"Cewek murahan? Siapa yang kamu maksud?"Mazaya yang tidak terima disebut wanita murahan oleh Vivian, membalas perbuatan wanita tersebut dengan balik menyiramkan air yang ada di tangannya ke wajah Vivian.Sontak saja mata Vivian melebar karena mendapat serangan balik dari Mazaya yang tidak pernah disangkanya."Hei, apa yang kamu lakukan?! Ini baju mahal dan kamu malah seenaknya siram--"Ucapan Vivian terjeda, di saat Mazaya kembali menumpahkan air di pakaiannya."Hei, kamu apa yang--""Apa masih kurang?!" sentak Mbak jaya menyela ucapan Vivian dengan menyorot tajam. " Apa harus siram wajah anda yang mahal itu dengan saus sambal?! ... Tolong ya, jangan asal sembarangan menuduh tanpa bukti. Ini di kantor dan ada banyak orang di sini. Anda tiba-tiba datang nuduh aku wanita murahan karena ingin mendapatkan perhatian orang di sini kan! Apa itu pantas dilakukan oleh wanita terhormat seperti anda ini?" kecamnya yang terdengar tidak main-main.Mazaya sudah makan asam garam selama empat tahun
"Kenapa harus dia dari semua orang?" Mazaya terus saja menggerutu dan rasa-rasanya ingin menghilang detik itu juga, mengingat apa yang terjadi beberapa menit yang lalu Di mana sebelumnya bertemu dengan seseorang dari masa lalunya. Meskipun ia tahu cepat atau lambat pasti akan bertemu dengan orang-orang itu. Tapi, selain Devan yang begitu dibencinya, satu orang lagi yang paling tidak ingin ditemuinya dari semua orang.Siapa lagi kalau bukan sang mantan kekasih, Rendra. Pria yang telah mengkhianatinya dan bermadu kasih dengan sahabatnya sendiri Nadia. Tapi, ia tahu temannya terkena rayuan Rendra yang ternyata playboy. "Yaya, kamu Yaya kan? Aku sampai pangling lihat kamu sekarang. Kamu tambah cantik, Yaya."Tanpa tahu malunya, Rendra mengatakan itu semua ketika bertemu dengan Mazaya beberapa saat yang lalu.Mazaya ingin menghindar seperti apa yang dilakukannya pada Devan waktu itu. Tapi, kali ini ia pikir untuk tidak melarikan diri dan menghadapi semuanya. Termasuk berbicara dengan Re
"Kamu gak pulang?" tanya seseorang dari arah belakang Mazaya.Sontak saja Mazaya yang tengah fokus dengan layar di depannya itu langsung dibuat terkejut, mendengar ada seseorang yang mengajaknya berbicara dari arah belakang.Namun, detik selanjutnya Mazaya bisa mengenali siapa pemilik suara yang ada di belakangnya itu. Di mana itu pasti Devan karena mantan dosennya itu mempunyai ciri khas suara serak dan berat yang mana belum pernah didengarnya di orang lain.Dan benar saja pria yang berdiri di belakang Mazaya adalah Devan.Rupanya pria tersebut kebetulan lewat di ruangan itu dan melihat ada seseorang yang masih ada di sana. Ia awalnya tidak mengira itu Mazaya karena pakaiannya berbentuk di saat bertemu pagi hari. Tapi, nalurinya mengatakan bahwa itu adalah Mazaya sehingga kedua kakinya seolah menuntunnya ke arah tempat wanita itu berada."Apa yang kamu lakukan di sini, Yaya? Bukannya jam kerja sudah selesai?" tanyanya yang masih memperhatikan Mazaya dari arah belakang."Tolong angga
"Tunggu dulu! Sebelumnya dia bilang Om kan? Gak mungkin Rendra keponakannya Mas Devan?! Gak mungkin!"Mazaya dengan setengah panik menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi diantara Devan dan Rendra. Ia bahkan tidak pernah mendengar Rendra mengatakan mempunyai keluarga seorang dosen.Namun, ingatan Mazaya kembali ke beberapa tahun belakang di mana Rendra pernah mengatakan mempunyai paman yang berprofesi sebagai dosen. Hanya saja tidak dijelaskan namanya siapa dan dosen mana yang dimaksud oleh mantan kekasihnya tersebut."Ini mustahil kan? Pasti bukan om-nya?" gumamnya yang duduk dengan tidak tenang dan juga gelisah.Di saat yang sama pintu mobil terbuka, di mana Devan masuk, lalu duduk dibalik kemudi dan memasang kembali sabuk pengamannya."Maaf agak lama. Aku harus mengurus keponakanku dulu tadi," ucap Devan sambil mulai melajukan kendaraan roda empatnya tersebut."Keponakan?" tanya Mazaya seakan merasa keheranan, tapi sekaligus ingin mencari tahu siapa keponakan yang dimaksud."Iya,
