Bab 48Menaiki bukit yang menuju Rumah Pinus, Dinda masih merasa malu dengan kejadian di rumah Bu Tati tadi. Padahal Bu Kades maupun Bu Tati sendiri sangat respek dan mengaguminya. "Sudah, jangan dipikirkan lagi. Tadi itu kamu hebat sekali," Andra meraih jemari gadis itu dan menggenggamnya. Dinda menoleh, lalu menunduk kembali dengan jantung yang berdebar. Genggaman itu, walau mulai sering ia rasakan, namun tetap masih mendebarkan. Andra terus menggenggam tangannya saat menaiki bukit, dan kadang membantunya saat jalannya menanjak. Hingga akhirnya mereka tiba di hadapan sebuah kastil kecil. Ini ke-dua kalinya Dinda melihat bangunan yang dinamakan oleh sang dokter Rumah Pinus itu. Namun ia kembali merasakan takjub. Serasa masuk kembali ke dunia dongeng. "Saya belum sempat nanya, Dokter suka dongeng, ya?" tanyanya sambil menatap gemas rumpun bunga berwarna-warni yang nyaris lebih banyak bunga dibanding dan daunnya. Andra tersenyum mendengarnya. "Ya. Karena hanya di dalam dongen
Bab 49Siska melihat itu. Melihat tatapan penuh hasrat yang ditujukan Andra pada Dinda. Ia tahu seperti apa laki-laki yang sedang berhasrat, karena pekerjaannya yang berkecimpung dalam hasrat para lelaki. Hatinya sakit. Ia marah. Siska benar-benar tak rela Janson-nya berhasrat pada wanita lain. Apalagi selama ini ia tahu Andra tak pernah bisa berhasrat pada wanita karena trauma dan bencinya terhadap wanita. Tapi kenapa Andra bisa berhasrat pada perempuan kampungan itu?!"Janson!" teriaknya keras. Membuat Andra menoleh. Dan laki-laki itu langsung mengusap wajahnya sambil membuang napas kasar. "Aku marah padamu!" pekik Siska lagi. Matanya memerah."Kalau begitu, pergilah dari sini. Kau telah membuat istriku menangis," jawab Andra. Siska benar-benar kehilangan kata. Hatinya benar-benar sakit. Dengan kemarahan yang meledak, ia meluapkannya pada barang-barang yang ada di sekitarnya. Ia mengamuk. Melemparkan semua benda ke mana saja. Andra langsung berdiri membentengi Dinda, agar le
Reza memajukan tubuhnya dan menatap serius. "Memangnya ada apa di kamar ke-tiga itu?"Siska tak langsung menjawab. Ia kembali tersedu hingga pundaknya berguncang. Andra menunggunya dengan tatapan lurus. Tak sedikitpun teralihkan. "Aku tak ingin masuk ke kamar itu , sungguh. Aku hanya ingin dicintai." Siska malah kembali mengeluh.Reza menarik kembali tubuhnya dan bersandar pada sandaran kursi dengan tangan bersedekap. Ia sadar interogasi ini tak akan berjalan mulus. "Kenapa kau ingin dicintai oleh suami orang? Bukankah Dr.Andra itu sudah memiliki istri?" Siska langsung mengangkat wajahnya. Wajah cantik itu tampak begitu berantakan. "Siapa bilang?! Perempuan kampungan itu tak akan pernah menjadi istrinya. Aku tak akan membiarkan Janson-ku direbut perempuan itu!" ketusnya marah. Reza menghela napas panjang. "Ya, sudah. Kalau kau ingin dicintai, perbaiki dirimu dulu. Jangan memandang orang lain lebih rendah darimu. Dan jangan lagi meminum minuman yang diharamkan Allah. Di dunia ini
Pulang dari Rumah Pinus di sore hari, Andra dan Dinda sama-sama tersipu sambil menahan senyum.Setelah kejadian di sofa tadi, keduanya sama-sama salah tingkah. Hingga akhirnya sepakat untuk kembali ke kota Bukit di sore hari karena Andra harus bekerja Senin esok. "Jadi, kapan kita harus mulai kencannya?" tanya Andra sambil melirik sedikit."Kapan saja Dokter punya waktu," jawab Dinda sambil pura-pura melihat keluar jendela. "Kencan itu biasanya ke bioskop, taman, ataupun cafe, kan? Kamu sukanya kemana?""Taman juga boleh," jawab gadis itu lagi.Andra mengangguk-angguk. Tring. Ponsel Dinda berdering. Gadis itu merogoh tas kecilnya dan mengambil benda pipih yang sedang bergetar di dalamnya."Reza," bacanya dalam hati begitu melihat nama yang tertera di layar ponselnya.Andra kembali melirik. Dinda tampak bimbang sejenak, namun kemudian menerima panggilan telepon itu. "Halo, assalamu
