"Maaf aku nggak sempet mampir, aku langsung ke Jogja ya, Sayang?" Brian mendesah lemah, ia tengah bersiap-siap berangkat ke Jogja saat ini. Liburan adalah hal yang paling dia tunggu, dia bisa pergi menengok sang istri tercinta. Tapi untuk libur kali ini, Brian harus rela tidak mengunjungi Heni hanya demi mendaftarkan diri untuk seleksi penerimaan mahasiswa pendidikan dokter spesialis. "Tak apa, aku ngerti. Semangat ya, Mas. Semoga lancar dan semua cita-cita Mas bisa terwujud."Brian tersenyum, rasanya kalau Heni ada di depannya sekarang ini, Brian ingin mendekap dan memeluk tubuhnya erat-erat. Demi Heni dan masa depan anak-anak mereka kelak lah setelah ini Brian kembali menuntut ilmu dan berjuang menjadi pesuruh di rumah sakit. "Pengen peluk kamu, Sayang!" desis Brian dengan suara parau. Kenapa dia rasanya sangat ketergantungan sekali dengan istrinya sekarang ini?Tawa lirih itu terdengar dari seberang, sangat manis sekali terdengar di telinga Brian. Kenapa bahkan sejak pertama kal
Brian sama sekali tidak habis pikir. Kemana pikiran Kelvin ini? Bisa-bisanya dia malah melakukan hal itu? Akhir tahun ini dia menikah! Dan bukannya menginfokan hal itu pada pacarnya, Kelvin malah membawa pacarnya itu naik ke atas kasur! Kalau hanya naik ke atas kasur tanpa melakukan apapun, itu tidak masalah. Yang jadi masalah adalah ... "Ya ampun, Vin ... masalah pribadi elu kenapa jadi gue yang ikutan mikir sih?" umpat Brian di sela-sela perjalannya ke Jogja. "Pacar sama bini lu bunting barengan tau rasa ntar!"Kelvin ini bukan tipe orang yang suka macam-macam, dan begitu dia ada masalah, kenapa bablas gila begini sih? "Emang sih masih bocah, tapi kan enggak se mengerikan gitu juga kawin sama Agatha, kan, Vin? Kenapa lu malah overthinking duluan?"Brian tahu sejak dulu selera Kelvin adalah wanita yang dewasa. Dalam artian dewasa pikiran. Kalau soal umur, Kelvin tentu ingin menikah dengan gadis yang lebih muda darinya. Tetapi juga tidak semuda Agatha juga! Ah! Jujur Brian ikut pena
Kelvin menempelkan telunjuknya di bibir Namira, satu tangannya mulai merayap masuk ke dalam atasan scrub dan meremas-remas sesuatu di dalam sana. Ada sesuatu yang Kelvin gilai di balik baju itu. Dengan lembut Kelvin memainkan dan memelintir puncak dada Namira. "Bang ... a-aku be--"Kelvin segera meraup bibir itu, kini dua tangannya bermain. Sengaja memancing kekasihnya untuk segera siap dia masuki. Nampak tubuh itu menggelinjang, membuat Kelvin makin tegang dan rasanya sudah tidak sanggup lagi. "Aku mau kamu, Sayang! Tolong ... jangan kau tolak aku hari ini." desis Kelvin lirih setelah melepaskan pagutan bibir mereka. Mata mereka beradu dengan jarak yang sangat dekat. Wajah merah padam itu terpejam, terangguk pelan mengiyakan permintaan Kelvin barusan. Kelvin tersenyum lebar, dengan secepat kilat ia meloloskan atasan scrub yang Namira kenakan. Melepas pula kain yang menjadi penutup gunung kembar favorit Kelvin. Bukan hanya itu, ia juga dengan segera melepaskan bawahan sang pacar,
Brian dengan tergesa-gesa turun dari mobil, segera ia naik ke lantai atas di mana kamar istrinya berada. Dengan sekali tekan Brian membuka knop pintu, ia tertegun mendapati istrinya duduk bersandar di tembok dengan memeluk lutut. Hati Brian terasa sangat perih melihat pemandangan itu. Apa yang terjadi pada sang istri? Kenapa dia sampai seperti ini? Siapa yang berani menyakiti istrinya? "Sayang ... Mas udah datang, kamu kenapa?" Brian segera mendekati Heni, menyentuh lembut bahu itu yang langsung direspon oleh sang pemilik. Heni mengangkat wajah, menunjukkan wajah bercucuran air mata yang kontan menghancurkan hati Brian seketika. Ia benci melihat Heni seperti ini! Dia bersumpah akan melakukan apapun untuk membalaskan perbuatan orang-orang yang sampai hati menyakiti perasaan istrinya seperti ini. "Mas!" Heni menjatuhkan diri ke dalam pelukan Brian. Tangisnya pecah, ia menangis tersedu-sedu dengan sedikit keras. Brian mematung, tangis itu seolah menyayat hatinya sampai relung terdal
