Reza keluar bersama Excel. Dahlan langsung menyambutnya dengan tatapan tak sabar. "Bagaimana? Memang dokter itu kan, pelakunya?" cecar laki-laki itu."Iya. Bapak juga ditangkap," jawab Excel."Apa maksudmu?""Bapak juga salah.""Salah apanya?!" Dahlan mengernyit tak terima. "Bapak yang buat aku diculik orang."Plak! Dahlan menepuk keras kepala putranya."Ngawur kamu! Mana mungkin Bapak ingin kamu diculik orang!" bentaknya. "Ehm," Reza berdeham untuk menenangkan ayah dan anak itu. "Kami akan menginterogasi Dr.Andra lebih dulu. Kalo memang terbukti salah, baru kami menangkapnya.""Bagus, kalau ada kemajuan seperti itu!" Dahlan akhirnya tersenyum puas. "Harusnya kalian beruntung kami langsung tau pelakunya. Kalian tak perlu susah-susah menyelidiki lagi."Edi mengangguk-angguk cepat. Tak ingin preman sekaligus rentenir tua itu terus mengoceh. "Iya Pak, iya. Kami berterimakasih atas kerjasamanya," ucapnya. Sang Brigadir kemudian menatap seniornya. "Gimana hasilnya? Apa memang dokter
Di Kantor Polisi. Begitu keluar dari ruang interogasi, Reza melihat Dahlan kembali. Laki-laki tua berbadan tinggi besar itu tampak bersemangat."Di mana dia?" tanya Dahlan dengan angkuhnya. Reza mengerutkan keningnya. "Dia? Maksudnya anak Bapak?" "Bukan. Si dokter sialan itu. Bukankah kalian sudah menangkapnya?""Kami masih dalam penyelidikan, Pak.""Halah! Penyelidikan apa?! Kalian terlalu bertele-tele. Sudah jelas anak ingusan sok kaya itu pelakunya, masih saja kalian ragukan! Biarkan aku masuk dan bertemu dengannya!""Tidak bisa, Pak. Tolong jangan buat kerusuhan," tolak Reza. "Kerusuhan apanya? Aku cuma mau menanyakan sesuatu sama dia, biar mata kalian terbuka!"Reza menggeleng. "Tidak bisa, Pak!" tegasnya."Biarkan saja, IPDA Reza. Biarkan dia masuk." Suara berat seorang laki-laki tiba-tiba menyela. Komisaris Haris berdiri dengan memasang tampang wibawa yang menyembunyikan obsesinya. Reza langsung menoleh. Begitu juga dengan Dahlan. Sang rentenir tua langsung tertawa melih
Dinda menahan napas merasakan sentuhan lembut di pipinya. Jemari Andra kini menyentuh wajahnya, sementara wajah tampan yang dikaguminya itu semakin mendekat padanya. Dinda menelan saliva. Jantungnya mulai berdegup dengan kencang.Begini kah rasanya disentuh oleh seorang lelaki yang kita sukai? Rasanya benar-benar mendebarkan. Wajah Andra semakin mendekat. Membuat Dinda tak lagi mampu menatap. Jantungnya tak kuasa. Hingga spontan matanya tertutup. Hati kecilnya hanya bisa mengucapkan bismillah. Dengan nama Allah ia akan merelakan semua anggota tubuh dan wajahnya disentuh oleh lelaki yang telah sah menjadikannya istri di hadapan-Nya. Dalam gelapnya mata yang terpejam, ia merasakan hembusan napas hangat di wajahnya. Dinda menelan salivanya lagi dengan dada yang semakin berdebar. Detik selanjutnya, keningnya merasakan sebuah kecupan hangat nan lembut. Kecupan yang dilakukan dengan penuh perasaan. Refleks, Dinda membuka matanya. Dr. Andra ternyata hanya mengecup keningnya, bukan me
Bab 38Dinda langsung menajamkan pendengaran. Kres kres kres. Suara lain kembali terdengar. Seperti orang mengais sesuatu. Jantung Dinda seketika berdetak kencang. Suara itu jelas berasal dari kamar ke-tiga. Ia merasa harus memastikannya kali ini, kenapa seringkali ada suara dari kamar itu jika tak ada penghuninya? Dinda bangkit perlahan, kemudian berjingkat menuju ke ruang belakang. Kres kres kres. Suara kerukan itu kembali terdengar. Dinda mendekat ke arah pintu kamar ke-tiga dan menempelkan telinganya. Namun ia tak melihat, ada semut yang berbaris di daun pintu.Dan saat mukanya dinaiki semut yang terhalang barisannya, gadis itu langsung berteriak kaget. "Astaghfirullah!" serunya sambil menepis semut itu dari pipinya. Dan suara berisik di dalam langsung menghilang. Dinda kembali menunggu dan menajamkan pendengaran. Namun kamar itu benar-benar telah senyap. Dinda menghela napas dan menatap semut-semut yang telah mengganggu pengintaian nya. Hewan-hewan kecil itu berbaris dan
Bab 39Dinda keluar dari kelasnya dengan wajah muram. Ia benar-benar sedih tak bisa menjadi penolong untuk Andra. Ia tak tahu bagaimana caranya membuktikan bahwa sang dokter tak mungkin menculik seseorang.Gadis itu menggigit bibirnya. Membayangkan Reza yang begitu yakin bahwa Dr.Andra adalah penjahat. Bagaimana kalau Dr.Andra dipenjara? Ah, ia benar-benar tak sanggup membayangkannya. Hatinya hanya bisa berharap semoga pengacara yang dicari Alex bisa segera membantu sang dokter. "Dinda!" Sebuah suara memanggilnya dari arah tempat parkir.Dalam kekacauan pikirannya, gadis itu menoleh. Dan langkahnya seketika terhenti. "Dokter ... Andra?" sebutnya terbata. Rasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Andra melayangkan senyuman hangat. "Iya, ini aku," jawabnya. Dinda mengerjapkan matanya, memperjelas penglihatannya yang mungkin saja tertipu halusinasi. Dan ternyata sosok Andra benar-benar nyata. Serasa telah menemukan kembali separuh jiwanya, Dinda merasakan haru memenuhi dadanya.
