merebut untuk menghapus video itu. Sial. Aku kalah cepat."Jadi, bener, kan kalau kamu simpanan Pak Sergio?""Bukan urusanmu, Mbak.""Wah, berita besar banget ini, sih?""Kenapa, sih, kalian selalu ikut campur urusan orang! Apa untungnya buat kalian!""Kamu tanya untung? Jum, kalau berita ini dijual kira-kira dapat harga berapa, ya?" Mbak Indah membolak-balikkan matanya ke kanan dan kiri sambil bertanya pada Jumini teman sesama biang gosipnya."Lumayan, Ndah. Mungkin bisa beli motor baru. Ya, kan? Apalagi berita terpanas bulan ini dari seorang pengusaha produk kecantikan yang udah ter
Mbak Sari dan lelaki tadi sudah duduk di dalam mobil. Mereka terlihat sedang berdiskusi serius dengan posisi si lelaki duduk menghadapnya.Kemudian, tangan si lelaki menyentuh rahang Mbak Sari, menolehkan wajahnya agar bisa saling berhadapan.Si lelaki mendekatkan wajah, menatap intens, lalu mengusap lembut pipinya. Aku bisa melihatnya dari jauh kalau tatapan mereka tak biasa, terutama si lelaki. Akan tetapi, Mbak Sari malah mengembalikan posisi duduk ke semula menghadap ke depan. Tampaknya, ia sedang menangis karena wajahnya langsung tertunduk.Lelaki berpakaian kasual dengan paras eksotis itu mengusap air mata di kedua pipi Mbak Sari. Lalu, meraih dan merapatkan tangan Mbak Sari ke wajahnya.Siapa lelaki itu? Sikapnya tampak drastis sekali, sangat berbeda 180 derajat dari lelaki yang berusaha mengejarku kemarin. Sepertinya, dia baik. Aah, aku ini bodoh, mana ada lelaki baik kalau mendekati istri orang lain.Dia Widuri atau L? Aku tak bisa m
“Lisa?! Apa yang kamu lakukan?”Lisa terperangah mendengar namanya dipanggil dari arah belakangku.“Eh, Mama. Em ... ini ... cuma lagi mengobrol aja sama Mbak Asri dan Kak Rimar.” Dia bilang mengobrol? Sejak tadi dia sibuk mencerca dan mengata-ngatai masakanku, bisa-bisanya dia berkilah.“Mengobrol apa sampai teriak-teriak begitu?”“Emh ....”“Lisa? Mama tidak mau, ya, kamu punya sifat buruk suka mencela orang.”“Aku gak mencela, Ma. Aku cuma kasih tahu Kak Rimar kalau masakannya terlalu pedas.”“Standar pedas orang, kan, beda-beda, Lisa. Lagi pula, kenapa kamu minta kakak iparmu memasak? Di sana, kan, ada Mbak Asri dan asisten lainnya juga. Sejak kapan kamu jadi bertingkah begini, sih, Lisa? Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk menghina orang lain, apalagi mencela makanan! Kalau tidak suka, cukup diam dan tinggalkan. Paham?!Kulihat Lisa bergeming d
“Mas, jangan tidur.” Aku memanggilnya ketika melihat ia merebahkan tubuh di ranjang. “Memang kenapa? Saya lelah seharian tadi bertemu klien.” “Ini sudah mau Magrib. Sebaiknya, Mas salat dulu, lalu makan malam.” “Salat?” “Iya ... salat. Kenapa? Kok, kelihatan bingung?” Mas Gio yang sedang telentang dengan dua tangan bertumpang tindih di bawah kepala mengubah posisinya mejadi setengah duduk. “Kenapa? Kamu tidak salat?” Dia hanya bergeleng-geleng menjawab pertanyaanku. Aku dibuatnya semakin bingung. “Selama ini?” Dia juga hanya mengangguk membenarkan tebakan asalku. “Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.”Aku spontan berseru menyebut nama Allah. “Siapa yang meninggal?” Ya, ampuun ... dia malah bertanya dengan polosnya. Ya, Allah apa benar ia suamiku? Salah apa aku sampai ditakdirkan dengan lelaki tampan, kaya, garang dan tak pernah salat seperti ini? Aku berharap mendapatkan suami
