Mimpi aneh.
Suasana hari ini begitu tenang, tetapi tidak dengan hati Ruby. Rasa gelisah menghantuinya. Mimpi itu, bukankah memiliki dialog yang sama? Jika malam itu Ruby hanya mendengar, kali ini ia memerankannya sendiri. Perdebatan itu terjadi di dalam kamar ini. Dengan lelaki yang mengunjunginya tempo hari."Baiklah, anggap saja aku Ruby dan aku mencintai pria 'Yang Mulia' itu. Lalu, aku mundur karena dia sudah memiliki kekasih. Zalina, 'kan? Dia kandidat Putri Mahkota selain aku. Dan kenapa aku harus bunuh diri hanya karena putus cinta? Bodoh!" Gumam Ruby mondar-mandir mengelilingi kamarnya."Lalu, kalau sudah tau si 'Yang Mulia' itu pasti memilih kekasihnya kenapa aku harus ikut sayembara ini? Apa-apaan? Mereka ingin aku menanggung malu? Di mana keluargaku? Ke mana mereka? Apa mereka membuangku? Bukankah aku anak tunggal? Kenapa tega sekali, sih." Lanjutnya lagi diakhiri dengan memukul meja rias."Dan jika aku bukan orang yang dia suka, anggap saja lah ini perjodohan seperti di film-film, kenapa dia terlihat khawatir saat perutku sakit kemarin? Seharusnya dia langsung membunuhku agar bisa bersatu dengan kekasihnya. Baiklah, mungkin itu memang rasa kemanusiaan yang tinggi," katanya lagi membenarkan."TAPI KENAPA JUGA DIA MAU MENYELAMATKANKU DI DANAU? Bagaimana dia tahu aku di sana? Memangnya hubunganku dengan si 'Yang Mulia' itu seperti apa sih? Oh iya, bukankah kami bersahabat?" gumam Ruby diakhiri kekehan renyah.-cklek-Ruby kontan menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka, menampilkan siluet gadis pelayan dengan poni yang membingkai wajah cantiknya. Elina terasa tidak pantas menjadi pelayan, ia lebih rela kalau gadis itu adalah salah satu bangsawan di negeri ini alih-alih pelayan."Nona mau jalan-jalan sebentar? Kata Tabib, itu akan membantu ingatan nona lekas pulih," tutur Elina dengan senyuman dan tubuh membungkuk."Ide bagus!"Inilah yang Ruby inginkan. Jalan-jalan untuk melepas penat setelah berpikir keras tentang jalan percintaannya yang amat klise. Benar 'kan? Gadis yang dijodohkan dan sang kekasih hati. Ini seperti cerita di novel, 'bukan? Dan mungkin saja, saat ini ia berperan sebagai antagonis.Ruby memejam. Giginya bergelatuk. Kesal. Tangannya mengepal kuat dan memukul pahanya pelan. Pantas saja semua pelayan taman Istana sekarang menyorotnya demikian. Ruby antagonisnya. Dia penjahat. Entah ini transmigrasi novel atau film, yang pasti alurnya sudah sangat klise.Dan ia tidak punya pengalaman jadi bangsawan. Tiba-tiba, ia merasa buruk rupa ditatap sedemikian benci."Elina!" panggil Ruby datar setelah ia duduk dan Elina tetap berdiri di sampingnya. Hening sesaat, Ruby mengulum bibir sebelum berucap."Seperti apa aku dulu?" tanya gadis itu berusaha menahan pertanyaan yang mengisi benaknya. Ia tidak ingin dicurigai oleh sesuatu yang mustahil terjadi di dunia ini. Orang-orang tidak mungkin percaya. Bisa-bisa ia dianggap gila."Dulu?" tanya Elina sedikit bingung, tetapi sejurus kemudian ia menjawab. "Nona adalah orang yang baik, ceria, dan berwibawa. Saya selalu mengagumi nona bahkan sebelum menjadi pelayan anda. Kepintaran anda sudah tersebar ke seluruh pelosok Darian, nona."'Tapi Ruby yang ini bodoh, Elina.' batin Ruby."Begitukah? Kau terdengar berlebihan," Ruby terkekeh. Entah kenapa aktingnya terlihat sangat buruk sekali. Gadis itu meringis. Susah juga jadi para bangsawan. Elina pasti bohong. Mana ada pelayan yang menjelek-jelekan majikannya. Yang ada lehernya nanti dipotong."Tidak nona! Saya