Sabrina kebingungan entah dia harus kemana malam ini, tak ada uang juga tak ada tempat yang dia tuju.
Ia hanya bisa duduk dibangku taman yang sepi pengunjung, menangis meluapkan rasa sedihnya. Namun semakin ia berfikir semakin ia tak menemukan jawaban apapun atas masalahnya.
Namun disaat rasa bimbang dan sedihnya itu datanglah seorang anak kecil yang memegang tangan serta menghapus air matanya.
"Are you oke mama?" tanyanya sambil menghapus air mata Sabrina.
Sabrina hanya diam memandangi gadis kecil didepannya, malaikat kecil yang tiba-tiba hadir disaat dunianya mulai menggelap.
"Sayang, kamu sama siapa kesini?" tanya Sabrina.
Dipeluknya tubuh si kecil sambil melihat sekelilingnya. Namun Sabrina tak menemukan siapapun ditaman tersebut.
"Sayang, kamu datang dari mana tadi?" tanyanya kembali memastikan asal dari anak kecil yang tengah berdiri dihadapannya.
"Tentu aja dari jalan itu dong ma," menunjuk jalan didepannya.
"Ya terus kamu sama siapa kesininya?" bingung Sabrina saat tak ada satu orangpun kecuali dirinya.
"Sama oma aku."
"Terus mana omanya."
"Aku tinggalin mah, habis oma lama."
Gadis kecil itu sungguh menggemaskan dengan ekspresi wajah kesal yang dibuatnya, Sabrina yang tadinya menangisi hidupnya kini tersenyum melihat gadis kecil dalam pangkuannya.
"Sayang, nama kamu siapa?" gemasnya melihat gadis dalam pangkuannya.
"Aku? Sasa."
Marisha Septa Dirojo atau lebih akrab disapa Sasa, ia adalah cucu tunggal dari keluarga Dirojo. Kakeknya bernama Darma Dirojo, seorang pengusaha ternama dengan yang disegani oleh semua orang dikotanya.
Sedangkan neneknya adalah Bulan Dirojo, walaupun diusianya yang makin tua namun tak mengurangi kecantikannya. Keduanya adalah pasangan harmonis yang hampir tak pernah mengalami krisis rumah tangga.
"Mama namanya siapa?" tanya Sasa gemas.
"Gimana sih, masa nama mamanya nggak tahu," tawa Sabrina menggoda Sasa.
"Iya juga ya mah," ucap Sasa dengan gayanya sok berfikir.
"Aduh kamu gemesin banget sih sayang, nama tante Sabrina," memeluk erat tubuh si kecil.
"No!! Bukan tante, tapi mama."
"Sasaa," teriak seorang wanita dari kejauhan.
Wanita itu berlari menghampiri keduanya dengan raut wajah khawatirnya. Ia segera mendekap tubuh kecil itu, memastikan jika tak ada luka yang dideritanya.
"Oma, kenalin ini mama aku."
Bulan begitu terkejut saat mendengar cucunya memperkenalkan seorang wanita yang baru ditemuinya. Lebih terkejut lagi saat Sasa yang sulit berbaur dan dekat dengan orang lain malah lengket dengan Sabrina.
"Sabrina tante," mengulurkan tangannya.
"Bulan, saya oma nya Sasa. Apa Sasa merepotkan nak?" tanya Bulan begitu halus.
"Tentu saja tidak, saya seneng ketika dia tiba-tiba mendatangi saya," tawanya sambil memegang pipi Sasa dengan gemas.
"Mama ayo kita pulang," ajak Sasa.
"Ehm, tante-
"Bukan tante tapi mama," potong Sasa pada ucapan Sabrina.
"Sasa, no! Nggak boleh gitu ya. Kasian tantenya mau pulang udah malam juga," bujuk Bulan.
"Bukan tante tapi mama Sasa."
"Iya, mama Sasa. Mama biar pulang ya kasian udah malam loh," bujuk Bulan pada cucunya yang terlihat kesal.
"Nggak mau, aku mau pulang sama mama aja," ngeyel Sasa memeluk erat kaki Sabrina.
