Harry terdiam, wajahnya berubah sendu. Berkali-kali terdengar helaan napasnya seolah ingin melepaskan beban berat yang menghimpitnya. Lelaki itu berdiri, dan perlahan mendekati kaca jendela dan menatap ke luar, ke arah taman yang terang, yang ditumbuhi berbagai bunga yang indah.Anna mendekatinya, menyentuh bahunya dengan lembut, ada rasa bersalah dan tidak enak, namun bagaimana pun masalah ini harus ia tanyakan juga."Mas, maafkan aku, jika pertanyaanku menjadi bebanmu. Namun seperti yang Mas Harry bilang, agar tidak ada apa pun rahasia diantara kita, selain itu, aku juga harus tahu semua tentang Amelia, supaya ke depannya tidak jadi bumerang dalam hubungan kita."Harry menoleh ke arah Anna, ia memegang tangan gadis yang sekarang sudah menjadi kekasih hatinya itu."I'ts OK Anna. Aku memang akan menceritakannya padamu rahasia ini, hanya saja aku merasa berat dan bingung, nggak tahu harus mulai dari mana."Anna tersenyum lembut sambil mengusap lengan kekasihnya itu. "Katakan saja apa y
"Kalau ikut Dav, gimana Nak, Han?" tanya Nyonya Sarah mencoba menawarkan. "Oh, Oke Tan. Tentu saja aku mau," sambut Handoko sambil tersenyum, "jika tidak memberatkan kamu tentunya, Dav." "Nggak kok, Han. Kita kan masih keluarga, nggak ada salahnya aku membantu, kan?" sahut David tulus. Saat itu Harry datang. "Har, sini Son!" panggil Mommy. Harry pun mendekat, ia tidak terlalu mengenali Elsa dan Handoko. "Son, kamu ingat nggak, teman kecil kamu saat di rumah nenek dulu." Mommy mencoba mengingatkan. Harry mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Aku Elsa, Har," sahut wanita itu mengingatkan Harry. "Ouh! Elsa. Ya-ya, aku ingat," sahut Harry sambil tersenyum, "apa kabar? gimana kabar Tante Wid?" "Kabar baik, Har. Mama juga baik, beliau titip salam sama kamu." "Nah, Elsa ini menikah dengan Bro Han lho, Har." David memberitahu adiknya. "Wow! Congratz, aku ikut berbahagia untuk kalian berdua." Harry menyalami Handoko dan istrinya, Elsa. "Thanks Har," sahut Handoko dan Elsa bersamaan
David panik, mobilnya tidak bisa dikendalikan. Rem tidak berfungsi bahkan roda kemudi pun tidak berfungsi dengan baik."Shit! apa-apaan ini?!" buncah David kelimpungan, keringat mengucur di wajahnya. Ia masih mencoba mengendalikan laju mobilnya. Namun pada sebuah persimpangan mobil itu tidak bisa lagi berhenti ....Dan dalam menit berikutnya terdengar suara benturan keras di ujung persimpangan yang tidak terlalu ramai itu, sebuah bus menghantam mobil David tanpa ampun, kepingan-kepingan tajam dari serpihan kaca berserakan kemana-mana.Suara dentuman keras itu mengejutkan orang-orang yang ada di sekitar, mereka bergegas memberikan pertolongan untuk mengeluarkan David.**Harry baru saja menyelesaikan soal-soal sesi pertama exam hari itu ketika ponselnya berderet, seseorang yang mengenalnya mengabarkan kecelakaan yang baru saja dialami David. Sontak pemuda itu terperangah, bagai disambar petir di siang bolong.Ia segera berlari menuju mobilnya di parkir dan langsung tancap gas ke lokasi