mengatakan yang sebenarnya. Nona adalah orang terbaik yang saya temui di kerajaan ini. Saya dan Zooya selalu mengagumi anda." Elina menunduk. duduk di tanah tanda penghormatannya membuat Ruby kelabakan."Eh? Apa yang kau lakukan? Maksudku ... duduk di sini saja, jangan di tanah!" Kata Ruby menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. Begitukah cara pelayan memberi kesetiaannya?Elina menggeleng, "saya tidak berani nona, ini adalah formalitas kerajaan dan—""Kau mulai berani membantahku?" ketus Ruby keluar begitu saja dari mulutnya, lalu ia tersadar setelah Elina mengerjap pelan dengan tatapan takut."Ah ... sudahlah. Sebaiknya kau berdiri seperti semula," titah Ruby dan Elina mengikuti perintahnya."B-baik nona."Ruby kembali menatap ke arah depan. Memandang jembatan serta sungai yang mengalir di bawahnya, gadis itu menghela nafas pelan, "lelaki tempo hari itu ... yang mengunjungiku waktu itu, Putra Mahkota, 'bukan? Sahabatku?""B-benar, nona.""Ah, sayang sekali, aku melupakan nama si tampan itu. Bisa kau memberitahuku? Namanya pasti indah," tutur Ruby dengan senyum pasif. Ia jengkel sendiri."Maaf," Elina mendekat dan membisikkan nama lelaki itu ke dalam rungunya dengan lembut. "Yang Mulia Putra Mahkota Theron Vladimir Darian kesejahteraan selalu meliputi kota Darian karena matahari dimiliki oleh kekaisaran.""Theron?" gumam Ruby. Sepertinya nama itu tidaklah asing di pendengarannya."Ruby?"Ah pengganggu. Baru saja Ruby dapat petunjuk dari Elina. Susah sekali ia menemukan waktu berharga dengan Elina yang tidak disertai beberapa pelayan lainnya. Gadis itu berdecak, kemudian menoleh dan ia tersentak gugup. Buru-buru keduanya membungkuk pada Theron—sang Putra Mahkota Darian."Keselamatan dan kesejahteraan bagi Yang Mulia Putra Mahkota Darian." Elina membungkuk di iringi Ruby yang juga membungkuk hormat pada Theron. Gadis itu mencuri pandang sekilas. Bahkan wajah datar Theron tidak berubah dari pertama kali ia bertemu."Apa yang kau lakukan di sini? Menjalankan rencanamu?" Theron bertanya dengan wajah datar dan tangan terlipat di dada menatap Ruby tajam. Sungguh, Ruby tidak gemetar."Ren ... cana?" Ruby mengernyit bingung menatap Theron yang masih saja sedatar papan triplek yang ada di kamarnya dulu. "Maksud Yang Mulia?"Kenapa Theron selalu saja mencurigainya? Saat pertama kali bertemu juga lelaki itu sangat ketus dan bahkan menuduhnya dengan hal yang tidak Ruby pahami. Memangnya masalah apa yang terjadi sebelumnya? Ia sang antagonis harus tau masalahnya.Lelaki itu menyeringai. Ekspresi andalannya selain datar, "jangan berpura-pura bodoh, aku sangat mengenalmu, Ruby. Kau tidak mungkin melakukan hal yang sia-sia."Tatapan Ruby berubah jengkel. Ia memutar bola matanya malas lalu menatap Elina yang hanya menunduk meremas jemarinya yang lain di depan gaun. Gadis itu ingin membuka suara, tapi ketakutan jelas memprovokasinya hingga keberanian tertelan di kerongkongan."Saya memang sedang tidak melakukan hal yang sia-sia," tutur Ruby membenarkan perkataan Theron."Saya jalan-jalan kemari atas permintaan Tabib kerajaan agar ingatan saya lekas pulih. Dan saya tidak melakukan apa yang baru saja anda tuduhkan, Yang Mulia.""Kau pikir aku percaya? Pelayan Elina!" panggil Theron tegas membuat kedua gadis itu tersentak sesaat."Katakan yang sebenarnya jika kau masih memperdulikan keluargamu di desa," ucapnya membuat Elina bersimpuh di tanah dan Ruby termangu."Apa ... apa ... yang sedang kalian lakukan?" Ruby bingung. Otaknya