[Baiklah, anggap Mama tahu asal-usulnya, tapi siapa yang tahu juga kalau anak yang dikandungnya bukan benar-benar anak Gio, Ma. Kita tidak bisa membaca akal busuk dan hatinya ....]
Mbak Indah menarik ponselnya dengan gesit saat aku mencoba merebut untuk menghapus video itu. Sial. Aku kalah cepat.
"Jadi, bener, kan kalau kamu simpanan Pak Sergio?"
"Bukan urusanmu, Mbak."
"Wah, berita besar banget ini, sih?"
"Kenapa, sih, kalian selalu ikut campur urusan orang! Apa untungnya buat kalian!"
"Kamu tanya untung? Jum, kalau berita ini dijual kira-kira dapat harga berapa, ya?" Mbak Indah membolak-balikkan matanya ke kanan dan kiri sambil bertanya pada Jumini teman sesama biang gosipnya.
"Lumayan, Ndah. Mungkin bisa beli motor baru. Ya, kan? Apalagi berita terpanas bulan ini dari seorang pengusaha produk kecantikan yang udah ter
Mbak Sari dan lelaki tadi sudah duduk di dalam mobil. Mereka terlihat sedang berdiskusi serius dengan posisi si lelaki duduk menghadapnya.Kemudian, tangan si lelaki menyentuh rahang Mbak Sari, menolehkan wajahnya agar bisa saling berhadapan.Si lelaki mendekatkan wajah, menatap intens, lalu mengusap lembut pipinya. Aku bisa melihatnya dari jauh kalau tatapan mereka tak biasa, terutama si lelaki. Akan tetapi, Mbak Sari malah mengembalikan posisi duduk ke semula menghadap ke depan. Tampaknya, ia sedang menangis karena wajahnya langsung tertunduk.Lelaki berpakaian kasual dengan paras eksotis itu mengusap air mata di kedua pipi Mbak Sari. Lalu, meraih dan merapatkan tangan Mbak Sari ke wajahnya.Siapa lelaki itu? Sikapnya tampak drastis sekali, sangat berbeda 180 derajat dari lelaki yang berusaha mengejarku kemarin. Sepertinya, dia baik. Aah, aku ini bodoh, mana ada lelaki baik kalau mendekati istri orang lain.Dia Widuri atau L? Aku tak bisa m
“Lisa?! Apa yang kamu lakukan?”Lisa terperangah mendengar namanya dipanggil dari arah belakangku.“Eh, Mama. Em ... ini ... cuma lagi mengobrol aja sama Mbak Asri dan Kak Rimar.” Dia bilang mengobrol? Sejak tadi dia sibuk mencerca dan mengata-ngatai masakanku, bisa-bisanya dia berkilah.“Mengobrol apa sampai teriak-teriak begitu?”“Emh ....”“Lisa? Mama tidak mau, ya, kamu punya sifat buruk suka mencela orang.”“Aku gak mencela, Ma. Aku cuma kasih tahu Kak Rimar kalau masakannya terlalu pedas.”“Standar pedas orang, kan, beda-beda, Lisa. Lagi pula, kenapa kamu minta kakak iparmu memasak? Di sana, kan, ada Mbak Asri dan asisten lainnya juga. Sejak kapan kamu jadi bertingkah begini, sih, Lisa? Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk menghina orang lain, apalagi mencela makanan! Kalau tidak suka, cukup diam dan tinggalkan. Paham?!Kulihat Lisa bergeming d
“Mas, jangan tidur.” Aku memanggilnya ketika melihat ia merebahkan tubuh di ranjang. “Memang kenapa? Saya lelah seharian tadi bertemu klien.” “Ini sudah mau Magrib. Sebaiknya, Mas salat dulu, lalu makan malam.” “Salat?” “Iya ... salat. Kenapa? Kok, kelihatan bingung?” Mas Gio yang sedang telentang dengan dua tangan bertumpang tindih di bawah kepala mengubah posisinya mejadi setengah duduk. “Kenapa? Kamu tidak salat?” Dia hanya bergeleng-geleng menjawab pertanyaanku. Aku dibuatnya semakin bingung. “Selama ini?” Dia juga hanya mengangguk membenarkan tebakan asalku. “Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.”Aku spontan berseru menyebut nama Allah. “Siapa yang meninggal?” Ya, ampuun ... dia malah bertanya dengan polosnya. Ya, Allah apa benar ia suamiku? Salah apa aku sampai ditakdirkan dengan lelaki tampan, kaya, garang dan tak pernah salat seperti ini? Aku berharap mendapatkan suami
