Heni menatap bayangan dirinya dicermin. Hari ini adalah hari pertamanya internship, di mana dia bukan lagi anak koas yang berada di posisi paling bawah dalam struktur organisasi di sebuah rumah sakit pendidikan. Heni sudah setingkat lebih tinggi, meskipun di sini, dia masih bisa dikatakan belum sepenuhnya menjadi dokter.“Satu langkah lagi, Hen ... satu langkah lagi untuk STR dan SIP-mu!”Heni tersenyum, meraih ponsel yang masih dia charge lalu dia masukkan ke dalam tas. Tak lupa Heni meraih beberapa bungkus roti sandwich siap makan yang sejak pre-klinik selalu menjadi penolong Heni. Ia tidak sempat sarapan, lebih tepatnya sengaja melewatkan sarapan agar bisa lebih pagi sampai di rumah sakit.Baru saja Heni hendak meraih gagang pintu, ponsel yang sudah anteng di dalam tasnya berdering begitu nyaring. Ada sebuah panggilan masuk, siapa kira-kira?“Mas Brian?” desis Heni lalu buru-buru meraih ponsel yang ada di dalam tas.Benar saja! Nampak ada panggilan video masuk dari nomor suaminya.
Heni melangkah dengan tergesa-gesa, karena terlalu asyik mengobrol dengan Brian, ia sampai lupa rencananya hendak datang pagi ke rumah sakit. Ini malah ia harus berkejaran dengan waktu supaya tidak terlambat di hari pertamanya internship.“Dasar! Bagaimanapun, lagi mode bucin-pun, kamu itu tetep nyebelin, Mas!” gerutu Heni seraya mempercepat langkahnya.Akan jadi apa dia nanti kalau terlambat? Mana Heni sama sekali belum kenal dan bertemu dengan rekan-rekan seperjuangannya nanti. Ah ... kenapa rasanya nervous sekali? Heni berkali-kali menghirup udara banyak-banyak, berusaha menghilangkan semua rasa gugup yang menderanya dan mencoba mengusir semua ketakutan-ketakuannya dari otak. Kalau boleh jujur, dibandingkan dengan hari pertama dia koas, hari ini lebih menegangkan dan mendebarkan.Bagaimana tidak? Sekarang ia akan berhadapan langsung dengan pasein. Menganamnesa dan memeras semua otaknya untuk menentukan terapi atau rujukan ke spesialis apa yang tepat untuk kasus itu. Meskipun nanti
Jose melangkah menjauh. Sangat tidak dia sangka bahwa dia akan bertemu lagi dengan gadis itu. Tentu Jose mengenalnya. Dulu sekali saat dia pusing dengan proposal skripsinya, gadis itu muncul sebagai satu dari ratusan mahasiswa baru yang diterima di Fakultas Kedokteran universitas negeri tempat dia menimba ilmu kedokteran.Ada apa di antara mereka?Jose mendesah, kenangan itu berputar macam film kilas balik di dalam otaknya, saat di mana ia pertama kali bertemu dengan sosok itu di gerbang kampus saat hari pertama ospek berlangsung .Saat itu ...Jose melangkah hendak menuju perpustakaan, ia hendak mencari beberapa referensi yang bisa dia pakai untuk penelitiannya. Waktunya semakin dekat, ia harus segera lulus dan menyelesaikan tahap demi tahapan yang akan mengantarkan dia pada profesi impiannya. Jose baru saja hendak naik dan masuk ke gedung perpustakaan ketika mendengar suara itu dari arah yang tidak jauh.“Aduh ... kenapa bisa ketinggalan di kost sih? Mana udah mepet, nggak bisa bali
Dan di sinilah Heni berada sekarang, duduk berhadapan dengan senior yang hampir lulus di salah satu kursi yang ada di kantin. Heni lihat betul bagaimana tatapan terkejut beberapa anggota BEM yang kemarin menjadi panitia dalam kegiatan ospek. Mereka nampak tidak percaya melihat Heni duduk berhadapan dengan Jose. Sebenarnya siapa Jose ini? Seseorang yang begitu berpengaruh di fakultas mereka? Atau apa?“Jadi ... kamu asli mana? Nggak mungkin kalo kamu ini orang Solo, logat kamu beda.” Tanya sosok itu sambil mengunyah nasi pecel yang dia pesan.Kontan Heni melonjak kaget, untung saja dia tidak sampai benar-benar melonjak. Bisa habis dia malu bertingkah norak di depan Jose seperti ini.“Oh ... itu ... aku dari Tanggerang, Kak.” Jawab Heni lalu pura-pura meneguk es teh yang dia pesan. Matanya tidak lepas dari menatap wajah yang tertutup kacamata itu, meskipun sorot mata itu tajam, tapi rasanya begitu lembut di mata Heni.“Sudah aku duga!” ujar Jose mengomentari. “Kenapa ambil FK? Ortu dokt
