Saat pulang sekolah, Flora terkejut mendapati sopir Mamanya sudah menunggu di parkiran. Tatapannya meredup seketika, tapi ia hanya menoleh sekilas tanpa berkata apa-apa. Di sampingnya, Riki melirik Flora dengan penuh perhatian. "Jangan terlalu dipikirkan, Flo," ujarnya lembut. "Yang penting sekarang kita fokus ke persiapan ujian akhir. Kita harus lulus dengan hasil terbaik dan membanggakan." Flora mencoba tersenyum, meski hatinya masih terasa berat. Ia tahu Riki benar—tidak ada gunanya terus berlarut dalam perasaan dan masalahnya. "Aku akan selalu ada buat kamu," lanjut Riki, suaranya sarat dengan ketulusan. Janji yang selalu diucapkannya itu membuat Flora merasa tenang, seolah ada satu kepastian dalam hidupnya yang tak pernah berubah. Menghela napas pelan, Flora akhirnya melangkah menuju mobil. Riki tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Flora hingga mobil itu melaju dan menghilang dari pandangan. Flora mengernyit heran ketika mobil yang ia tumpangi berhenti cukup l
Renata berlari tergesa-gesa, napasnya tersengal saat tiba di taman belakang rumah Birru. Wajahnya penuh kebingungan melihat lelaki itu duduk terdiam, tampak gelisah dengan ponsel masih tergenggam erat di tangannya. "Ada apa sih, Mas?" Renata bertanya dengan nada sedikit kesal. "Lu telepon gue panik banget, nyuruh gue ke sini buru-buru. Ada apa?" Birru mengangkat kepalanya perlahan. Matanya gelap, dipenuhi kecemasan yang tak biasa. "Flora, Re..." Renata mengerutkan dahi. "Kenapa dengan Flora?" tanyanya, mencoba mengatur napasnya yang masih berantakan.Birru menelan ludah, lalu akhirnya membuka suara. "Tadi… gue lihat darah di rok Flora." Renata terdiam sesaat, menahan napas. Tapi bukan karena ikut panik—melainkan menahan tawanya yang hampir pecah melihat ekspresi cemas Birru. "Tenang, Mas. Tenang..." Renata buru-buru bangkit, berpaling sebelum tawanya meledak. "Gue ke atas dulu temuin Flora, ya?" katanya cepat, lalu segera berlari menaiki tangga. Begitu sampai di lantai ata
Sejak Lia diperbolehkan pulang dengan perawatan jalan, suasana rumah sedikit lebih tenang. Seorang perawat yang disediakan keluarga selalu siaga menjaga dan membantu kebutuhannya. Flora merasa lega, meskipun jauh di lubuk hatinya masih ada kekhawatiran akan kondisi ibu mertuanya. Di sisi lain, ujian akhir telah usai. Flora dan teman-temannya kini hanya menunggu hasil kelulusan. Waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah atau pergi bersama Renata untuk mengurus pendaftaran kuliah. Sesekali, ia juga bertemu teman-teman lainnya, tapi tidak terlalu sering. Sejak ujian berakhir, kesibukan masing-masing membuat mereka sulit berkumpul seperti dulu. Sementara itu, hubungannya dengan Birru tetap sama—dingin dan tanpa kemajuan. Tidak ada pertengkaran besar, tetapi juga tidak ada kehangatan di antara mereka. Mereka hanya ada, tanpa kata-kata yang berarti, tanpa kepastian. *** "Flo!" Suara Renata menggema di dalam kamar Flora, disertai langkah cepatnya yang nyaris berlari menuju Flora. S
Saat Flora sibuk merapikan berkas-berkas untuk kelengkapan kuliahnya, Birru masuk ke dalam kamar. Seperti biasa, kehadiran suaminya itu tidak mengganggunya, dan ia pun tak merasa perlu menoleh. "Ada mau sesuatu sebelum tidur?" Suara Birru yang tiba-tiba sudah begitu dekat membuat Flora akhirnya menoleh, menatapnya dengan pandangan penuh tanya. "Sesuatu apa?" "Makanan, mungkin. Atau... kamu mau jalan-jalan?" Flora semakin menatapnya aneh. "Kenapa harus?" Birru mengangkat bahunya, mencoba terlihat santai, padahal pikirannya penuh keraguan. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu-ragu. Haruskah ia menanyakan soal kehamilan Flora? Selama ini, ia benar-benar mengira istrinya itu mengandung. Namun, setelah berbulan-bulan, perut Flora masih tetap rata—tidak ada perubahan seperti yang terlihat pada Violet. Tatapan Birru tanpa sadar tertuju ke perut Flora, membuat wanita itu merasa tak nyaman. "Lihatin apa?" sentaknya kesal. "Nggak ada..." Birru buru-buru mengalihkan pandangan
