Malam terakhir di puncak membuat perasaan Adnan sedikit lega. Akhirnya sebentar lagi dia bisa bebas dan tak lagi berpura-pura. Adnan tahu jika dia kadang bertingkah menyebalkan pada semua orang, tetapi Adnan tidak bisa menahannya. Sulit baginya untuk berpura-pura baik-baik saja di saat keadaan tidaklah baik-baik saja. Dibalik semua yang ia miliki, Adnan sadar akan kekurangannya. Dia terbiasa sendiri sehingga sulit untuk membuka diri. Mungkin itu yang membuat Rina, sepupu terkecilnya memanggilnya zombie. Namun ada satu hal yang pasti, Adnan tidak membenci keluarganya, kecuali Denis dan Tante Sarah tentu saja. Dia hanya sulit untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Adnan menutup kopernya saat baju terakhir sudah ia masukkan. Dia berdiri dan melihat ke arah ranjang. Tak heran jika dia tidak mendengar apapun sedari tadi, ternyata Fasya sudah masuk ke dalam alam mimpi. Adnan menghampiri tempat tidur dan menggaruk lehernya pelan. Melihat Fasya yang sudah tidur lelap tak mungkin jik
Keadaan ruang tamu yang hening membuat suasana menjadi canggung. Baik Adnan dan Kinan belum ada yang membuka suara sedari tadi. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing dan kemungkinan yang akan terjadi nanti. Terkejut? Tentu saja, baik Adnan dan Kinan tidak pernah berpikir akan berada di situasi seperti ini. "Jadi?" tanya Kinan sambil melihat jam tangannya. Masih ada waktu untuk jam istirahatnya sebelum kembali ke kantor. "Aku bisa jelasin semuanya." "Oke, jelasin sekarang." Kinan menatap mata Adnan lekat. Dia tidak melihat ada rasa gugup ataupun bingung di wajah Adnan. Pria itu sangat pintar untuk menyembunyikan ekspresinya. "Apa yang mau kamu tau?" Kinan menghela napas kasar, "Semuanya, Adnan. Semuanya." Adnan menggaruk alisnya dan mulai berpikir. Tidak ada jalan lain selain berkata jujur. Dia hanya perlu menggunakan kata yang lebih halus agar Kinan tidak marah. Beruntung Fasya bisa diajak kerja sama dan memilih diam dan mengurung diri di kamar. Biar dia y
Tempat tidur yang empuk tidak lagi membuat Fasya tertarik. Setelah masuk ke dalam kamar, dia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa empuk yang membuat tubuhnya sedikit tenggelem. Fasya meraih bantal kecil dan menutup mulutnya sebelum akhirnya berteriak keras untuk meluapkan kekesalannya. Deru napas yang tidak beraturan membuat Fasya mulai memejamkan mata untuk mengatur emosinya. Entah kenapa hari ini begitu melelahkan untuknya dan semua orang juga kompak membuatnya kesal. Fasya tahu jika tidak sepantasnya dia mengeluh, tetapi dia benar-benar merasa lelah. Lelah dengan semua drama yang ada di hidupnya. Jika sedang terpuruk seperti ini pertanyaan Fasya hanya satu. Kapan semuanya akan berakhir? Fasya pikir dia akan tenang setelah pulang ke rumah, ternyata harapannya sia-sia saat melihat Kinan yang juga berada di rumah ini. Fasya tahu bukan tanpa alasan wanita itu berada di sini. Setelah mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Adnan, Kinan mulai berubah. Bahkan Fasya merasa jika
Pukul delapan malam, Adnan dan Fasya sudah sampai di rumah sakit. Napas mereka terengah karena harus berlarian di lorong rumah sakit agar bisa segera sampai. Saat ini baik Adnan dan Fasya tengah dilanda kepanikan. Jatuh di kamar mandi bukanlah pertanda baik. Mereka tidak bisa tenang sebelum melihat keadaan Kakek Faris secara langsung. Adnan membuka pintu kamar dengan tergesa. Apa yang ia lakukan membuat suara tawa dari dalam ruangan terhenti. Semua orang menatap kedatangan Adnan dan Fasya dengan bingung, apalagi ditambah wajah panik mereka. "Kakek?" Adnan mendekat dan melihat keadaan Kakek Faris lebih dekat. "Kakek nggak apa-apa?" Kali ini Fasya yang bertanya dengan khawatir. Kakek Faris tersenyum dan menyentuh bahu Adnan dan Fasya bersamaan. "Kakek udah nggak apa-apa sekarang, tadi emang agak pusing makanya bisa jatuh di kamar mandi." "Darah kakek sempet naik tadi," lanjut Niko. "Kakek mikirin apa?" tanya Fasya sedih. "Nggak mikirin apa-apa. Salah makan kayaknya."