“Akhirnya!”Heni mendesah, ia melemparkan handscoon ke tempat sampah, bersandar di tembok toilet guna menetralkan napasnya. Bukan main-main tugasnya sekarang, nyawa pasien ada di tangan Heni. Tentu dia tidak bisa gegabah, bukan?Heni baru saja hendak melangkah masuk ke dalam salah satu bilik toilet, ketika tangan itu mendadak mengulurkan sebotol air mineral tepat ke depan muka Heni. Tentu Heni terkejut bukan main, terlebih ketika melihat siapa si pemilik tangan yang sekarang berdiri tepat di hadapan Heni.“Minum dulu. Buat nenangin diri sama ngilangin gugup.” Titahnya dengan senyum yang dulu selalu sukses membuat kaki Heni lemas.Heni mendadak kikuk. Ia belum memikirkan apa yang hendak dia lakukan jika harus berhadapan dengan sosok ini. Sama sekali belum karena baru hari ini pula Heni tahu Jose salah satu dokter spesialis di rumah sakit ini. Tepat di saat Heni baru saja hendak memulai masa internship yang semula Heni pikir akan begitu menyenangkan.“Kok bengong, nih minum!”Jose menje
Jose menatap nanar kepergian sosok itu. Ingin rasanya ia mengejar Heni yang berlari meninggalkan dia yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Bukan salah Heni kalau sampai Heni bersikap seperti itu kepadanya. Jose yang membuat Heni menjadi seperti itu, semua ini karena sikap dan perlakuan Jose, Jose sadari itu.“Ya Tuhan!” Jose mendesah, ia meremas rambutnya dengan gemas.Ia rindu dengan kebersamaan yang dulu pernah terjalin antara dia dan Heni. Kebersamaan yang Jose jalin di atas sebuah kebohongan. Bukankah Jose ini lelaki pengecut?“Ntar kalo kamu bingung sama materi, atau kepo soal apapun itu, jangan sungkan hubungi aku!”Jose menoleh, menatap gadis yang melangkah di sisinya sejak mereka keluar dari kantin beberapa saat yang lalu. Bisa Jose lihat wajah itu nampak terkejut dan kikuk. Ada semburat merah di pipinya, sebuah warna yang makin mempercantik wajah itu di mata Jose.“Serius? Kan Kakak lagi nyusun skripsi, emangnya nanti aku nggak ganggu?”Jose tertawa, entah keberanian dari
Brian sontak bangun, ia seperti dilempar dari alam mimpi. Keringat mengucur deras dari pelipisnya, membuat AC yang sudah hidup dan disetting suhu terendah pun rasanya tidak ada fungsinya sama sekali. Jantung Brian berdegup dua kali lebih cepat, pikirannya mendadak kacau. Kenapa dia bisa mimpi seperti itu?“Astaga, ya ampun!” Brian mendesah, menutup wajah dengan kedua tangan dan berusaha menyeka keringat yang mengucur deras dari sana.Napasnya terenggah macam baru beres lari marathon berkilo-kilo meter. Ia mengumpat dalam hati, benci dengan apa yang dia lihat dalam mimpinya barusan.“Baru sehari loh ini! Baru sehari!” umpat Brian dengan gemas. “Gimana nanti setahun, dua tahun? Gila bener aku lama-lama!”Brian menyandarkan tubuh di head bed, membiarkan beberapa bulir keringatnya menetes. Apakah ini efek terlalu mengkhawatirkan istrinya jadi Brian bisa bermimpi macam tadi? Apakah karena Brian terlalu takut istrinya digoda, tergoda lelaki lain jadi mimpi jahanam tadi menghampirinya?“Wara
“Kangen apa pengen?”Brian tersenyum lebar, kini bayangan ia tengah bergumul dengan sang istri muncul dalam ingatan. Betapa indah dan nikmat riak gelombang yang mereka ciptakan dan arungi berdua membuat suasana hati Brian jadi lebih baik dari sebelumnya.“Kalo pengen, mau ke sini?”Brian kembali tertawa, ia kini sudah kembali merebahkan tubuh di atas ranjang. Kantuk dan lelahnya seolah sirna begitu saja mendengar betapa manis suara istrinya dari sambungan telepon.“Nggak lagi palang merah, kan? Jauh-jauh kesana, nggak bisa ena-ena rugi dong!”“Oh ... jadi nemuin istri sendiri sekarang hitungannya rugi kalo nggak bisa dimintain jatah enak? Gitu?” damprat suara itu dengan nada dingin.Brian membelalak, ia langsung panik karena sudah salah bicara. Gawat kalau Heni merajuk, bisa habis Brian nanti. Alamat jatah ena-ena yang kini menjadi favorit Brian akan disetop oleh sang istri. Bisa apa Brian nanti?“Ya nggak gitu juga Cintaku ... Cuma bercanda tadi. Jangan marah gitu ah!” rayu Brian ber
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be