bergerak lambat."Saya menghadap pada Yang Mulia Putra Mahkota kalau yang dikatakan nona Ruby memang benar. Dewa dari langit Darian akan melindungi keluarga saya selagi saya berkata jujur. Saya akan bersujud jika anda perlu meyakinkan sekali lagi, Yang Mulia."Ruby menganga menyaksikan kejadian di depan matanya. Serta penuturan Elina tidak mampu membuat Theron goyah, atau sedikit raut wajahnya merasa iba. Elina baru saja bersaksi membawa nama Dewa dan juga keluarganya.Bagaimana bisa, Theron mengancam Elina sampai seperti itu? Demi hal yang menurut Ruby sangat tidak penting.Apa hukum kerajaan memang seperti ini?Theron masih mempertahankan wajahnya sedemikian datar menatap Elina tanpa rasa iba sedikit pun. Merasa tidak ada jawaban, Elina mulai menundukkan wajahnya untuk mencium kaki Theron demi kebenaran. Sampai kapan pun, Elina akan membela kebenaran. Bahkan sampai akhirnya ia akan seperti Zooya."Elina!" Tidak tahan. Ruby bersimpuh memegang pundak Elina yang hampir saja menyentuh sepatu bersih Theron.Sesama orang miskin, ia juga pernah melakukan hal demikian pada rentenir."Jangan! Apa yang kau lak—sshhhh!"Belum sempat Ruby menyelesaikan perkataannya, sakit kepala tiba-tiba menyerang membuat pandangannya berputar.Ruby mendesis, sesekali ia menggeram menahan sakit yang amat menyiksa bahkan tidak peduli pada sekitarnya yang menjadikan mereka tontonan di taman istana. Perseteruan antara Ruby dan Theron memang tidak bisa dilewatkan. Sementara Elina sangat khawatir dengan keadaan Ruby."Nona!""Arghhhh!""Ruby?"Theron bersimpuh menyambut tubuh Ruby yang hampir saja jatuh ke tanah. Sementara gadis itu masih memegangi kepalanya yang teramat sakit membuat rasa bersalah dalam diri Theron mencuat ke permukaan. Jika saja, jika saja ia mendengarkan apa kata Tabib kerajaan.Ruby melihat perdebatan lagi. Ia dan Theron."Zooya!" panggilnya pada pelayan yang terkapar tak berdaya di sebuah ruangan."Nona," lirih pelayan itu sendu."Katakan padaku apa salah Zooya? Apa karena dia menyebutkan fakta kau sampai menyiksanya seperti ini?" marah Ruby menggebu. Dirinya menangis. Air mata membanjiri lantai yang ia pijaki."Itu penghinaan Ruby!" tegas Theron dengan mata menyalak."Penghinaan? Lalu apa yang kulalui selama ini? Pujian menurutmu hah?" balas Ruby tidak kalah."Arghhhh!" teriak Ruby kini. Kepalanya terasa ingin pecah saat bayangan-bayangan itu muncul di kepalanya."Semua ini karena kekasih sialanmu itu, 'kan?" kata Ruby lagi memercik amarah."DIAM!" bentak Theron."Aku benci padamu. Sangat. Benci." ucap Ruby di akhir sebelum bayangan itu mulai memudar dan pandangannya kembali terang."Ruby? Lihat aku! Sadarkan dirimu!"Ruby mengerjap pelan. Sesaat setelah pandangannya kembali normal wajah khawatir Theron yang ia dapati saat pertama kali. Wajah yang entah kenapa membuat Ruby muak. Ia benci. Sangat. Lantas ia melepaskan diri dari dekapan Theron."Jangan menyentuhku, bajingan!" umpatnya penuh penekanan.Meski masih sedikit terhuyung, ia malah memanggil Elina untuk membantunya, menepis bantuan Theron sekuat tenaga walaupun masih lemah. Lelaki itu terpaku menatap mata Ruby dengan pandangan yang sangat ia kenali, dan membiarkan Elina membantu Ruby untuk berdiri sedangkan ia masih bersimpuh.Saat pamitan Elina mengudara, barulah Theron kembali tertarik pada masa sekarang. Ia menoleh berharap Ruby setidaknya berpaling agar Theron bisa menebak keadaan gadis itu. Akan tetapi, sampai detik terakhir punggung gadis itu menghilang.Ruby tidak lagi menoleh padanya.