Sikap seseorang bisa berubah sewaktu-waktu. Perubahan itu bisa menimbulkan tanda tanya besar di kepala. Terutama untuk orang terdekat yang hampir setiap hari berjumpa. Itu yang Adnan rasakan saat ini. Sambil memasang dasi, dia melirik Fasya dari pantulan cermin. Gadis itu tengah merias wajahnya di atas tempat tidur, tempat yang jauh dari dirinya saat ini. Otak Adnan tengah berpikir keras sekarang. Tak biasanya gadis itu menjadi pendiam seperti ini. Biasanya ada saja tingkahnya yang membuat Adnan kesal. Jika memang sedang diam pun, bukan wajah kaku dan datar yang Fasya tunjukkan. Apa yang Fasya lakukan sedikit mengganggu Adnan. Tidak, bukan karena kemarahan Fasya. Adnan hanya takut jika kakeknya menyadari sikap Fasya yang mendadak berubah. Sebisa mungkin Adnan harus menjaga keharmonisan rumah tangannya di depan kakek. Setelah selesai merapikan diri, Adnan memilih untuk duduk di sofa. Dia tidak ke luar lebih dahulu dan memilih untuk menunggu Fasya. Entah apa yang ia pikirkan
Sambil memainkan kunci mobil, Adnan mulai memasuki rumahnya. Langit yang sudah gelap menandakan jika dia pulang terlambat hari ini. Bukan karena sibuk, melainkan dia harus membeli sesuatu untuk Fasya. Entah apa yang dipikirkan Adnan saat ini tetapi diamnya Fasya sedikit mengganggunya. Dia sudah terbiasa berdebat dengan gadis itu setiap harinya. Aneh memang, tetapi itu yang Adnan rasakan saat ini. Adnan bukanlah tipe pria yang romantis, tetapi sejauh yang ia tahu wanita akan senang jika diberi barang-barang yang mahal. Oleh karena itu dia membeli sebuah tas yang sepertinya cocok untuk Fasya. Bukan perhatian, tetapi Adnan bermaksud untuk membuat Fasya kembali berbicara padanya. Setidaknya memberi tahu kesalahannya yang membuatnya diam 1000 bahasa seperti ini. "Kenapa baru pulang?" tanya Kakek Faris yang baru saja keluar kamar. Ia berpapasan dengan Adnan yang akan masuk ke dalam kamarnya. "Beli titipan Fasya dulu, Kek. Kakek kenapa belum istirahat?" "Kakek nunggu kamu." A
Ekspresi wajah yang panik tidak bisa hilang dari wajah Fasya. Dia menatap pria seusianya itu dengan tatapan memohon. Niko, pria yang berdiri di depannya itu hanya menatapnya dengan wajah bodoh. Lebih tepatnya masih tidak habis pikir dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kenapa harus disembunyiin?" tanya Niko untuk yang kesekian kalinya. Fasya menggaruk lehernya bingung. Entah alasan apa lagi yang harus ia berikan untuk meyakinkan Niko. Tak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya bukan? "Ya, biar aman aja." "Aman gimana? Bukannya lebih aman dan nyaman kalau semua orang tau lo istrinya Mas Adnan?" "Lo mau gue di bully?" Mata Fasya mulai melotot. Dahi Niko kembali mengernyit, "Lah emang siapa yang mau bully istri bos? Mau cari mati?" Fasya mengacak rambutnya frustrasi. "Pokoknya lo jangan bilang siapa-siapa. Di kantor, aku sama Mas Adnan itu nggak saling kenal. Hanya sebatas atasan dan bawahan." Mata Niko menyipit mendengar itu, "Gue nyium bau-bau busuk nih." "Apaan si