Driiing ....Ponsel Dinda kembali berdering. Reza kali ini menelepon. Dinda menatap ragu gambar telepon berwarna hijau di layar ponselnya. Lalu beralih pada pintu kamar yang tertutup. Dr.Andra mungkin tak akan mendengar suaranya dari luar sana. Tapi tentu akan menjadi dosa besar jika ia tetap mengangkat, sementara ia tahu sang dokter pasti tidak suka. Akhirnya Dinda memilih abai hingga layar kembali pada gambar wallpaper-nya. Namun beberapa detik berselang, ponselnya kembali berdering, dering singkat yang berarti sebuah pesan. Dinda membukanya dan membaca tanpa suara. "Ada yang penting, Din. Tidak akan lama."Gadis itu menghela napas. Haruskah ia menemui Reza? Ia yakin hal penting yang dimaksud Reza pasti benar-benar penting walau ia tak tahu tentang apa. Karena sejak kecil Reza bukan tipe orang yang bisa merepotkan orang lain untuk hal yang sepele. Dengan hati yang penuh dilema ia keluar untuk menyiapkan makan malam. Namun ternyata Andra telah berada di dapur dan sedang mengad
Dinda menatap raut panik Fathimah dengan tatapan risau. "Laki-laki itu siapa?" tanyanya. Matanya kemudian beralih pada pintu ruang ICU. "Alex Janson," sahut Fathimah singkat. "Adiknya Dr.Andra?" Mata Dinda seketika membulat. Tak hanya Dinda, Reza pun sama terkejutnya. "Jadi Alex itu gangster?" Dinda mengernyit. Penampilan Alex memang berbanding terbalik dengan penampilan saudara laki-lakinya, Dr.Andra. Alex bertampang malaikat maut, sedangkan Dr.Andra jelas seperti malaikat pelindung. "Aku nggak tau persisnya. Tapi selain pengusaha, Alex juga anggota sebuah organisasi keras," jelas Fathimah. "Terus kamu mau Reza ikut buat apa?" "Tadi Alex melawan habis-habisan gangster yang mau bawa gue sebagai tawanan. Mereka semua kalah, dan salah satu dari mereka menelepon bantuan sebelum kabur. Aku juga langsung nelpon kamu buat ngajak Pak polisi ini," tunjuk Fathimah pada Reza dengan lirikannya. "Tapi Alex kemudian tumbang. Aku langsung putusin buat bawa kabur dia ke rumah sakit," sambung
Andra tersenyum miring. "Topeng? Aku memang malaikat di mata semua orang. Termasuk bagi orang-orang yang tak menghargai nyawanya." Tatapan Andra berubah mencekam. "Aku adalah malaikat yang memperingatkan mereka bahwa mati itu sangat mengerikan."Reza meneguk salivanya. Kini semakin jelas, bahwa laki-laki yang ada di hadapannya ini adalah orang yang ia cari. Andra memiringkan kepalanya. "Kau hanya membuang-buang waktumu, Pak Detektif. Kau tak akan mendapatkan apa yang kau cari.""Aku tak akan membiarkanmu menyakiti Dinda," ancam Reza. Mata Andra seketika menatap dengan tatapan menusuk tajam. Rahangnya tampak mengeras. Dengan satu hentakan keras, ia mencengkeram kerah baju Reza. Grap! Reza tersentak. Cengkeraman itu begitu kuat. Bahkan tubuhnya serasa terangkat saling besarnya tenaga tangan laki-laki yang berprofesi dokter di hadapannya. Wajah tampan yang digilai para wanita itu tampak seperti pangeran vampir. Vampir yang haus darah. "Jangan pernah mencampuri urusanku dengan ist
Dinda kembali mengintip melalui lubang kecil yang ada di pintu kamar ke-tiga itu dengan napas tertahan. Namun kali ini sama sekali tak terlihat apa-apa, karena malam yang telah larut dan lampu kamar yang dimatikan."Dinda," Suara bariton Andra tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Dinda tersentak kaget. Ia sampai terlonjak berdiri dan spontan menoleh. "Dok ... Dokter?" sahutnya tergagap. Sebagai orang yang tak suka lancang terhadap barang milik orang lain, tindakannya barusan membuatnya sangat malu. Gadis itu tampak pucat seperti maling yang tertangkap basah. "Kamu sedang apa?" selidik Andra. "Sa-saya sedang ... sedang mengambil minum," jawabnya. Lalu cepat-cepat melangkah ke kulkas dan membuka lemari pendingin itu. Saking gugupnya, alih-alih mengambil air mineral, Dinda malah mengambil buah. Lalu bergegas keluar dari dapur. "Maaf, Dokter. Saya permisi tidur duluan," ucapnya saat melewati Andra.Andra hanya menatapnya. Ia tahu Dinda sedang berbohong dan merasa gugup karena kar