"Eron? Aku bersumpah tidak pernah sedikit pun memikirkan untuk mencelakai nona Zalina, kau pasti tahu itu, kau sangat mengenalku!" lirihnya dengan suara bergetar. Kecewa. Ruby mendesis menatap wajah Theron yang terlihat sangat kalut. Lelaki itu enggan menatap Ruby yang sudah menggebu-gebu. "Aku dulu memang sangat mengenalmu, tapi aku tidak yakin karena kau pasti akan memihak Ayahmu. Mulai sekarang panggil aku dengan sebutan formal, itu terdengar tidak sopan karena kita hanya sebatas sahabat!" balas Theron sukses membuat air mata Ruby menetes. Ruby tersenyum lirih, "semenjak datangnya perempuan itu kau tidak lagi terlihat seperti sahabatku, Yang Mulia!" Ruby rasa, dadanya akan meledak seiring denyutan rasa sakit itu seolah membelah hatinya menjadi kepingan yang berserakan. Satu kata yang ia dengar dari ucapan Theron mampu menusuknya hingga bagian terdalam. "Jaga mulutmu Ruby!" ancamnya lagi. "Kenapa? Kau keberatan karena aku membawa-bawa kekasihmu itu? Lalu apa yang kau perbuat s
Geming. Hening sesaat karena Zalina tidak langsung menjawab. Gadis itu mengerjap cepat. Mungkin dia sendiri juga tidak sadar dengan apa yang baru saja terucap dari mulut kecilnya. "Saya ... tidak bermaksud demikian. Tapi anda malah menyimpulkan hal itu sendiri," bantahnya dengan senyuman lembut. Sedikit gugup dengan tatapan tajam milik Ruby. "Tidak bermaksud demikian? Lalu apa maksudnya, kekhawatiranmu dengan sayembara saat aku hilang? Maaf nona, kita ini saingan. Aku paham perasaanmu, siapa saja pasti ingin menang tanpa berusaha, 'bukan?" balas Ruby dengan tatapan remeh. Zalina mengepalkan tangannya dengan kuat. Seharusnya, Ruby menghindar seperti biasa. Bukan malah menanggapi ucapannya. Kali ini, mengapa gadis itu menohoknya dengan kata-kata yang tidak biasa. Seolah tidak takut akan aduannya pada Theron? "Nona Ruby, saya bukan orang yang seperti anda ucap—" "Tapi kau tenang saja, aku bukanlah Ruby yang terobsesi akan tahta. Kau dan Putra Mahkota saling mencintai, maka lebih baik
"Ada apa ini?" tanya seseorang menyela. Astaga, pas sekali. Sang pahlawan telah datang di waktu yang tepat untuk menyalahkan Ruby. Kenapa ia merasa de javu dalam hal ini? Seolah ini sudah terjadi berkali-kali dalam hidupnya dan membuat Ruby mati rasa untuk menanggapi hal ini. "Salam kebahagiaan dan keselamatan Darian, Putra Mahkota," ucap Zalina di iringi semua orang kecuali Ruby yang masih memalingkan wajahnya kesal. Dasar muka dua. "Zalina, apa yang terjadi? Aku mempercayaimu untuk menjelaskan semua ini," seru Theron pada Zalina kemudian membantunya untuk berdiri tegak. Sementara Ruby lagi-lagi mendecih. Drama Queen. Asataga! Kenapa ia kesal sekali? "Saya tidak apa, Yang Mulia. Mungkin, nona Ruby belum sepenuhnya sembuh, saya yang salah di sini," tutur gadis itu dengan senyuman yang menawan, dan mata berbinar. "Seharusnya saya tidak datang kesini dan memancing keributan," tandasnya kemudian. Rahang Theron mengeras melihat Zalina yang lembut dan rapuh kemudian menatap Ruby ya