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Di salah satu ruangan kantor, terlihat seorang gadis tengah menyandarkan kepalanya ke atas meja. Layar komputer yang masih menyala seolah tidak berarti apa-apa. Fasya tetap menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Tidak, dia tidak tertidur. Dia hanya sedang merenggangkan punggung dan lehernya yang kaku. Beruntung pekerjaannya kali ini selesai dengan cepat. Meskipun tetap lebih lama dari jam pulang, tetapi setidaknya tidak seperti hari-hari sebelumnya yang berakhir hingga larut. "Mau langsung balik?" tanya Dinar yang membuat Fasya membuka matanya kembali. Dia melihat Dinar tengah merapikan barang-barangnya bersiap untuk pulang. "Iya lah, mau ngapain lagi?" "Kita makan dulu. Sekalian lo harus cerita siapa cowok yang sama lo di kantin tadi." Fasya meringis dalam hati. Seketika dia mengalihkan pandangannya agar tidak menatap mata Dinar secara langsung. Jujur saja Fasya belum menemukan alasan yang tepat. Seseorang bantu dia kabur
Di tengah kerumunan banyak orang, Fasya berjinjit untuk membuat tubuh mungilnya menjadi lebih tinggi. Bahkan heels setinggi tujuh sentimeter yang ia kenakan tidak banyak membantu. Pandangannya mengedar untuk mencari seseorang. Tas yang ia bawa semakin menyulitkan langkah kakinya. "Permisi," ucap Fasya yang harus menerjang ribuan orang itu. Mau tidak mau Fasya berhenti di tengah kerumunan dan mulai mengambil ponselnya. Saat akan menghungi Adnan, Fasya melihat ponselnya lebih dulu berdering. Nama Adnan muncul membuatnya tersenyum lega. "Mas, di mana?" tanya Fasya cepat. "Di sebelah kanan kamu. Jalan pelan-pelan ke sini." Fasya mengalihkan pandangannya dengan mata menyipit. Dia kembali berjinjit dan melihat seseorang yang melambaikan tangannya. Senyum Fasya pun merekah. Dengan cepat dia mengangkat sedikit rok kebayanya dan berlari kecil ke arah Adnan, kembali menerjang ribuan manusia yang tengah berbahagia saat ini, sama seperti dirinya. "Mas Adnan!" Fasya langsung masuk ke
Tak terasa satu tahun telah berlalu. Seperti tahun sebelumnya, hari ini adalah hari yang istimewa. Tepat hari ini semua anggota keluarga Atmadja kembali berkumpul di puncak untuk merayakan hari spesial, yaitu hari ulang tahun Kakek Faris. Tak henti mereka mengucapkan rasa syukur akan kesehatan yang diberikan Tuhan untuk kakek. "Fasya, sini coba, Sayang." Tante Laras mendekat sambil menyuapi Fasya dengan potongan daging. "Udah enak belum?" Fasya mengangguk sambil mengunyah. "Enak, Tan." "Kamu juga, Mitha. Gimana rasanya?" Tante Laras juga menyuapi Mitha. Benar, hari ini Mitha dan Denis memang hadir di ulang tahun kakek. Awalnya mereka menolak karena rasa segan dan malu, tetapi karena paksaan akhirnya mereka mau datang ke Puncak Bogor. Setelah pernikahan Denis dan Mitha, entah kenapa semua seperti kembali ke awal. Di mana mereka menjadi keluarga yang semestinya. Masa lalu yang buruk seperti mulai terkubur. Sekarang Denis tahu kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya ia ingink
Dengan bersenandung pelan, Fasya mengendarai mobilnya memasuki gerbang kampus yang cukup ternama. Dia melambatkan laju mobilnya saat memasuki area kampus. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang membuat Fasya harus berhati-hati. Kesabaran dan ketekunannya selama ini membuahkan hasil. Akhirnya Fasya bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski belum terlalu lama. Namun dia sering menggunakan mobil akhir-akhir ini agar bisa membiasakan diri. Lagi pula Adnan lebih merasa aman saat ia menggunakan mobil. Fasya menekan klakson mobil saat sudah berada di depan sekumpulan anak muda seusianya. Dia membuka jendela dan melambaikan tangannya pada seseorang. Seseorang yang menatapnya dengan berbinar, seperti melihat bank berjalan. "Gue duluan, sepupu gue udah jemput." Niko meninggalkan teman-temannya dan langsung masuk ke dalam mobil. Sudah hampir seminggu ini Fasya rutin menjemput Niko di kampusnya. Dia tidak lupa akan janjinya jika sudah bisa mengendarai mobil, maka Niko adalah orang pertama
Suasana di dalam mobil itu begitu tegang. Jantung Fasya masih berdegup dengan kencang. Dia mencoba untuk mengatur napasnya agar lebih tenang. Berdua bersama Adnan di dalam mobil membuat akal sehatnya menghilang. Jika bukan suaminya, mungkin Fasya sudah menendang pantat Adnan menjauh sampai tak bisa dipandang. "Jangan tegang," gumam Adnan. Mendengar itu, Fasya mulai merilekskan tubuhnya. Meskipun sudah berusaha, tetapi tetap saja sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa ia tenang jika berada di dalam situasi yang menegangkan seperti ini? Jika bukan karena Adnan, mungkin ia tidak akan mau melakukannya. "Pelan-pelan," ucap Adnan lagi. Bukannya menenangkan, apa yang pria itu lakukan justru membuat Fasya semakin tidak nyaman. Jika ada lakban, dia akan membungkan mulut suaminya agar diam. "Di depan nanti ada pertigaan, jangan lupa kurangi kecepatan," peringat Adnan lagi. "Iya, diem dulu." Fasya semakin mengeratkan tangannya pada setir mobil. Matanya fokus pada jalanan di depann
Suasana kafe malam ini terlihat sangat ramai. Selain karena banyaknya anak muda, para pekerja pun juga ikut menikmati malam minggu untuk melepas penat. Di salah satu meja yang cukup besar, terlihat Fasya tengah tertawa dengan lepas. Bisa dibilang malam ini adalah malam reuni, di mana ia kembali berkumpul dengan para seniornya saat magang dulu setelah beberapa bulan berlalu. "Masa, sih?" tanya Dinar geli. Shanon mengangguk yakin, "Iya, Pak Bonbon kalau marah hidungnya kembang-kempis." "Wah, parah. Masa ngomongin atasan sendiri." "Tapi Pak Bonbon asik. Istrinya nggak pelit, suka bawain makanan ke kantor, tapi ya gitu kalau marah bukannya serem malah lucu." Hanum kembali tertawa. "Apalagi kalau udah ngomel, itu perutnya juga goyang kayak ikutan ngomel," celetuk Damar. Tawa mereka kembali pecah. Kebiasaan buruk yang menyenangkan adalah membicarakan orang lain. Apalagi topik kali ini adalah atasan baru mereka yang menggantikan Kinan. Di tengah candaan, Fasya merasakan ponse
Hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu oleh semua orang. Terutama untuk dua sejoli yang tengah bersenda gurau saat ini. Tidak peduli dengan matahari yang sudah muncul sedari tadi, pasangan kasmaran itu semakin menikmati momen bersama yang tidak bisa mereka nikmati setiap hari. Momen intim di balik selimut yang sering mereka sebut sebagai pertukaran energi. "Geli, Mas." Fasya terkekeh saat Adnan mencium lehernya gemas. "Kamu bau." Fasya menarik rambut Adnan menjauh dari lehernya dan mulai menyentuh wajah pria itu. Tatapan mata Fasya begitu sayu karena rasa lelah yang ia rasakan. Bukan karena Adnan menyiksanya, tetapi sebaliknya. Pria itu kembali membuat tubuhnya melayang pagi ini. Melelahkan tetapi juga menyenangkan. Mata Adnan terpejam menikmati sentuhan jari Fasya di wajahnya. Untuk pertama kalinya dia merasa sangat nyaman berada di dekat seorang wanita. Selama ini Adnan selalu bersikap mandiri dan dewasa, padahal jauh di dalam lubuk hatinya dia juga ingin dimanja. "Puk-pu