“Saya menceraikanmu, Rimar.”“Sergio!” pekik Mama.Mas Gio menghela napas dalam-dalam, lalu diembuskannya dengan keras. Aku yang masih menunduk, melihat sepasang sepatu yang dipakainya melangkah menuju pintu. Mataku yang berurai air mata terus melirik mengikuti suara entakannya sampai aku tak melihat sosoknya lagi hanya dalam hitungan detik. Pintu pun kembali tertutup rapat. Dia pergi.“Huh, baguuus. Dari dulu, kek!” sindir Lisa sekonyong-konyong, tetapi aku tak menggubrisnya sama sekali.“Rimaar?”Panggilan Mama membuyarkan lamunanku.Aku segera berdiri sambil berusaha menyeka air mata dengan tanganku, kemudian menghampiri Mama yang sudah menantiku.“Iya, Ma,” jawabku sambil terisak. Suaraku pun berubah jadi serak.Aku duduk di kursi bulat di samping Mama. Beliau menarik tanganku lalu diusap-usapnya dengan lembut.“Rimar, kamu yakin sama keputus
“Sari, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku akan melayangkan gugatan cerai ke pengadilan secepatnya.”Mbak Sari hanya memandang Mas Gio dengan tatapan kosong dan ekspresi datar. Mungkin, situasi seperti itu yang sudah lama diharapkan olehnya. Sementara itu, windu hanya berdiri tanpa pergerakan di tempatnya tersungkur tadi.“Te-terima kasih, Mas.” Mbak Sari menghapus kristal bening yang hampir menetes di sudut matanya.“Mulai sekarang aku tidak peduli lagi dengan urusanmu dan semua yang berkaitan tentang kamu.”“Mas?” Aku memanggilnya dengan lirih.“Ya?”“Tolong ceraikan aku juga!”Mas Gio mengerutkan dahi. “Rimar, saya menceraikan Sari bukan kamu,” katanya dengan tatapan mata menyalang.“Aku tahu. Makanya, sekarang juga aku minta Mas ceraikan aku.”“Tapi, kenapa?”“Aku gak bisa lagi hidup
“Mas?”“Pak Sergio?”Dokter Arin menatap Mas Gio, kemudian menatap bergantian lelaki yang datang bersama Mbak Sari.“Ada apa ini?!” Mas Gio menghampiri Mbak Sari dan menarik tangannya: memaksa untuk bangun dari perbaringan. Dengan berat hati, Mbak Sari mengikuti paksaan Mas Gio.“Maaf, kalau ini Pak Sergio, lalu Anda siapa?!” tanya Dokter Arin menyelisik pria tak dikenal yang ia sangka Mas Gio.Kedua mata Mas Gio dan Dokter Arin menyiratkan kilatan amarah. Lantas, Dokter Arin meletakkan dengan kasar alat yang tadi dipegangnya ke nampan tempat peralatan medisnya.“Sari, jelaskan apa yang kamu lakukan!” Mbak Sari tetap bergeming meskipun Mas Gio mengguncang-guncang tubuhnya.Karena Mbak Sari tetap diam, akhirnya lelaki yang tengah berpakaian kasual tersebut bertanya pada Dokter Arin. Dokter pun menjelaskan kalau Mbak Sari sedang melakukan operasi kecil untuk melepas KB Implan.
Tiba-tiba, aku merasakan getaran dari ponsel yang kutaruh di saku celana. Siapa yang meneleponku di waktu Subuh? Segera kutarik ponsel dari saku, ternyata Mas Gio yang menelepon.“Halo, assalamau’alaikum, Mas.”“Halo, dengan Nyonya Sergio?”Nyonya? Siapa ini? Lalu, ke mana Mas Gio? Siapa yang mengambil ponselnya?“Iya, benar. Ini siapa?”“Saya dari M2 Club Malam mau mengabari kalau Tuan Sergio pingsan.”“Pingsan? Terus ada siapa di sana, Mas? Teman atau seseorang yang menemaninya?”“Tidak ada, Nyonya. Tadi Tuan hanya datang sendiri dan minum banyak sampai akhirnya pingsan.”“Baik, tolong jaga dia, ya, Mas. Saya segera ke sana. Terima kasih.”Setelah menutup sambungan telepon, aku segera melipat mukena dan bergegas pergi ke Club M2. Aku tidak tahu di mana lokasinya dan harus ke arah mana kalau pergi dengan angkutan umum. Sebaiknya, a
Dalam perjalanan ke rumah sakit itu, Mas Gio menghubungi Mbak Sari. Ia hanya menceritakan bahwa papanya diciduk polisi, tetapi tidak menceritakan detail kejadian yang terjadi.“Kamu kenal Pak Akala?” tanya Mas Gio sambil menyetir. Kulihat peluh berembun di sekitar dahi sampai membasahi rambutnya yang menutupi. Matanya terlihat berat seperti menahan kantuk. Dia pasti sangat kelelahan, belum satu masalah selesai sudah datang masalah baru.“Hah? Ti-tidak,” ucapku berbohong.“Terus, kenapa dia sampai membuatmu jadi korban?” Benar juga, dia pasti penasaran kenapa sampai Pak Akala membuatku menderita. Padahal, di rumah itu ada beberapa orang ART yang bisa saja dia jadikan korban. Namun, saat itu jelas sekali kalau dia sedang menunggu seseorang, yang tidak lain adalah aku.“Hmm, sebenarnya ....” Tekadku maju-mundur untuk menjelaskan pada Mas Gio. Apa lebih baik aku menceritakan semuanya saja?“He
