Zara emang pawangnya Kael ini mah wkwk Siap lanjut ke bab selanjutnya gak? coba komen dong :)
Keesokan paginya, Zara duduk di meja makan, sendok di tangannya hanya mengaduk-aduk bubur yang sejak tadi belum juga masuk ke mulutnya. Biasanya, dia selalu makan dengan lahap sebelum berangkat kerja, tetapi hari ini perutnya terasa sedikit mual.Di seberang meja, Kael memperhatikannya tanpa suara. Tatapannya tidak lepas dari wajah Zara yang sedikit pucat."Kamu yakin mau tetap kerja di restoran? Sudah berhenti aja." Suara Kael terdengar lebih rendah dari biasanya, penuh keraguan yang tidak biasa dia tunjukkan.Zara yang sedang menyendok buburnya, mengangkat wajah. Dia mencoba tersenyum seperti biasa."Aku nggak apa-apa kok. Lagian, aku mau ngapain di rumah sendirian? Kamu emang mau nemenin aku?" canda Zara, berusaha membuat nada suaranya tetap ringan."Kalau aku nggak kerja, nanti anak kita mau makan apa?" ucap Kael datar, nada bercandanya hampir tidak terdengar seperti bercanda.Padahal, tanpa perlu bekerja sekalipun, harta keluarga Ashwara mungkin tidak akan habis hingga tujuh turu
Tanpa banyak bicara, Zara mengikuti langkah Rizal menuju ruangannya. Di dalam kepalanya, pikirannya sibuk berpacu, mencari alasan yang paling bisa diterima.Tidak mungkin dia mengaku bahwa dia absen karena baru mengetahui dirinya hamil, ‘kan?Namun, langkahnya sedikit melambat begitu melihat siapa yang duduk di dalam ruangan Rizal.Kael.Pria itu duduk santai di kursi, satu kakinya disilangkan, tangan bertumpu di sandaran, dan matanya sudah mengunci sejak Zara masuk. Tidak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, hanya datar, seolah segala sesuatu berjalan seperti biasa. Zara menahan napas, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.Rizal yang berjalan di sampingnya, tampak tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.“Chef?” Rizal mengernyit, melirik Zara dengan tatapan penuh tanya.Kael hanya mengangguk tanpa perubahan wajah. “Silakan. Aku nggak akan ganggu.”Nada suaranya datar, terlalu datar, hingga membuat Zara merasa gelisah.Mengapa Kael berada di sini? Apa yang dia lakukan di ruanga
Zara tiba di rumah lebih awal dari biasanya. Waktu masih sore, tapi pikirannya sudah penuh dengan pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Begitu masuk, dia langsung melepaskan jaket dan duduk di sofa, membuka kembali berita yang tadi Andin tunjukkan.Tangannya menggenggam ponsel lebih erat. Tidak ada tambahan informasi baru, tapi semakin banyak orang yang mulai berspekulasi di kolom komentar.[Siapa istrinya? Kenapa nggak ada fotonya?][Kalo bener nikah kontrak, kira-kira istrinya dapet berapa milyar ya?]Zara menghela napas, mencoba meredam emosi yang mulai bergejolak.Dia sudah mengirim dua pesan kepada Kael, tetapi tak ada jawaban. Bahkan saat dia mencoba menelepon, panggilannya hanya berakhir dengan nada sambung yang terus berdering tanpa jawaban.Dia bisa menebak bahwa pria itu sedang sibuk, entah dengan pekerjaan atau mungkin mencari tahu siapa dalang di balik berita ini. Tapi tetap saja, diamnya Kael semakin membuat Zara resah.Malam semakin larut.Jam di ponselnya sudah menun
"Kenapa kamu bilang gitu?" tanya Zara, suaranya hampir tercekat.Kael menarik napas dalam-dalam, tatapannya tetap fokus pada Zara, meskipun ada keraguan yang jelas tergambar di matanya. Dia ingin mengungkapkan lebih banyak, tapi khawatir kata-katanya justru akan semakin menyakiti."Mungkin dengan itu, kamu nggak akan terlibat dengan semua ini," jawab Kael dengan nada yang penuh penyesalan, lebih dari yang dia akui.Ada keraguan yang jelas dalam suaranya, seolah kata-kata itu harus diucapkan meski terasa berat.Zara terdiam sejenak, dada terasa sesak mendengar itu. Sebelum sempat mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, Kael mengulurkan tangannya, dengan gerakan pelan menyentuh pipi Zara.Zara menatap Kael, perasaannya bercampur aduk, tetapi entah kenapa, dia tidak bisa menepis sentuhan itu."Terus, sekarang kamu mau gimana?" tanya Zara pelan, suara yang sama sekali tidak bisa menutupi kebingungannya.Kael menatapnya, matanya penuh ketegasan, meski ada kegelisahan yang jelas."Aku lag
“Zara, hari ini aku harus mengurus banyak hal,” kata Kael begitu selesai menyantap sarapannya, lebih tepatnya selembar roti tawar. “Kamu gak usah khawatir, aku pasti akan selesaikan ini semua.”Zara mengangguk pelan. Namun, rasa cemas itu sama sekali tidak bisa hilang dari hatinya.Bagaimana mungkin dia tidak akan khawatir dengan hal ini?“Jaga dirimu, hari ini aku gak ke restoran.” Kael menatap Zara dengan begitu dalam.“Kael,” panggil Zara lirih, seolah tidak ingin membiarkan suaminya menghadapi ini seorang diri. Bagaimanapun juga, kehadirannya juga yang memicu hal ini terjadi.“Aku pesankan taksi online,” kata Kael, seolah tidak ingin membuat Zara semakin larut.Setelah berhasil mendapat taksi untuk Zara, Kael bangkit, meraih jas yang ada di kursi sebelah dan langsung memakainya. Zara yang melihat itu juga ikut bangkit, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah lelah Kael.Kael melangkah mendekati Zara, tersenyum sejenak, lalu mencium kening Zara. “Aku pergi dulu.”Ingin rasanya Z