Ospek hari pertama benar-benar melelahkan. Selain harus berkenalan dengan sesama mahasiswa baru, Flora juga harus memahami lingkungan kampus dan mengerjakan tugas-tugas yang cukup menguras tenaga. Keringat masih membasahi pelipisnya ketika ia berjalan keluar dari aula utama. "Capek ya?" Suara yang familiar membuat Flora menoleh. Riki sudah berdiri di hadapannya, menatapnya dengan senyum santai. Tanpa ragu, tangannya terulur, merapikan helaian rambut Flora yang sedikit berantakan akibat keringat. Flora hanya tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. Ia terlalu lelah untuk menjawab. "Yuk, ke kantin," ajak Riki ringan. Mereka pun berjalan berdampingan. Riki, dengan gaya khasnya yang selalu akrab, tiba-tiba merangkul bahu Flora. Anehnya, Flora sama sekali tidak merasa risih atau terganggu. Ia membiarkannya, menikmati momen sederhana itu tanpa terlalu banyak berpikir. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. "Floraaa!" Suara nyaring itu membuat langkah Flora terhenti sejenak
Sejak pulang dari kampus, Birru lebih banyak diam. Ia bahkan tidak menyinggung apa pun pada Flora. Saat makan malam bersama keluarganya, ia tetap berbicara seperti biasa, tersenyum, dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Namun, Flora bisa merasakan ada yang berbeda.Seperti kebiasaannya, Birru duduk di tepi ranjang dengan sebuah buku di tangannya. Awalnya, Flora mengira kebiasaan itu hanya bagian dari profesinya sebagai guru, tetapi ternyata tidak. Bahkan setelah ia berhenti mengajar, kebiasaan itu tetap melekat padanya.Tapi malam ini, Flora tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggantung di hatinya—sebuah kecemasan yang sulit dijelaskan. Ia takut Birru marah. Atau mungkin kecewa? Ia tidak tahu pasti. Yang jelas, perasaan itu muncul setelah hari yang ia habiskan bersama Riki hari ini.Flora menarik selimutnya, duduk sebentar, lalu merebahkan tubuhnya membelakangi Birru. Ia menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya memaksa matanya terpejam. Hening.Su
Flora terbangun dengan kelopak mata yang terasa berat, bekas tangis semalam masih menyisakan jejak kelelahan di wajahnya. Ia mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya redup di kamar. Namun, dahi gadis itu berkerut saat menyadari sesuatu—lengan hangat melingkar di pinggangnya. Birru. Napas Flora tertahan. Ingatannya perlahan kembali, mengingat bagaimana ia terisak di dada pria itu sebelum akhirnya lelah dan terlelap. Tapi ia tidak menyangka akan bangun dalam posisi seperti ini—dipeluk erat seolah Birru enggan melepaskannya. Flora menelan ludah, jantungnya berdegup tak beraturan. Dengan hati-hati, ia mencoba mengangkat tangan pria itu dari tubuhnya. Namun, baru saja jemarinya menyentuh kulit Birru, lelaki itu justru semakin menariknya ke dalam pelukan. “Aku masih mau begini, Flo,” gumam Birru dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Hangat napasnya menyapu tengkuk Flora sebelum bibirnya mengecup singkat di sana. Flora refleks menekuk lehernya, geli seka
Masa ospek telah berlalu, dan kehidupan perkuliahan pun mulai berjalan seperti biasa. Flora dan Riki ternyata satu kelas, hal yang membuat Renata semakin frustrasi. Di luar kelas, ia masih bisa mengatur agar keduanya tidak terlalu sering bersama, tetapi di dalam kelas? Tidak ada yang bisa ia lakukan. Apalagi, meskipun sama-sama keras kepala, Flora dan Riki masih sering terlihat bersama. Beberapa teman bahkan mengira mereka memang pasangan. Sementara itu, hubungan Flora dan Birru terus berkembang dalam ketidakpastian. Birru semakin menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya kepada istrinya, sementara Flora hanya bisa menerima dan menuruti kemauan suaminya. Ia sendiri masih bingung dengan perasaannya. Jika ditanya apakah ia menyayangi Birru, jawabannya tentu iya. Namun, yang tidak bisa ia pahami adalah apakah perasaan itu sebatas kasih sayang seorang adik kepada kakaknya atau lebih dari itu? --- Siang itu, di akhir kelas, Riki menoleh ke arah Flora dengan senyum antusias. "Na
Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.
