Heni sudah duduk di atas sebuah tebing, ia tidak berniat bunuh diri. Hanya hendak menikmati semilir angin beraroma air laut dan deburan ombak di bawah sana. Hati Heni merasa lebih tenang. Mungkin betul apa yang Founding Father Soekarno katakan bahwa : 'Ada saatnya dalam hidupmu kau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia lalu meneteskan air mata.' (Soekarno, 1933).Itu yang tadi Heni lakukan. Menceritakan semua rahasia yang ada di dalam hatinya seraya menitikkan air mata. Apakah ini yang dulu pendiri bangsa itu lakukan ketika tengah terluka hatinya? Lelah pikirannya? Heni sangat berterima kasih beliau sudah memberitahu semua orang tentang hal ini. Sendiri saja bersama angin dan menceritakan rahasia. Melepaskan semua beban di pikiran dan otak Heni dan membuat Heni jauh lebih baik dari beberapa jam yang tadi. "Semua orang punya masalalu, Hen." ucapnya pada diri sendiri setelah sekian lama terdiam. "Bukan hanya suamimu, kau pun bahkan punya kisah masa lalumu sendi
Heni mematikan mesin motor, benar saja! Mobil Brian sudah terparkir di halaman. Ia bahkan belum turun ketika Fitri berlari kearahnya dengan wajah panik. "Mbak, kamu kemana aja? Suami kamu ke sini cariin kamu!" bisik Fitri dengan wajah panik. "Dia di dalem?" tanya Heni mengabaikan pertanyaan Fitri, ia lantas menyodorkan plastik ke arah gadis itu. Oleh-oleh, karena tadi Heni menyempatkan diri membeli oleh-oleh untuk Fitri di Solo. "Tadi di rumah ibu, tapi terus aku lihat naik ke kamar kamu." Fitri menerima plastik yang Heni sodorkan. "By the way ini apaan, Mbak?" tanya Fitri seraya membuka plastik putih di tangan. "Oleh-oleh. Makasih ya pinjeman motornya, jangan kapok!" Heni menjejalkan kunci ke tangan Fitri, ia segera melangkah dengan sedikit tergesa ke arah tangga. Fitri hendak memburu langkah Heni, namun ia urungkan ketika sadar dia tidak berhak dan tidak punya urusan apapun dalam masalah Heni. Fitri mendesah panjang, melangkahkan kaki ke kamarnya sendiri dan berharap masalah di
"APA? KAMU SAMPAI KE SANA?" Brian memekik keras, membuat Heni sampai melonjak karena kaget. Ia menatap wajah sang suami, nampak wajah itu berubah kaku dan sedikit gusar. Apakah suaminya itu akan marah? Tapi bukan salah Heni juga ia bisa sampai ke sana. Ia hanya sedang berusaha menenangkan diri. "Iya, bagus banget pantainya!" jawab Heni sambil nyengir lebar. Apapun itu masalah Heni dan Brian sudah selesai. Seperti tadi yang dia katakan ketika duduk termenung di atas karang, ada suatu hal yang lebih penting dari apa-apa yang pernah terjadi di masa lalu. Brian pun sudah menjelaskan kepadanya semua yang terjadi, jadi untuk apa diungkit kembali? "Astaga, Hen! Sejauh itu, kamu abis perjalanan dari Solo?" Brian nampak tidak terima, mengabaikan segala macam laporan Heni mengenai indah pantai yang tadi dia kunjungi. Heni terbungkam, rasanya apapun yang dia laporkan tentang indah panorama yang dia kunjungi, Brian tidak akan peduli. Yang jelas, kini dia harus pasrah diomeli panjang lebar ol
Brian memekik dalam hati, tangannya mencengkeram kuat pinggul Heni, membantu wanita itu bergerak cepat di atas tubuhnya. Sungguh kalau saja mereka tidak sedang berada di kost saat ini, Brian ingin mendesah sekeras-kerasnya."Hen ... gila! I-ini ... aduh, Hennn!" akhirnya Brian meracau, dia tak sanggup lagi! Brian berusaha melawan sekarang, malu saja kalau dia kalah dari Heni. Bagi Brian, menang melawan sang istri dalam urusan ranjang adalah hal mutlak! Brian memaksa tubuh diatasnya jatuh kebawah, ia balas menindih dan memegang kendali kuasa. "Nggak ada protes, ya! Di sini kamu yang lagi dihukum bukan aku!" ucap Brian dengan segera sebelum istrinya mengajukan protes. Mata itu membelalak, namun Brian sudah tidak ada waktu lagi. Dia mulai mengambil kendali dan dia bersumpah bahwa tidak akan pernah dia lepaskan Heni sebelum dia menangis memohon ampun! ***Heni terengah, ia membiarkan tubuh itu ambruk ke atas tubuhnya. Tidak peduli tubuh polos bersimbah peluh itu makin membuat tubuhnya