Para wartawan mulai datang?Dinda menggigit bibirnya. Untung tirai jendela belum ia buka. "Terus bagaimana?" tanyanya."Apa boleh buat, kita harus pura-pura tak di rumah. Kita duduk di dapur saja," jawab Andra.Keduanya melangkah pelan kembali ke dapur. Membuat Dinda merasa tegang, seolah sedang dalam suasana perang. Andra menghembuskan napas berat. "Kalau tidak bisa berangkat sekarang, kita berangkat nanti malam saja. Tapi jadi gagal jalan-jalan hari ini," ujarnya.Dinda menunduk dengan rasa bersalah. "Maaf, Dokter. Ini salah saya. Harusnya saya lebih hati-hati."Andra tersenyum. "Tidak ada yang tau apa yang akan dilakukan orang lain. Ini bukan salah kamu," hiburnya. Dinda menghampiri meja masak dan memperhatikan bahan-bahan masakan yang telah ia bersihkan namun belum sempat diolah. "Sekarang kita juga tidak bisa masak," desahnya. "Kita juga tak bisa delivery. Apa sebaiknya aku menyuruh orang untuk membubarkan mereka?" Andra mengambil ponsel dari saku celananya. Dinda tampak ber
Dengan cekatan, Dinda melukis pada wajah tampan sang dokter. Jemarinya tak canggung sama sekali menyentuh bahkan meneliti dalam jarak yang cukup dekat.Andra hanya bisa duduk mematung dengan mata yang bergerak ke manapun gadis itu bergerak. Ternyata saat melukis, Dinda benar-benar melupakan sekelilingnya. Bahkan rasa grogi yang biasa dialami istrinya itu ketika mereka berdekatan, saat itu menguap entah kemana. Sepertinya Dinda benar-benar menganggap wajahnya kanvas lukis. Setelah menggarap wajah, tangan Dinda beralih pada rambut Andra. Dengan cekatan gadis itu mewarnai rambut tebal sang dokter."Ini cat yang mudah dibersihkan, tinggal keramas seperti biasa, catnya langsung hilang," ujarnya memberitahu. Andra mengangguk paham. Sebenarnya, walau cat itu tak bisa hilang sekalipun rasanya ia juga rela jika Dinda yang melakukannya. Hingga beberapa saat lamanya, bibir mungil Dinda tampak tersenyum puas. "Sudah selesai. Coba dokter liat di cermin," pintanya.Andra menurut. Ia bangkit d
Asisten Andra tampak bingung saat tiba dengan mobil dan melihat sepasang kakek-nenek yang menunggu. Setahunya Dr.Andra tak lagi memiliki orangtua. Laki-laki berpostur kekar dengan kepala plontos itu turun dan menghampiri. "Kakek dan nenek kenal Dr.Andra?" tanyanya sopan. Andra langsung menatap Dinda dengan bibir tersenyum geli. Kemudian beralih kembali pada Barry, asistennya. Kepalanya pun mengangguk. "Berarti memang kalian yang disuruh jemput. Sebentar ya, saya telepon bos saya dulu untuk instruksi selanjutnya."Barry mengambil ponselnya dan menelepon. Laki-laki itu seketika tersentak, saat mendengar dering dari celana sang kakek. Kakek itu kemudian mengambil ponselnya. "Lho, kok?" Barry mengernyit bingung dengan ponsel masih menempel di telinganya. "Halo?" Andra menjawabnya dengan bibir tersenyum. Kerutan di kening Barry semakin bertambah. Ia kenal persis suara bos-nya. Tapi kenapa laki-laki tua di hadapannya ini memiliki suara seperti itu?Matanya meneliti wajah sang kakek