Cuaca pagi menjelang siang kali ini begitu baik. Matahari menyembunyikan diri di sebalik awan hingga cahayanya tidak menyengat. Angin berhembus sedikit kencang hingga menerbangkan kelopak-kelopak bunga ke arah Ruby yang terduduk kaku di hadapan sang Ratu. Sesekali, gadis itu membenarkan surainya yang menutupi wajah karena tersapu angin. Sementara Ratu menatapnya dengan tatapan menilai. Sorot mata Ruby berubah ketakutan. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benaknya kini menjadi buyar. Apa Ratu akan memihaknya? Atau sebaliknya ia malah dihukum? "Maaf baru bisa mengunjungimu, Ruby," tutur Ratu membuka obrolan setelah mereka berdiam cukup lama. "Ah, tidak masalah, Yang Mulia." Ruby menunduk. Menggenggam cangkir kaca miliknya yang ada di atas meja. Ratu tersenyum, menatap Ruby dengan penuh kelembutan. Dia anak yang berbeda. Benar kata Theron, Ruby terlihat seperti bukan dirinya. Cara menatap, bicara, dan perilakunya terasa sangatlah asing. Dia terlihat seperti orang lain. "Bagaimana
-Braaakkk- "Kenapa tak ada yang memberitahuku kalau Ruby pulang ke Mansion Duke?" "M-maaf Yang Mulia, tapi, yang mulia Ratu melarang kami untuk memberitahu anda," Theron semakin mengeraskan kepalan tangannya. Urat-uratnya menonjol keluar dengan nafas memburu menahan emosi untuk memukul pengawal yang berjaga di istana wilayah Ruby. Padahal dia yang memerintahkan mereka untuk berjaga di sana. Tetapi kenapa perintah Ratu yang dituruti? Lelaki itu mendesis tajam. Apa gadis itu benar-benar lupa apa yang dilakukan oleh Duke jika ia pulang dengan tangan kosong. Apalagi saat ini status Putri Mahkota masih tidak jelas antara Ruby atau Zalina. Duke, Ayahnya Ruby pasti akan melakukan sesuatu pada gadis itu. Theron menyugar rambutnya kasar. Tangan kekarnya dengan mudah merobek jubah kebesaran yang tengah ia pakai selama latihan berperang. Lagi-lagi ia memukul meja sebagai pelampiasan kekesalannya. Andai saat itu Theron percaya kalau Ruby benar-benar lupa ingatan. Ia pasti akan memperbaiki hu
Kacau. Ruby pikir, ini semua akan berjalan sesuai rencana. Pertemuan pertama Theron dengan gadis itu, ia pikir hanya sekilas. Namun ternyata membekas bagi keduanya hingga tumbuhlah benih-benih asmara yang membuat Ruby terlupakan. Tersingkir dari posisinya. "Lihat, dia sangat manis, 'bukan?" kekeh Theron di samping Ruby memandang ke arah Zalina saat pesta Lady sedang berlangsung di Istana. "Kupikir, aku telah menyukainya. Aku jatuh cinta, Ruby." Kata-kata itu, seperti tanda bahaya yang mengelilingi Ruby. Sifat Theron berubah setelahnya. Para bangsawan membelah menjadi dua kubu dan mulai mengajukan banding atas posisi Putri Mahkota yang sudah pasti di isi oleh Ruby. Raja dan Ratu tidak punya pilihan saat Zalina juga dikenal banyak orang dengan kebaikannya, keelokannya, serta lemah lembut sifatnya. Berbeda dengan Ruby yang jauh lebih tegas dan keras. Sifat alami keluarga Duke Edelmiro. Dan setelahnya, banding diterima. Theron bahkan dengan antusias menyambut kedatangan Zalina ke Ista
Derap langkah kuda menggema di tengah keheningan malam. Bulan menjadi saksi bagaimana khawatirnya seorang Putra Mahkota di negeri ini pada sahabatnya. Dengan emosi yang masih menjunjung tinggi, ia pergi ke wilayah selatan dengan kuda kesayangannya. Menyusul Ruby, sahabatnya. Meski ratusan kali peringatan datang karena malam sangat berbahaya untuk perjalanan ke selatan. Akan tetapi, lelaki itu lebih keras dari batu. Ia tetap pergi dengan syarat membawa beberapa pengawal untuk menjaganya dari teror. Sesampainya di mansion Duke, gerbang sudah ditutup rapat. Theron yakin, ada penyiksaan di dalam sana. Rubynya yang malang. Seharusnya Theron menjaga gadis itu agar hal seperti ini tidak terulang. "Bilang pada Duke, Putra Mahkota ingin bertamu," perintah salah satu pengawal Theron pada pengawal yang menjaga gerbang. Salah satunya berlari untuk memberi kabar, dan yang lainnya membukakan gerbang untuk Theron masuki. Lelaki itu menelisik halaman suram yang ia pijaki. Masih sama seperti dulu,
