Krok... Krok... Krik... Krik...
Suara kodok dan jangkrik menemani aku di malam ini yang tak bisa tidur. Aku membolak-balikkan tubuhku di kasur berulang kali, namun tak jua membuat mataku mau terpejam.Pikiranku selalu berujung berkelana kepada mas Hendi, ketika aku mencoba memikirkan yang lain selalu saja berlabuh lagi ke sosok suamiku itu. Hatiku sakit membayangkan dia sedang bersenang-senang sekarang dengan istri mudanya.Begitu tega ia mempermainkan perasaanku. Lima tahun yang lalu begitu manis ucapannya padaku, semanis kembang gula yang merah."Perkenalkan namaku, Hendi".Itulah sapaan pertama mas Hendi kepadaku saat pertama kali berjumpa. Senyum manisnya menggetarkan hatiku, wajahnya yang rupawan juga meruntuhkan dinding-dinding kokoh yang sengaja kubangun untuk lelaki manapun."Maaf mengejutkanmu, aku hanya ingin berkenalan denganmu". Sapanya lagi saat melihatku hanya diam membisu."Eh, hmm. Iya, namaku Lisna". Ujarku kikuk.Kini aku duduk berhadapan dengannya. Entah siapa laki-laki ini, aku juga baru pertama melihatnya. Ia lelaki yang tampan, senyumnya yang manis, tubuhnya atletis dan wajah yang rupawan, sungguh perpaduan sempurna bagiku.Aku sedikit grogi sekarang, baru pertama kali aku sedekat ini dengan seorang lelaki. Kini, ia malah menatapku intens, aku jadi salah tingkah."Kamu mau pesan apa?". Tanyanya lagi.Kini kami sedang berada di kantin kampus. Temanku, Lia yang bersamaku tadi sedang pergi ke toilet hingga aku sendirian dan didatangi seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Hendi."Aku sudah memesan bersama temanku, Lia". Kataku menolak secara sopan dan berusaha memalingkan wajahku ke arah lain."Apakah kita bisa bertemu kembali?". Tanyanya lagi.Aku mengangkat wajahku dan kini kedua netra kami bertemu. Aku tak tahu kenapa hati ini merasa ingin bertemu dengannya lagi. Aku mengangguk menandakan jawaban "iya"."Sampai jumpa lagi". Sambungnya seraya melambaikan tangan dan pergi meninggalkan aku.Hufft... Kini aku menghembuskan nafas pelan. Kenangan masa lalu membuatku menelan rasa pahit sekarang. Ia yang kukira manis ternyata membuat luka di hidupku.Kini aku bertemankan guling sebagai teman tidurku dan mas Hendi sudah kupastikan berpeluk tubuh Laksmi, istri barunya. Sungguh, begitu kejam ia melupakan semua janjinya padaku."Hanya kaulah satu-satunya untuk hidupku sekarang, besok dan nanti".Janji mas Hendi terngiang kembali padaku saat ia berusaha menyakini hatiku untuk menerima lamarannya. Setelah lima bulan berkenalan dan menjalin hubungan, ia nekat melamarku dan ingin menikahiku."Apa aku tidak cantik lagi?". Aku berkata pelan takut Airin terbangun oleh kegelisahanku.Kini aku beranjak dari tempat tidur dan menuju tempat riasku. Aku duduk di kursi dimana aku jarang sekali duduk di sana. Kalau tidak sedang bersiap untuk bekerja tidak mungkin aku berlama-lama duduk di depan kaca.Aku mengamati setiap inci wajahku, seraya berkata "Apa ada yang lebih menarik pada diri Laksmi daripada aku?". Aku seolah bertanya dengan cermin yang diam membisu.Walaupun aku tak pernah berdandan menor seperti make up yang terpampang di