Diruang meeting, Birru duduk di belakang mejanya, menautkan jemarinya dengan tenang di atas permukaan kayu. Matanya tajam menatap wanita di depannya—Fani. Wanita itu masih berdiri, kedua tangannya terlipat di depan dada. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan ketidakpuasan. "Jadi, kamu sengaja panggil aku ke sini hanya untuk ini?" Fani bertanya, nada suaranya terdengar santai, tapi ada nada menantang di baliknya. Birru tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, membiarkan ketegangan mengisi ruangan sebelum akhirnya ia berbicara. "Kamu pikir aku nggak tahu?" suaranya dalam dan berbahaya. Fani mengangkat alis, berpura-pura bingung. "Tahu apa?" Birru menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Tentang apa yang terjadi pada Flora di kampus." Sekilas, Birru melihat raut wajah Fani berubah—sangat halus, nyaris tak kentara. Tapi ia menangkapnya. "Kamu menuduh aku?" Fani terkekeh pelan, berusaha t
Begitu mobil Birru berhenti di depan rumah, Flora menarik napas dalam. Ia tahu semua orang di rumah pasti akan terkejut melihat keadaannya. Wajahnya masih menunjukkan bekas tamparan, dan tubuhnya masih terasa lelah akibat kejadian tadi. Birru keluar lebih dulu, lalu segera membukakan pintu untuk Flora. Saat ia turun, pintu rumah terbuka, dan suara langkah cepat terdengar mendekat. “Flora!” suara Violet adalah yang pertama terdengar. Ia bergegas menghampiri, diikuti oleh Juna dan Lia. Ekspresi mereka semua dipenuhi kekhawatiran. “Astaga, apa yang terjadi?!” Violet langsung menggenggam tangan Flora, matanya membesar saat melihat luka di sudut bibir adik iparnya. “Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?” Lia pun menatapnya dengan cemas. “Flora, sayang, siapa yang menyakitimu, nduk?” Flora tersenyum kecil, meski jelas lelah. “Aku baik-baik saja, Bun…” “Baik-baik saja apanya?!” Juna menyela dengan ekspresi marah. “Lihat ini, wajah kamu jelas habis kena pukul!” Birru meletakkan
Saat dalam perjalanan mengantar Flora ke kampus, pikirannya melayang pada seseorang. "Mas, sejak kapan Dion jadi sekretaris kamu?" tanyanya tiba-tiba. Birru menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan, tampak mengingat-ingat sejenak. "Sejak waktu itu, pas kamu ke kantor." Flora mengangguk-angguk pelan sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Itu kamu ngerti, Mas," gumamnya nyaris tak terdengar. "Maksudnya gimana, Sayang?" tanya Birru, sedikit mengernyit. Flora menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Terus, Jeni ke mana?" "Dia dipindah ke divisi lain, yang nggak ada hubungannya sama aku," jawab Birru santai. Flora menghela napas pelan. "Dia pasti berpikir kalau itu karena aku, ya?" Birru meliriknya sekilas. "Memang kenapa? Kamu yang punya perusahaan, kamu berhak." Flora terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya ragu, "Bisa begitu juga ke Fani?" Wajah Birru seketika berubah lebih serius. Napasnya terdengar berat sebelum ia berkata, "Kalau aku bisa dari awal, pas