Baru saja akan berbelok ke arah pintu masuk, ada dua orang berpakaian serba hitam seperti lelaki sebelumnya, mereka berusaha mengadangku. Sial! Dari mana munculnya kedua orang itu? Mana tubuhnya besar-besar semua, lebih besar dibanding pria yang menodongkan pistol ke arahku.Aku berpikir keras ke mana lagi harus berlari? Aku tidak tahu banyak mengenai rumah besar itu. Ah, benar. Pintu belakang! Baru saja aku membalikkan badan, Pak Akala dan pengikutnya sudah berada di belakangku. Sementara itu, para ART histeris dan berusaha berteriak karena mengkhawatirkanku.Tidak! Hal yang kutakutkan akan segera terjadi, saat itu juga aku berada di antara mereka yang terus berjalan semakin dekat. Bahkan, aku tidak bisa mencari celah untuk bisa melarikan diri dari keempat pria itu. Satu hal yang lebih kucemaskan bukanlah diriku, melainkan calon anakku.Saat napasku terengah-engah, irama jantungku kembali berdegup kencang. Tetesan keringat pun menyapu kening dan mengaliri pelip
“Ha—Aku mendengar suara ceklekan menempel tepat di belakang kepala, membuat napasku terhenti sejenak dalam beberapa detik dan tak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba saja aku ingat kejadian persis beberapa waktu lalu.“Maaaas!” Aku sengaja memanggil Mas Gio dengan teriakan sebelum yakin ponselku direnggut.Dengan kecepatan tangannya, ponselku sudah berpindah tangan tepat setelah aku berteriak memanggil Mas Gio, tapi aku tidak tahu apa saat itu masih terhubung dengannya atau tidak! Debaran jantung serta otot-otot kakiku benar-benar melemah dan gemetar saat merasakan sesuatu di belakang kepalaku.“Jangan bergerak!” tegasnya membuatku menelan ludah.Suara siapa itu? Aku tidak mengenalnya. Suara itu sangat jauh berbeda dibandingkan saat aku terperangkap terakhir kali di ruang kerja Mas Gio.Lalu, terdengar langkah demi langkah ketukan sepatu dari arah belakang menuju ke sampingku. Aku masih belum bisa mel
“Loser.”“Apa?” Mas Gio tampak bingung. Ia tak mengerti sama sekali dengan maksud ucapan si pelaku.“Loser. Kata kuncinya.”“Hei, kau !” Pak Adit mengadang Mas Gio yang berusaha menyerang kembali si pelaku. “Kau pikir aku mengerti maksudmu memberi tahu kata kunci itu? Bicara yang jelas, tak usah gunakan kode-kode yang tidak ku mengerti!”“Begini, Pak. Kami juga tidak tahu siapa dia. Kami hanya menerima proyek yang diberikan agen kami. Dan dia juga hanya memberitahukan kode Loser itu sebagai si pemberi proyek.” Seorang pelaku lainnya angkat bicara.“Maksudmu, ada perantara lain di antara kalian?” Mas Gio tampak menutup sambungan telepon, padahal aku tidak mendengar dia mengakhirinya.“Benar, Pak.”“Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa tidak ikut ditangkap dengan kalian?!”“Dia sedang dalam pencarian karena sudah melari
“Halo, iya, Pak?”“Jadi, pelakunya sudah terlacak?”“Baik, baik, Pak. Saya ke sana sekarang.”Begitulah percakapan antara Mas Gio dan seseorang yang kudengar sampai sambungan telepon terputus. Lalu, dimasukkannya kembali ponsel dengan tiga kamera tersebut ke saku kemeja. Dengan tampang kuyunya, Mas Gio mulai menatap sayu kami dan berbicara.“Kalian tolong jaga Mama. Aku pergi dulu.”“Biar kutemani, Gi. Aku yang akan menyetir,” seru Pak Adit dengan antusias.Tanpa basa-basi lagi, aku mengekori di belakang mereka yang berjalan cepat. Namun, Mas Gio ternyata menyadari aku yang membuntutinya dan coba menghentikanku.“Mau ke mana kamu?”“Aku harus ikut. Aku mau tahu siapa pelakunya, Mas, karena aku merasa orang itu ada hubungannya dengan orang yang membekapku malam itu.”“Tidak usah, kamu sedang hamil.”“Ta