"Hmm, apa kamu mencurigai sesuatu?" tanya Bobby menimpali permintaan Harry."Entahlah, Bob. Tapi aku kok nggak yakin kalau itu murni kecelakaan. Dav bukan anak kemaren sore yang baru belajar nyetir atau baru mengenal mobil. Dia bahkan lebih paham dari aku mengenai mobil." Keduanya terdiam."Dav juga tidak sedang dalam pengaruh alkohol atau mengantuk, karena waktu masih pagi. Selain itu dia juga selalu rutin merawat mobilnya, lebih resik dibanding aku.""Oke, aku sependapat denganmu." Bobby menyahut pada akhirnya, "apa ada yang kamu curigai?""Belum pasti, aku masih harus memeriksa semua berkas di sini," jawab Harry, "aku punya firasat semua berkaitan dengan pekerjaan, karena Dav hampir tidak ada urusan pribadi atau menyinggung orang lain.""Oke, aku akan memeriksa mobil Dav, untuk memastikan." Bobby berujar, ia pun bangkit hendak keluar ketika Harry mengingatkannya."Bob, apa pun yang kau temukan, entah itu sabotase atau apa, tolong rahasiakan, supaya si bajingan tidak kabur.""Oke, a
Handoko meradang, ia baru saja mendapat informasi jika polisi akan menjemputnya."Ke mana, Mas?""Pokoknya harus pergi dari sini, cepat!" Elsa bergegas berkemas, keduanya segera meninggalkan appartment mereka. Mereka menuju tempat yang agak jauh dari pusat kota London. Wajah Elsa berubah muram, ia tak pernah menyangka akan seperti buronan begini."Kenapa muram begitu?" tanya Handoko."Mas, kenapa kita jadi buronan begini?" rengek Elsa, "atau kita pulang saja ke Indonesia, Mas?""Sudah kepalang tanggung," tepis Handoko, "ini semua gara-gara bocah itu, awas kamu Harry!"Sore harinya beberapa petugas datang, namun appartment mereka sudah kosong."Har, Handoko dan Elsa kabur." Bobby melaporkan."Pengecut!" Harry meanggapi dengan kesal."Oya, Har. Kamu harus siap-siap, polisi sudah menetapkan Handoko sebagai tersangka, khawatir dia menyerang kamu.""Oke, Bob, thanks sudah mengingatkan." Harry mulai meningkatkan kewaspadaannya, ia pun selalu mengecek kendaraannya dan sebuah pistol selalu t
Seorang perawat menghubungi Anna terjadi sesuatu pada Amelia, Anna dan Harry segera bergegas kembali ke rumah sakit. Setiba di rumah sakit, para dokter dan perawat sedang melakukan serangkaian pemeriksaan. Anna dan Harry menunggu sambil duduk di sofa, sambil memperhatikan tim dokter bekerja."Apa yang terjadi, Sus?" tanya Anna pada salah seorang perawat."Tadi Nona Amelia terbangun, memanggil papa dan mama, setelah itu kejang sebentar.""Ya Tuhan!" Anna terkejut spontan menatap Harry, "Mas ...""Sabar, An. Kita tunggu dokter dulu," jawab Harry tenang. Tidak berapa lama dokter pun melaporkan kepada Harry bahwa tidak terjadi serangan serius pada Amel, tingkat kesadarannya pun mengalami peningkatan.Anna dan Harry merasa lega, Anna segera mendekati gadis kecil kesayangannya itu."Sayang, maafin Mama ya, tadi mama lagi nemenin papa dinner. Oya sayang, mama dilamar sama papa, nih cincinnya, cantik udah di jari manis mama," bisik Anna ditelinga Amel, wajahnya tersipu manakala menceritakan h
Anna terdiam, ia tertunduk bingung dan merasa malu membicarakan pernikahan disaat kondisi Amelia yang masih belum ada kepastian. "Anna, ada apa?" tanya Harry sambil memegang tangan Anna, "coba ceritakan pelan-pelan." Anna menghela napas samar, "Tadi papa, mama dan nenek kemari, Mas." "Oya, kenapa nggak bilang, jadi aku bisa menemui mereka." "Nggak apa-apa, Mas. takut mengganggu kerja Mas aja," jawab Anna, "tapi ada yang nenek bicarakan dengan serius." "Maksudnya gimana, An?" "Nenek meminta kita untuk segera menikah ..." Anna menggantung kata-katanya manakala melihat Harry terdiam. "Aku juga sudah bilang sama nenek kalau kita akan menunggu Amelia bangun," ucap Anna tersendat-sendat, "tapi kata nenek hanya mencatatkan pernikahan saja, untuk pesta resepsinya nggak apa-apa nanti setelah Amelia bangun." Anna tertunduk, ia merasa sungkan dan merasa tidak pantas membicarakan itu disaat-saat sekarang. Namun ia terkejut, karena Harry tiba-tiba meraih dan menggenggam tangannya dengan er