wajah Laksmi tetapi wajahku ini kuyakini adalah cantik alami. Tak ada jerawat yang singgah maupun flek hitam.Aku tetap menjaga asetku dengan baik dengan membeli skincare dari hasil kerja kerasku bekerja, mengandalkan gaji dari mas Hendi itu tak mungkin. Uang mas Hendi sepenuhnya di bawah kendali ibunya, aku hanya alat untuk membelanjakan keperluan rumah ini saja."Apakah benar hanya karena uang, kau berpaling dariku, mas? Apakah jika aku kaya kau dan ibumu tidak akan memperlakukan aku seperti ini?". Kataku lagi sambil memandangi diri ini di depan cermin.Khayalanku menjadi seorang putri kaya raya hanyalah sebuah dongeng bagiku. Nyatanya aku hanyalah anak yang tumbuh di sebuah panti asuhan tanpa tahu siapa sebenarnya keluargaku, atau bahkan aku tak lagi mempunyai keluarga.Sementara Lisna meratapi nasibnya, di sebuah kamar hotel bintang lima di pinggir pantai nampak sepasang manusia sedang asyik memadu kasih, mereka tak lain adalah Hendi dan Laksmi.Suara laksmi bagaikan candu bagi Hendi sekarang. Godaan dari tubuh dan suara manja Laksmi membutakan hati dan mata Hendi dari kenyataan bahwa ia sebenarnya ia telah menyakiti hati wanita lain.Nafsu sesaatnya dan keinginan ibu kandungnya untuk menjadi kaya membuat Hendi dengan kejam mengesampingkan perasaan Lisna. Baginya, yang utama sekarang adalah menikmati waktu untuk bersenang-senang dengan tubuh Laksmi.------Pagi menjelang, membuat Lisna mau tak mau beranjang dari tempat tidur. Matanya masih mengantuk karena tak bisa tidur, kini ada lingkaran hitam di bawah kedua matanya."Sekarang sudah pukul lima pagi". Gumam Lisna pelan takut membangunkan Airin yang masih tertidur lelap.Pelan Lisna beranjak dari tempat tidur, ia harus bersiap menyiapkan sarapan pagi buat ibu mertuanya. Kalau terlambat sedikit lagi, ia juga akan telat untuk bekerja hari ini."Aku harus kuat, harus kuat". Lisna berkata tegas dengan mata yang mulai berembun lagi."Aku harus bangkit dan berjuang untuk hidupku dan juga Airin. Jika benar mas Hendi membawa wanita itu ke rumah ini, aku yang memilih pergi dari rumah ini".Itulah keyakinan yang dipegang oleh Lisna sekarang. Kini Ia menuju dapur dan memeriksa bahan-bahan yang ada di kulkas untuk memasak menu hari ini. Tak lupa ia memasak air panas untuk membuat teh hangat."Lisna, buatkan ibu teh hangat ya". Teriak Ibu Sari saat baru saja keluar dari kamarnya."Iya, bu". Balas Lisna seperti biasa.Lisna memang setiap hari menyediakan sebuah segelas teh hangat untuk ibu mertuanya itu tanpa diminta. Ibu Sari saja yang tak menyadari bahwa selalu saja ada teh hangat di atas meja setelah ia membasuh wajah saat bangun tidur.Namun, sapaan pagi itu selalu saja Lisna dengar sebagai tanda ibu mertuanya itu sudah bangun dari tidur nyenyaknya. Lisna tak pernah mengeluh walau bagaimana perlakuan ibunya dahulu terhadap dirinya selagi ada mas Hendi yang menghiburnya."Mas Hendi...". Lisna berkata lirih.Kini tak ada lagi kata-kata menghiburmu untukku mas. Wanita itu sudah membuatmu mengacuhkan aku, lantas aku harus bagaimana sekarang. Tak ada tempat untuk ku berpijak selain kamu mas Hendi.Lisna