"Yan! Serius mama tanya, kamu bikin masalah apa lagi?" napas Astrid naik-turun, dadanya mendadak sesak. Bukan salah Astrid kalau dia overthinking pada Brian. Semenjak Brian menelepon dan mengabarkan bahwa dia harus segera menikahi pacarnya karena ke gep mertua tengah kelonan, Astrid jadi parno ketika anak bungsunya itu menelepon. Seperti saat ini, Astrid mendadak ditelpon oleh Brian. Awalnya Astrid kira Brian akan membahas perihal proses dan kelanjutan pendaftaran pendidikan spesialis yang sedang Brian usahakan, tapi mendadak Brian mengajaknya membahas hal lain! Hal lain yang seperti apa? Brian buat ulah macam apa lagi?"Ma ... jangan gitu ah! Kayak Brian tukang bikin onar aja deh!" protes suara itu tidak terima.Astrid mendesah, ia memijit pelipisnya perlahan. "Lalu masalah lebih penting apa yang ingin kamu bicarakan selain proses pendaftaran PPDS-mu, Yan?" Astrid mencoba sabar, mencoba tidak suudzon pada Brian. Tapi dia harus tetap bersiap menerima kabar atau hal apapun yang hend
“Kenapa dari kemarin nggak bilang sih?” Brian tersenyum,walaupun sedetik kemudian senyum itu lenyap karena dia ingat, ketika Heni selesai internship nanti, gantian Brian yang harus pergi jauh. Kembali mengenyam bangku pendidikan.“Niatnya sih buat kejutan. Tapi balik lagi ke fakta tiap aku mau ngejutin kamu eh malah aku yang dapet kejutan.” Jawab Heni dengan bibir mengerucut.Brian kontan tertawa terbahak-bahak, tentu dia tidak lupa dengan tragedi ngamuknya Heni ketika tidak sengaja mendengar percakapannya dengan Kelvin perihal perasaan yang pernah Brian miliki untuk Karina. Heni saat itu tiba-tiba mendadak pulang hendak mengejutkan Brian, tapi apa yang Heni dapat? Dia malah balik dikejutkan dengan fakta itu.“Itu artinya, kamu nggak boleh tuh bohongin suamimu ini! Dengan dalih apapun, oke?” Brian terkekeh, menyentil hidung istrinya lalu kembali mendekap erat-erat tubuhnya dalam pelukan.Kembali Heni mencebik, ia mencubit gemas perut Brian dengan tatapan gemas. Masa iya dia hendak me
“Aku balik, ya? Kamu jaga diri baik-baik. Ingat, kan, sekarang bukan lagi cuma kamu yang ada di sini, tapi juga ini!” Brian mengelus lembut perut Heni, membelai perut yang masih rata itu tanpa memalingkan wajah dari sang istri.Senyum Heni merekah. Brian makin lembut dan tentu saja makin cerewet semenjak Heni hamil. Sebuah sikap yang terkadang sangat menyebalkan namun terkadang mampu membuat Heni seketika melted, seperti subuh hari ini.“Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja bersamaku. Aku janji bakalan jaga dia dengan baik, Mas.”Brian tersenyum, ia menarik Heni ke dalam pelukan. Mendekap tubuh Heni erat-erat dan menjatuhkan kecupan di puncak kepalanya.“Maafin aku nggak bisa selalu ada buat kamu di saat kamu dalam kondisi seperti ini ya, Hen. Maaf aku harus berada jauh dari kamu.” Bisik suara itu lirih yang sontak mampu membuat mata Heni memerah.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti. Jalan kita masih panjang banget buat raih masing-masing mimpi kita. Intinya saling jaga satu sama lain
“Yan ... selamat ya, mau jadi ayah.”Mata Brian seketika berkaca-kaca, biasanya papanya ingin menelepon untuk mengomel panjang kali lebar, terkadang malah dengan nada tinggi. Tapi sekarang ... Brian membiarkan air matanya menitik, ia menghirup udara banyak-banyak lalu tersenyum dengan begitu manis.“Makasih banyak, Pa. Brian sama Heni minta doanya ya, Pa?” mohon Brian dengan begitu tulus.“Nggak usah kamu minta, papa sudah pasti akan selalu mendoakan kalian, mendoakan cucu papa. Papa bener-bener bahagia denger kabar ini, Yan.”Brian menyeka air matanya, menahan agar isaknya tidak keluar dan ia bisa dengan jelas berkata-kata. Apakah Brian juga akan seperti ini besok ketika mendapat kabar hendak punya cucu? Ah ... agaknya terlalu jauh! Anaknya saja belum lahir, kenapa pikiran Brian sudah sampai sana?“Pa ... buat PPDS-nya, bagaimana kalau—““Papa mau kamu tetep lanjut, Yan. Kamu harus cepet sekolah lagi!” potong suara itu tegas.“Loh tapikan—““Yan ... kali ini saja, jangan membantah pa
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be