"Apaan sih, Mas? Ada apa lagi?" salak Heni kesal ketika ia mengangkat panggilan yang Brian layangkan. Napasnya naik-turun, rasanya ia ingin mencincang tubuh Brian sampai jadi halus macam adonan bakso. Brian benar-benar menyebalkan sekali! Sungguh ketika menikah nanti, Heni akan buat lelaki itu pusing tujuh keliling! "Galak banget sih, Yang? Cuma mau tanya, bunda masih marahin kamu?"Mata Heni membelalak. Setelah apa yang terjadi, Brian masih dengan santai menanyakan hal itu? Darah Heni makin mendidih, tidak ada lagi alasan untuk mengampuni Brian, akan Heni buat perhitungan nanti! Lihat saja! "Kalau iya emang kenapa?" salak Heni galak sambil mengeram menahan marah. "Ya kalo masih sih aku mau kesana lagi." balasnya santai. Heni kembali membelalak, santai sekali mahluk satu ini! Hendak kemari? Mau apa lagi Brian datang kemari? "Mas, nggak usah ngadi-adi, deh! Jangan cari-cari perkara, ya!" ancam Heni gemas. Rasanya ia ingin menggepuk-gepuk sosok itu. Heni sudah cukup pusing sekara
"Halo, ada apa, Yan? Tumben nelpon mamamu ini. Kamu tidak sedang kena masalah, kan?"Brian mendengus, sindiran itu menohok ke dalam hatinya begitu dalam. Ia memang jarang menelepon mamanya, tapi itu bukan tanpa alasan. Brian jarang menelepon karena tahu mamanya sibuk dan jangan lupa, hari-hari Brian di rumah sakit apalagi di IGD cukup berat dan horor. "Mama sekalinya ditelepon malah kayak gitu!" protes Brian dengan bibir mengerucut. Terdengar suara tawa dari seberang, membuat Brian gemas setengah mati pada mamanya ini. Tertawa saja selagi bisa, Brian jamin setelah mendengar kabar yang hendak dia sampaikan ini, mamanya akan mencak-mencak tidak karuan. "Iya deh iya, kenapa anak mama yang ganteng? Ada apa, Sayang?" suara itu berubah lembut, membuat Brian jadi sedikit takut sekarang.Bisa Brian pastikan, mamanya ini akan mengamuk! Untung mereka tidak berada di satu tempat yang sama sekarang. Bisa Brian bayangkan kalau Brian berada di dekat mamanya saat menyampaikan berita ini, sudah di
"Adekmu ini, Gas! Pokoknya bunda nggak mau tahu, ya, tahun ini juga dia harus udah nikah!"Heni mengigit bibirnya, sambil menunggu pesanan makanan mereka tiba, bundanya menelepon Bagas, kakak satu-satunya Heni yang kini bekerja di pengeboran minyak lepas pantai. Apa tanggapan kakaknya? Bisa habis Heni kalau dia pulang nanti. Yang paling parah tentu Bagas pasti akan stop memberinya uang jajan! "Udah kelonan dia di kamar kost! Pantas minta pindah kost, kost dia yang ini bebas, jadi bisa masuk pacar dia ke dalam kamar!"'Mampus!' Heni menepuk jidatnya dengan gusar, pasti setelah ini ponsel itu akan berpindah ke tangannya dan omelan itu akan menyapanya dengan begitu merdu dan nyaring. "Bunda pergoki sendiri, Gas! Tadi pagi sampai Solo nih, Bunda." ujar Irma menjelaskan. "Ada ini dia orangnya lagi sama bunda."'Celaka dua belas!' Keringat dingin mulai mengucur membasahi wajah dan tubuh Heni. Bisa dipastikan setelah ini dia habis di maki-maki Bagas! Lihat saja! "Pengen ngomong sama Hen
Heni melangkah di belakang Irma, mereka sudah kembali dari acara makan siang berdua di salah kedai ayam geprek langganan Heni, ketika ponsel di dalam tas selempangnya berdering. Heni memperlambat langkahnya, buru-buru mengambil ponsel dari dalam tas dan mengerutkan kening ketika mendapati Karina lah yang kini meneleponnya. Heni pikir, Brian yang tadi menelepon. Ternyata Karina? Ada apa? "Halo, Rin?" sapa Heni begitu mengangkat panggilan itu. "Hen, kau serius mau nikah tahun ini?" pertanyaan itu langsung menyapa Heni tanpa basa-basi, membuat Heni mendesah panjang dengan mata terpejam."Kau tau dari mana, Rin? Aku bahkan belum cerita apa-apa sama kamu, bunda aku kesini." jelas Heni sebelum Karina salah paham dengannya perihal kabar rencana pernikahan dadakan yang akan Heni lakoni."Dari Bangke, bunda kamu kesini? Kamu serius beneran nikah tahun ini? Bukannya kemarin kamu bilang sama aku kalau kamu belum siap nikah, Hen?"Tentu Heni ingat saat di mana ia pergi ke rumah Karina dan mence