Anna mulai membiasakan diri dengan kehidupan barunya, jika biasanya ia berpenampilan cuek, maka ia mulai menyesuaikan diri untuk berpenampilan layaknya seorang wanita dewasa. Jika biasanya ia tidur dan bangun sesuka hati, sekarang ia membiasakan diri bangun pagi-pagi, lalu menyiapkan segala keperluan suaminya. Hal itu justru berbanding terbalik dengan Harry. Biasanya lelaki itu sedikit sekali waktu tidurnya, ia benar-benar pria yang gila kerja. Namun semenjak menikah, ia lebih suka bermalas-malasan di tempat tidur. "Mas, bangun. Udah siang," bisik Anna membangunkan suaminya. Alih-alih bangun, Harry malah menarik istrinya ke tempat tidur. "Hmm... masih ngantuk honey ... bobo lagi yuk," ujar Harry sambil memeluk istrinya. "Eit, kok jadi pemalas gini. Kayaknya dulu ada yang bilang sama aku harus bangun pagi-pagi kalau nggak nanti rezekinya di patuk ayam." "Itu kan dulu love, dulu aku memang benci tidur. Sekarang mah bodo amat, kalo ayam mau patuk, patuk aja sana, jangan ganggu aku ti
Roda kehidupan terus berputar, mesin waktu pun terus berpacu. Hari demi hari berganti menjadi bulan, bulan pun terus berubah. Akhirnya kehamilan Anna pun genap 9 bulan.Seorang bayi laki-laki tampan telah dilahirkan, wajahnya sangat mirip dengan Harry, bak pinang dibelah dua. Anna merasa sangat takjub, ia benar-benar merasakan hidupnya menjadi sangat sempurna.Dulu, Anna selalu berpikir, menikah, lalu punya Anak, sangat merepotkan. Setiap hari hanya mengurus anak, sangat tidak bebas, itu sebabnya ia selalu berkeras menolak untuk menikah.Namun siapa sangka, berawal dari ide gilanya yang meminta lelaki yang tak dikenalnya itu untuk menikahinya. Ya, semua memang meluncur begitu saja tanpa ia pikirkan apa yang akan terjadi nantinya.Bermimpi pun tidak pernah, kalau ia akan menjadi istri seorang konglomerat berkebangsaan Inggris. Saat itu ia hanya asal meminta Harry menikahinya, yang dipikirkannya adalah bagaimana menyelamatkan sang nenek yang sedang koma.Siapa sangka, bak gayung bersam
“Ada apa Hubby?” tanya Anna melihat suaminya mematung setelah menerima panggilan telepon, “telepon dari mana?”Harry tidak menjawab, tapi kedua mata lelaki itu berkaca-kaca, ia langsung menatap Amelia dan bergegas memeluknya.“Sayang, Mommy …” Suara Harry terbata-bata seakan tak bisa lagi berbicara.“Ada apa dengan Sis Anne, Hubby?” potong Anna, ia menjadi cemas.Harry menghela napas panjang, ia berusaha mengatur berbagai perasaan yang bergejolak di hatinya, pria itu pun memeluk Amelia dan Anna. “Sis Anne … siuman.”“Apa? Mom sudah bangun?” Amelia seakan tidak percaya, Harry mengangguk.“Oh Tuhan!” Amelia langsung memeluk Harry dan Anna, tangis ketiganya pun pecah, tangis haru dan bahagia, sungguh tak bisa terucapkan dengan kata-kata.Begitu pun Nanny, wanita paruh baya itu tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia adalah saksi perjalanan keluarga ini, seketika terlintas semua kenangan masa lalu, saat-saat ia mulai mengasuh dua putra keluarga terkemuka ini, David dan Harry.Wanita itu