menghapus tetesan hangat yang mengalir dari sudut matanya. Ia harus segera memasak, Airin akan terbangun sewaktu-waktu dan membuatnya kewalahan nantinya.Satu jam berlalu, Lisna sudah selesai memasak dan menatanya dengan rapi di atas meja makan. Segelas teh hangat dan cemilan untuk ibu Sari telah ludes tak tersisa."Kamu masak apa?". Tanya ibu Sari saat Lisna menata piring-piring yang berisi lauk hasil masakannnya."Cuma telur dadar sama sayur kangkung, bu". Jawab Lisna seraya merapikan meja."Loh, kok tidak ada ikan atau ayam sih, Lis?". Protes ibu Sari tak suka sambil mengedarkan pandangannya ke satu-satu piring yang telah tertata rapi."Maaf bu, uang Lisna sudah habis untuk stok makanan hari ini. Bukannya kemarin uangnya ibu pinjam buat mudik ke kampung sebelah". Ujarku mencoba menjelaskan.Ibu Sari salah tingkah saat aku mengungkit masalah uang yang dipinjamnya kemarin. Kini aku tahu sekarang untuk apa uang itu, pasti digunakan untuk kebutuhan resepsi pernikahan mas Hendi dan Laksmi.Sungguh tega ibu mertuaku memakai uang hasil kerja kerasku untuk digunakan sebagai biaya pernikahan kedua anaknya, suamiku tanpa setahu dan seizinku lagi."Masa sudah habis uangmu, kan kamu kerja, jangan terus meminta kepada anakku." Ucapnya mengalihkan pembicaraan."Uang mas Hendi kan ibu yang pegang, tidak ada sangkut pautnya sama Lisna bu. Lagian Lisna tak pernah meminta ke mas Hendi, bu". Jawabku mencoba membela diri."Jadi kamu nuduh ibu yang menghabiskan uang Hendi, anakku itu? Sudah bagus dia mau menikahimu, seorang perempuanyang tak jelas asal usulnya". Kata ibu Sari memakiku.Aku hanya diam, ingin rasanya memberontak kepada ibu mas Hendi jika ia mengungkit kembali asal asulku yang memang tidak aku ketahui. Lalu, apa salahku jika nasib membuatku aku dibesarkan di sebuah panti asuhan."Lisna bersiap untuk kerja dulu ya, bu". Ucapku mencoba menghentikan pertengkaran di pagi ini."Iya, sana kerja. Jangan hanya menggerogoti suamimu, dia sudah berbaik hati untuk tidak menceraikanmu saat ini. Kau tahu dia sudah menjadi suami dari seorang perempuan kaya".Langkah kakiku terhenti saat mendengar perkataan ibu Sari barusan."Apa maksud ibu?". Kataku meminta penjelasan."Kau artikan sendiri, Lisna. Begitu saja tidak mengerti". Ibu Sari bersikap acuh tak acuh."Jadi apa semua salah Lisna bu? Lisna tak pernah meminta anak ibu yaitu mas Hendi untuk menikahiku? Lalu apa sekarang Lisna yang harus pergi dari rumah ini?". Aku membalas perkataan ibu dengan emosi."Jadi apa semua salah Lisna bu? Lisna tak pernah meminta anak ibu yaitu mas Hendi untuk menikahiku? Lalu apa sekarang Lisna yang harus pergi dari rumah ini?". Aku membalas perkataan ibu dengan emosi."Terserah kamu saja". Ujar ibu sambil berlalu dari meja makan.Aku memejamkan mata dan mencoba menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Aku berusaha untuk mengontrol emosiku sekarang."Ya Allah, pagi-pagi ibu mas Hendi sudah membuat hatiku kembali tersayat. Akankah aku bisa bertahan menghadapi semua ini?". Aku kini mencoba mengadu kepada sang pencipta manusia.Semoga Engkau bisa mengubah hati ibu Sari dan mas Hendi, ya Allah. Bukankah Engkau sang pembolak balik hati manusia dan hanya Engkaulah yang tahu mana yang terbaik untuk umatmu."Bunda... Bunda....".Suara kecil Airin terdengar sayup-sayup. Aku segera bergegas menuju ke kamar tidurku, anak gadisku mungkin saja sudah bangun."Eh, anak bunda sudah bangun, ya?". Ucapku pelan sambil mengecup pipi gembulnya.Airin menggeliat pel
