Pagi yang cerah dirumah yang begitu mewah, memperlihatkan halaman luas dengan berbagai tanaman bermekaran didepannya.
"Sabrinaaaaaaa," teriak Syan dari balkon kamarnya.
Sabrina Titian Saputra, anak angkat dari keluarga Taulin. Gadis periang yang begitu malang selalu ditindas oleh keluarganya.
Sedang yang berteriak adalah Syan, anak dari keluarga Taulin. Satu-satunya ahli waris keluarga.
Ia begitu membenci Sabrina, ia menganggap Sabrina selalu merebut apapun yang diinginkannya.Sabrina yang polos dan apa adanya selalu lebih menarik perhatian dari pada dirinya yang selalu tampil glamor juga seksi.
Keluarga Taulin terkenal dengan keangkuhannya, namun bisnis mereka mememang sukses dimana-mana. Max Taulin juga Carisa Melian merupakan pasangan pengusaha, mereka mengelola usaha masing-masing hingga sukses dalam bidangnya.
"Ada apa teriak-teriak," sahut Sabrina mendongakkan kepalanya.
"Kesini loe! Baju gue mau kekampus nggak ada," teriaknya.
Sabrina hanya bisa menghela nafasnya, ia bergegas menemui saudarinya itu agar tak dapat masalah nantinya.
"Mau kemana kamu?" tanya Carisa ketus saat berpapasan dengan Sabrina.
"Mah, aku mau ke kamar kakak dulu. "
"Sana-sana."
Sabrina menaiki anak tangga dengan sedikit berlari, dan ketika ia memasuki kamar tiba-tiba saja Syan melemparkan tumpukan pakaian padanya.
"Astaga kak," kaget Sabrina.
"Loe beresin semuanya ya, terus loe cari baju bunga-bunga yang baru gue beli kemarin," perintahnya.
"Kenapa harus bunga-bunga sih kak, kan bisa pakai yang lainnya?" ucapnya sambil memunguti pakain kakaknya.
"Kalau gue bilang itu ya harus itu!"
"Yaudah gue cari dulu kalau gitu."
Sabrina mencari disemua almari namun tak menemukan baju yang kakaknya cari. Ia yang lelah memandangi Syan yang sedang merias diri didepan cerminnya.
"Kak, nggak ada nih," serunya.
"Yaudahlah, cariin gue baju yang bagus."
Sabrina mengambil satu mini dres diatas paha berwarna pastel. Namun saat memberikan pada Syan, ia justru dimakinya.
"Loe pikir gue apaan pakai baju ginian!! Loe mau bikin reputasi gue sebagai wanita tercantik dikampus hancur ya!!" bentaknya melemparkan baju itu tepat kewajah adiknya.
"Terus mau pakai yang mana kak?" sedihnya.
"Minggir loe!!" Mendorong Sabrina hingga hampir terjatuh.
"Emang dasar nggak ada gunanya, ngapain dulu nyokap sama bokap mungut loe yang nggak guna ini," oceh Syan terus-terusan.
Sabrina hanya diam tak berekspresi, baginya hinaan itu adalah sarapan paginya setiap hari. Namun tak bisa dipungkiri jika ia juga merasa sakit hati tiap kali mendengarnya.
"Yaudah kalau gitu gue keluar dulu ya kak."
"Keluar sana loe! Bikin mata gue sakit aja."
Sesampainya dikamar miliknya, Sabrina segera mengganti pakaian dan juga bersiap untuk pergi kekampus.
Sikap keluarga Taulin memanglah sangat kejam kepada Sabrina, Max tak pernah menegur ataupun memarahi istri juga anaknya saat menindas Sabrina didepannya. Ia hanya diam seakan acuh dengan keadaan disekitarnya.
"Kak, boleh nggak gue nebeng loe ke kampus?" tanya Sabrina berdiri disamping Syan yang sedang menyantap sarapannya.
