Betapa murka nya Syan melihat pemandangan didepannya, nyalinya begitu besar berani merebut suaminya. Namun beruntung Aldo dengan sigap berhasil menghalau vas itu dan tak melukai Lili.
"Berani sekali berbuat kasar didepanku! Duduk dengan nyaman dan lihat apa yang bisa kami lakukan didepanmu," ucap Aldo penuh kebencian.
Dengan kasar ia mendorong tubuh Lili keatas ranjang, merobek paksa semua pakaian yang menutupi tubuh indahnya yang tak mampu ia jamah.
"Tolong jangan," mohon Lili dalam keputusasaannya.
Tapi percuma, mata Aldo kini sudah gelap dengan gairah juga kemarahan. Hanya ada keinginan yang kini ia inginkan didalam fikirannya, yaitu menjadikan Lili pelampiasannya.
"AKhhhhhh," pekik Lili dengan begitu keras saat sesuatu yang lain menusuk miliknya dengan begitu kasar.
Aldo sempat terdiam, ia menyadari jika wanita yang dipaksanya kini ternyata adalah seorang wanita baik-baik dan suci. Rasa bersalah jelas menggerogoti hatinya, namun eg
Pagi yang masih sangat sunyi, dan ketiganya masih terjebak dalam satu kamar yang sama dengan Aldo memeluk hangat Lili dan membiarkan Syan terkapar tak berdaya dilantai. Lili perlahan membuka matanya, perutnya terasa begitu berat serasa tertimpa bebatuan."Astaga Aldo," pekik Lili menyadari tangan siapa yang kini sedang memeluknya."Sssttt jangan berisik, ini masih pagi sayang," lenguh Aldo yang semakin mengeratkan pelukannya."Cih, pasangan hina sudah bangun," maki Syan yang sudah kesakitan.Lili berbalik, dan betapa terkejutnya ia melihat kondisi Syan saat ini. Ada darah mengering disekitarnya juga wajah yang nampak sangat pucat. Lili menggoncang tubuh Aldo, berharap laki-laki itu bangun dan segera menolong temannya Syan."Yaudah, biar aku sendiri yang nolongin dia," kesal Lili yang berusaha bangkit dari ranjangnya. Namun baru saja menggerakkan kakinya, namun rasa sakit langsung menyerang seluruh tubuhnya.Aldo terbangun mendengar pekikakan
Carisa menahan diri untuk tak bertanya lebih lanjut, ia hanya mengikuti kemana dua suster itu akan membawanya melihat Max yang disebutnya. Dan kini ia berhenti didepan ruang rawat anak."Permisi, tapi sebaiknya anda melihat dari luar saja. ""Kenapa," tanya Carisa memicingkan matanya."Kami masuk karena bertugas, kami tidak ingin dipersalahkan untuk sesuatu yang bukan dalam kapasitas kami.""Ehm, pergilah," ketus Carisa.Benar saja, didalam ada Max yang masih setia menemani dan memeluk tubuh Irma. Saat kedua suster itu datang, Max juga Irma bangkit dan memberi ruang bagi kedua suster untuk memeriksa anaknya."Bagaimana keadaan anak saya sus," tanya Max pada kedua suster.Carisa mendengar sendiri dengan telinganya saat Max mengakui gadis kecil itu sebagai anaknya, yang itu berarti itu anak milik Max dengan wanita yang kini sedang dipeluk oleh suaminya.Brak!Semua orang terkejut dengan kedatangan Carisa yang penuh amarah
Tubuh Carisa terpental cukup jauh, mendarat dengan begitu keras hingga mengakibatkan banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Syan begitu histeris, berteriak meronta hingga menjerit melihat kondisi Carisa saat ini."Nona tenang dulu, " seorang suster berusaha menahan Syan yang memberontak ingin berlari menghampiri mamanya.Max terpaku, ia juga sama halnya dengan Syan yang terkejut dengan apa yang saat ini terjadi. Matanya memanas melihat istrinya tergeletak bersimbah darah dijalan, kakinya seakan membeku hingga ia tak sanggup untuk kembali melangkah."Carisa," gumam lirih Max menyebut nama istrinya.Syan berhasil melepaskan diri dari susternya, ia dengan memaksakan dirinya berusaha berlari menghampiri mamanya. Sambil terseok-seok ia melangkah dengan sekuat tenaga, rasanya begitu sakit namun ia menahan semua itu demi sang mama."Mama, mama bangun ma. Mama ini Syan ma, bangun ma."Syan bersimpuh, memangku kepala Carisa yang dengan tubuh yang pe
Mata Sabrina terbelalak saat melihat wajah Carisa penuh dengan coretan, coretan-coretan yang spidol yang begitu memenuhi wajahnya. Sabrina segera memanggil suster penjaganya, sama terkejutnya dengan Sabrina para suster juga sudah memastikan jika jenazah sudah dibersihkan.Sabrina tak ingin mengurusi lebih lanjut lagi, ia meminta suster tersebut untuk membawakannya sabun semangkuk air juga handuk kecil."Mama, ini Sabrina. Sabrina bersihin dulu ya wajahnya," ucapnya yang begitu gemetar menahan tangisnya."Sayang," panggil Nio yang tiba setelah mendapat kabar dari pelayan rumahnya. Ia begitu mencemaskan istrinya yang begitu terpukul dengan kejadian ini."Hubby sedang apa, aku sedang membantu mama membersihkan wajahnya," seru Sabrina tanpa menatap suaminya.Nio merasa ada yang aneh dengan sang istri, ia berusaha lebih dekat dan melihat jenazah Carisa. Matanya begitu terbelalak ketika menyaksikan sendiri wajah Carisa penuh dengan coretan tinta merah.