"Nak, maafkan cucu saya ya. Saya juga nggak tau kenapa dia begini," canggung Bulan pada tingkah cucunya.
"Gpp tante," ramah Sabrina.
"Sayang, ini kan udah malam sebaiknya anak mama yang cantik ini pulang sama oma ya," bujuk Sabrina sambil berjongkok mensejajarkan diri dengan Sasa.
"Nggak mau, pokoknya sama mama."
"Maaf nak, kamu mau kemana ya malam-malam begini," tanya Bulan.
"Saya ehm, saya mau cari kontrakan disekitar sini tante," jawab Sabrina malu-malu.
"Kontrakan? Kamu nggak ada tempat tinggal?" heboh Bulan yang menarik tangan Sabrina duduk kembali dibangku.
"Iya tante, saya lagi cari kontrakan yang biasa saja."
"Ehmm," pikir Bulan.
"Mama tidur sama Sasa aja kalau gitu," seru Sasa tiba-tiba.
"Lucu banget sih sayang," menjepit wajah Sasa dengan kedua tangannya.
"Kamu mau kerja sama saya nggak nak?" tanya Bulan tiba-tiba.
"Maksud tante ?" tanya Sabrina begitu heran.
"Jadi pengasuh Sasa, kamu juga bisa tinggal dirumah kami."
Sabrina tak langsung menjawab tawaran Bulan, ia masih terlihat ragu dan tak bisa percaya begitu saja.
"Saya Bulan Dirojo nak, istri sah dari pengusaha ternama dikota ini Darma Dirojo!" Menunjukkan ktp nya saat melihat keraguan pada wajah Sabrina.
"Ayo mah kita pulang, Sasa udah ngantuk banget," Rengeknya menarik tangan Sabrina.
"Kami sudah menyewa puluhan pengasuh, tapi Sasa juga berpuluh kali membuat semuanya kabur dengan tingkah jahilnya."
"Baiklah tante, saya terima tawarannya."
"Hore! Tidur sama mama. Hore," girang Sasa memeluk serta mencium kedua pipi Sabrina.
Ketiganya bersama meninggalkan taman, dan tak lama tiba didepan sebuah rumah dengan pagar menjulang tinggi menutupi bangunan rumahnya.
Jalan masuk yang lumayan jauh membuat Sabrina menatap begitu takjub. Ia bukan kagum akan kemewahannya, karena ia juga pernah tinggal dirumah mewah namun dia hanya kagum dengan model bangunan serta banyaknya pepohonan.
"Yuk turun," ajak Bulan.
"Ayo mama kita turun," tarik Sasa pada kedua tangan Sabrina.
Saat masuk kedalam rumah, Darma sudah menyambut ketiganya. Namun saat ia memeluk si mungil Sasa, pandangannya menatap heran wanita didepannya saat ini.
"Kamu siapa ya?" tanyanya.
"Opa, dia mama aku. Namanya Sabrina," kenal Sasa.
"Ha!"
"Biasa aja pah kagetnya, ini Sabrina dia adalah pengasuh baru cucumu yang rewel ini," jelas Bulan.
"Tapi ," sanggah Darman.
"Mama ayo kekamar Sasa udah ngantuk," rengeknya.
"Pergilah, malam ini kamu bisa tidur dulu sama Sasa ya," sahut Bulan.
"Baik, makasih tante om saya permisi," pamit Sabrina sopan.
"Ma, jelasin."
"Kita kekamar aja jelasinnya. Capek habis main india-indiaan sama cucumu itu."
***Dan pagi yang cerah ini diawali dengan suara riang Sasa yang sedang bermain dengan Sabrina diruang tv. Bahkan Sasa tak pernah tertawa selepas itu selama ini, dan suara itu membuat Darma juga Bulan bahagia hingga menitikan air matanya.
"Akhirnya pah ya, kita bisa denger Sasa ketawa kek dulu lagi, " sedih Bulan.