“Mas, jangan tidur.” Aku memanggilnya ketika melihat ia merebahkan tubuh di ranjang.“Memang kenapa? Saya lelah seharian tadi bertemu klien.”“Ini sudah mau Magrib. Sebaiknya, Mas salat dulu, lalu makan malam.”“Salat?”“Iya ... salat. Kenapa? Kok, kelihatan bingung?”Mas Gio yang sedang telentang dengan dua tangan bertumpang tindih di bawah kepala mengubah posisinya mejadi setengah duduk.“Kenapa? Kamu tidak salat?”Dia hanya bergeleng-geleng menjawab pertanyaanku. Aku dibuatnya semakin bingung.“Selama ini?”Dia juga hanya mengangguk membenarkan tebakan asalku.“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.”Aku spontan berseru menyebut nama Allah.“Siapa yang meninggal?” Ya, ampuun ... dia malah bertanya dengan polosnya.Ya, Allah apa benar ia suamiku? Salah apa aku sampai ditakdirk
Dengan senang hati aku bergegas pergi menuju kantor. Langkahku menjadi lebih ringan karena berbekal secuil informasi yang kudapatkan tadi. Sedikit demi sedikit, aku akan terus menggali informasi walaupun aku tak tahu ini untuk kepentingan siapa.“Rimar ....” Seseorang menyentuh bahuku saat hendak meninggalkan tangga terakhir bangunan rumah sakit. Aku menoleh cepat.“Eh ... Pak Adit?” Aku terperangah.“Apa yang kamu lakukan di rumah sakit? Ini, kan, jam kerja.”“Aah ... i-itu saya sedang kurang sehat, Pak. Jadi, saya minta resep dokter dulu.” Duh, aku jadi terpaksa berbohong. Apa aku ajak Pak Adit saja untuk menyelediki Mbak Sari? Lumayan, kan, bisa meringankan bebanku.“Sudah dapat resepnya?”“Sudah, Pak. Ngomong-ngomong Bapak sedang apa di sini?”“Saya ada janji bertemu orang di dekat sini, tapi mendadak orangnya berhalangan dan menunda pertemuan sian
“Emm ... Rimar. Bisa saya minta bantuan kamu?” Ia melepas kacamatanya dan bertanya dengan serius.“Boleh. Apa yang bisa saya bantu, Pak?”“Silakan duduk dulu.” Aku belum menuruti perintahnya dan malah berjalan mundur. Sementara itu, dia membuka-buka lacinya mencari sesuatu, lantas berdiri menghampiri aku yang masih berdiri. Mau apa dia?“Permisi, Rimar.”“Maaf, Pak.” Apa maksudnya permisi? Apa yang akan dia lakukan?“Permisi ... Rimaar. Saya mau membuka lemari di belakangmu.”“O-oh. Maaf.” Aku langsung menyingkir dari hadapannya. Malu sekali aku karena sudah berpikiran yang tidak-tidak. Aku memperhatikan Pak Adit membuka-buka pintu lemari besi dan mengambil segepok amplop putih yang bertumpuk di antara banyaknya map.Ia meletakkannya di meja, kemudian kembali bergelut dengan pekerjaannya. Tak lupa ia mencantolkan kaca mata di hidungnya yang seper
“Itu ... Mbak Sari, kan, Mas?” Aku menunjuk ke arah kanan depan yang agak jauh dari mejaku.Mas Gio menoleh, tanpa berkata-kata dia langsung mengambil langkah tanpa ragu. Sementara itu, aku mengikuti langkah cepatnya. Tanpa ekspresi apa pun, Mas Gio berjalan menghampirinya. Akan ada kejutan seperti apa hari ini?Dengan jarak yang semakin dekat, aku merasa ada yang janggal. Perawakan, paras, suara, dan ... sebuah geretan. Sekilas otakku berpusat pada suatu lokasi; penginapan serta pukulan itu. Hatiku mengerut seketika. Aku pun beringsut ketika tersadar dan kembali dari sebuah kejadian. Inisial “L”, gumamku.Bergegas aku duduk membelakangi di kursi terdekat tanpa menghampiri mereka. Aku hanya menyelisik dengan jarak tak lebih dari dua meter. Seharusnya, cukup untuk hanya mendengar percakapan mereka dengan jelas“Selamat siang, Pa?”“Oh, Gio?! Apa kabar, ayo duduk.” Kudengar suara kursi bergeser.