Aldo gelap mata, ia tak bisa menerima perlakuan Sabrina yang terlalu kasar kepadanya. Dengan dikuasai emosi Aldo mengulurkan tangannya, mencekik dengan kuat leher Sabrina. Syan histeris, ia berteriak meminta Aldo melepaskan saudarinya namun sayangnya tak pernah didengar oleh Aldo."Lepaskan istriku!"Nio begitu murka melihat istrinya diperlakukan dengan begitu kasar, matanya memanas menahan amarah ketika melihat dengan matanya sediri tangan Aldo mencekik istrinya hingga wajah istrinya memerah."Menjauh dari istri saya," mendorong kasar tubuh Aldo hingga terpental kebelakang dengan begitu kerasnya."Siapa loe ini, berani sekali mendorong gue," bentak Aldo yang tak mengenali siapa Nio didepannya."Saya adalah suami dari wanita yang sedang anda sakiti tadi! Berani sekali tangan anda menyentuh istri saya."Aldo bangkit, ia merapikan pakaiannya yang begitu berantakan akibat terjatuh barusan. Dengan tak sukanya ia menatap Sabrina yang kini s
Irma tak bisa terima dengan Max yang begitu terpuruk dengan kepergian Carisa istrinya, bagaimanapun juga ia jugalah istrinya dan masih ada Cica anak mereka yang harus Max perhatikan. Dan ini adalah satu minggu selepas kepergian Carisa, dan Max masih mengabaikan Irma juga anaknya yang masih berada di rumah sakit."Halo mama tersayang aku," sapa Max yang masuk kedalam ruang sang adik.Irma hanya menatap sekilas putranya kemudian memalingkan mukanya, entah mengapa melihat Matius putranya hanya menambah rasa kesalnya saat ini."Mau apa lagi kamu kesini," ketus Irma pada putranya."Kenapa begitu kesal sih mah, ada anaknya datang harusnya disambut dong," santai Matius duduk bersila."Udahlah Matius, katakan apa maumu sekarang. Jangan bertele-tele lah.""Apasih mah, aku hanya datang mengunjungi mamaku saja. Apa ada yang salah ?"Irma tak menyahuti putranya, kini ia menyibukkan dirinya dengan menyuapi sang putri dengan buah apel yang su
Hari ini ada sebuah acara disekolah Sasa, acara diaman kedua orangtua murid diwajibkan untuk hadir mendampingi sang putra putrinya. Tangan Sabrina sudah sepenuhnya pulih dari lukanya, dan Nio bertambah begitu posesif kepada putri juga istrinya."Hubby, ayo buruan dong," teriak Sabrina yang begitu tak sabar saat menunggu sang suami turun dari kamarnya."Mama, hubby lama ini," adunya kepada Bulan dengan wajah cemberutnya.Sabrina begitu anggun dengan dress putih tulang yang digunakannya, dengan flat shoes pemberian Marshel yang menambah keanggunan Sabrian saat ini."Jangan cemberut aja, cantiknya ilang loh," hibur Bulan pada menantunya."Tapi hubby lama ma," rajuknya dengan begitu gemas."Aduh sayang, kamu kenapa menggemaskan gini sih," gemas Bulan pada Sabrina.Entah kenapa makin kesini Sabrina makin menggemaskan, terlebih saat ia menggunakan baju yang memperlihatkan perut buncitnya yang masih begitu mini."Hubby," teriak Sabrin
Selly begitu marah, ia tak terima sebab Matius tak pernah datang mengunjunginya dalam beberapa hari ini. Ia merasa kini Matius begitu berbeda, perubahan sikap yang begitu ketaran yang membuat Selly menyadari perubahan itu."Akhh! Sialan, siapa yang berani menggoda kekasihku," teriaknya menghancurkan setiap barang didalam kamarnya."Darling, ada apa ini? Kenapa kamar kamu begitu berantakan," seru Lastri melihat-lihat isi kamar putrinya."Apa Matius sudah datang mah," tanya Selly buru-buru menghampiri mamanya."Pelan-pelan, kaki kamu bisa kena pecahan kaca darling. Lagian kamu juga baru pulih, jangan sembarangan bergerak atau cedera kamu akan kambuh lagi."Selly membalikkan dirinya, ia mendudukan dirinya dengan begitu kesal diatas ranjang miliknya. Wanita itu hanya menginginkan kekasihnya, Selly hanya membutuhkan Matius untuk menemaninya.Namun dalam beberpa hari ini ponsel Matius berada diluar jangkauan ketika Selly berusaha menghubunginya. E