"Papa harus berterima kasih dengan Sabrina ma, dia sudah mengembalikan Sasa kita yang dulu.""Bener pah, kita bertahun-tahun mencobanya tapi gagal. Dan sekarang Sabrina hanya butuh waktu satu hari saja. "
"Mungkin itu yang membuat Sasa nyaman dekat dengannya sampai memanggilnya mama."
"Opa omaa, " teriak Sasa berlari menghampiri keduanya.
"Oh cucu opa udah cantik aja nih. "
"Udah dong, kan udah didandani sama mama."
"Pinternya," gemas Bulan.
"Aku udah cantik kayak mama belum opa?" tanyanya dengan mengedipkan kedua matanya yang terlihat imut.
"Ahh mah, tolong. Papa kena sindrom Sasa ini."
"Sindrom apa pah?" bingung Bulan pada suaminya.
"Sindrom pemuja kecantikan Sasa, " gombal Darma membuat semuanya tertawa.
Ketiganya tertawa bahagia, membuat Sabrina juga ikut tertawa didekat mereka.
"Tuan, nyonya selamat pagi," sapa Sabrina kepada keduanya.
"Aduh duh, jangan manggil gitu nak," seru Bulan buru-buru.
"Hm?" heran Sabrina saat mendengar penolakan Bulan dengan panggilannya.
"Panggil kita papa sama mama aja nak," usul Darma.
"Haa?" kagetnya.
"Betul, kan kamu mamanya Sasa jadi panggil kita papa mama juga."
"Tapi, "
"Kalau nggak mau kita pasti sedih ya pah, ditolak buat punya anak gadis," pura-pura sedih, Bulan mencoba memaksa Sabrina.
"Baiklah, sebaiknya papa sama mama sarapan dulu ya."
Darman tersenyum menatap Sabrina. Ia merasa jika Sabrina ini akan bersama dengan mereka dalam waktu lama, dan entah mengapa ia sudah menerima kehadirannya.
Darma, anaknya juga Sasa adalah orang yang susah sekali menerima orang baru dalam kehidupan pribadinya. Namun entah dengan Sabrina, keduanya merasa menemukan kecocokan.
"Woww, ini nggak mungkin si bibi yang masak kan?" takjub Bulan saat melihat meja makan.
"Ini siapa yang masak?" tanya Darma menatap isi meja makannya.
"Saya om, eh pah."
"Ini apa?"
"Ini sayur asem pah mah, terus lauknya ada tahu tempe sama ayam goreng. Ada sambal juga sebagai pelengkapnya," jelas Sabrina.
"Kita makan sekarang, kayaknya enak."
Darma juga Bulan mulai menyantap makanannya, sedangkan Sabrina tengah sibuk menyuapi Sasa yang begitu manja kepadanya.
"Lagi mamaa."
"Duh pinternya deh."
"Brina, ini bener-bener enak banget," puji Bulan.
"Mulai besok mau nggak kamu memasak untuk kita semua," pinta Darma berharap.
"Tentu saja," senyumnya tulus kepada kedua orang didepannya.
Sabrina kini merasa dihargai dengan semua masakannya. Dulu, apapun yang ia masak akan ada saja hinaan didalamnya. Menyakitkan itu pasti, namun dulu Sabrina harus bisa bertahan.
"Oh iya ma, maaf tapi apa boleh saya nanti ijin sebentar?" tanyanya memberanikan diri.
"Mau kemana?" tanya balik Bulan.
"Saya ada kelas kuliah siang ini, jadi saya harus ke kampus."
"Kamu kuliah?" tanya Darma terkejut.
"Iya pah."
"Yaudah pergi aja, biar Sasa sama mama."
"Nggak mau, Sasa maunya sama mama aja," memeluk erat pinggang Sabrina.
"Gpp ma, nanti biar aku aja yang jelasin sama Sasa."
Dan pagi hari ini diakhiri dengan tawa riang serta canda tawa dari tingkah lucu Sasa yang begitu menggemaskan.
Namun Sabrina tak tahu akan ada hal besar yang sedang menantinya. Rencana mereka akan menjadi kejutan untuk Sabrina.