Dia menyeringai.Langkah kaki ini refleks bergerak mundur dengan tangan membentur daun pintu karena terkejut. Gejolak di dalam dada seketika bergemuruh hebat.“P-p-pak? A-ada apa?” Bibirku bergetar memaksakan diri untuk bertanya.Tanganku yang lain mengepal di dada, mencengkeram kain kerudung. Di depanku, pria tua itu berdiri kaku masih dengan seringainya dan tak bergerak sedikit pun. Justru, sikapnya itu semakin membuatku dilanda kepanikan.Mataku beredar mencari keberadaan orang lain selain kami. Namun, tak kutemukan seorang pun. Nahas! Ia mengikuti arah pandanganku untuk memastikan tak ada orang lain juga di sekitar sini, kemudian ia kembali melihatku dengan tatapan bengisnya yang mengerikan.Tangannya bergerak memegang erat bahuku.“Kamu Rimar? Perkenalkan, saya Akala Palevi.”Tunggu! Akala? Lalu inisial L itu apa? Bahkan dalam namanya tak ada satu pun berinisial L. Mbak Sari pasti memiliki makna ters
“Saya menceraikanmu, Rimar.”“Sergio!” pekik Mama.Mas Gio menghela napas dalam-dalam, lalu diembuskannya dengan keras. Aku yang masih menunduk, melihat sepasang sepatu yang dipakainya melangkah menuju pintu. Mataku yang berurai air mata terus melirik mengikuti suara entakannya sampai aku tak melihat sosoknya lagi hanya dalam hitungan detik. Pintu pun kembali tertutup rapat. Dia pergi.“Huh, baguuus. Dari dulu, kek!” sindir Lisa sekonyong-konyong, tetapi aku tak menggubrisnya sama sekali.“Rimaar?”Panggilan Mama membuyarkan lamunanku.Aku segera berdiri sambil berusaha menyeka air mata dengan tanganku, kemudian menghampiri Mama yang sudah menantiku.“Iya, Ma,” jawabku sambil terisak. Suaraku pun berubah jadi serak.Aku duduk di kursi bulat di samping Mama. Beliau menarik tanganku lalu diusap-usapnya dengan lembut.“Rimar, kamu yakin sama keputus
“Sari, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku akan melayangkan gugatan cerai ke pengadilan secepatnya.”Mbak Sari hanya memandang Mas Gio dengan tatapan kosong dan ekspresi datar. Mungkin, situasi seperti itu yang sudah lama diharapkan olehnya. Sementara itu, windu hanya berdiri tanpa pergerakan di tempatnya tersungkur tadi.“Te-terima kasih, Mas.” Mbak Sari menghapus kristal bening yang hampir menetes di sudut matanya.“Mulai sekarang aku tidak peduli lagi dengan urusanmu dan semua yang berkaitan tentang kamu.”“Mas?” Aku memanggilnya dengan lirih.“Ya?”“Tolong ceraikan aku juga!”Mas Gio mengerutkan dahi. “Rimar, saya menceraikan Sari bukan kamu,” katanya dengan tatapan mata menyalang.“Aku tahu. Makanya, sekarang juga aku minta Mas ceraikan aku.”“Tapi, kenapa?”“Aku gak bisa lagi hidup