"Bunda nggak galak, ya? Ramah gitu." komentar Brian ketika mereka menuruni anak tangga rumah kost Heni.Heni menoleh, bibirnya mengerucut menatap Brian yang nampak senyam-senyum terus sedari tadi dia datang. Bagaimana tidak ramah? Bundanya itu sudah kesemsem dengan gelar dokter Brian, apalagi gelar kedua orang tua Brian. Ah ... pantas saja sampai ada yang tertipu kemarin itu, rupanya gelar dokter benar-benar menyilaukan mata emak-emak! Buktinya Irma langsung luluh, padahal tadi pagi dia ngamuk hebat ketika mendapati Heni dan Brian berada di satu ranjang yang sama, bahkan tadi Heni kepergok hendak mencium bibir Brian, sungguh Heni malu sekali!"Gimana nggak ramah? Mas itu menantu idaman bunda." jelas Heni terus terang."Oh ya ... bunda udah lama pengen punya mantu ganteng kayak aku begini?" tanya Brian yang langsung besar kepala.Heni melongo, menatap Brian tanpa berkedip. Kumat, kan, lelaki satu ini?"Bukan! PD amat sih, Mas?" salak Heni sambil mencebik. "Bunda pengen punya menantu do
"... Cuma Heni wanita yang pernah kamu tiduri atau masih ada lagi yang lain, hah?"Brian mendesah, "Heni the one and only, Pa. Tolong percaya Brian, kalo cuma sama dia Brian berani macam-macam." jawab Brian mantab. Sebuah jawaban yang membuat hati Heni berdesir hebat, ada secercah perasaan hangat yang menelusup jauh hingga ke dalam relung hati Heni yang paling dalam. Jawaban Brian begitu mantab, sebuah jawaban yang sama sekali tidak terdengar berbohong di telinga Heni. "Oke! Kali ini papa percaya, Yan. Tolong cukup sekali ini saja kau kecewakan papamu ini!" desis suara itu mantab. "Kapan kamu balik ke rumah?""Secepatnya, Brian mau minta izin cuti.""Oke, papa tunggu!"Tut. Sambungan telepon terputus. Brian dan Heni saling berpandangan dan menghela napas bersamaan. Ponsel itu kembali masuk ke dalam saku Brian. Mereka masih membisu, Heni nampak syok luar biasa. Padahal sejak tadi Brian yang dimaki-maki oleh papanya. "Harusnya kita jelaskan semua, Mas. Bukannya diam saja dan pasrah
"Bunda balik, inget loh kalian berdua belum boleh macam-macam lagi!" ujar Irma memperingatkan setelah dua hari mengunjungi Heni di Solo, sudah waktunya dia harus balik. "Iya-iya, Bun! Heni paham." Heni melirik ibunya yang duduk di jok belakang dari kaca mobil. Memang mau macam-macam yang kayak gimana sih? Dia bahkan belum berbuat yang tidak-tidak sama sekali! Kecuali ya saling menikmati bibir satu sama lain. "Brian janji jaga Heni, Tan. Nanti kalau mama sama papa sudah ajukan cuti, Brian kabari kapan akan ketemu sama Tante. " Brian ikut menjelaskan, intinya setelah ini dia harus membawa Heni bertemu dengan mama dan papanya sebelum membahas kapan akan kerumah Irma untuk melamar Heni. "Tante pegang janji kamu, ya?" desis Irma tegas. "Siap, Tan. Brian janji nggak akan bikin Tante kecewa lagi." Brian tersenyum manis, sementara Heni mencebik dengan bibir mengerucut. Puas sudah Heni dua hari diomeli bundanya hampir seharian. Diomeli untuk tuduhan yang sama sekali tidak Heni lakukan. Be
"Habis ini istirahat, siap-siap buat jaga malam."Mereka sudah dalam perjalanan kembali dari bandara. Heni sendiri sudah sejak kemarin aktif koas kembali. Untung saja kejadian itu tidak terlalu heboh terekspos. Pihak kampus cenderung menutupi kejadian itu dan jujur itu sangat menguntungkan Heni karena tidak harus mendengar bisik-bisik dan menjawab pertanyaan yang tentu saja akan mengembalikan Heni pada kejadian perkara. Apakah ini ada andil dari om Brian? Dokter Julius? Entah Heni sendiri tidak tahu, tetapi agaknya ia memang harus banyak-banyak berterima kasih kepada sosok internis senior itu. "Mas jaga malam juga, kan?" sebuah pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak Heni tanyakan. Bukankah sudah menjadi peraturan tidak tertulis kalau Brian jaga, maka Heni juga harus berjaga? Kalau tidak, bisa dipastikan semua dokter, koas dan paramedis ngos-ngosan selama mereka jaga IGD. "Pertanyaan apa itu? Jodohku ya kamu, jadi di mana ada aku, harus ada kamu, Hen." jawab Brian tanpa menoleh. Hen
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be