Carisa tiba-tiba saja berdiri dan menyiramkan jus jeruknya pada Sabrina. Ia berdiri menatap tajam Sabrina yang terkejut dengan sikapnya.
"Mah, kenapa menyiramku?" paniknya membersihkan bajunya yang basah oleh jus jeruk.
"Itu karena kamu berani mau satu mobil dengan anak saya! Kamu itu ya pantasnya jalan kaki saja."
Sabrina tak lagi membalasnya, ia memundurkan langkah dan berbalik menuju kamarnya. Sabrina tak pernah menitikan air matanya saat menerima perlakuan buruk keluarganya. Terakhir kali ia menangis adalah saat ia kelas satu SMA, kala itu ia yang mendapat piala perlombaan dimaki bahkan pialanya dihancurkan oleh Carisa.
"Loe bisa, loe udah biasa diperlakukan kayak gini," serunya didepan cermin setelah mengganti pakaiannya.
Sesampainya dikampus, Syan yang sudah lebih dulu datang menunggu Sabrina. Bersama ketiga temannya, Syan menyusun rencana untuk mengerjai Sabrina.
Dikampus tidak ada yang tahu jika Syan dan Sabrina adalah saudara. Nama marga mereka yang berbeda membuat tak satupun mencurigai keduanya, dan itu membuat Syan begitu lega.
"Tuh si lumut datang," seru salah seorang teman Syan.
"Lumut datang nih, naik apa mut tadi?" ledek ketiga teman Syan.
Syan hanya diam bersandar pada depan mobilnya, menatap mentertawakan Sabrina yang terus menerus dihina oleh teman-temannya.
"Stop guys, nanti ada yang cabut dari kampus loh."
"Lah cabut ya cabut aja lah Syan, toh si lumut bisa kuliah disini juga gara-gara beasiswa kan," hinanya.
"Iya juga sih, orang miskin mana mampu bayar uang gedung disini," tersenyum didepan wajah Sabrina.
"Cabut guys, sebelum kita kena sial karena anak sialan ini," lanjut Syan sebelum berlalu pergi bersama teman-temannya.
"Sabar Sabrina," serunya pada diri sendiri.
**
Sore hari selesai dari kampus, Sabrina bergegas menuju cafe coffee tempatnya bekerja. Disana ia sebagai waiters penyaji kopi yang bekerja part time. Baginya ia bersyukur diterima kerja disana, sebab gajinya mampu untuk ia memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Sabrina, loe antar kopi ini kemeja depan no. 10 ya," ucap barista ditempat kerjanya.
"Siap kak," semangatnya.
Namun siapa sangka jika ia akan bertemu dengan Max yang sedang melakukan sebuah meeting disana.
Hal yang tak didugapun terjadi, seorang anak kecil tanpa sengaja menyenggol Sabrina hingga kopi yang dibawanya terjatuh mengenai berkas-berkas penting milik Max.
"Astaga," seru rekan bisnis Max yang terkejut.
"Maaf, maafkan saya," Sabrina yang ketakutan segera membersihkan meja tersebut.
Max diam dan berdiri dari bangkunya. Ia menatap tajam Sabrina yang juga sedang menatapnya penuh sesal.
Plak..
Tamparan keras mengenai pipi Sabrina hingga meninggalkan bekas merah juga luka dibibirnya. Semua orang tekejut melihat Max yang menampar seorang waiters disana.
"Pak Max, " seru rekan bisnis Max.
"Dimana matamu saat bekerja! Kau tau berkas apa yang kau hancurkan hari ini!" bentaknya pada Sabrina yang tertunduk penuh sesal.
"Ma maaf tuan," cicitnya.
"Maaf tidak akan bisa mengganti kerja keras saya dalam berkas yang kau hancurkan! Dasar bodoh!" Didorongnya tubuh Sabrina hingga terjatuh ketanah dengan kerasnya.
"Ada apa ini ?" tanya manager yang tiba-tiba datang.