Setelah mendapat ijin dari Sasa, Sabrina berangkat menuju ke kampusnya. Namun siapa sangka setelah sampai dikampus ia malah mendapat masalah baru."Sabrina," panggil salah seorang teman kelasnya."Ya.""Dipanggil dekan tuh.""Kenapa ya?" heran Sabrina."Nggak tau juga gue, buruan kesana aja.""Yaudah deh, thanks ya."Sabrina berjalan menuju ruang dekan, ia melangkah dengan santai tanpa memikirkan apapun. Namun ditengah jalan ia malah bertemu dengan Syan juga teman-temannya."Cie ada yang mau kemana nih.""Arahnya sih ke ruang dekan.""Mau ngapain loe kesana.""Jangan-jangan mau muasin dekan lagi," tawa semuanya, sedangkan Syan hanya diam menatap benci pada Sabrina."Kemana lo semalam nginapnya?" sinis Syan menatap hina Sabrina."Bukan urusan loe kak.""Jangan pernah panggil gue kak, atau loe mau gue hancurin!" ancam Syan mencekik leher Sabrina.Sabrina melawan,
Burhan keluar dari restoran merasa begitu kesal dengan kesombongan Max hari ini. Ingin rasanya ia membongkar siapa Darma sebenarnya agar Max tak menyombongkan dirinya lagi."Kenapa kamu menghalangiku.""Ya karena aku tau apa yang mau kamu ucapkan.""Bagus dong, biar dia sadar siapa dia sekarang ini.""Terus kalau dia sudah tau, maka aku hanya akan menambah satu jenis anjing penjilat lainnya."Burhan hanya diam mencerna ucapan Darman. Baginya ada benarnya juga ucapan kawannya itu, sebab disekitar Darma memang sudah banyak penjilat yang berkeliaran."Balik kekantor apa nggak?" tanya Darma."Balik lah.""Yaudah ayo .""Iye bos."Burhan adalah teman sekaligus CEO diperusahaan miliknya, mereka dekat semenjak dibangku kuliah. Saling mengenal satu sama lain membuat pertemanan keduanya makin akrab hingga Darma mempercayakan satu perusahaan miliknya.Sesampainya diperusahaan, Darma bergegas pergi setelah
Duduk berdua didalam kamar, Sabrina berhadapan langsung dengan mata Sasa yang terus menatap tajam dirinya. Glekk, Sabrina dengan susah payah menelan salivanya, entah darimana ia akan menjelaskan permasalahan tentang adik untuk bocah kecil didepannya itu. "Ayo mah buat adek," seru Sasa tak sabar. "Sayang, buat adek itu gak gampang loh." "Susah ya mah. Apa perlu pakai tepung?" polosnya berbicara, mengundang tawa Sabrina yang tertahan. "Ehm, iya pakai tepung tapi kan kita belum beli tepungnya kan?" jawabnya. "Gitu ya ma, nanti kita beli tepung ya mama. Sasa udah gak sabar mau bikin adek," ajaknya penuh semangat, membuat Sabrina pusing untuk menjelaskan. "Bukan cuma butuh tepung aja sayang, tapi juga butuh telur." "Kan nanti kita beli telur sekalian aja ma." "Gak bisa, telurnya ini spesial. Cuma papanya Sasa aja yang punya," Sabrina segera menutup mulutnya saat tak sengaja berbicara hal aneh dide
Pagi harinya Darma terbangun lebih dulu, ia keluar dari kamar hendak melangkah menuju dapur. Namun tanpa sengaja ia berpapasan dengan pelayan yang sedang membersihkan rumahnya. "Permisi tuan," panggil pelayannya. "Iya, ada apa," menghentikan langkahnya tepat didepan pelayan tersebut. "Maaf tuan, tadi saat saya bersih-bersih nggak sengaja menemukan amplop ini didepan ruangan kerja tuan," memberikan sebuah amplop berwarna coklat yang tadi ia temukan. "Terima kasih ya bik," ucap tulus Darma kepada pelayannya. Namun setelah itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur dan segera menuju ruang kerjanya. Duduk dikursi kerja, Darma terus membolak-balik amplop coklat yang ada ditangannya. "Kampus pelangi," gumamnya saat melihat ada logo sebuah kampus yang tertera disudut amplop. Darma membuka laptopnya dan mencari tahu tetang kampus pelangi. "Ternyata kampus terbaik juga di kota ini, kenapa ak