Mataku kembali membulat sempurna, ketika sosok perempuan yang masuk mengiringi mas Hendi dari belakang. Aku jelas mengenalinya walaupun saat itu aku baru pertama kali melihatnya.Dia wanita yang menyayat hatiku beberapa hari ini. Dia wanita yang telah merebut hati dan tubuh mas Hendi dariku. Dia yang membuat mas Hendi tega mengkhianati aku dan pernikahan kami."Laksmi". Gumamku menahan emosi. "Lisna, kenapa kau ada di sini". Ucap mas Hendi berkata pelan.Aku yang tak menyangka akan ketemu mas Hendi apalagi bersama istri barunya itu hanya mampu terdiam kini. Pertanyaan dari mas Hendi bukan sengaja tak ku jawab namun mataku lebih memilih menjawabnya dengan air mata.Sudah beberapa hari aku tak bertemu dengan mas Hendi, namun kali ini dia menampakkan batang hidungnya bersama madu yang tak pernah aku setujui. "Mas Hendi". Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku."Nanti kita bicara lagi". Ucap mas Hendi seraya menarik kursi buat Laksmi dan sekarang baru ia mendudukkan bokongnya di kur
"Kalau kau tak suka, kau boleh pergi dari sini!".Deg.Ucapan yang keluar dari mulut mas Hendi sungguh melukai perasaanku yang masih sah sebagai istrinya. Setelah seminggu tak pulang ke rumah, malah menyuruh aku pergi dari rumah ini."Mas...". Gumamku pelan.Mas Hendi malah mengacuhkan panggilanku dan malah sibuk membawa barang-barang Laksmi. Kini mereka bertiga, mas Hendi, Laksmi dan ibu masuk ke dalam rumah meninggalkan aku dan Airin di luar rumah."Laksmi, ini kamarmu". Tunjuk ibu mas Hendi pada ruangan yang kemarin baru saja selesai aku bersihkan."Makasih ya bu". Ucap Laksmi dengan suaranya yang lembut."Ayo, Laksmi". Ajak mas Hendi menggamit lengan istri barunya itu.Aku yang seperti obat nyamuk di sini hanya diam melihat adegan demi adegan yang mereka lakukan. Mereka sudah tak menganggap keberadaan aku di sini."Apa benar mas, kau menginginkan aku pergi dari sini setelah kau menemukan wanita yang lebih muda dan kaya dariku?". Kataku pelan."Bunda, bunda, tante itu siapa?". Airi
"Kau...". Tangan mas Hendi kembali berayun di udara.Aku menundukkan sedikit wajahku ke arah bawah sebagai refleks untuk menerima tamparan tangan mas Hendi. Namun, tangan kekar mas Hendi tak kunjung menyentuh pipi ini. Aku dongakkan wajahku untuk melihat apa yang terjadi."Sudahlah sayang, masa di hari pertama aku masuk ke rumah ini sudah ada kejadian mengenaskan dengan kakak maduku". Suara manja dari Laksmi pun terdengar di telingaku. Ternyata, Laksmi yang berusaha untuk mencegah mas Hendi melayangkan tangannya."Kau dengar itu Lisna? Istriku ini masih saja membelamu yang sudah tega menyakitinya". Ucap mas Hendi masih terbawa emosi."Istri kamu mas, terus aku siapa mas, apa aku juga bukan istrimu?". Tanyaku dengan nyalang.Jangan harap karena Laksmi mencoba mencegah tamparan mas Hendi untukku, aku akan berusaha berbaik hati padanya. Aku yakin ini hanya sebagai tipu muslihat dia untuk memikat hati ibu mertuaku.Lihat saja, baru satu perlakuan tersebut, mas Hendi malah langsung memban