Seorang manager cafe keluar setelah mendapat laporan mengenai keribuatan. Ia tak ingin membela karyawannya yang salah, namun ia juga tak bisa menghakimi tanpa tau persoalannya.
"Maaf pak, tadi anak saya nggak sengaja menabrak karyawan bapak," sesal ibu dari anak yang sudah menabrak tubuh Sabrina.
"Bisa didengar sendiri, bukan karyawan saya yang lalai pada kejadian ini. Dan anda tidak seharusnya berlaku kasar pada karyawan saya," tegas manager pada Max didepannya.
Sabrina hanya diam ketakutan menundukkan kepalanya. Ia sangat ketakutan setiap kali melihat kemarahan dari Max si papa tirinya.
"Sebaiknya kita pergi saja pak, " ajak rekan bisnis Max.
Max tak menyahutinya, tapi ia segera membereskan semua barangnya dan pergi meninggalkan cafe tanpa sepatah kata.
"Pergilah kebelakang, obati dulu lukanya," seru manager.
"Makasih pak."
Namun Sabrina yang tau betul dengan papanya itu merasa tak tenang. Ia segera meminta ijin pada manager untuk pulang terlebih dahulu.
Setelah menerima ijin manager, Sabrina bergegas pulang kerumahnya.
Namun sesampainya dirumah ia malah mendapat sebuah kejutan tak terduga. Carisa juga Syan dengan teganya menyiram Sabrina dengan air tepat didepan pintu masuk.
Tak hanya itu, mereka juga menarik paksa Sabrina dan melemparnya hingga bersimpuh dibawah dikaki Max.
"Ambilkan cambuk papa," seru Max.
"Nggak pah, ampun pah. Maafin Sabrina pah," mohonnya dengan penuh ketakutan.
"Cepat!!" teriak Max saat Carisa tak kunjung kembali.
"Ini pah cambuknya."
"Menyingkir kalian."
"Pah, ampun. Jangan pah."
Max dengan brutalnya mencambuk Sabrina walaupun Sabrina terus memohon ampun juga meraung kesakitan. Hanya ada sorot mata kemarahan pada diri Max saat ini, bahkan Carisa juga Syan pun tak berani bertindak.
"Syan, kemasi semua barang-barang anak sial ini!" perintahnya setelah membuang cambuknya kesembarang arah.
"Nggak pah, tolong jangan usir aku," pintanya memeluk kedua kaki papanya.
"Lepas!" Menendang tubuh Sabrina menjauh.
Syan datang membawa koper berisikan semua pakaian milik Sabrina. Namun Max bertindak lain, ia pergi mengambil sebuah gunting dan merusak semua pakaian milik Sabrina tepat dihadapannya.
"Papa cukup pa, pakaian ku," serunya dalam tangis.
Setelah merusaknya, Max menarik paksa Sabrina keluar dari dalam rumah. Malam yang dingin membuat Sabrina terus memohon juga meminta pengampunan, namun hati nurani Max sudah mati nampaknya.
Sabrina keluar hanya membawa jaket yang sempat ia selamatkan dari amukan Max, sebab malam yang semakin larut membuat udara dingin semakin menusuk disekujur tulangnya.
"Kemana aku harus pergi, aku nggak punya siapa-siapa," tangisnya berjalan mengikuti langkah kakinya.
Sabrina berhenti dan duduk disebuah bangku taman, ia terdiam sambil menangis meratapi nasib hidupnya.
"Apa salahku hingga harus hidup seperti ini. Apa aku begitu tak pantas hidup?" tangisnya.
Tiba-tiba datanglah seorang anak kecil menyentuh tangannya dan menatapnya dengan teduh.
"Are you oke mama?" tanya anak tersebut.