“Mas?”“Pak Sergio?”Dokter Arin menatap Mas Gio, kemudian menatap bergantian lelaki yang datang bersama Mbak Sari.“Ada apa ini?!” Mas Gio menghampiri Mbak Sari dan menarik tangannya: memaksa untuk bangun dari perbaringan. Dengan berat hati, Mbak Sari mengikuti paksaan Mas Gio.“Maaf, kalau ini Pak Sergio, lalu Anda siapa?!” tanya Dokter Arin menyelisik pria tak dikenal yang ia sangka Mas Gio.Kedua mata Mas Gio dan Dokter Arin menyiratkan kilatan amarah. Lantas, Dokter Arin meletakkan dengan kasar alat yang tadi dipegangnya ke nampan tempat peralatan medisnya.“Sari, jelaskan apa yang kamu lakukan!” Mbak Sari tetap bergeming meskipun Mas Gio mengguncang-guncang tubuhnya.Karena Mbak Sari tetap diam, akhirnya lelaki yang tengah berpakaian kasual tersebut bertanya pada Dokter Arin. Dokter pun menjelaskan kalau Mbak Sari sedang melakukan operasi kecil untuk melepas KB Implan.
Tiba-tiba, aku merasakan getaran dari ponsel yang kutaruh di saku celana. Siapa yang meneleponku di waktu Subuh? Segera kutarik ponsel dari saku, ternyata Mas Gio yang menelepon.“Halo, assalamau’alaikum, Mas.”“Halo, dengan Nyonya Sergio?”Nyonya? Siapa ini? Lalu, ke mana Mas Gio? Siapa yang mengambil ponselnya?“Iya, benar. Ini siapa?”“Saya dari M2 Club Malam mau mengabari kalau Tuan Sergio pingsan.”“Pingsan? Terus ada siapa di sana, Mas? Teman atau seseorang yang menemaninya?”“Tidak ada, Nyonya. Tadi Tuan hanya datang sendiri dan minum banyak sampai akhirnya pingsan.”“Baik, tolong jaga dia, ya, Mas. Saya segera ke sana. Terima kasih.”Setelah menutup sambungan telepon, aku segera melipat mukena dan bergegas pergi ke Club M2. Aku tidak tahu di mana lokasinya dan harus ke arah mana kalau pergi dengan angkutan umum. Sebaiknya, a
Dalam perjalanan ke rumah sakit itu, Mas Gio menghubungi Mbak Sari. Ia hanya menceritakan bahwa papanya diciduk polisi, tetapi tidak menceritakan detail kejadian yang terjadi.“Kamu kenal Pak Akala?” tanya Mas Gio sambil menyetir. Kulihat peluh berembun di sekitar dahi sampai membasahi rambutnya yang menutupi. Matanya terlihat berat seperti menahan kantuk. Dia pasti sangat kelelahan, belum satu masalah selesai sudah datang masalah baru.“Hah? Ti-tidak,” ucapku berbohong.“Terus, kenapa dia sampai membuatmu jadi korban?” Benar juga, dia pasti penasaran kenapa sampai Pak Akala membuatku menderita. Padahal, di rumah itu ada beberapa orang ART yang bisa saja dia jadikan korban. Namun, saat itu jelas sekali kalau dia sedang menunggu seseorang, yang tidak lain adalah aku.“Hmm, sebenarnya ....” Tekadku maju-mundur untuk menjelaskan pada Mas Gio. Apa lebih baik aku menceritakan semuanya saja?“He
Baru saja akan berbelok ke arah pintu masuk, ada dua orang berpakaian serba hitam seperti lelaki sebelumnya, mereka berusaha mengadangku. Sial! Dari mana munculnya kedua orang itu? Mana tubuhnya besar-besar semua, lebih besar dibanding pria yang menodongkan pistol ke arahku.Aku berpikir keras ke mana lagi harus berlari? Aku tidak tahu banyak mengenai rumah besar itu. Ah, benar. Pintu belakang! Baru saja aku membalikkan badan, Pak Akala dan pengikutnya sudah berada di belakangku. Sementara itu, para ART histeris dan berusaha berteriak karena mengkhawatirkanku.Tidak! Hal yang kutakutkan akan segera terjadi, saat itu juga aku berada di antara mereka yang terus berjalan semakin dekat. Bahkan, aku tidak bisa mencari celah untuk bisa melarikan diri dari keempat pria itu. Satu hal yang lebih kucemaskan bukanlah diriku, melainkan calon anakku.Saat napasku terengah-engah, irama jantungku kembali berdegup kencang. Tetesan keringat pun menyapu kening dan mengaliri pelip
