Bulan memegangi tangan cucunya, ia mengadu tentang apa yang telah papanya lakukan terhadap mamanya hingga malam ini dirinya harus sendiri tanpa dampingan sang mama. Sasa memang tak bisa merespon apapun yang terjadi di sekitarnya, namun ia bisa mendengar semua hal yang terjadi disekitarnya.
Sasa menitikan air matanya mendengar apa yang Bulan sampaikan, gadis kecil itu ingin segera membuka matanya dan melihat kembali mamanya namun mengapa sangat sulit baginya.
"Mi, sebaiknya pulang dulu aja. Mami juga butuh istirahat," ajak Darma pada istrinya.
Bulan melepas tangan Darma yang ada dibahunya, ia menolak. Ia menolak untuk berjauhan dengan cucunya walau sebentar saja, ia masih sangat ingin berada disamping cucunya menggantikan Sabrina.
"Mami juga butuh istirahat, kita akan kembali lagi esok pagi."
"Nggak, papi pulang aja ajak juga anak bodohmu itu."
"Mii—
"Jangan pernah memanggilku mami! Aku tidak pernah melahirkan laki-laki bod
Pagi ini Selly memutuskan untuk pergi ke rumah sakit dengan sisa uang yang dimilikinya, ia yakin kali ini bisa menghubungi mamanya dan tak akan kebingungan lagi dengan uang. Selesai memeriksakan wajahnya, Selly terlihat mendatangi sebuah telepon umum.Lastri masih tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya, putrinya yang menghilang tiba-tiba menghubunginya. Ia sangat senang namun bersamaan juga merasa sangat ketakutan, ia bimbang apakah ia harus mendatangi putrinya itu atau tidak."Bagaimana kalau mereka mengikutiku, bisa ketahuan Selly nanti," cemasnya.Tak ada pilihan lagi, Lastri meyakinkan dirinya dan pergi menemui putrinya. Tak lupa ia membawa banyak bekal makanan juga beberapa lembar uang tunai.Di taman mata Lastri tak kuasa menahan tangisnya, setelah sekian lama akhirnya ia dapat kembali berjumpa dengan putrinya namun keadaan wajah Selly nampak begitu mengerikan baginya.Selly yang melihat mamanya segera menarik Lastri ke tempat
Berita kematian Sasa sudah menyebar, banyak orang yang datang dan ikut berkabung termasuk Lastri yang terlihat datang dengan derai air matanya. Ia berjalan mendekat, kali ini ia hanya ingin datang sebagai nenek dari Sasa.Nio mengijinkannya mendekat dan melihat Sasa untuk yang terakhri kalinya. Lastri begitu hancur melihat wajah pucat itu, rasa bersalah terselip begitu besar menghubus jantungnya. Ia tahu jika semua ini adalah akibat dari perbuatan putrinya hingga rasanya tak adil jika ia memohon ampun untuk Selly atas perbuatannya ini.Terlihat juga disana keluarga Rizal yang berusaha menguatkan Nio, terutaman Rizal yang tak pernah meninggalkan Nio seorang diri dalam kekosongannya. Kejadian lalu memang sempat membuatnya marah, bahkan membuat keluarganya marah namun mereka berusaha mengerti dengan keadaan Nio.Nio bangkit, ia berjalan masuk ke dalam salah satu kamar yang menjadi ruang bermain bagi putrinya itu. Disana ia memeluk boneka teddy kesayangan Sasa, meng
Merasa ada yang sedang mengikutinya Lastri mencoba melihat dari balik spion mobil, benar saja ada sebuah mobil yang sedang mengikutinya."Pasti laki-laki itu curiga terhadapku, itu sebabnya ia meminta orang mengikuti.""Nggak bisa, belum saatnya Selly ketahuan. Aku harus mengalihkan mereka," lanjutnya lalu kembali fokus pada kemundinya.Lastri memutar arahnya, ia mengambil jalur lain untuk mengecoh. Dalam perjalananya ia merasa apa yang ia lakukan saat ini salah, ia merasa telah mengkhianati cucunya sendiri. Lastri merasa telah menjadi pembunuh sekaligus penjahat bagi cucu kandungnya."Maafkan nenek Sasa, bukan maksud nenek menyembunyikan putri nenek. Beri nenek waktu, tolong jangan salahkan nenek," gumamnya berderai air mata.Sedang saat semua orang sedang banjir dengan air mata, terlihat Selly sedang menikmati harinya yang indah. Tak lagi kelaparan dan tak lagi hidup dirumah kumuh benar-benar membuat moodnya selalu ceria, berbeda dengan har