Sabrina kebingungan entah dia harus kemana malam ini, tak ada uang juga tak ada tempat yang dia tuju.Ia hanya bisa duduk dibangku taman yang sepi pengunjung, menangis meluapkan rasa sedihnya. Namun semakin ia berfikir semakin ia tak menemukan jawaban apapun atas masalahnya.Namun disaat rasa bimbang dan sedihnya itu datanglah seorang anak kecil yang memegang tangan serta menghapus air matanya."Are you oke mama?" tanyanya sambil menghapus air mata Sabrina.Sabrina hanya diam memandangi gadis kecil didepannya, malaikat kecil yang tiba-tiba hadir disaat dunianya mulai menggelap."Sayang, kamu sama siapa kesini?" tanya Sabrina. Dipeluknya tubuh si kecil sambil melihat sekelilingnya. Namun Sabrina tak menemukan siapapun ditaman tersebut."Sayang, kamu datang dari mana tadi?" tanyanya kembali memastikan asal dari anak kecil yang tengah berdiri dihadapannya."Tentu aja dari jalan itu dong ma," menunjuk jalan didepannya.
Setelah mendapat ijin dari Sasa, Sabrina berangkat menuju ke kampusnya. Namun siapa sangka setelah sampai dikampus ia malah mendapat masalah baru."Sabrina," panggil salah seorang teman kelasnya."Ya.""Dipanggil dekan tuh.""Kenapa ya?" heran Sabrina."Nggak tau juga gue, buruan kesana aja.""Yaudah deh, thanks ya."Sabrina berjalan menuju ruang dekan, ia melangkah dengan santai tanpa memikirkan apapun. Namun ditengah jalan ia malah bertemu dengan Syan juga teman-temannya."Cie ada yang mau kemana nih.""Arahnya sih ke ruang dekan.""Mau ngapain loe kesana.""Jangan-jangan mau muasin dekan lagi," tawa semuanya, sedangkan Syan hanya diam menatap benci pada Sabrina."Kemana lo semalam nginapnya?" sinis Syan menatap hina Sabrina."Bukan urusan loe kak.""Jangan pernah panggil gue kak, atau loe mau gue hancurin!" ancam Syan mencekik leher Sabrina.Sabrina melawan,
Burhan keluar dari restoran merasa begitu kesal dengan kesombongan Max hari ini. Ingin rasanya ia membongkar siapa Darma sebenarnya agar Max tak menyombongkan dirinya lagi."Kenapa kamu menghalangiku.""Ya karena aku tau apa yang mau kamu ucapkan.""Bagus dong, biar dia sadar siapa dia sekarang ini.""Terus kalau dia sudah tau, maka aku hanya akan menambah satu jenis anjing penjilat lainnya."Burhan hanya diam mencerna ucapan Darman. Baginya ada benarnya juga ucapan kawannya itu, sebab disekitar Darma memang sudah banyak penjilat yang berkeliaran."Balik kekantor apa nggak?" tanya Darma."Balik lah.""Yaudah ayo .""Iye bos."Burhan adalah teman sekaligus CEO diperusahaan miliknya, mereka dekat semenjak dibangku kuliah. Saling mengenal satu sama lain membuat pertemanan keduanya makin akrab hingga Darma mempercayakan satu perusahaan miliknya.Sesampainya diperusahaan, Darma bergegas pergi setelah
Duduk berdua didalam kamar, Sabrina berhadapan langsung dengan mata Sasa yang terus menatap tajam dirinya. Glekk, Sabrina dengan susah payah menelan salivanya, entah darimana ia akan menjelaskan permasalahan tentang adik untuk bocah kecil didepannya itu. "Ayo mah buat adek," seru Sasa tak sabar. "Sayang, buat adek itu gak gampang loh." "Susah ya mah. Apa perlu pakai tepung?" polosnya berbicara, mengundang tawa Sabrina yang tertahan. "Ehm, iya pakai tepung tapi kan kita belum beli tepungnya kan?" jawabnya. "Gitu ya ma, nanti kita beli tepung ya mama. Sasa udah gak sabar mau bikin adek," ajaknya penuh semangat, membuat Sabrina pusing untuk menjelaskan. "Bukan cuma butuh tepung aja sayang, tapi juga butuh telur." "Kan nanti kita beli telur sekalian aja ma." "Gak bisa, telurnya ini spesial. Cuma papanya Sasa aja yang punya," Sabrina segera menutup mulutnya saat tak sengaja berbicara hal aneh dide
