Hai, makasih yang udah baca sampai bab ini yaa.. tunggu updatenya besok :)
Tentu saja Virsha ada di rumah ini. Sebagai mantan Kael, sudah pasti dia datang untuk berbela sungkawa. Apalagi dia begitu dekat dengan keluarga Kael.Dahi Zara berkerut. Dia menepis tangan Virsha dengan tenang, tidak kasar, tapi cukup tegas untuk menunjukkan bahwa dia tidak ingin ditahan.Karena menyadari niat Zara, Virsha melanjutkan, "Aku lebih kenal Kael. Dia pasti butuh waktu sendirian.""Dan aku istrinya," ujar Zara, suaranya tenang, tapi memiliki bobot yang tak terbantahkan. "Aku jauh lebih mengenal Kael dibanding kamu."Virsha menghela napas panjang, lalu mendengus kecil. "Jangan egois. Kamu tahu ‘kan, Kael paling nggak suka ada orang yang ikut campur urusannya?"Alih-alih tersulut, Zara justru tersenyum miring. Satu kalimat itu saja sudah menjelaskan banyak hal. Wanita ini masih mengharapkan sesuatu dari Kael.Zara melangkah lebih dekat, hampir tanpa jarak. Dengan suara rendah namun tajam, dia berkata, "Kamu yang terlalu ikut campur, Virsha."Senyum tipis Virsha tidak pudar. "
Hening sejenak. Zara merasakan bagaimana dada Kael naik turun, seolah sedang mencoba mengatur dirinya sendiri. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya diam, membiarkan kehangatannya menyelimuti pria itu dalam pelukan mereka.Kael menutup matanya, membiarkan sentuhan Zara meresap ke dalam dirinya.Mereka tidak tahu sudah berapa lama diam seperti itu, sampai akhirnya Kael menghela napas panjang, lalu mengendurkan pelukannya sedikit."Ayo turun," ucap Kael lirih, suaranya serak seolah kata-kata itu harus dipaksakan keluar.Zara mengangguk, menghapus sisa air mata di pipinya sebelum menggandeng tangan Kael."Oke," jawab Zara pelan.Mereka melangkah turun bersama, kembali menghadapi kenyataan.Namun, begitu sampai di bawah, suara yang tidak asing dan sama sekali tidak ingin Zara dengar sekarang langsung terdengar."Tante Maharani, aku benar-benar ikut berduka."Zara menoleh."Aku tahu betapa sayangnya Tante pada Kakek Hardi," lanjut suara itu dengan nada lembut yang dibuat-buat. "Beliau orang
Ruangan langsung diliputi keheningan.Auriga merapikan kertas di tangannya sebelum mulai membaca."Untuk keluargaku yang tersayang ...”“Aku telah menjalani hidup ini dengan segala suka dan duka, dan kini saatnya aku meninggalkan sesuatu untuk kalian. Keputusan yang kutulis di surat ini bukan tanpa pertimbangan, aku telah memikirkan semuanya dengan matang. Aku hanya berharap apa yang kutinggalkan bisa membawa kebaikan, bukan perpecahan. Terimalah ini dengan hati yang lapang."Auriga melirik sekilas ke arah keluarga Ashwara yang tampak menunggu dengan berbagai ekspresi.Auriga kembali menatap suratnya."Untuk Aryan Ashwara, anak pertamaku ..."Aryan tetap duduk tegap, tidak menunjukkan ekspresi apa pun."Sebagai penerus utama keluarga, kau akan tetap menjalankan peran sebagai CEO Ashwara Group. Aku juga memberikan tambahan 15% saham perusahaan, sehingga kepemilikanmu menjadi 40%. Aku percaya bahwa kau akan terus menjaga warisan keluarga ini dengan baik."Anita tersenyum kecil, menepuk t
Sejak kecil, Kael dan Ranu tidak pernah benar-benar dekat. Mereka tidak sering bertengkar, tapi juga tidak pernah benar-benar akrab.Kael adalah cucu yang paling disayangi Hardi. Semua orang tahu itu. Entah karena sifatnya yang lebih tenang dibanding Ranu atau karena Hardi melihat sesuatu dalam diri Kael yang tidak dimiliki Ranu.Keputusan-keputusan Hardi sering kali terasa tidak adil bagi Ranu. Kalau ada masalah, Hardi selalu memilih bicara baik-baik dengan Kael.Namun, untuk Ranu, kakeknya hanya memberi tatapan dingin, tidak pernah membentak, tidak pernah menghukum, tapi entah kenapa, itu justru terasa lebih menyakitkan.Ada satu kejadian yang selalu diingat Kael.Saat itu, mereka masih kecil. Kael berumur sembilan tahun, sedangkan Ranu sepuluh tahun. Hari itu, Ranu baru saja dihukum tidak boleh keluar rumah karena nilai ulangannya buruk, sementara Kael diizinkan pergi ke luar bersama Hardi. Itu bukan pertama kalinya, dan Ranu merasa kesal.Begitu Kael pergi, Ranu masuk ke kamar sepu
Seperti yang Kael katakan waktu itu, suaminya kini benar-benar menjadi manusia super sibuk.Selama ini, Zara sudah terbiasa dengan kesibukan suaminya. Namun kali ini, situasinya berbeda. Sebelumnya, Kael masih sempat pulang, meskipun larut. Sekarang, pria itu bahkan kadang hanya pulang pagi untuk berganti pakaian, lalu pergi lagi tanpa sempat sarapan.Zara menatap layar ponselnya, membaca pesan singkat dari Kael.[Aku nggak bisa pulang malam ini. Jangan nungguin aku ya? Kamu tidur duluan aja.]Wanita itu menghela napas. Ini sudah keberapa kalinya dalam seminggu? Dia tahu Kael sibuk, tapi … apakah harus sepadat ini?"Sebetulnya tugas Presiden Direktur kayak apa sih? Sampai super sibuk banget," gerutu Zara pelan.Tentu saja Kael sangat sibuk, dengan jadwal rapat bertubi-tubi, pertemuan dengan klien besar, dan mengawasi langsung berbagai proyek Ashwara Group. Belum lagi dia harus menghadapi orang-orang yang berusaha menjatuhkannya.Saat itulah sebuah ide terlintas di kepala Zara. Mungkin