“Ada apa?” tanya Vincent kepada anak buahnya, “cepat periksa!”“Baik Boss” Pria itu pun bergegas, sementara Vincent membuka laci mejanya, mengeluarkan 2 buah pistol yang tergeletak di sana.“Gawat Boss!” ujar anak buah Vincent yang tadi melihat ke luar.“Ada apa?”“Kita sudah dikepung!” jawab lelaki itu terengah-engah.“Sial!” Vincent segera memeriksa monitor keamanan, baku tembak pun mulai terdengar.“Boss! Anda harus bersiap menyelamatkan diri, biar di sini anak-anak yang menghadapi.”“Ok, kamu kumpulkan bahan-bahan penting, cepat!”“Siap, Boss!” Tidak berapa lama keduanya pun masuk ke ruang rahasia.“Boss, bagaimana dengan Nona Rebecca?”“Ah tidak penting, kita tidak membutuhkannya, biar saja dia ditangkap tidak banyak juga informasi yang dia tahu.”“OK.” Keduanya pun memasuki lorong rahasia yang gelap dan sempit, namun lorong itu cukup panjang.Sementara itu pihak kepolisian terus merangsek masuk, baku tembak pun terdengar saling bersahutan, hal itu terdengar pula ke kamar Reb
Harry sangat cemas, berbagai bayangan buruk melintas begitu saja di benaknya, hal itu membuatnya jadi kurang fokus. Nyaris mobilnya menyenggol mobil lain.“Son, tenangkan dirimu. Jika kau tidak fokus seperti ini, akan sangat buruk dampaknya, sedapat mungkin kau harus menghindari guncangan.”Nanny mengingatkan Harry sambil menepuk bahu lelaki itu lembut. Harry menghela napas, lalu mengurangi kecepatan laju mobilnya.“Nyonya, apa rasanya kencang sekali?” tanya Nanny pada Anna sambil menletakan tangannya di atas perut Anna yang tidak mampu berbicara lagi, ia hanya mengangguk pada Nanny.“Oke, sepertinya kram perut, coba untuk rileks dan mengatur napas.” Anna kembali mengangguk, ia pun mengikuti intruksi Nanny.Tidak lama berselang mereka pun tiba di rumah sakit, Harry segera menggendong istrinya dan membawanya ke unit gawat darurat, tim dokter pun segera melakukan pemeriksaan.Harry sangat gugup, ia mondar-mandir gelisah. Nanny kembali menenagkannya, dan meminta anak asuhnya itu untuk d
Pelayan itu terengah-engah, nampak ia lari tergesa-gesa. “Ada apa?” tanya Nanny. Anna dan Amelia pun berhenti, ikut memperhatikan si pelayan.“Ada orang mabuk menabrak gerbang depan, ditegur security malah dia yang marah-marah dan minta ganti rugi.”Anna dan Nanny saling berpandangan sekilas, namun Nanny segera meminta izin kepada Anna untuk melihat ke luar.“Nyonya dan Nona tenang saja, biar saya yang urus,” ujar Nanny.“Okay, Nanny. Lihat saja kerusakannya, kalau dia minta ganti, bawa saja mobilnya ke bengkel, lalu panggil tukang untuk memperbaiki gerbang jika ada kerusakan.”“Baik Nyonya, saya permisi dulu.” Nanny pun bergegas ke luar diikuti pelayan tadi, Anna dan Amelia pun duduk sambil minum air putih.“Aneh ya, Ma. Masa dia yang menabrak malah minta ganti rugi sama kita.” Amelia berpendapat, mengomentari keributan yang dijelaskan sang pelayan.“Ya namanya orang cari keuntungan, bisa macam-macam, Sayang.” Anna tersenyum sambil meneguk air di botolnya.”Cari keuntungan?” Amel m
Postman gadungan itu tersentak, ia menoleh dan melihat ke samping. Seorang lelaki mengenakan jaket dan kaca mata hitam dengan wajah dingin menodongkan pistol ke arahnya,Sontak lelaki yang sedang membuka seragam petugas post itu menggigil ketakutan, ia mengikuti isyarat si penodong untuk masuk ke dalam mobil, yang berhenti tidak jauh dari mereka, lalu melaju meninggalkan tempat itu.Sedangkan di kediaman Barnes, Harry tiba di rumah setelah mendapat telepon dari Nanny, wanita itu segera menyerahkan surat kedua yang dikirim si penjahat. Ia semakin marah membaca isinya, namun Nanny mengingatkan agar Harry tenang dan menenangkan Anna yang masih syock karena membaca isi surat itu.Harry segera menemui Anna yang sedang duduk sendirian di kamar. Wanita itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Yah, Anna memang sedang berusaha memperkirakan berbagai kemungkinan, bahkan yang terburuk.Tidak dipungkiri, sebelum menikah Anna adalah seorang gadis tomboi yang pemberani, ia tidak gentar menghadapi