Wanita itu adalah Anjana Lestari Wijaya, pemilik Wijaya Group.Aryan mengernyit, begitu pula dewan direksi lainnya. Tidak ada yang menyangka perusahaan sebesar Wijaya Group tertarik berinvestasi di Ashwara Group di tengah krisis ini.Kael menatapnya tajam. Dia menduga ada pihak yang ingin memanfaatkan situasi ini, tetapi tidak menyangka Wijaya Group yang maju lebih dulu."Bu Anjana ..." Aryan berdehem. "Anda serius?"Anjana tersenyum tipis. "Saya tidak pernah main-main dalam bisnis, Pak Aryan. Ashwara Group masih punya potensi besar, selama dikelola dengan baik."Kael menyipitkan mata. "Kenapa sekarang? Ini waktu paling berisiko untuk masuk ke Ashwara Group."Anjana mengangkat bahu santai. "Saya percaya perusahaan ini punya fondasi kuat. Skandal pribadi tidak seharusnya menghambat potensi bisnis yang lebih besar.""Tentu saja, kita perlu membahas lebih lanjut syarat kerja sama ini. Tapi, jika kalian ingin menyelamatkan perusahaan, ini adalah penawaran terbaik yang kalian punya," lanju
Keesokan paginya, Zara terbangun lebih dulu. Dia mengerjap pelan sebelum menoleh ke samping, menemukan Kael masih tertidur nyenyak di sebelahnya. Napas pria itu teratur, wajahnya tampak lebih tenang dibanding saat pulang tadi malam.Zara menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Saat tidur, Kael terlihat berbeda, lebih lembut, tanpa garis tegas yang biasanya menghiasi wajahnya. Rasanya aneh melihat pria yang begitu dominan dan dingin bisa tampak setenang ini di sampingnya. Bahkan dalam tidur pun, pria ini tetap menyebalkan ... karena terlalu tampan.Sungguh, Zara masih belum terbiasa dengan pemandangan ini!Tiba-tiba, Kael bergerak. Salah satu lengannya bergeser dan entah bagaimana, mendarat tepat di pinggang Zara. Sentuhan itu seharusnya biasa saja, tapi perbedaannya adalah tangan Kael tidak berhenti di sana.Jari-jarinya bergerak, mengguratkan tekanan ringan di kulitnya, lalu menariknya lebih dekat. Zara menahan napas. Bibirnya terkatup rapat saat dia mencoba mendorong dada Kael pe
Sore itu, setelah selesai bekerja, Zara langsung menuju rumah Riki. Perjalanan ke sana terasa lebih panjang dari biasanya, meskipun sebenarnya tidak terlalu jauh. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, perasaan yang sulit diabaikan sejak Riki menghubunginya tadi pagi.Begitu sampai di depan rumah, Zara berdiri sejenak sebelum mengetuk pintu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, firasatnya mengatakan bahwa pertemuan ini tidak akan berlangsung dengan tenang.Tidak butuh waktu lama, pintu terbuka. Riki berdiri di ambang pintu dengan ekspresi khawatir. Matanya langsung menyapu wajah keponakannya, seolah ingin memastikan Zara baik-baik saja setelah pemberitaan yang sempat heboh kemarin."Zara ..." Suara Riki pelan, sedikit berat, seperti menahan sesuatu yang sudah lama ingin diucapkan. Riki menghela napas sebelum akhirnya bertanya, "Kamu apa kabar?""Aku baik-baik saja, Om." Zara tersenyum kecil, mencoba menenangkan Omnya.Riki masih menatapnya beberapa det
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andin—warna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.“Zara, gue kira lo nggak akan datang,” ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
“Zara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?” ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varen—dua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.“Ma, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,” tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
“Chef, tastenya sudah pas?” Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. “Sudah,” jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoon—tempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
“Apa kamu bilang?! Dokter Gala … ayah dari Zelena?!” bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.“Iya, Ma …” Ceva menunduk, suaranya lirih. “Gala ayahnya.”Tubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. “Kenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!”Ceva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.‘Gawat. Aku ketahuan,’ batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubah—kaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.“Zara?” Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, ‘kan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
“Kael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?” tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.“Belum, Kak,” ucap Zara pelan. “Sempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.”Zara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
“Zara, ayo sarapannya dimakan,” suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasan—semuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman … walau tak benar-benar merasa diterima.“Kalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,” ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.“Maksud kamu …?” tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. “Mama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.”Kael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.“Kamu setuju?” tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.“Zara,” suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.“Aku nggak mau, Mas … Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?” lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarah—y