Sudah hampir satu bulan sejak kondisi Sasa yang koma, satu bulan pula Selly masih tak kunjung menampakan dirinya. Begitu lihai bersembunyi hingga sampai kini tak ada satupun orang yang dapat menemukannya, bahkan polisi juga sudah menyebarkan foto Selly dimasyarakat sebagai buronan.
Kondisi Sasa masih tetap sama, masih tertidur dengan begitu nyenyaknya. Sasa bisa bertahan memang berkat alat bantu yang menopang hidupnya, dokter sudah menyerah pekan lalu dan mengutarakan hal itu pada semua keluarga namun Sabrina histeris dan menolak hal itu. Nio sempat dilema dengan apa yang harus diputuskannya, satu sisi ia tak ingin menyiksa putrinya namun disisi lain ia juga tak bisa mengabaikan kondisi istrinya saat ini.
"Hai sayang, lihat deh siapa yang datang ini," seru ceria Sabrina.Syan masuk bersama Lili membawa sebuah bonek tedy bear berukuran cukup besar, mereka ingat jika Sasa sangat menyukai jenis boneka itu. Sabrina masih tak menyerah dan berusaha membangunkan pu
Ica turun dan sedikit berlari menuju supermarket yang ada didepannya saat ini, namun tanpa sengaja saat ia ingin mengambil makanan kesukaan Sabrina sebuah tubuh menabrak dirinya. Ica yang saat itu tak seimbang jatuh ke lantai dengan cukup keras. Wanita yang menabrak Ica begitu terkejut saat melihat siapa yang sudah ditabraknya, Ica melihatnya. Saat wanita itu berlari dengan ketakutan tanpa sengaja Ica melihat sekilas wajahnya saat sedang berbalik menatapnya. "Anda?" Suara Ica yang cukup lantang membuat wanita tersebut semakin ketakutan dan mempercepat larinya keluar dari supermarket. Ica segera menyelesaikan belanjanya dan segera kembali kedalam mobil Marshel. "Lama banget sih, beli apa aja sampai lama gini," omel Marshel melihat Ica baru saja duduk disebelahnya. Ica hanya diam, ia terdiam dengan fikiran terus melayang memikirkan wanita yang sempat menabraknya itu. Ia merasa tak asing dengan wajah itu, walaupun luka diwajahnya cukup para
Semua orang menatap kedatangan Nio dengan wajah tegangnya, Nio menaikkan alisnya menatap semua orang didepannya."Apa yang sedang kalian semua sembunyikan ?"Tak ada satupun yang berbicara maupun menjawab pertanyaan Nio barusan, mereka memilih menghindari kontak mata dengan Nio."Lex, katakan."Alex menelan salivanya dengan susabh payah, bibirnya terasa berat menyampaikan apa yang baru saja dokter sampaikan padanya. Terasa berat hingga rasanya ia sudah menjadi orang bisu saat ini."Ikut gue, kita ngobrol di taman aja."Nio mengikuti Marshel berjalan menuju taman rumah sakit, ada rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya tengah mereka bicarakan. Selagi Marshel membawa Nio pergi, ketiganya masuk dan menemui Sabrina yang tengah membasuh tubuh putrinya."Kak Ica sendirian aja?" tanya Sabrina dengan tetap fokus pada kegiatannya."Sama kak Marshel kok, cuma lagi keluar sebentar katanya mau ke toilet," bohongnya sembari meletak
Lastri begitu kesepian, hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Hingga kini bahkan dirinya masih tak tahu kemana perginya Selly putrinya, rasanya anaknya itu sudah hilang bersama waktu.Tak hanya tak kunjung menemukan Selly putrinya, ia juga kesulitan menemui putrinya yang hingga kini masih dalam keadaan koma. Nio begitu ketat menjaga putrinya, ia bahkan menempatkan penjaga khusus untuk memantau siapa saja yang bisa menengok putri kecilnya.Merasa bosan, Lastri memutuskan untuk pergi keluar sekedar menghirup udara segar. Menggunakan mobil Lastri terus berjalan hingga ia tiba dimana ia sama sekali belum pernah mengunjungi tempat tersebut.Saat ia membuka jendela mobil, sosok seorang pengemis begitu menarik perhatiannya. Sempat mengira jika itu adalah putrinya. Namun saat matanya menatap wajah rusak itu keyakinan itu menguap begitu saja dari dalam diri Lastri."Sudah gila aku ini, mana mungkin putriku sejelek itu," gumamnya meninggalkan tempat itu.