Duduk termenung seorang diri didalam ruangannya, Darma terus saja memikirkan tentang siapa sebenarnya Sabrina.Setelah membuka amplop tadi pagi, Darma meminta anak buahnya untuk menyelidiki semua hal yang berkaitan tentang Sabrina.Tok.. tok.."Masuk," seru Darma mempersilahkan."Maaf pak, ada beberapa laki-laki datang mencari bapak," seru sekretaris Darma saat melapor."Bawa mereka masuk.""Baik."Tiga laki-laki bertubuh tinggi dengan jaket hitam masuk kedalam ruangan, berdiri tegap dihadapan Darma dengan raut wajah tak terbacanya."Kalian dapatkan," tanya Darma menatap ketiganya."Ini hasil yang kami dapatkan tuan," menyerahkan amplop coklat yang berada dibalik jaket hitamnya.Dibukanya perlahan amplop tersebut, entah kenapa jantung Darma rasanya berdetak lebih cepat tak seperti biasanya.Rasanya ada sedikit ragu saat Darma akan menarik kertas didalam amplop, ada suatu kecemasan yang tak dapat
Wanita itu hanya diam memperhatikan interaksi kedua orang didepannya. Tersenyum sinis saat ia melihat senyum Sasa begitu ceria saat mulai bercerita. Namun sedetik kemudian ia begitu murka saat cucunya mengatakan hal diluar dugaannya. "Heem, juga aku seneng banget karena ditemenin terus sama mama aku." Sasa begitu ceria serta lugas saat mengatakannya, membuat hatinya panas hingga lepas kontrol. "Mama kamu sudah mati!" Semua orang menatapnya, Sabrian menatap penuh tanya siapa wanita yang baru saja berteriak tersebut. "Siapa dia, udah tua sih tapi masih oke wajahnya," batinnya memperhatikan wanita disebelahnya tersebut. "Oma aku takut," cicit Sasa yang bersembunyi dibelakang tubuh Bulan. "Gpp sayang, nggak usah takut ya." Sasa mencengkeram kuat lengan Bulan, tubuhnya bergetar hingga mengeluarkan keringat dingin dari tubuhnya. "Sayang kesini yuk," panggil Sabrina. "Mama," teriaknya
Bandara begitu riuh ramai, banyak orang berlalu lalang keluar masuk. Namun dari kejauhan seorang laki-laki nampak keluar dari bandara dengan begitu gagahnya. Tubuhnya yang tegab berbalut pakaian kerja, jas tersampir dilengan dengan satu tangan menarik koper. Begitu indah dipandang mata setiap wanita, namun wajahnya yang dingin membuat siapapun bergidik ngeri saat ditatapnya. "Selamat pagi tuan, selamat datang kembali ke indonesia." "Apa kabar kamu," tanyanya. "Tentu baik-baik saja, sesuai dengan yang tuan lihat." Laki-laki itu mengambil alih koper dan memasukkan kedalam bagasi mobilnya. Namun sebelum itu, ia lebih dulu membukakan pintu mobil untuk tuannya. "Kita pulang atau ke perusahaan tuan." "Perusahaan. Saya ingin memberi kejutan untuk papa saya," senyumnya sekilas. Dalam perjalanan ia hanya memandang keluar jendela, mengagumi kota yang sudah lama ia tinggalkan. "Bagaimana tentang informasi yang saya m
Tubuh gadis itu meringkuk disudut ruangan, memeluk lututnya hingga tubuhnya bergetar. Sasa menangis tanpa suara, Lastri hanya diam menatap cucunya dari sofa tempatnya duduk. "Mama," lirih Sasa memanggil Sabrina. "Sasa! Dia bukan mama kamu, " bentak Lastri menakuti Sasa. Didalam mobil Sabrina begitu nampak gelisah, bukan karena rasa takut melainkan ia mengkhawatirkan keadaan Sasa dirumah sendirian. "Tolong lepaskan saya, anak saya dirumah sendirian." "Tutup mulutmu, dia bukan anakmu!" "Terserah kalian bilang apa, tapi tolong lepaskan saya." "Tenang aja," santai mereka semua menikmati jalanan. Mobil itu terus melaju, menembus hamparan rumput disekitar jalan. Pemandangan yang cukup indah namun tak dapat Sabrina nikmati. "Lempar dia keluar," seru salah seorang laki-laki. Mobil masih melaju, namun laki-laki itu membuka pintu penumpang. Dengan teganya ia mendorong keluar tubuh Sabrina dari dalam mobil.