Anna dan Harry tertegun, memang lelaki gila itu terobsesi dengan Anna, dan itu bisa membuat dia melakukan apa pun, spontan Anna mengusap perutnya, sesungguhnya ia tidak gentar, hanya saja saat ini ia lebih memikirkan bayi di kandungannya. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Anna menatap Harry dan Bobby. Harry menggenggam tangan Anna dengan erat. “Kamu tenang ya, Honey. Semua akan baik-baik saja.” Harry berusaha menenangkan Anna. “Itu benar, An, yang penting kau tetap selalu berada di rumah, kita akan memperketat keamanan di kediaman.” Bobby menimpali. “OK, aku percaya pada kalian,” jawab Anna sambil tersenyum. Bobby segera meninggalkan kediaman Barnes, Anna dan Harry pun kembali ke kamar tidur mereka, Harry menjadi sangat gelisah, namun ia berusaha untuk terlihat tenang di hadapan istrinya, hingga malam semakin larut matanya tidak juga bisa terpejam. “Hubby …” panggil Anna lirih. “Ya Honey, kenapa terbangun love,” sahut Harry sambil memeluk kembali istrinya yang terbangun
Nanny menyerahkan selembar amplop surat berwarna cokelat kepada Harry, lelaki itu membeku memeriksa amplop surat yang ditujukan kepada Nyonya Joanna Barnes, ia membolak balik namun tidak terdapat nama pengirimnya.Harry segera membuka amplop itu, lalu membuka secarik kertas yang isinya hanya beberapa kalimat.Hello Anna,Aku datang, bersiaplah sayangKamu adalah milikku selamanya.Tubuh Harry bergetar menahan marah, wajah pria itu merah padam, ia sduah bisa menebak siapa pengirimnya.“Nanny, Anna di mana?”“Nyonya sedang menemani Nona Amel belajar, ada tugas katanya.”“Nanny, jangan beritahu Anna mengenai surat ini, biar nanti aku yang menyampaikan,” pinta Harry.“Baik,” jawab Nanny, “tapi ada apa dear, kenapa kamu terlihat sangat marah dan gelisah?” tanya Nanny cemas, wanita itu adalah pengasuh Harry sejak masih kecil, ia sangat menyayangi Harry seperti anaknya sendiri.“Penjahat itu ada di sini Nanny, dia menginginkan keluargaku hancur, dia ingin merebut istriku.” Suara Harray be
Rebecca terkesiap, seorang wanita bertubuh tinggi langsing dengan mengenakan setelan brazer hitam-hitam mencekal lengan Rebecca dengan kuat. Ia meronta, namun tenaga wanita itu sangat kuat. “Lepas!” teriak Rebecca. Alih-alih melepas, wanita itu malah memutar tangan Rebecca ke belakang, spontan ia menjerit kesakitan. “Saya peringatkan! Jangan coba-coba mengganggu atau menyakiti Nona Amelia.” Suara wanita itu tegas, dengan tatapan dingin. “Siapa kamu?!” tanya Rebecca sambil meringis kesakitan. “Siapa saya, itu bukan urusan Anda,” tandas wanita itu. “Sudahlah Emma, jangan ladeni perempuan ular ini, ayo kita pulang.” Amelia menarik tangan wanita yang bernama Emma itu. Emma melepaskan Rebecca dan mendorong pelan wanita itu, namun cukup membuat Rebecca terhuyung-huyung. “Mari Nona,” ucap Emma, ia segera mengiringi Amelia. Rebecca masih terkesima, siapa perempuan itu? Tapi kemudian ia bergegas mengejar Amelia. “Amel, tunggu sayang? Tante mau bicara?” Namun Emma dengan sigap mengha