Selly terlihat tengah bersiap disebuah ruangan, rencananya hari ini ia akan melakukan perawatan pada luka bakar diwajahnya. Lastri sengaja mencari dokter kulit yang jauh dari kota agar tak membuat curiga Nio juga anak buahnya."Bagaimana dok wajah putri saya," tanya Lastri pada dokter."Butuh waktu agak lama untuk mengembalikan kondisinya seperti semula, namun seperti yang saya katakan sebelumnya jika ini tidak bisa menyembuhkan secara 100%," ucap dokter kepada Lastri."Aku hanya ingin luka ini segera menghilang dari wajahku dok. Luka ini sesekali terasa begitu sakit dan sangat menyiksa," seru Selly."Terang saja sakit, itu diakibatkan karena anda tidak baik-baik merawatnya saat itu masih luka baru."Gimana mau merawatnya, uang saja tak punya waktu itu," lirihnya bergumam.Perlahan dokter mulai mengobati luka bakar Selly, sesekali pula Selly akan berteriak kesakitan kala dokter malakukan tindakan."Tahan Selly, ini demi wa
Suasana malam ini seakan berbeda dengan malam-malam sebelumnya, jika dulu disetiap malam akan ada rasa dingin yang membalut dua insan kesepian kini semua terbayar dengan kehangatan yang sedang membakar keduanya.Nio mendekap Sabrina dengan begitu rindu, dekapan yang tak mampu lagi memeluk erat perut istrinya. Kondisi kehamilan Sabrina memang sudah sangat besar, bahkan tak jarang Sabrina merasa sedikit kesusahan bernafas ketika terlalu banyak berjalan.Pagi yang begitu indah ketika kedua mata yang baru saja terbuka langsung disuguhi keindahan ciptaan Tuhan, Nio hanya bisa terdiam menatap indah wajah istrinya. Ada rasa bersalah ketika ia mengingat kembali kejadian dulu, kejadian dimana ia begitu kejam kepada istrinya."Maaf," lirihnya membelai pipi chuby istrinya.Belaian itu perlahan turun dari wajah hingga tubuh istrinya, Nio merasa sangat merindukan istrinya. Rasanya tak cukup jika ia hanya satu kali, hingga akhirnya ia memaksa Sabrina yang sedang
Sudah hampir satu minggu keduanya menikmati masa-masa berduanya di vila, jauh dari keramaian dan penuh keromantisan. Nio benar-benar memanfaatkan waktunya untuk memperbaiki hubungan dengan Sabrina, manjadikan hubungan yang sedingin es menjadi sepanas bara api."Sudah siap yank," tanya Nio yang datang sembari mengancingkan lengannya.Sabrina tak menyahutinya, wanita itu malah sedang merapatkan dirinya dengan tubuh sang suami."Mau apa," tanya Nio memicingkan matanya."Nggak, nggak ada kok," membelai lembur dada suaminya."Jangan nakal ya tangannya ini."Sabrina tersenyum jahil ketika melihat telinga suaminya sudah berubah warna menjadi merah, itu pertanda jika rangsangannya bekerja dengan sangat baik pada tubuh suaminya. Dengan masih tertawa Sabrina melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar.Nio hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang istri, sungguh menggemaskan dan menjengkalkan dalam waktu bersaan. "Jahil banget ja
Hari ini sesuai dengan rencana Sabrina akan pergi berbelanja dengan kedua mamanya, minus sang suami yang harus melakukan sebuah pekerjaan. Berat rasanya saat Nio harus berjauhan dari sang istri, perasaannya benar-benar resah saat melepas kepergian sang istri."Ada bunda sama tante juga yang jagain, tenang aja kali bro," tepuk Marshel pada bahu Nio."Entah, rasanya berat melihat dia pergi dan jauh dari jangkauan mataku ini. Ada rasa yang kurang saat tak menatapnya Shel, rasanya ada sesuatu yang gue nggak tahu.""Udah tenang aja, kalau ada apa-apa pasti juga dikabarin. Proyek ini butuh loe disana buat deal," menarik Nio pergi dan menjauhi rumahnya.Nio baru saja tiba namun sudah banyak yang menunggunya, ternyata benar kata Marshel jika mereka memang menunggu dirinya untuk terjun langsung pada proyek ini. Semua orang begitu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, termasuk Nio juga Marshel yang tengah sibuk melihat berkas kerja sama."Deal, saya suka den