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam
Marshel terus mencari keberadaan Ica di dalam rumah, namun sudah semua tempat ia periksa masih juga tak bisa menemukan calon istrinya itu. Tak mungkin jika Ica pergi bersama Bunda, sebab Bunda sedang berada di rumah sakit untuk terapi ayah."Kemana lagi itu anak keluar nggak bilang-bilang," gerutunya.Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ica namun tak satupun panggilan atau pesan yang mendepat respon dari lawannya. Semakin geram saat Marshel memikirkan ide Ica lalu untuk membalas kelakuan Selly."Jangan-jangan?"Rasa panik segera menyelimutinya, ia meraih kunci mobil yang ada di dekatnya. Namun baru saja akan melangkah, orang yang sedari tadi di carinya tiba-tiba muncul dengan senyum merekah di wajahnya."Loh, mau kemana?" tanya Ica dengan polosnya."Kenapa sih? Orang nanya itu di jawab, bukannya di pelototin gitu," omelnya.Tak habis fikir Marshel dengan jalan fikiran wanita di depannya itu, bisa-bisanya tak mengerti dengan ke k
Sudah satu bulan sejak lahirnya kedua bayi mungil itu di tengah-tengah mereka, hari-hari Sabrina juga begitu sibuk dengan ketiga bayinya termasuk sang suami yang menjadi bayi kembali diantara anak-anaknya."Hubby ayo buruan, kasian stev udah dingin ini." teriak Sabrina dari dalam kamar mandi.Benar saja, keduanya bersama-sama merawat kedua bayi itu tanpa bantuan suster sebab Sabrina merasa masih sanggup mengurus buah hati mereka. Masih ada mami juga bunda yang setiap harinya selalu membantu menjaga kedua bayi lincah itu.Pagi ini penuh dengan teriakan Sabrina karena merasa kesal dengan suaminya, tugas melepas baju Stevi si bayi cantik itu hanya memakan waktu 10 menitan namun di tangan Nio itu bisa memakan waktu lebih dari 30 menit."Hubby buruan atau keluar dari kamar," teriaknya lagi dengan seluruh kekesalannya."Iya mama, kami datang." serunya dengan rasa tak bersalahnya.Kini keduanya duduk berhadapan dengan masing-masing bayi di tanganny
Deru mobil mulai terdengar, semua orang bersiap dengan berbagai hal di tangannya masing-masing. Terlihat Syan bersama Lili membawa sebuah gulungan berdua, entah apa itu isinya. Dan,"Surprise," teriak semua orang bersamaan.Jantung Sabrina terasa berdetak begitu cepat karena rasa terkejutnya, beruntung si kembar tak mendengar teriakan menggema tersebut.Mata Sabrina berkaca-kaca ketika menatap semua orang di depannya, dengan takjub ia melihat rumah yang ternyata sudah di dekor dengan begitu indahnya demi menyambut ke datangannya. Sabrina tak dapat menahan air mata harunya, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya."Terima kasih semua," ucapnya dengan sesegukan dalam pelukan sang suami."Mana cucu kami?""Ada di bekang, ayah tunggu aja nanti juga masuk si kembar," seru Antonio.Mata Sabrina memicing melihat sebuat tulisan yang di bentangkan Lili bersama Syan. Dengan penasaran ia mencoba mendorong sendiri kursi rodanya unt