"Huaa ... Kenapa aku jadi ngantuk kayak gini."Mazaya bermonolog di saat sudah berada di dalam kamarnya, bersiap untuk tidur. Padahal sebenarnya ia sama sekali tidak mengantuk. Tapi, usai meminum teh hangat dari Nadia membuat matanya terasa begitu berat.Mazaya kembali menguap, lalu terbaring begitu saja di atas ranjang tanpa selimut. Ia bahkan lupa mematikan lampu dan juga mengunci pintu kamarnya. Kebiasaan yang tidak sebenarnya tidak bisa hilang dari hidupnya. Tapi, malam itu sepertinya pengecualian.Keesokan harinya."Aw, kepalaku, kenapa sakit banget sih."Mazaya terbangun di atas ranjangnya dengan keadaan tubuh dan kepalanya yang terasa berat. Ia perlahan membuka matanya yang masih terasa kesat itu."Bu, Aka lapel, Bu."Di saat yang sama, Mazaya mendengar suara putranya di dalam kamarnya, hingga ia benar-benar tersadar dari rasa berat di kepalanya yang masih menyisakan rasa kantuk. Ia pun bisa melihat dengan jelas wajah putranya dan masih memakai piyama yang semalam."Kok, Aska
"Lepaskan, Pak Devan!"Mazaya dengan sekuat tenaga, mendorong tubuh Devan yang sebelumnya mendekapnya. Ia sungguh tidak nyaman diperlakukan seperti itu.Namun, Devan kini beralih memegangi tangan Mazaya dengan tatapan dalam."Sebelum aku khawatir. Aku pikir kamu pergi jauh lagi dari, Yaya. Hari ini orang-orang yang akan membantu pindahan mengatakan kalau rumah ini sepi dan tidak ada yang menyahut dari dalam. Aku meneleponmu dan nomornya tidak bisa dihubungi ... Aku pikir kamu pergi, tapi ternyata kamu masih ada sini ... Apa yang sebenarnya terjadi? Apa mungkin kamu sakit? Atau mungkin Askara" Devan memberondongkan pertanyaan kepada Mazaya dan hal itu merupakan untuk pertama kalinya ia berbicara sepanjang itu.Mazaya menghela nafasnya panjang, lalu berusaha melepaskan tangan Devan yang memeganginya. Tapi, pria tersebut sama sekali tidak ingin melepaskannya."Aku dan Aska baik-baik aja. Cuman masalahnya semalam aku dirampok oleh pengasuh Askara yang menginap di sini. Dia memasukkan o
Jantung Mazaya berdegup dengan kencangnya, setiap mendengar suara detik jam yang terdengar di ruang tamu. Di mana Mazaya saat ini sedang menunggu kedatangan Devan dan memakai kebaya putih. Pakaian formal satu-satunya yang dimilikinya selama ini. Selain itu rambutnya disanggul kecil di belakang menambah nilai kecantikanya tersendiri.Sementara Askara pun sudah dipakaikan pakaian kemeja dan celana hitam panjang serta rambutnya yang disisir rapi. Meskipun bocah laki-laki tersebut tidak tahu kenapa ia didandani seperti itu sekarang ini."Bu, apa kita mau pelgi ke hajatan ya?" tanya Askara dengan polosnya. Di mana memang jika berpakaian rapi, itu artinya sang ibu akan membawanya ke sebuah pesta pernikahan.Mazaya tersenyum getir. Apa yang ditanyakan oleh putranya itu memang benar, jika mereka akan pergi ke sebuah pesta pernikahan yaitu pernikahan ibunya sendiri. "Gak akan kemana-mana, Aska. Kita lagi nunggu Om Devan ke sini. Kan bilangnya dia mau ajak jalan-jalan Aska. Inget gak?" Mazaya
"Apa pantas membicarakan hal itu di depan Askara saat ini, Pak Devan. Hmm maksudnya Mas Devan," ucap Mazaya yang terdengar protes, sekaligus tidak nyaman memanggil Devan seakrab itu.Devan tersenyum kecil dan sesaat melihat ke arah Mazaya. Terlebih lagi mendengar wanita tersebut memanggil dirinya dengan panggilan 'mas', hal yang membuatnya senang karena ada sedikit kemajuan dari sikap dingin istri keduanya itu."Kamu benar, Yaya. Aku hampir lupa kalau ada Aska di dalam mobil. Kita akan bicarakan itu nanti. Tapi, untuk sekarang aku akan mengajak Askara jalan-jalan dan aku harap kamu tidak melarangnya kali ini," ucapnya yang terdengar seperti meminta izin kepada Mazaya."Terserah Mas Devan. Asalkan Askara senang, itu sudah cukup buatku," balas Mazaya tanpa menoleh ke arah Devan."Baiklah karena kamu sudah setuju, jadi aku akan membawanya ke sebuah taman bermain. Tapi kamu jangan khawatir di sana tidak akan ada yang mengenali kita," tukas Devan."Iya, Mas." Mazaya menjawab dengan sesing