"Kamu Lisna, dasar menantu tidak tahu diri". Suara ibu sungguh sakit terdengar di telingaku dan menyayat-yayat hatiku saat ini. Namun, aku sudah tak perduli lagi. Apa artinya baktiku selama ini jika balasannya adalah sebuah madu dari suamiku.Dipandang sebelah mata oleh mertuaku sendiri dan dibandingkan dengan wanita lain hanya karena aku tidak mempunyai uang. Jangan lupakan asal usulku yang tidak jelas, entah dilahirkan dari keluarga yang seperti apa."Ada apa ini bu, kok teriak-teriak?". Mas Hendi akhirnya keluar dari kamar dan menuju ke dapur.Aku yang melihat mas Hendi buru-buru keluar kamar hanya meliriknya dengan ekor mataku. Kemudian dengan melenggang kangkung, aku pun pergi meninggalkan mereka. "Istri kamu itu sudah tidak mau memasak dan menyiapkan makanan untuk makan malam kita". Ucap ibu kepada anaknya itu."Apa?". Balas mas Hendi seraya tangannya membuka tudung saji yang berada di atas meja.Mata mas Hendi membulat sempurna karena melihat tidak ada apapun di dalam tudung
Mulai hari ini, semuanya akan berubah. Aku tak mau lagi jika kalian memanfaatkan aku demi kepentingan kalian sendiri. Aku akan berjuang mas untuk mendapatkan tempatku kembali. Aku ingin kalian menyesali keputusan kalian telah membawakan madu itu di rumah kita."Lisna....". Kini, aku mendengar suara mas Hendi yang meneriakkan namaku."Bunda, ayah memanggil". Kini, Airin ikut bersuara karena ayahnya yang memanggil. Ia seolah ingin menghentikan bundanya untuk kembali berjalan mundur pulang ke rumah."Tidak, Airin. Kita akan terlambat jika kembali pulang". Kataku mencoba membujuk Airin."Bukankah hari ini Airin akan mulai bersekolah?". Lanjutku berbicara karena melihat Airin yang cemberut memajukan sedikit bibirnya ke depan."Iya bunda". Kata putri kecilku sepertinya ia menurut kali ini."Oke, mari kita berangkat ke sekolah". Ucapku riang sambil mengayunkan ringan tangan kanan Airin.Suara panggilan dari mas Hendi tak aku perdulikan. Seiring langkah kami yang menjauh begitu pula suara m
"Airin, bunda bekerja dulu ya, kamu tinggal bersama ibu guru Soraya. Nanti bunda jemput lagi setelah kamu pulang sekolah". Ucapku lembut memberikan pemahaman kepada Airin."Iya, bunda". Akhirnya aku bisa bernafas lega, ternyata airin mengerti dengan apa yang aku inginkan. Aku bisa meninggalkannya dengan tanpa rasa khawatir."Memang suamimu tak bisa menjemputnya, Lisna?"."Tidak, Soraya. Nanti aku ceritakan tentang pernikahanku". Ucapku berjanji agar tidak lagi mengulur waktu. Aku sungguh sudah sangat terlambat untuk ke kantor."Baiklah, hati-hati di jalan, Lisna. Tetap semangat!". Ucapan dari Soraya kujawab dengan isyarat anggukan dari kepalaku. Mungkin Soraya tahu apa sebenarnya maksud dari ucapanku barusan. Aku yakin dia pasti mengerti bahwa keadaan rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja.Aku tahu dari ekspresi wajahnya yang awalnya kaget namun mencoba menormalkan kembali mimik wajahnya. Mungkin dengan alasan untuk menyemangati aku bahwa semua tak usah dipikirkan sampai lelah