Hari demi hari telah berlalu. Hinaan demi hinaan yang tidak pernah Ruby lakukan selalu ia dapatkan. Gadis itu mulai mengerjakan pekerjaannya dalam diam. Berusaha abai tentang kabar Zalina dan Theron yang semakin dekat. Tujuannya sekarang bukan Theron lagi, melainkan adalah Ratu. Jika ia bisa mengambil hati Raja dan Ratu dengan kerja kerasnya, mungkin, gelar Putri Mahkota akan segera ia sandang. Setidaknya ia naik pangkat menjadi tunangan tanpa harus ada sayembara. "Maaf, Ruby. Mau bagaimana pun yang akan menikah nanti adalah putraku. Meski aku adalah Ratu dan Ibunya, yang berhak menentukan pasangannya adalah dirinya sendiri." Ruby terpaku mendengar penuturan Ratu yang tidak pernah ia bayangkan. Jadi, semua keputusan akan ada di tangan Theron? Dengan hati yang masih kasmaran itu, bagaimana bisa ia akan bersikap adil? Selama ini saja, dia selalu membela Zalina. "Datangilah Putra Mahkota." Ratu menyerahkan sebuah tumpukan kertas pada Ruby, "perbaiki hubungan kalian. Aku yakin ini hany
Kematian Grand Duke Ramon Darian dan Grand Duchess Diana Swayneza kini telah menyebar luas. Kabarnya, mereka berdua meninggal karena kecelakaan saat menuju pusat kota Eurõbia. Tepatnya di wilayah Santora dengan hutan terpanjang di kerajaan Darian. Akan tetapi, siapa tahu ini adalah kecelakaan yang sebenarnya, atau telah disiapkan oleh seseorang? Ruby menggenggam erat anyelir putih dengan kedua tangannya. Gaun hitamnya tertarik menyapu tanah musim semi. Dibiarkan beberapa daun hinggap. Wajah lesunya jelas menunjukkan kekhawatiran. "Kau yakin dengan ini? Ruby ... sudah lama kau tidak mengunjungi pemakaman dan—" "Aku baik-baik saja," potong Ruby kemudian. Theron menggeleng lemah, ia yakin saat ini Ruby takut. Semenjak kematian Ibunya, Ruby tidak pernah menghadiri pemakaman siapa pun sejak saat itu. Dia selalu mengurung dirinya saat terdengar kabar kalau orang terdekat mereka telah gugur waktu peperangan. Atau pelayan Istana yang selalu menjaga mereka. "Aku bisa meletakkan bungamu d
Musim semi empat tahun lalu. Awal musim semi yang masih terasa dingin ini seakan memanggilnya, menggodanya dengan rangkaian bayangan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang daunnya sudah tumbuh berpucuk. Dan akhirnya, ia pergi keluar Istana tanpa diketahui oleh siapa pun. Gadis itu memejamkan mata. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa tubuhnya hingga rambut cokelat yang dikepang itu menari-menari di bawah mentari sore. Sudah lama ia tidak ke sini. Tempat yang membuatnya merasa tenang. Di pinggir danau yang tak jauh dari Istana. Tempat yang membuat Ruby merasa nyaman dan jujur akan dirinya sendiri. Mengeluarkan keluh kesahnya selama berada di Istana. Bagaimana para pelayannya, Theron, Ratu Miranda, dan tentu saja tentang perasaannya. "Sejujurnya, aku sudah lupa bagaimana wajah Ibuku," celetuk Ruby di tengah heningnya suasana. "Yah ... setiap ingatan manusia memang akan pudar selama berjalannya waktu." Warna jingga dari mentari sore menyinari wajah