Jose melangkah hendak kembali ke rumah sakit setelah membeli beberapa botol air mineral dari minimarket, ia mendadak berhenti ketika melihat sosok itu nampak baru saja turun dari sebuah mobil dan diikuti sosok lain. Jadi itu suami Heni? Jose tertegun, senyum getir tergambar di wajah. Beruntung sekali lelaki itu bisa memiliki Heni seutuhnya? Sedangkan Jose saja ... ah! Bukankah dulu Jose yang goblok? Dia sudah hampir mendapatkan hati gadis itu ketika kemudian memutuskan kembali pada Dias. Sebuah keputusan bodoh yang masih sangat dia sesali sampai saat ini. "Kamu semangat jaganya ya! Ingat, kalo ada apa-apa yang ganjel di hati, ngomong! Kita ngobrol pake kepala dingin, berdua dan bahas solusinya. Ngerti?"Meskipun agak jauh, telinga Jose bisa menangkap suara itu. Ah ... ternyata seperti ini lelaki yang sukses membuat gadisnya jatuh hati dan melupakan dia? "Iya aku ngerti kok. Mas hati-hati, semangat juga jaganya, oke?"Hati Jose berdesir pedih ketika tangan itu mengelus kepala Heni,
"Baru sampai Solo, Ma. Kemarin nengokin Heni." jawab Brian seraya melangkah keluar dari mobil. "Kamu libur?" tanya suara itu kaget. "Ini langsung ke rumah sakit. Udah sampai parkiran." jawab Brian sambil tersenyum. "Astaga! Kamu nggak capek?"Brian terkekeh, "Nggak ah, Ma! Katanya kalo pengen suruh balik minta sama Heni? Nggak boleh jajan?" jawab Brian seraya melangkahkan kaki. "Ya jelas dong! Mau macem-macem kamu? Nggak takut kena penyakit? Hidup sekali aja kok cari-cari masalah!" cerocos suara itu gemas. Brian terkekeh, sudah dia duga kalau dia akan mendapatkan omelan macam dari sang mama. Dia sudah hafal betul dengan ibunya ini. Selalu cerewet dalam urusan apapun. "Nah makanya kemarin Brian nengokin Heni ke sana, Ma! Nggak salah, kan?" tanya Brian lalu bergegas masuk ke IGD, setor muka dan absensi tentunya. "Gimana kabar Heni?" Brian menjatuhkan diri ke kursi, memberi kode pada perawat dan semua yang ada di sana bahwa dia masih ada telepon sebentar. "Kenapa mama nggak telp
"Maaf aku nggak sempet mampir, aku langsung ke Jogja ya, Sayang?" Brian mendesah lemah, ia tengah bersiap-siap berangkat ke Jogja saat ini. Liburan adalah hal yang paling dia tunggu, dia bisa pergi menengok sang istri tercinta. Tapi untuk libur kali ini, Brian harus rela tidak mengunjungi Heni hanya demi mendaftarkan diri untuk seleksi penerimaan mahasiswa pendidikan dokter spesialis. "Tak apa, aku ngerti. Semangat ya, Mas. Semoga lancar dan semua cita-cita Mas bisa terwujud."Brian tersenyum, rasanya kalau Heni ada di depannya sekarang ini, Brian ingin mendekap dan memeluk tubuhnya erat-erat. Demi Heni dan masa depan anak-anak mereka kelak lah setelah ini Brian kembali menuntut ilmu dan berjuang menjadi pesuruh di rumah sakit. "Pengen peluk kamu, Sayang!" desis Brian dengan suara parau. Kenapa dia rasanya sangat ketergantungan sekali dengan istrinya sekarang ini?Tawa lirih itu terdengar dari seberang, sangat manis sekali terdengar di telinga Brian. Kenapa bahkan sejak pertama kal
Brian sama sekali tidak habis pikir. Kemana pikiran Kelvin ini? Bisa-bisanya dia malah melakukan hal itu? Akhir tahun ini dia menikah! Dan bukannya menginfokan hal itu pada pacarnya, Kelvin malah membawa pacarnya itu naik ke atas kasur! Kalau hanya naik ke atas kasur tanpa melakukan apapun, itu tidak masalah. Yang jadi masalah adalah ... "Ya ampun, Vin ... masalah pribadi elu kenapa jadi gue yang ikutan mikir sih?" umpat Brian di sela-sela perjalannya ke Jogja. "Pacar sama bini lu bunting barengan tau rasa ntar!"Kelvin ini bukan tipe orang yang suka macam-macam, dan begitu dia ada masalah, kenapa bablas gila begini sih? "Emang sih masih bocah, tapi kan enggak se mengerikan gitu juga kawin sama Agatha, kan, Vin? Kenapa lu malah overthinking duluan?"Brian tahu sejak dulu selera Kelvin adalah wanita yang dewasa. Dalam artian dewasa pikiran. Kalau soal umur, Kelvin tentu ingin menikah dengan gadis yang lebih muda darinya. Tetapi juga tidak semuda Agatha juga! Ah! Jujur Brian ikut pena
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be