Malam ini mas Hendi tak lagi menyentuh lantai kamar ini. Entah masih dianggapnya aku ini istrinya atau tidak, aku tidak perduli. Aku juga sudah muak melihat dia bermesraan dengan laksmi. Aku tak sengaja keluar kamar dan bertemu mereka di ruang tengah lagi asyik bercumbu mesra. "Kalau tidak ditonton televisinya, dimatiin saja. Boros listrik". Ucapku kesal saat melihat mereka berdua. Aku pun dengan melenggang kangkung ke dapur untuk mengambil air minum. Airin suka haus di tengah malam saat tidurnya. Aku lupa menyiapkannya sebelum pergi tidur barusan. Dan kini aku harus mengambilnya sebelum tengah malam nanti Airin memintanya. Aku juga memang sengaja tidak keluar kamar setelah mandi dan memandikan Airin setelah pulang bekerja. Untung saja sebelum pulang, aku dan Airin makan diluar. Alasannya karena ingin membiarkan saja si Laksmi itu memasak untuk mertuanya tersayang, ibu dari mas Hendi suami yang telah ia rebut dariku. "Kalau mau bermesraan sana di kamar jangan disini". Aku menegu
"Stop, pak Bayu". Sampai dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh pak Bayu, membuat Lisna tidak kuat lagi untuk mendengar kalimat berikutnya. "Baiklah, jika kamu sudah siap, aku akan kembali melanjutkan. Itu teserah kamu, aku sebelumnya sudah mengingatkan". Ucap pak Bayu tanpa rasa bersalah. Hanya hening yang terasa di ruangan besar bercat putih bernuansa gaya klasik tersebut. Lisna masih mencerna kata-kata yang baru saja ia dengar. Satu pertanyaan didalam pikirannya, apakah ayah dan ibunya begitu menderita saat kehilangan aku, anaknya yang nyatanya masih hidup hingga detik ini. Selang beberapa menit kemudian, Lisna malah mengajukan pertanyaan kepada pak Bayu. Ia malah memilih untuk bertanya daripada meminta kembali jalan cerita tersebut untuk dilanjutkan. "Apakah kedua orang tuaku masih hidup? ".Pak Bayu menghela nafas saat mendengar pertanyaan dari Lisna. Sedangkan, di pihak Lisna ia mengerutkan dahinya, apakah maksud dari helaan nafas pak bayu? Apakah sekarang kedua orang
"Kamu awasi terus, laporkan padaku jika ada sesuatu yang mencurigakan, apapun itu". Sebuah perintah baru saja ia keluarkan untuk Hendi, laki-laki yang secara hukum dan agama masih sah menjadi suami seorang wanita yang bernama Lisna. Ia sengaja melakukan hal tersebut karena mengetahui bahwa Lisna sudah keluar angkat kaki dari rumah suaminya itu. Dan itu artinya kesepakatan ia dan Lisna sudah mulai berjalan mulai sekarang. Aksi pun harus segera ia laksanakan sesuai keinginannya."Baik, Tuan". Setelah mengatakan kesanggupannya untuk mematuhi titah atasannya, salah satu bawahan Bayu segera meninggalkan dirinya. Bawahan tersebut merupakan salah satu andalan Bayu dan dengan sigap melakukan pekerjaan yang sudah ia kuasai selama ini. Tak akan ada kecacatan, begitulah hal yang harus terjadi.Tok... Tok.... Selang beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar di ruang kerja Bayu. Bayu menerka siapa yang datang kepadanya di waktu seperti ini, apakah Lisna? Ternyata ia sudah tak sabar ingi