Theron tahu ia harus segera bertindak. Akan tetapi, hatinya ragu entah karena apa. Permintaan Ruby, pertanyaan Zalina membuat otak Theron beku. Ia bahkan tidak bisa lagi memikirkan pekerjaan yang telah menumpuk di meja kerjanya. Seandainya ia bisa berteriak, maka ia akan mengatakan ia juga tidak tahu. Katakanlah ia adalah orang yang tidak berpendirian di dunia ini. Di satu sisi ia merasa bersalah pada Zalina, dan satu sisi ia ingin Ruby terus berada di sisinya. Tidak mungkin ia memiliki selir, 'bukan? Ia tidak akan setega itu pada dua gadis ini. "Kau harus secepatnya memutuskan ini, Theron. Memangnya apa lagi yang kau tunggu? Keduanya sudah sehat. Aku tidak mengerti alasanmu menunda sayembara ini," ucap Raja Aeterius menghadap sang anak yang masih menunduk. "Apa karena gadis itu?" Raja Aeterius menatap sang anak dengan selidik. Menerka apa yang membuatnya ragu. "Siapa?" tanya balik Theron. Sementara sang Ayah hanya mendesah pasrah. Rupanya pikiran sang anak belum sampai. Atau mem
"Yang Mulia, apa anda mencintai saya?" Pertanyaan itu muncul begitu saja lewat belah bibir Zalina. Dadanya luar biasa sakit. Benaknya dipenuhi pertanyaan yang berbeda setiap waktu, dan benang merahnya hanya di satu pertanyaan. Apa cinta itu ada di hati Theron? Zalina tahu kata itu tak pernah terucap. Ia tahu bahwa lelaki itu masih memandang Ruby sedemikian lekat meski mulutnya melontarkan emosi. Mereka, seperti dua orang yang kehilangan arah. Dan dirinya masuk di sela-sela keduanya. "Yang Mulia saya bertanya ... " "Jangan melawannya," lirih Theron. Lelaki itu termenung di tempatnya. Sorot matanya terlihat menyedihkan. Pria yang biasanya menunjukkan ketegasan itu kini menatap Zalina dengan nanar. Gumamannya membuat gadis itu semakin bingung. Apa maksudnya? Siapa yang ia lawan? "Jangan melawannya. Ruby ... dia bukan tandinganmu," lanjut Theron membuat dada Zalina sesak. Air matanya menetes. Meski mensugesti dirinya dengan fakta bagaimana Theron membawanya ke Istana dan memperlaku
Kata orang, hidup ini penuh dengan berbagai kejutan. Awalnya, Ruby tidak mempercayai hal itu karena jalan hidupnya yang terlalu flat. Tidak ada yang spesial. Hingga saat ia terbangun di tubuh orang lain, tinggal di era yang jauh berbeda dengan era milenial, menjalani, dan mempelajari hidup yang bukan miliknya. Terkadang, Ruby pikir ini hanyalah ilusi semata. Dan terkadang, ia melihat dunia ini begitu nyata sehingga merasa tubuh ini benar-benar miliknya. Mungkin ini adalah masa lalu yang harus diperbaiki. Dunia yang penuh tipu muslihat ini adalah rintangannya. Serta, perasaannya pada lelaki ini yang tak kunjung pudar meski awalnya rasa benci mendominasi. "Sudah puas menggoda lelaki lain, huh?" Apa perasaan itu bisa ia manfaatkan? Mengejar cinta yang Ruby miliki dulu dan merebut kembali tempatnya, atau menjauh seperti rencana awalnya karena bahaya yang ada di dalam Istana ini? Tanpa sadar musik telah berhenti. Membuat atensi orang-orang yang ada di aula jatuh pada Theron yang datang
Setelah Roseline pergi menemui keluarganya, Ruby juga pamit. Ia tidak melihat Ayahnya di mana pun. Apa pria masih di perjanalan dinas dan belum kembali? Menggelengkan kepala, Ruby naik ke lantai dua untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Ratu Miranda secara langsung. "Selamat ulang tahun Yang Mulia Ratu yang terhormat. Bila berkenan, terimalah hadiah saya yang tidak seberapa ini." Ruby membungkuk anggun saat Ratu berdiri menghampirinya. Memeluknya sayang. Sementara Ruby memejamkan mata. Rasa rindu pada orang rumah di dunianya dulu kini membuat sesak karena pelukan Ratu. Ia tahu, rindunya kian bertambah karena tak mendapat jawaban. Dan saat Ratu Miranda mengurai pelukan mereka, Ruby tersenyum. "Hadiah terbaikmu adalah pesta ini, Ruby. Dan ini adalah hadiah terbaik untukku. Terima kasih, Arunika pasti bahagia melihatmu di atas sana." ucap Ratu Miranda menggenggam kedua tangannya. Arunika, atau sebut saja Duchess Arunika Edelmiro yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Ibu dari R