Pagi harinya Darma terbangun lebih dulu, ia keluar dari kamar hendak melangkah menuju dapur. Namun tanpa sengaja ia berpapasan dengan pelayan yang sedang membersihkan rumahnya. "Permisi tuan," panggil pelayannya. "Iya, ada apa," menghentikan langkahnya tepat didepan pelayan tersebut. "Maaf tuan, tadi saat saya bersih-bersih nggak sengaja menemukan amplop ini didepan ruangan kerja tuan," memberikan sebuah amplop berwarna coklat yang tadi ia temukan. "Terima kasih ya bik," ucap tulus Darma kepada pelayannya. Namun setelah itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur dan segera menuju ruang kerjanya. Duduk dikursi kerja, Darma terus membolak-balik amplop coklat yang ada ditangannya. "Kampus pelangi," gumamnya saat melihat ada logo sebuah kampus yang tertera disudut amplop. Darma membuka laptopnya dan mencari tahu tetang kampus pelangi. "Ternyata kampus terbaik juga di kota ini, kenapa ak
Duduk termenung seorang diri didalam ruangannya, Darma terus saja memikirkan tentang siapa sebenarnya Sabrina.Setelah membuka amplop tadi pagi, Darma meminta anak buahnya untuk menyelidiki semua hal yang berkaitan tentang Sabrina.Tok.. tok.."Masuk," seru Darma mempersilahkan."Maaf pak, ada beberapa laki-laki datang mencari bapak," seru sekretaris Darma saat melapor."Bawa mereka masuk.""Baik."Tiga laki-laki bertubuh tinggi dengan jaket hitam masuk kedalam ruangan, berdiri tegap dihadapan Darma dengan raut wajah tak terbacanya."Kalian dapatkan," tanya Darma menatap ketiganya."Ini hasil yang kami dapatkan tuan," menyerahkan amplop coklat yang berada dibalik jaket hitamnya.Dibukanya perlahan amplop tersebut, entah kenapa jantung Darma rasanya berdetak lebih cepat tak seperti biasanya.Rasanya ada sedikit ragu saat Darma akan menarik kertas didalam amplop, ada suatu kecemasan yang tak dapat
Wanita itu hanya diam memperhatikan interaksi kedua orang didepannya. Tersenyum sinis saat ia melihat senyum Sasa begitu ceria saat mulai bercerita. Namun sedetik kemudian ia begitu murka saat cucunya mengatakan hal diluar dugaannya. "Heem, juga aku seneng banget karena ditemenin terus sama mama aku." Sasa begitu ceria serta lugas saat mengatakannya, membuat hatinya panas hingga lepas kontrol. "Mama kamu sudah mati!" Semua orang menatapnya, Sabrian menatap penuh tanya siapa wanita yang baru saja berteriak tersebut. "Siapa dia, udah tua sih tapi masih oke wajahnya," batinnya memperhatikan wanita disebelahnya tersebut. "Oma aku takut," cicit Sasa yang bersembunyi dibelakang tubuh Bulan. "Gpp sayang, nggak usah takut ya." Sasa mencengkeram kuat lengan Bulan, tubuhnya bergetar hingga mengeluarkan keringat dingin dari tubuhnya. "Sayang kesini yuk," panggil Sabrina. "Mama," teriaknya