""Mas kita perlu bicara? ". Ucapku saat tahu mas Hendi tiba dirumah. Aku memang sudah menunggunya sedari tadi. Aku beruntung, mas Hendi pulang tidak terlalu malam hari ini sehingga aku tak perlu terlalu lama untuk menunggu mas Hendi dengan bosan disini. Satu lagi keberuntungan padaku, saat ini Laksmi sedang berada di kamarnya, sehingga aku tak perlu berdebat jika saja dia merasa aku akan merebut mas Hendi. "Mau bicara apa? Besok saja, mas capek". Ungkap mas Hendi tanpa sedikit pun melihat ke arahku. Aku menghela nafas pelan agar bisa tetap sabar menghadapi tingkah mas Hendi saat ini. "Biar Lisna bawakan mas". Tawarku saat melihat mas Hendi kepayahan untuk memegang tas kerjanya seraya ia ingin melepas dasinya. Entah apa yang terjadi dengan mas Hendi sekarang, ia tampak tak beraturan. Bukannya menjawab mas Hendi terdiam terpaku. Kini wajahnya ia perlihatkan di depan wajahku. Beberapa detik kemudian, keluar juga jawabannya yang malah mengoyak hati ini. "Tidak usah". Akhirnya tangank
Mulai dari sekarang, aku akan hitung mundur. Jika kamu tidak mau bantuanku, kamu hanya harus diam saja". Jelas Pak Bayu. "Jika saya setuju?". Tanyaku meminta penjelasan, aku takut akan salah mengartikan ucapan yang dibicarakan pak Bayu barusan. "Ya, kamu tinggal bilang "Iya". Oke, aku akan menghitung mundur, Satu... Dua....."."Tunggu sebentar pak Bayu... ". Ucapku cepat. "Ti... "."Iya". Kataku lagi dengan cepat. Pak Bayu memang tidak main-main, dia memaksaku untuk membuat keputusan tanpa berpikir terlebih dahulu. Tadi saja dia tak bergeming saat aku memohon untuk memintanya menunggu sebentar. "Iya, aku setuju. Kini aku ingin meminta bantuan yang pak Bayu tawarkan kemarin". Sambungku lagi. "Baiklah. Aku sudah menyangka kamu bukanlah orang bodoh yang menyia-nyiakan kesempatan berharga seperti ini". "Dengan satu syarat". Ucapku mengajukan persyaratan dalam kesepakatan kami berdua. "Syarat, apa itu?". Tanya pak Bayu dengan dahi yang mengkerut. Mungkin dia tak akan menyangka bahw
"Kamu harus segera berani melepaskannya, Lis. Yakinkan dirimu, untuk apa mempertahankan hubungan menyakitkan seperti ini"."Apa aku harus berpisah dengan mas Hendi, itu maksudmu Win? ". Tanyaku memperjelas pernyataan Wiwin. "Iya Lisna, apalagi".Aku menghela nafas memikirkan perkataan Wiwin. "Kenapa, apa yang membuatmu tidak berani. Apakah kamu masih mencintai suamimu itu?. "Aku belum berani memutuskan, Win". Ucapku pelan. "Baiklah terserah padamu. Aku hanya tak ingin jika kamu tersakiti terus prilaku mas Hendi yang seperti ini". "Terima kasih atas saranmu. Sudahlah tidak usah kita bicarakan tentang rumah tanggaku". Kataku malas. Kalau membicarakan mengenai mas Hendi aku semakin lelah. Tak ingin saja mengulang lagi ingatanku tentang pengkhianatan lelaki yang katanya akan mencintaiku seumur hidupnya. "Baiklah, nanti kita mengobrol lagi. Aku ke ruanganku dulu ya". Ucap Wiwin mengakhiri obrolan kami pagi ini. "Iya kerjalah yang rajin. Jangan makan gaji buta saja karena bergosip".
