“Jadwalkan untuk kunjungan ke proyek dan beritahu mereka tentang perubahan hasil meeting lal—“ Kalimat Kenzo terhenti mendapati Jillian duduk di kursinya.
Pria itu sempat terkejut lantas tersenyum kepada Jillian sebentar kemudian kembali melanjutkan instruksi untuk Amira.“Lalu buat laporannya dan kirim ke iPad saya,” sambung Kenzo kemudian.Entah Amira mendengar atau tidak instruksi dari Kenzo karena matanya melirik tajam pada Jillian sedangkan Kenzo tidak sekalipun mempersilahkan Amira masuk, pria itu menghadang di ambang pintu.Dan ketika Amira mengalihkan tatap pada Kenzo, ia mendapati sorot mata pria itu memberi kode kepadanya agar segera pergi.Tidak ada tanggapan ketika Amira memutar badannya lalu pergi, hanya delikan tajam yang ia berikan untuk Kenzo.Kenzo selalu mengabaikan sikap tidak profesional Amira, baginya yang penting Amira mau mengerjakan pekerjaan sebaJillian : Kenapa harus nginep? Kenzo : Karena tadi di sini hujan dan aku belum selesai ngecek proyek. Jillian : Pokoknya pulang sekarang! Jill enggak mau kamu nginep sama tante Amira. Kenzo : Kita tidur beda kamar, sayang. Jillian : Tadi pagi janjinya pulang! Kenzo : Aku minta maaf. Jillian kessseeeeelllll!!!!! Kenzo : Baby … Kenzo : Sayang? Kenzo : Kalau aku bolak-balik terlalu jauh, aku bisa sampai jam dua pagi lalu aku harus balik lagi jam empat pagi untuk tiba jam delapan di proyek. Kenzo : Baby Begitulah isi room chat Kenzo dan Jillian saat ini. Kemudian ponsel Jillian berdering panjang, Jillian melirik layarnya dan nama beserta foto Kenzo memenuhi layar. Jangan harap Jillian akan menjawab panggilan telepon dari Kenzo, ia sedang kes
“Aku enggak ada perasaan apa-apa sama Amira … kalau aku mencintai dia kenapa dulu aku memutuskan dia dan kenapa aku enggak nikah sama dia aja?” Kenzo menarik tengkuk Jillian untuk menyatukan kening mereka. “Karena aku udah nggak mencintai dia lagi, sekarang aku mencintai kamu … hanya kamu.” Jillian membisu, kehabisan kata-kata. “Kamu boleh enggak ngakuin aku sebagai suami kamu tapi tolong … jangan dekat-dekat sama cowok lain … kamu tahu rasanya cemburu, kan?” Jillian menganggukan kepala. “Aku merasakan seribu kali lipat sakit dari apa yang kamu rasakan karena aku sangat sangat sangat mencintai kamu.” Kenzo menjauhkan wajahnya, mengusap kepala Jillian dengan lembut, menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinganya. “Aku akan memindahkan kamu ke kampus lain kalau cowok itu masih dekat-dekat sama kamu.” Meski Ken
“Jadi, ceritakan sama Mommy kenapa kamu kabur?” Laura dan Jillian melakukan semua percakapan ini menggunakan bahasa Inggris untuk menghargai Jeniffer yang tidak mengerti bahasa Indonesia. “Kenzo kerja terus, beberapa hari lalu ke luar kota trus kemarin malam ke Luar Negri … long weekend dia ke Malaysia dooonk … bayangin keselnya Jill ... jadi pas Kenzo pergi, Jill minggat ke sini.” Jillian memulai curhatnya sambil mengerucutkan bibir. “Di Malaysia ‘kan enggak long weekend.” Ucapan Laura itu percis seperti apa yang dikatakan Kenzo. “Tapi dia pergi untuk bekerja, bukan bersenang-senang.” Jeniffer mengingatkan. Jillian mengembuskan napas, melorotkan bahu, bersandar punggung lebih dalam. Kenapa sih tidak ada yang mengerti perasaannya? “Seharusnya kamu ikut setiap kali suami kamu pergi bussines trip, ayah mertua kamu selalu mencari wanit
Kenzo tidak tahu kenapa bisa ada istri dari daddynya di rumah sang mommy dan mereka tampak begitu dekat. Lalu kakak tirinya juga terlihat akrab dengan Jillian. Apa saja yang sudah dilewatkannya selama dua hari pergi ke Malaysia? Kenapa ia seakan pergi puluhan tahun lamanya hingga mendapati kenyataan tidak masuk akal seperti ini? Setau Kenzo, Jeniffer sangat membenci Mommy Laura termasuk dirinya. Tapi kenapa istri dari daddynya itu bisa ada di sini bahkan duduk satu meja bersama mommy Laura? Kenzo berpikir seiring langkahnya menaiki anak tangga yang diseret oleh Jillian setelah tadi Jillian pamit dari ruang makan dengan alasan ingin bicara sebentar dengannya. “Kamu tuh ya, masa ngomong gitu sama Mommy?” tegur Jillian, kedua tangannya ia letakan di pinggang setelah menutup pintu rapat. “Panggil aku kaya tadi lagi!” titah Kenzo masi