“Ha—Aku mendengar suara ceklekan menempel tepat di belakang kepala, membuat napasku terhenti sejenak dalam beberapa detik dan tak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba saja aku ingat kejadian persis beberapa waktu lalu.“Maaaas!” Aku sengaja memanggil Mas Gio dengan teriakan sebelum yakin ponselku direnggut.Dengan kecepatan tangannya, ponselku sudah berpindah tangan tepat setelah aku berteriak memanggil Mas Gio, tapi aku tidak tahu apa saat itu masih terhubung dengannya atau tidak! Debaran jantung serta otot-otot kakiku benar-benar melemah dan gemetar saat merasakan sesuatu di belakang kepalaku.“Jangan bergerak!” tegasnya membuatku menelan ludah.Suara siapa itu? Aku tidak mengenalnya. Suara itu sangat jauh berbeda dibandingkan saat aku terperangkap terakhir kali di ruang kerja Mas Gio.Lalu, terdengar langkah demi langkah ketukan sepatu dari arah belakang menuju ke sampingku. Aku masih belum bisa mel
“Loser.”“Apa?” Mas Gio tampak bingung. Ia tak mengerti sama sekali dengan maksud ucapan si pelaku.“Loser. Kata kuncinya.”“Hei, kau !” Pak Adit mengadang Mas Gio yang berusaha menyerang kembali si pelaku. “Kau pikir aku mengerti maksudmu memberi tahu kata kunci itu? Bicara yang jelas, tak usah gunakan kode-kode yang tidak ku mengerti!”“Begini, Pak. Kami juga tidak tahu siapa dia. Kami hanya menerima proyek yang diberikan agen kami. Dan dia juga hanya memberitahukan kode Loser itu sebagai si pemberi proyek.” Seorang pelaku lainnya angkat bicara.“Maksudmu, ada perantara lain di antara kalian?” Mas Gio tampak menutup sambungan telepon, padahal aku tidak mendengar dia mengakhirinya.“Benar, Pak.”“Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa tidak ikut ditangkap dengan kalian?!”“Dia sedang dalam pencarian karena sudah melari
“Halo, iya, Pak?”“Jadi, pelakunya sudah terlacak?”“Baik, baik, Pak. Saya ke sana sekarang.”Begitulah percakapan antara Mas Gio dan seseorang yang kudengar sampai sambungan telepon terputus. Lalu, dimasukkannya kembali ponsel dengan tiga kamera tersebut ke saku kemeja. Dengan tampang kuyunya, Mas Gio mulai menatap sayu kami dan berbicara.“Kalian tolong jaga Mama. Aku pergi dulu.”“Biar kutemani, Gi. Aku yang akan menyetir,” seru Pak Adit dengan antusias.Tanpa basa-basi lagi, aku mengekori di belakang mereka yang berjalan cepat. Namun, Mas Gio ternyata menyadari aku yang membuntutinya dan coba menghentikanku.“Mau ke mana kamu?”“Aku harus ikut. Aku mau tahu siapa pelakunya, Mas, karena aku merasa orang itu ada hubungannya dengan orang yang membekapku malam itu.”“Tidak usah, kamu sedang hamil.”“Ta