Nio marah dengan keadaan putrinya saat ini, semua kenangan bersama Sasa terputar begitu saja dalam ingatannya. Semua penjelasan Marshel kala itu kembali berdengung ditelinganya. Ia menatap sang istri yang tengah menangis dalam pelukan maminya, matanya berkabut dengan kekalutannya.Pelahan ia bangkit dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan, Alex berusaha mencegah tuannya agar tak salah berlaku kepada istrinya. Nyatanya kini Nio sudah dikuasai emosinya, ia tak bisa mendengar apapun selain fikirannya sendiri."Ini semua gara-gara kamu, kamu menyiksa anakku! Kamu egosi."Semua orang tercengang mendengar teriakan Nio kala itu, hati Sabrina berdetak begitu cepat mendengar itu. Egois? Apa benar itu, hingga membuat Sabrina menatap suaminya dalam diam."Nio, jaga bicara kamu ini.""Papi nggak usah ikut campur, dia memang sangat egois yang hanya memikirkan perasaannya sendiri."Nio semakin diliputi rasa marahnya, ia kehilangan kendali diri hingg
Bulan memegangi tangan cucunya, ia mengadu tentang apa yang telah papanya lakukan terhadap mamanya hingga malam ini dirinya harus sendiri tanpa dampingan sang mama. Sasa memang tak bisa merespon apapun yang terjadi di sekitarnya, namun ia bisa mendengar semua hal yang terjadi disekitarnya.Sasa menitikan air matanya mendengar apa yang Bulan sampaikan, gadis kecil itu ingin segera membuka matanya dan melihat kembali mamanya namun mengapa sangat sulit baginya."Mi, sebaiknya pulang dulu aja. Mami juga butuh istirahat," ajak Darma pada istrinya.Bulan melepas tangan Darma yang ada dibahunya, ia menolak. Ia menolak untuk berjauhan dengan cucunya walau sebentar saja, ia masih sangat ingin berada disamping cucunya menggantikan Sabrina."Mami juga butuh istirahat, kita akan kembali lagi esok pagi.""Nggak, papi pulang aja ajak juga anak bodohmu itu.""Mii—"Jangan pernah memanggilku mami! Aku tidak pernah melahirkan laki-laki bod
Pagi ini Selly memutuskan untuk pergi ke rumah sakit dengan sisa uang yang dimilikinya, ia yakin kali ini bisa menghubungi mamanya dan tak akan kebingungan lagi dengan uang. Selesai memeriksakan wajahnya, Selly terlihat mendatangi sebuah telepon umum.Lastri masih tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya, putrinya yang menghilang tiba-tiba menghubunginya. Ia sangat senang namun bersamaan juga merasa sangat ketakutan, ia bimbang apakah ia harus mendatangi putrinya itu atau tidak."Bagaimana kalau mereka mengikutiku, bisa ketahuan Selly nanti," cemasnya.Tak ada pilihan lagi, Lastri meyakinkan dirinya dan pergi menemui putrinya. Tak lupa ia membawa banyak bekal makanan juga beberapa lembar uang tunai.Di taman mata Lastri tak kuasa menahan tangisnya, setelah sekian lama akhirnya ia dapat kembali berjumpa dengan putrinya namun keadaan wajah Selly nampak begitu mengerikan baginya.Selly yang melihat mamanya segera menarik Lastri ke tempat
Berita kematian Sasa sudah menyebar, banyak orang yang datang dan ikut berkabung termasuk Lastri yang terlihat datang dengan derai air matanya. Ia berjalan mendekat, kali ini ia hanya ingin datang sebagai nenek dari Sasa.Nio mengijinkannya mendekat dan melihat Sasa untuk yang terakhri kalinya. Lastri begitu hancur melihat wajah pucat itu, rasa bersalah terselip begitu besar menghubus jantungnya. Ia tahu jika semua ini adalah akibat dari perbuatan putrinya hingga rasanya tak adil jika ia memohon ampun untuk Selly atas perbuatannya ini.Terlihat juga disana keluarga Rizal yang berusaha menguatkan Nio, terutaman Rizal yang tak pernah meninggalkan Nio seorang diri dalam kekosongannya. Kejadian lalu memang sempat membuatnya marah, bahkan membuat keluarganya marah namun mereka berusaha mengerti dengan keadaan Nio.Nio bangkit, ia berjalan masuk ke dalam salah satu kamar yang menjadi ruang bermain bagi putrinya itu. Disana ia memeluk boneka teddy kesayangan Sasa, meng