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam
Marshel terus mencari keberadaan Ica di dalam rumah, namun sudah semua tempat ia periksa masih juga tak bisa menemukan calon istrinya itu. Tak mungkin jika Ica pergi bersama Bunda, sebab Bunda sedang berada di rumah sakit untuk terapi ayah."Kemana lagi itu anak keluar nggak bilang-bilang," gerutunya.Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ica namun tak satupun panggilan atau pesan yang mendepat respon dari lawannya. Semakin geram saat Marshel memikirkan ide Ica lalu untuk membalas kelakuan Selly."Jangan-jangan?"Rasa panik segera menyelimutinya, ia meraih kunci mobil yang ada di dekatnya. Namun baru saja akan melangkah, orang yang sedari tadi di carinya tiba-tiba muncul dengan senyum merekah di wajahnya."Loh, mau kemana?" tanya Ica dengan polosnya."Kenapa sih? Orang nanya itu di jawab, bukannya di pelototin gitu," omelnya.Tak habis fikir Marshel dengan jalan fikiran wanita di depannya itu, bisa-bisanya tak mengerti dengan ke k
Sudah satu bulan sejak lahirnya kedua bayi mungil itu di tengah-tengah mereka, hari-hari Sabrina juga begitu sibuk dengan ketiga bayinya termasuk sang suami yang menjadi bayi kembali diantara anak-anaknya."Hubby ayo buruan, kasian stev udah dingin ini." teriak Sabrina dari dalam kamar mandi.Benar saja, keduanya bersama-sama merawat kedua bayi itu tanpa bantuan suster sebab Sabrina merasa masih sanggup mengurus buah hati mereka. Masih ada mami juga bunda yang setiap harinya selalu membantu menjaga kedua bayi lincah itu.Pagi ini penuh dengan teriakan Sabrina karena merasa kesal dengan suaminya, tugas melepas baju Stevi si bayi cantik itu hanya memakan waktu 10 menitan namun di tangan Nio itu bisa memakan waktu lebih dari 30 menit."Hubby buruan atau keluar dari kamar," teriaknya lagi dengan seluruh kekesalannya."Iya mama, kami datang." serunya dengan rasa tak bersalahnya.Kini keduanya duduk berhadapan dengan masing-masing bayi di tanganny
Deru mobil mulai terdengar, semua orang bersiap dengan berbagai hal di tangannya masing-masing. Terlihat Syan bersama Lili membawa sebuah gulungan berdua, entah apa itu isinya. Dan,"Surprise," teriak semua orang bersamaan.Jantung Sabrina terasa berdetak begitu cepat karena rasa terkejutnya, beruntung si kembar tak mendengar teriakan menggema tersebut.Mata Sabrina berkaca-kaca ketika menatap semua orang di depannya, dengan takjub ia melihat rumah yang ternyata sudah di dekor dengan begitu indahnya demi menyambut ke datangannya. Sabrina tak dapat menahan air mata harunya, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya."Terima kasih semua," ucapnya dengan sesegukan dalam pelukan sang suami."Mana cucu kami?""Ada di bekang, ayah tunggu aja nanti juga masuk si kembar," seru Antonio.Mata Sabrina memicing melihat sebuat tulisan yang di bentangkan Lili bersama Syan. Dengan penasaran ia mencoba mendorong sendiri kursi rodanya unt