Satu bulan yang lalu. Ruby sebelumnya bersusah payah meletakkan sendok besi pada matanya yang masih panas. Sepertinya, air mata Ruby memiliki stok yang berlebihan hingga tidak berhenti mengalir layaknya air terjun. Hari ini, ia akan bertemu Ratu di kediamannya. Dan Ruby tidak boleh berantakan di hadapan wanita nomor satu di kerajaan ini, "ah ... mulai sekarang harusnya aku mengurangi minum." Gumamnya meletakkan sendok di meja dan bersiap keluar. Gadis itu menghela nafas sebelum masuk ke kediaman Ratu diiringi rombongan pelayannya kemudian membungkuk hormat memberi salam. Pertama kali yang mereka lihat adalah kain berwarna ungu mencolok terpampang rapi di atas lantai. Sementara Ratu tengah duduk dengan anggun dan menatap lekat ke arah kain-kain yang disediakan oleh Madam Jessica, salah satu perancang kain terbaik di kerajaan ini. Semua yang ada di sana menunduk hingga Ratu kemudian berucap. "Aku ingin ulang tahunku kali ini didominasi dengan warna ungu. Ruby, bisakah kau menunjukk
Tidak. Bukan ini yang Theron inginkan. Kenyataan pahit yang ia dengar sendiri dari mulut Ruby membawanya kembali ke masa lalu. Apa ia salah membawa Zalina ke tempat ini hingga membuat posisi Ruby terancam. Seharusnya, ia memikirkan ini secara matang. Bukan berpikiran dangkal hingga mengacau.Namun, ini semua telah terjadi. Apa yang harus Theron lakukan? Kenapa semuanya begitu rumit? Perasaannya pada Zalina tidak semenggebu miliknya pada Ruby saat gadis itu meminta untuk pergi. Dia tidak rela. Dan bagaimana jika Zalina juga meminta demikian? "Kenapa ... kau terlalu pasrah? Aku memilihmu dan Zalina untuk sayembara ini karena ingin melihat siapa yang lebih pantas untuk menjadi Ratu berikutnya. Aku akan menyerahkan semua ini pada Ayah, Ibu, dan Menteri lainnya. Sayembara ini akan berjalan dengan adil. Memangnya apa yang kau pikirkan hingga berkata seperti itu?" Tentu saja ia pasrah karena Ruby yang sekarang adalah Ruby yang bodoh. Apa Theron akan mengharapkannya menang karena kepintar
Percakapan mereka berjalan lancar. Ruby bisa melihat, Roseline terlahir dari keluarga yang hangat. Saat menceritakan orang tua serta adiknya yang kaku, matanya terlihat berbinar. Ruby pun turut merasakan, hingga rasa rindu pada keluarganya kembali mencuat. Bagaimana kabar mereka di sana? Sudah hampir empat bulan ia berada di dunia antah berantah ini. Bertahan hidup tanpa tahu alasan bagaimana ia bisa masuk ke tubuh ini. Sialnya nama mereka sama dan terlahir dengan kesengsaraan berbeda. "Putri ... putri!" Panggil Roseline menyadarkan Ruby dari lamunannya. Gadis itu berguman dan menyuruh Roseline melanjutkan ceritanya. "Apa Putri mendengarkan saya? Apa perkataan saya mengganggu Putri?" tanya Roseline khawatir. Takut Ruby tidak nyaman dengannya. "Tidak ... lanjutkan saja. Aku masih mendengarkan," kilah Ruby mengibaskan tangannya dan berucap. "Jadi apa yang terjadi padamu dan nona Zalina." Ruby beruntung. Ia tidak perlu membuang ludah untuk mencari informasi saat Roseline sendiri yan