Merasa ada yang sedang mengikutinya Lastri mencoba melihat dari balik spion mobil, benar saja ada sebuah mobil yang sedang mengikutinya."Pasti laki-laki itu curiga terhadapku, itu sebabnya ia meminta orang mengikuti.""Nggak bisa, belum saatnya Selly ketahuan. Aku harus mengalihkan mereka," lanjutnya lalu kembali fokus pada kemundinya.Lastri memutar arahnya, ia mengambil jalur lain untuk mengecoh. Dalam perjalananya ia merasa apa yang ia lakukan saat ini salah, ia merasa telah mengkhianati cucunya sendiri. Lastri merasa telah menjadi pembunuh sekaligus penjahat bagi cucu kandungnya."Maafkan nenek Sasa, bukan maksud nenek menyembunyikan putri nenek. Beri nenek waktu, tolong jangan salahkan nenek," gumamnya berderai air mata.Sedang saat semua orang sedang banjir dengan air mata, terlihat Selly sedang menikmati harinya yang indah. Tak lagi kelaparan dan tak lagi hidup dirumah kumuh benar-benar membuat moodnya selalu ceria, berbeda dengan har
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam
Marshel terus mencari keberadaan Ica di dalam rumah, namun sudah semua tempat ia periksa masih juga tak bisa menemukan calon istrinya itu. Tak mungkin jika Ica pergi bersama Bunda, sebab Bunda sedang berada di rumah sakit untuk terapi ayah."Kemana lagi itu anak keluar nggak bilang-bilang," gerutunya.Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ica namun tak satupun panggilan atau pesan yang mendepat respon dari lawannya. Semakin geram saat Marshel memikirkan ide Ica lalu untuk membalas kelakuan Selly."Jangan-jangan?"Rasa panik segera menyelimutinya, ia meraih kunci mobil yang ada di dekatnya. Namun baru saja akan melangkah, orang yang sedari tadi di carinya tiba-tiba muncul dengan senyum merekah di wajahnya."Loh, mau kemana?" tanya Ica dengan polosnya."Kenapa sih? Orang nanya itu di jawab, bukannya di pelototin gitu," omelnya.Tak habis fikir Marshel dengan jalan fikiran wanita di depannya itu, bisa-bisanya tak mengerti dengan ke k
Sudah satu bulan sejak lahirnya kedua bayi mungil itu di tengah-tengah mereka, hari-hari Sabrina juga begitu sibuk dengan ketiga bayinya termasuk sang suami yang menjadi bayi kembali diantara anak-anaknya."Hubby ayo buruan, kasian stev udah dingin ini." teriak Sabrina dari dalam kamar mandi.Benar saja, keduanya bersama-sama merawat kedua bayi itu tanpa bantuan suster sebab Sabrina merasa masih sanggup mengurus buah hati mereka. Masih ada mami juga bunda yang setiap harinya selalu membantu menjaga kedua bayi lincah itu.Pagi ini penuh dengan teriakan Sabrina karena merasa kesal dengan suaminya, tugas melepas baju Stevi si bayi cantik itu hanya memakan waktu 10 menitan namun di tangan Nio itu bisa memakan waktu lebih dari 30 menit."Hubby buruan atau keluar dari kamar," teriaknya lagi dengan seluruh kekesalannya."Iya mama, kami datang." serunya dengan rasa tak bersalahnya.Kini keduanya duduk berhadapan dengan masing-masing bayi di tanganny
Deru mobil mulai terdengar, semua orang bersiap dengan berbagai hal di tangannya masing-masing. Terlihat Syan bersama Lili membawa sebuah gulungan berdua, entah apa itu isinya. Dan,"Surprise," teriak semua orang bersamaan.Jantung Sabrina terasa berdetak begitu cepat karena rasa terkejutnya, beruntung si kembar tak mendengar teriakan menggema tersebut.Mata Sabrina berkaca-kaca ketika menatap semua orang di depannya, dengan takjub ia melihat rumah yang ternyata sudah di dekor dengan begitu indahnya demi menyambut ke datangannya. Sabrina tak dapat menahan air mata harunya, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya."Terima kasih semua," ucapnya dengan sesegukan dalam pelukan sang suami."Mana cucu kami?""Ada di bekang, ayah tunggu aja nanti juga masuk si kembar," seru Antonio.Mata Sabrina memicing melihat sebuat tulisan yang di bentangkan Lili bersama Syan. Dengan penasaran ia mencoba mendorong sendiri kursi rodanya unt