Zara menuangkan teh hangat ke dalam cangkir Maharani sebelum akhirnya duduk kembali di kursinya. Sarapan pagi ini terasa berbeda karena ada ibu mertuanya di meja makan.Biasanya, saat Kael sedang sibuk seperti sekarang, dia hanya makan sendiri, tapi pagi ini Maharani menginap dan bersamanya sejak semalam.“Zara, gimana? Kamu udah kontrol belum? Jangan sampai karena Kael sibuk, kamu jadi nggak sempat ke dokter,” tanya Maharani, suaranya lembut tapi penuh perhatian.Zara sempat terdiam. Sejujurnya, bulan ini dia belum sempat kontrol karena Kael terlalu sibuk. Dia tahu suaminya akan marah kalau tahu Zara pergi sendiri, apalagi dokter kandungannya adalah Gala. Kael masih belum sepenuhnya suka kalau Zara berinteraksi dengan mantan kekasihnya itu.“Sudah, Bu,” jawab Zara akhirnya, memilih untuk menutupi kenyataan. Dia tidak mau Maharani khawatir, karena kalau sampai ibu mertuanya tahu, bisa-bisa detik itu juga dia diseret ke rumah sakit untuk kontrol.Maharani menghela napas lega. “Syukurlah
Perlahan, Zara berjalan ke pintu utama, jari-jarinya sedikit ragu saat hendak membuka kunci. Begitu pintu terbuka, matanya langsung membesar.“Ranu?”Pria di hadapannya tersenyum lebar. “Pagi, Zara.”“Maaf, Kael baru aja pergi. Kamu mau ketemu Kael, ‘kan?”Ranu menggeleng. “Oh, nggak apa-apa. Aku cuma mampir sebentar. Lagian, aku belum pernah main ke sini setelah kalian menikah.”Zara sedikit bingung. Haruskah dia menerima Ranu masuk? Di rumah hanya ada dia dan asisten rumah tangga. Namun, kalau menolak, dia takut dianggap tidak sopan terhadap keluarga suaminya. Akhirnya, dia menyingkirkan keraguannya dan mempersilakan Ranu masuk.Mereka duduk di ruang tamu, sementara asisten rumah tangga datang membawakan teh untuk Ranu.“Mau aku panggilkan Kael?” tanya Zara akhirnya, berusaha menjaga sopan santun.“Nggak usah, aku tahu dia sibuk sekarang. Aku cuma ingin mampir sebentar.”Zara mengangguk, tapi tetap merasa sedikit canggung. “Oh … Kalau gitu, ada yang bisa aku bantu?”Ranu tersenyum t
“Mas, apa ini ada hubungannya sama pembagian warisan itu? Kamu jadi takut Ranu macem-macem?” tanya Zara begitu mereka masuk ke ruang kerja Kael.Kael tidak langsung menjawab. Tangannya sibuk membolak-balik beberapa berkas di meja, tetapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.“Bisa dibilang gitu,” kata Kael akhirnya, suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan tipis di baliknya.Zara menyandarkan tubuhnya ke meja, menatap Kael yang tampak sibuk mencari sesuatu. “Tapi kenapa harus takut? Itu ‘kan urusan kamu. Aku nggak ada hubungannya.”Kael menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatap Zara.“Itu masalahnya,” gumam Kael, suaranya sedikit lebih rendah dari sebelumnya.Zara mengerutkan kening. “Maksudnya?”Kael menghela napas pelan, lalu meletakkan berkas yang tadi dipegangnya. “Zara, kamu pikir kenapa Ranu datang ke sini? Itu bukan kunjungan biasa. Dia bukan tipe orang yang iseng mampir cuma buat ngobrol.”Zara menggigit bibirnya. Dari awal dia memang merasa ada sesuatu yang aneh
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andin—warna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.“Zara, gue kira lo nggak akan datang,” ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
“Zara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?” ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varen—dua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.“Ma, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,” tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
“Chef, tastenya sudah pas?” Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. “Sudah,” jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoon—tempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
“Apa kamu bilang?! Dokter Gala … ayah dari Zelena?!” bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.“Iya, Ma …” Ceva menunduk, suaranya lirih. “Gala ayahnya.”Tubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. “Kenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!”Ceva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.‘Gawat. Aku ketahuan,’ batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubah—kaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.“Zara?” Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, ‘kan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
“Kael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?” tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.“Belum, Kak,” ucap Zara pelan. “Sempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.”Zara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
“Zara, ayo sarapannya dimakan,” suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasan—semuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman … walau tak benar-benar merasa diterima.“Kalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,” ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.“Maksud kamu …?” tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. “Mama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.”Kael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.“Kamu setuju?” tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.“Zara,” suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.“Aku nggak mau, Mas … Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?” lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarah—y