Semua keluar dengan wajah riangnya, terutaman Sabrina yang menikmati harinya kali ini. Bisa berbelanja puas dengan kedua ibunya membuatnya merasa begitu nyaman. Namun entah kenapa dalam tawa itu terselip rasa marah juga cemas yang datang bersamaan."Kenapa ini, kenapa rasanya aku marah dan cemas bersamaan?" batin Sabrina yang memegangi dadanya.Alex yang sedang mendorong kursi roda nona mudanya terlihat begitu waspada, belajar dari masa lalu kali ini ia tak ingin kecolongan dalam pekerajaannya. Tangannya begitu erat memegagi kursi roda Sabrina."Nona sebaiknya kita segera pulang, saya takut tuan muda akan marah jika nona kelelahan," ucap Alex."Benar sekali, mami nggak mau kena omel tuh anak kalau sampai istrinya kelelahan.""Yaudah kalau gitu kita pulang saja, lagian semua yang kita ingin beli juga sudah kebeli kan," sahut Lena saat mereka tiba didepan mall."Biar saya bantu masukkan belanjaannya nyonya, "tawar Alex yang meminta belanjaan d
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam
Marshel terus mencari keberadaan Ica di dalam rumah, namun sudah semua tempat ia periksa masih juga tak bisa menemukan calon istrinya itu. Tak mungkin jika Ica pergi bersama Bunda, sebab Bunda sedang berada di rumah sakit untuk terapi ayah."Kemana lagi itu anak keluar nggak bilang-bilang," gerutunya.Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ica namun tak satupun panggilan atau pesan yang mendepat respon dari lawannya. Semakin geram saat Marshel memikirkan ide Ica lalu untuk membalas kelakuan Selly."Jangan-jangan?"Rasa panik segera menyelimutinya, ia meraih kunci mobil yang ada di dekatnya. Namun baru saja akan melangkah, orang yang sedari tadi di carinya tiba-tiba muncul dengan senyum merekah di wajahnya."Loh, mau kemana?" tanya Ica dengan polosnya."Kenapa sih? Orang nanya itu di jawab, bukannya di pelototin gitu," omelnya.Tak habis fikir Marshel dengan jalan fikiran wanita di depannya itu, bisa-bisanya tak mengerti dengan ke k
Sudah satu bulan sejak lahirnya kedua bayi mungil itu di tengah-tengah mereka, hari-hari Sabrina juga begitu sibuk dengan ketiga bayinya termasuk sang suami yang menjadi bayi kembali diantara anak-anaknya."Hubby ayo buruan, kasian stev udah dingin ini." teriak Sabrina dari dalam kamar mandi.Benar saja, keduanya bersama-sama merawat kedua bayi itu tanpa bantuan suster sebab Sabrina merasa masih sanggup mengurus buah hati mereka. Masih ada mami juga bunda yang setiap harinya selalu membantu menjaga kedua bayi lincah itu.Pagi ini penuh dengan teriakan Sabrina karena merasa kesal dengan suaminya, tugas melepas baju Stevi si bayi cantik itu hanya memakan waktu 10 menitan namun di tangan Nio itu bisa memakan waktu lebih dari 30 menit."Hubby buruan atau keluar dari kamar," teriaknya lagi dengan seluruh kekesalannya."Iya mama, kami datang." serunya dengan rasa tak bersalahnya.Kini keduanya duduk berhadapan dengan masing-masing bayi di tanganny
Deru mobil mulai terdengar, semua orang bersiap dengan berbagai hal di tangannya masing-masing. Terlihat Syan bersama Lili membawa sebuah gulungan berdua, entah apa itu isinya. Dan,"Surprise," teriak semua orang bersamaan.Jantung Sabrina terasa berdetak begitu cepat karena rasa terkejutnya, beruntung si kembar tak mendengar teriakan menggema tersebut.Mata Sabrina berkaca-kaca ketika menatap semua orang di depannya, dengan takjub ia melihat rumah yang ternyata sudah di dekor dengan begitu indahnya demi menyambut ke datangannya. Sabrina tak dapat menahan air mata harunya, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya."Terima kasih semua," ucapnya dengan sesegukan dalam pelukan sang suami."Mana cucu kami?""Ada di bekang, ayah tunggu aja nanti juga masuk si kembar," seru Antonio.Mata Sabrina memicing melihat sebuat tulisan yang di bentangkan Lili bersama Syan. Dengan penasaran ia mencoba mendorong sendiri kursi rodanya unt