"Kenapa ini semua terjadi kepadaku? ". Ucapku dengan putus asa. Aku berdiri di depan jendela kamarku, memandang jalan yang ada di luar rumah. Kamarku memang berada di bagian depan rumah ini. Jendela pun terletak di depan menghadap matahari terbit. Jalan hidupku sungguh berliku sekali, kebahagiaan yang pernah aku rasakan saat menikah dengan mas Hendi. Namun, kebahagiaan yang diberikan olehnya justru dicabut juga oleh mas Hendi. "Apa benar yang dikatakan oleh pak Bayu jika aku merupakan anak pak Handoko dan ibu Siska?". "Lalu untuk apa pak Bayu memberitahukan itu kepadaku?"."Terus jika aku anak mereka, apa ada yang berubah dalam hidupku?"."Kalau aku memang mempunyai orang tua, kenapa mereka membuangku dan menaruhku di sebuah panti asuhan?"."Apakah mereka tidak menginginkan aku? "."Jadi siapa aku sebenarnya? ".Bertubi-tubi pertanyaan aku layangkan untuk diriku sendiri. Entah tiba-tiba aku memikirkan apa yang dikatakan oleh pak Bayu sewaktu aku berada di rumahnya. Aku menjadi sa
"Kamu yakin tidak berbohong, Lisna? ". Mas Hendi kini malah ragu padaku karena ulah ibu mertuaku itu. "Percayalah padaku mas hendi". Ucapku memohon kepada suamiku."Buktikan! Coba kamu telpon Soraya sekarang! ". Pinta mas Hendi seketika membuat mataku melotot. Bagaimana ini, jika aku menelpon Soraya pasti kebohongan yang sudah aku buat akan terungkap. Aku belum menceritakan apapun kepasa Soraya tentang apa yang telah terjadi padaku tadi malam.Saat aku menjemput Airin, Soraya yang sibuk membuat aku tak bisa bercerita. Aku juga tak mau merepotkan Soraya setelah dia membantu menjaga Airin seharian. "Dia berbohong mas, buktinya dia diam dan tak berani menelpon temannya yang bernama Soraya". Laksmi pun mencoba memprovokasiku sekarang. "Kamu bisa diam gak, ini bukan urusanmu". Hardikku kepada Laksmi. "Bicara yang sopan kepadanya Laksmi! ". Tegur mas hendi kepadaku. "A-apa mas? Mas Hendi menyuruh aku untuk bersikap sopan dengan pelakor ini? ". Ucapku dengan menatap nanar mata Mas hend
Aku menarik nafasku mencoba menguatkan hati dan batinku untuk menerima keadaan yang akan terjadi sebentar lagi. Aku juga harus menebalkan telingaku akan suara-suara sumbang yang sebentar lagi akan mengudara. "Oh, masih ingat pulang juga kamu, Lisna". Teriak mas Hendi disusul dengan seringai sinis Laksmi dan ibu mas Hendi. "Ayah". Airin bersuara memanggil ayahnya namun tangannya malah menarik-narik ujung bajuku. "Tidak apa-apa Airin, mari kita pulang". Ucapku berusaha menenangkan Airin. Aku juga merasa heran kenapa sikap Airin berubah seperti ini. Kenapa sekarang Airin sedikit takut bertemu dengan orang-orang yang berada dirumah mas Hendi. Apa yang sebenarnya hal yang tidak aku ketahui. "Darimana saja kamu Lisna, mau jadi apa kamu tidak pulang semalaman? ". Tanya mas Hendi lagi kepadaku. "Maaf mas, aku tadi malam... ". Ucapku saat sudah berada di teras rumah. Mereka kini ada di depan pintu seolah menghadangku untuk masuk. "Alah, tidak usah banyak alasan bilang saja kamu sedang s
"Terus.. mas Hendi tadi ngapain didepan pintu kamar Lisna? "Deg. Aku seperti mati kutu, tertangkap basah oleh Laksmi. "Kata ibu, Lisna tidak pulang makanya mas mau cek benar atau tidak". Ucapku begitu saja. "Apaan sih mas kok kayak gitu, mas Hendi masih peduli ya sama istri jelek mas itu". Apalagi ini, kenapa pula aku harus tertangkap basah oleh Laksmi saat sedang berada di depan pintu kamarku dulu. Aku saja tak menyangka jika tadi aku bertingkah konyol, masih mengkhawatirkan Lisna. "Mas tidak perduli, cuma ibu tadi bilang gak ada yang masak jika tidak ada si Lisna". Ucapku berusaha menutupi kesalahanku. "Iya nih si Lisna, dia gak pulang terus gak mau masak, kan jadinya Laksmi makan masakan ibu". Ucap Laksmi tanpa bersalah. "Kamu dong yang masak, kok ibu sih". Jawabku mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Iih mas ini... Laksmi kan tidak bisa memasak, bagaimana mau masak nanti masakannya tidak enak. Mas Hendi pasti tidak mau mencicipinya". "Pasti bakalan mas cicipi kok, jadi