"Bunda balik, inget loh kalian berdua belum boleh macam-macam lagi!" ujar Irma memperingatkan setelah dua hari mengunjungi Heni di Solo, sudah waktunya dia harus balik. "Iya-iya, Bun! Heni paham." Heni melirik ibunya yang duduk di jok belakang dari kaca mobil. Memang mau macam-macam yang kayak gimana sih? Dia bahkan belum berbuat yang tidak-tidak sama sekali! Kecuali ya saling menikmati bibir satu sama lain. "Brian janji jaga Heni, Tan. Nanti kalau mama sama papa sudah ajukan cuti, Brian kabari kapan akan ketemu sama Tante. " Brian ikut menjelaskan, intinya setelah ini dia harus membawa Heni bertemu dengan mama dan papanya sebelum membahas kapan akan kerumah Irma untuk melamar Heni. "Tante pegang janji kamu, ya?" desis Irma tegas. "Siap, Tan. Brian janji nggak akan bikin Tante kecewa lagi." Brian tersenyum manis, sementara Heni mencebik dengan bibir mengerucut. Puas sudah Heni dua hari diomeli bundanya hampir seharian. Diomeli untuk tuduhan yang sama sekali tidak Heni lakukan. Be
"Habis ini istirahat, siap-siap buat jaga malam."Mereka sudah dalam perjalanan kembali dari bandara. Heni sendiri sudah sejak kemarin aktif koas kembali. Untung saja kejadian itu tidak terlalu heboh terekspos. Pihak kampus cenderung menutupi kejadian itu dan jujur itu sangat menguntungkan Heni karena tidak harus mendengar bisik-bisik dan menjawab pertanyaan yang tentu saja akan mengembalikan Heni pada kejadian perkara. Apakah ini ada andil dari om Brian? Dokter Julius? Entah Heni sendiri tidak tahu, tetapi agaknya ia memang harus banyak-banyak berterima kasih kepada sosok internis senior itu. "Mas jaga malam juga, kan?" sebuah pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak Heni tanyakan. Bukankah sudah menjadi peraturan tidak tertulis kalau Brian jaga, maka Heni juga harus berjaga? Kalau tidak, bisa dipastikan semua dokter, koas dan paramedis ngos-ngosan selama mereka jaga IGD. "Pertanyaan apa itu? Jodohku ya kamu, jadi di mana ada aku, harus ada kamu, Hen." jawab Brian tanpa menoleh. Hen
Karina kontan tersedak boba yang dia minum. Heni segera menepukk-nepuk punggung Karina dengan sedikit keras. Wajah Heni yang semula sedu berubah panik setengah mati. Boba yang Karina minum tidak sampai masuk ke tenggorokan dan menutupi saluran napas Karina, kan? Kalau iya, bisa gawat! Karina bisa gagal napas!“Rin ... woles kenapa sih, Rin?” Heni mencoba memberikan pertolongan pertama, hingga batuk-batuk itu reda. Ia menghela napas panjang saat Karina mulai menghirup udara banyak-banyak dan menghembuskannya perlahan-lahan.Karina menoleh, wajah dan matanya memerah. Menatap Heni yang masih nampak sangat khawatir kepadanya.“Kenapa kamu tidak cerita perihal itu, Hen? Terus gimana itu si residen radiologi itu?” tanya Karina penasaran.Heni hampir diperkosa dan dia malah baru tahu? Sahabat macam apa Karina ini?Kini Heni yang menghela napas panjang, wajahnya kembali berubah sedu, membuat Karina mengelus bahu itu dengan perlahan dan lembut.“Kamu tidak keberatan untuk cerita kepadaku, kan?