Bandara begitu riuh ramai, banyak orang berlalu lalang keluar masuk. Namun dari kejauhan seorang laki-laki nampak keluar dari bandara dengan begitu gagahnya. Tubuhnya yang tegab berbalut pakaian kerja, jas tersampir dilengan dengan satu tangan menarik koper. Begitu indah dipandang mata setiap wanita, namun wajahnya yang dingin membuat siapapun bergidik ngeri saat ditatapnya. "Selamat pagi tuan, selamat datang kembali ke indonesia." "Apa kabar kamu," tanyanya. "Tentu baik-baik saja, sesuai dengan yang tuan lihat." Laki-laki itu mengambil alih koper dan memasukkan kedalam bagasi mobilnya. Namun sebelum itu, ia lebih dulu membukakan pintu mobil untuk tuannya. "Kita pulang atau ke perusahaan tuan." "Perusahaan. Saya ingin memberi kejutan untuk papa saya," senyumnya sekilas. Dalam perjalanan ia hanya memandang keluar jendela, mengagumi kota yang sudah lama ia tinggalkan. "Bagaimana tentang informasi yang saya m
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam
Marshel terus mencari keberadaan Ica di dalam rumah, namun sudah semua tempat ia periksa masih juga tak bisa menemukan calon istrinya itu. Tak mungkin jika Ica pergi bersama Bunda, sebab Bunda sedang berada di rumah sakit untuk terapi ayah."Kemana lagi itu anak keluar nggak bilang-bilang," gerutunya.Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ica namun tak satupun panggilan atau pesan yang mendepat respon dari lawannya. Semakin geram saat Marshel memikirkan ide Ica lalu untuk membalas kelakuan Selly."Jangan-jangan?"Rasa panik segera menyelimutinya, ia meraih kunci mobil yang ada di dekatnya. Namun baru saja akan melangkah, orang yang sedari tadi di carinya tiba-tiba muncul dengan senyum merekah di wajahnya."Loh, mau kemana?" tanya Ica dengan polosnya."Kenapa sih? Orang nanya itu di jawab, bukannya di pelototin gitu," omelnya.Tak habis fikir Marshel dengan jalan fikiran wanita di depannya itu, bisa-bisanya tak mengerti dengan ke k
Sudah satu bulan sejak lahirnya kedua bayi mungil itu di tengah-tengah mereka, hari-hari Sabrina juga begitu sibuk dengan ketiga bayinya termasuk sang suami yang menjadi bayi kembali diantara anak-anaknya."Hubby ayo buruan, kasian stev udah dingin ini." teriak Sabrina dari dalam kamar mandi.Benar saja, keduanya bersama-sama merawat kedua bayi itu tanpa bantuan suster sebab Sabrina merasa masih sanggup mengurus buah hati mereka. Masih ada mami juga bunda yang setiap harinya selalu membantu menjaga kedua bayi lincah itu.Pagi ini penuh dengan teriakan Sabrina karena merasa kesal dengan suaminya, tugas melepas baju Stevi si bayi cantik itu hanya memakan waktu 10 menitan namun di tangan Nio itu bisa memakan waktu lebih dari 30 menit."Hubby buruan atau keluar dari kamar," teriaknya lagi dengan seluruh kekesalannya."Iya mama, kami datang." serunya dengan rasa tak bersalahnya.Kini keduanya duduk berhadapan dengan masing-masing bayi di tanganny
Deru mobil mulai terdengar, semua orang bersiap dengan berbagai hal di tangannya masing-masing. Terlihat Syan bersama Lili membawa sebuah gulungan berdua, entah apa itu isinya. Dan,"Surprise," teriak semua orang bersamaan.Jantung Sabrina terasa berdetak begitu cepat karena rasa terkejutnya, beruntung si kembar tak mendengar teriakan menggema tersebut.Mata Sabrina berkaca-kaca ketika menatap semua orang di depannya, dengan takjub ia melihat rumah yang ternyata sudah di dekor dengan begitu indahnya demi menyambut ke datangannya. Sabrina tak dapat menahan air mata harunya, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya."Terima kasih semua," ucapnya dengan sesegukan dalam pelukan sang suami."Mana cucu kami?""Ada di bekang, ayah tunggu aja nanti juga masuk si kembar," seru Antonio.Mata Sabrina memicing melihat sebuat tulisan yang di bentangkan Lili bersama Syan. Dengan penasaran ia mencoba mendorong sendiri kursi rodanya unt