Jika ada perayaan untuk hari terburuk, mungkin keluarga Atmadja akan menobatkannya sebagai hari ini. Rahasia yang disembunyikan oleh Om Bayu benar-benar menggemparkan. Tidak akan ada alasan atau kebohongan lain lagi yang akan tercipta. Kini semua orang sudah mengetahui semua kebenarannya. Mereka sekarang juga tahu kenapa permusuhan Adnan dan Denis tak kunjung usai. Mereka tidak menyangka jika Adnan menanggung beban berat akan rahasia ini selama bertahun-tahun. Semua ia lakukan demi kesehatan kakek. Namun kini semuanya terbongkar karena ulah Denis dan ibunya sendiri yang serakah. Malu, itu yang dirasakan Denis dan ibunya. Namun jauh di dalam hati, Denis lebih malu lagi untuk berhadapan dengan Mitha. Dia sekarang sadar betapa menjijikkannya sikapnya selama ini. Dia dibutakan oleh kesenangan duniawi sampai lupa untuk mempertahankan kebahagiannya sendiri. Mungkin jika namanya dicoret oleh keluarga Atmadja, Denis tidak akan peduli. Dia lebih sakit hati jika kehilangan Mitha. Dia bena
Pagi hari telah datang. Celah jendela mulai dimasuki oleh cahaya yang begitu terang. Disertai dengan kicauan burung merdu yang membuat suasana hati menjadi tenang. Yang kemudian membangunkan seorang wanita yang mulai mengerang. Fasya, mantan gadis yang semalam telah resmi menjadi seorang wanita itu mulai membuka mata. Cahaya yang menyilaukan mata membuatnya menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Dia sudah kembali bersiap untuk melanjutkan tidurnya. Namun sesuatu mulai menyadarkannya. Mata Fasya terbuka lebar. Dia menurunkan selimut dan melihat keadaan kamar yang sepi. Fasya terduduk sambil memperhatikan keadaan sekitar dengan bibir terbuka. Setelah itu dia melihat keadaan dirinya sendiri. Semuanya sama, baik kamar dan penampilannya terlihat sangat kacau. Malam pertama. Fasya menutup wajahnya yang memanas saat mengingat kejadian semalam. Entah bagaimana bisa mereka berakhir untuk menyalurkan kehangatan bersama? Fasya tidak pernah menduga sebelumnya. Namun setelah terjadi, d
Puncak Bogor masih menjadi tempat pelarian Adnan dan Fasya. Mereka berdua sepakat untuk memutus komunikasi dengan keluarga untuk sementara. Bahkan Adnan memilih untuk mematikan ponselnya agar bisa lebih tenang saat berdua dengan Fasya. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk saling mendekatkan diri. Tak terasa malam telah tiba. Seperti janji Adnan, dia yang akan menyiapkan makan malam. Dengan bantuan Mbok Yem tentu saja. Jika bukan karena keinginan Fasya, tentu dia tidak mau berkutat di dapur. Bukan bermaksud pamrih, tetapi Adnan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi versi terbaik bagi Fasya. Selama ia bisa, maka Adnan akan berusaha melakukan apapun keinginan istrinya. Tanpa imbalan. Dengan Fasya yang memberikan kesempatan kedua saja sudah membuat hati Adnan melayang dan berbunga-bunga. Setelah makan malam, Fasya memilih untuk ke kamar lebih dulu. Setelah pintu tertutup rapat, dia menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Ini gila! Fasya merasa jantungn