Heni merasakan cubitan itu, ia hanya menepis tangan Karina yang mencubit perutnya tanpa menoleh. Matanya masih menatap setengah terkejut sosok dengan setelan scrub warna biru yang membungkus tubuh tinggi tegap dokter bedah senior itu. "Taruhan apa sih? Kalian nggak taruhan brondong, kan?" Yudha melangkah menghampiri mereka, kini ia sudah berdiri tepat di depan kursi tempat Heni dan Karina duduk. Karina sontak nyengir lebar, tangannya terus berusaha mencubit Heni. Sementara Heni, terus menimpuki tangan Karina yang masih berusaha kembali mencubitnya.Alis Yudha berkerut, ia melipat tangannya di dada sambil menatap dua sahabat itu bergantian. "Ah ... eng-enggak kok, Mas. Bercanda doang." Karina nyengir, sebuah senyum dan tingkah laku yang membuat Yudha makin curiga. "Nah, Hen, coba ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi? Pengen lulus stase bedah tepat waktu, kan?" ancam Yudha sambil menatap Heni lekat-lekat. "Pe-pengen, Dok. Masa iya sih pengen ngulang?" Heni merasakan tangan itu ma
"Pe-penawaran apa, Mas?" tanya Karina yang sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya dia sudah yakin kalau penawaran ini sama sekali tidak akan pernah menguntungkan dirinya. "Pilih dua kali melahirkan atau empat kali melahirkan?"Mata Karina membelalak, benar apa yang tadi dia katakan, bukan? Penawaran yang Yudha berikan tidak akan pernah menguntungkan dirinya! Apa-apaan ini? Tadi bukanya Yudha mempertanyakan Karina yang tidak mau punya lima anak? Kalau begini caranya, sama saja! Karina mengerucutkan bibir, menggebuk lengan Yudha dengan gemas. Lelaki itu memang menyebalkan semua! Suka cari untung sendiri apalagi kalau yang berbau-bau mesum. Otak mereka seperti bekerja dia kali lebih gesit. "Apa bedanya sih? Sama aja!" protes Karina kesal. Mata Yudha membelalak, "Tentu beda, Rin. Kan dua sama empat, sejak kapan angka dua sama empat itu sama?" jawab Yudha dengan sangat menyebalkan. Karina mendesah, ia menepuk jidatnya dengan sangat gemas. Ditatapnya Yudha yang nampak masih begitu berb
Brian menoleh sekilas, kepalanya kontan menggeleng. Ia kembali serius dengan kemudinya. Mengabaikan sejenak pertanyaan yang Heni lontarkan beberapa detik yang tadi. Apa tadi Heni bilang? Rasanya dalam rongga perut Brian seperti ada jutaan kupu-kupu yang berterbangan. Setelah sekian lama, bukankah baru kali ini Heni terang-terangan mengatakan kata cinta kepadanya? Apakah Brian perlu mendaftarkan momen ini untuk di catat di buku rekor dunia?Jantung Brian berdegup dua kali lebih cepat. Bukan suatu hal yang lebay kan kalau sekarang dia begitu bahagia? Rasanya semua penantian dan kesabaran Brian membuahkan hasil!"Mas ... kok gantian kicep? Kenapa?" tanya Heni yang mengejutkan Brian dari euforia yang tengah dirasakan oleh Brian."Ah ... eng-enggak kok." AC mobil Brian dalam kondisi baik-baik saja, dia tidak pernah telat menservis mobil kesayangannya ini, tetapi kenapa keringat Brian bercucuran macam tengah berhadapan dengan konsulen paling mengerikan dalam sejarah pendidikan kedokteran
Heni melongo, Brian kontan terkekeh melihat bagaimana wajah Heni menatapnya dengan tatapan terkejut itu. Brian menghentikan tawanya, balas menatap Heni dengan sorot mata serius. "Aku serius tanyanya. Kamu besok pengen kita punya anak berapa?" kembali Brian mengulang pertanyaan itu, membuat Heni tersentak lalu memijit kepalanya perlahan-lahan. "Mas, kejauhan ah bahas itu. Yang di depan mata aja belum di bahas dan kamu sudah mengajakku membahas anak?"Brian bersandar di kursi dengan sangat santai. Matanya tidak berpaling menatap Heni yang masih menampakkan wajah terkejut setengah kesal. "Apa salahnya? Toh ini juga harus kita pikirkan. Kamu tidak berniat untung free child, kan?" tanya Brian dengan sangat santai. Heni mendesah, matanya terbuka, ia membalas tatapan yang sejak tadi sama sekali tidak mau pergi dari wajahnya itu. Tentu Heni protes dengan pembahasan yang Brian sodorkan, ini jauh sekali! Hal detail tentang pernikahan dan lain sebagainya saja mereka belum membahas sama sekal
Bagas menghela napas panjang begitu ia melangkah keluar dari terminal kedatangan. Akhirnya, sesuai jadwal, Bagas dapat menginjakkan kaki di kota ini dan bisa bertemu dengan adik sekaligus lelaki yang disebut sebagai calon menantu oleh bundanya.Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada yang menjemputnya, karena memang Bagas tidak memberitahu Heni perihal kedatangannya yang tiba-tiba ini. Semacam kejutan lah, dan tentunya ingin menginspeksi Heni secara dadakan apakah setelah kejadian itu dia masih suka membawa pacarnya itu ke dalam kamar kost.Langit masih gelap, sudah ada semburat jingga di ufuk timur, dan dengan mantab Bagas melangkah keluar. Ia hendak mencari tempat untuk memesan dan menunggu ojek online. Adiknya ini apakah di kost? Atau dia tengah jaga di IGD? Bagas tidak tahu, yang jelas dia ingin segera sampai di kost adiknya dan bicara banyak hal dengan pasangan itu."Bagas bakalan ingat semua pesan bapak, Pak. Maaf, Heni jadi bablas karena kesalahan Bagas yang terlalu p
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be