“Jill, aunty pulang setelah sarapan … kapan-kapan main lah ke New York … kamu harus kenalan sama Daisy dan Audrey, mereka baik dan manis seperti kamu.” Kemarin Jeniffer bercerita banyak tentang menantunya. Dan ternyata Jillian itu pandai berakting sampai Jeniffer memiliki kesan baik padahal aslinya kelakuan Jillian itu seperti Reog. “Iya aunty … nanti Jill ke sana sama Kenzo boleh?” Jillian mengaitkan tangan di pinggang Kenzo yang sedang merangkul pundaknya saat mendekat ke meja makan. “Boleh.” Jeniffer menjawab singkat, matanya melirik Kenzo sekilas. “Sarapan dulu Ken … Jill.” Laura berlagak seolah tadi malam tidak terjadi apa-apa, masih mau menyapa Kenzo dengan hangat. Seperti biasa, tidak ada sahutan dari Kenzo. Pria itu langsung duduk setelah sebelumnya menarik kursi di bawah meja makan untuk Jillian. Mata Ke
“Kenapa kamu enggak pernah cerita tentang Tiara? Kenapa enggak bilang kalau Tiara itu anak pak Adam Askandar? Kenapa kam—“ Kalimat Jillian terhenti karena bibirnya dibungkam oleh bibir Kenzo setelah pria itu merengkuh pinggangnya untuk mengikis jarak. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit di mana Adam Askandar dirawat tadi Jillian bungkam seribu bahasa dan baru meledak ketika tiba di rumah. “Lepas ah, nyebelin!!!” Jillian mendorong dada Kenzo hingga pria itu mundur beberapa langkah. “Baby.” Kenzo mengesah, menyusul Jillian yang ngebut menaiki tangga. “Capek! Jill itu capek cari tahu tentang siapa kamu, Jill capek … kamu itu misterius banget, Jill jadi sanksi kalau kamu memang bener-bener cinta sama Jill.” Jillian nyerocos dengan nada tinggi penuh kekesalan. “Babyy ….” Kenzo menarik tangan Jillian membuat tubuh istrinya spontan berbalik dan ia langsung mengunci dengan memegang ked
Di antara desah, peluh dan kenikmatan yang sedang melingkupi mereka berdua—dengan sangat terpaksa Kenzo harus menghentikan hentakannya. “Kenapa?” Jillian bertanya dengan raut wajah nelangsa. Ia hampir sampai tapi Kenzo malah berhenti. “Aku enggak pakai kondom … kayanya abis, lupa beli.” Kenzo mengesah hendak mencabut miliknya untuk berhenti. Kedua tangan Jillian yang melingkar di tubuh Kenzo menahannya. “Lanjutin, enggak apa-apa enggak usah pakai kondom … sekali ini aja.” Jillian terengah frustrasi. “Kamu yakin?” Kenzo mengusap kepala Jillian lembut lalu mengecup keningnya setelah sang istri menganggukan kepala. “Aku enggak bisa janji keluar di luar, Baby.” Kenzo menggeram, pacu hentakannya menaikkan tempo. Jillian menjawab dengan desahan dan lingkaran tangan di leher Kenzo. Pria itu melengkungkan tubuhnya lalu menekuk kedua lutut sehingga penetrasi yang dilakukan bisa lebih d
“Yaaang … sayaaaang.” Jillian berusaha menyamai langkah panjang Kenzo yang berderap menuju kamar mereka. Ketika makan malam tadi, Kenzo mengatakan dengan tegas menolak untuk mengalih namakan GZ Corp menjadi namanya. “Yaaaang,” jerit Jillian ketika kakinya salah memijak hingga nyaris jatuh tersungkur berguling-guling di anak tangga jika saja Kenzo tidak cepat tanggap menangkap tangannya. “Hati-hati sayang,” tegur Kenzo tapi raut wajahnya tampak bersalah menyadari Jillian hampir saja jatuh karena mengejarnya. “Abis kamunya enggak mau denger,” gerutu Jillian yang berada di dalam pelukan Kenzo. Kenzo mengembuskan napas panjang lantas merangkul Jillian melanjutkan langkah mereka menuju kamar. "Kamu harus pikirkan matang-matang, ini keputusan besar dan enggak bisa asal aja." Akhirnya Kenzo menyambung pembicaraan mereka saat di meja makan
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli