"Kamu Lian, kan? Suaminya Sari?"Lian tampak mengerutkan keningnya tanda berpikir. Ia seperti tak asing dengan lelaki berseragam sama dengan Hesti yang ada di depannya kini. Lian mencoba mengingat-ingat hingga muncul bayangan seseorang di dalam kepalanya."Kamu ... Damar?"Lelaki itu mengangguk sembari tersenyum. Tangannya yang berkulit putih langsat itu terulur ke depan. Lian kemudian menyambut jabatan tangan lelaki bernama Damar tersebut."Maaf ya, aku sibuk. Aku mau balik dulu."Lian hendak memutar kunci pada sepeda motornya, namun, Damar berusaha mencegah dengan cara menahan lengannya. Sebenarnya, Lian juga cuma beralasan bahwa dirinya sibuk. Tak ada hal yang harus ia lakukan setelah ini selain mengurusi Kia yang saat ini pun sepertinya masih tertidur. Lian hanya merasa tak nyaman jika harus berhubungan dengan orang dari masa lalunya dan Sari."Tunggu, Lian! Aku cuma ingin bicara sebentar sama kamu."Lian tak bisa mengelak, cekalan tangan Damar pada lengannya terasa cukup kuat, na
"Ada apa ini, Bu? Kenapa Kia nangis?"Lian bergegas mengambil Kia lalu menggendongnya. Bu Tri yang ditanya demikian hanya melengos dan memalingkan muka. Dapat Lian lihat, di lantai sekitar Kia menangis tadi, rupanya banyak nasi yang sudah bercampur kuah kuning yang berhamburan. Piring plastik menelungkup tak jauh dari sana."Apa Kia bikin Ibu marah?" tanya Lian sekali lagi. Kali ini, bu Tri menatap tajam Kia yang masih menangis dalam gendongan sang ayah."Tanya aja sama anak kamu, tuh! Kenapa dia buang-buang makanan kaya gini? Dipikir beli beras gak pakai uang?"Lian segera mengalihkan pandangannya ke arah Kia. Bocah empat tahun itu tentu saja belum sepenuhnya paham dengan apa yang terjadi. Yang ia tahu, neneknya tengah marah padanya. Tanpa Lian sadari, Kia sedari tadi memegangi pahanya yang terasa sakit karena baru saja dicubit oleh sang nenek."Kia kenapa buang makanannya? Lihat, nenek jadi marah.""Nasinya kering, Ayah. Kia gak suka," jawab Kia sambil menangis sesenggukan."Kamu de
Bayangan Lian akan wajah cantik nan ceria milik Hesti pun sirna. Kini, gadis itu justru menampakkan wajah muramnya meski tubuhnya sudah dibalut dengan pakaian yang bagus dan rapi. Polesan di wajahnya juga terasa sia-sia sebab masih terlihat wajahnya yang tertekuk kesal."Tapi, Mas udah janji mau ajak kamu makan di luar sambil kita ngomongin hal penting."Hesti berjalan lalu duduk di kursi yang ada di teras rumahnya. Lian masih berdiri dengan Kia yang menggandeng tangannya."Kalau mau ngomong penting, kenapa Kianya dibawa, Mas? Katanya, kamu mau nitipin Kia ke ibu kamu?""Ibu gak bisa, Hesti. Mila juga gak bisa, Kia juga maunya ikut sama aku. Memangnya, kenapa kalau Kia ikut? Aku janji, dia gak akan ganggu acara kita malam ini," ucap Lian mencoba merayu Hesti agar tak merajuk dan mau pergi bersama dengan Kia.Hesti terlihat berpikir. Dan pada akhirnya, Hesti pun setuju, meskipun di dalam hatinya, ia sebenarnya tidak ingin Kia ikut bersama mereka.Seperti yang sudah direncanakan sebelum
"Maaf, Pak, saya tidak sengaja."Pelayan itu menundukkan kepalanya sembari meminta maaf pada seorang pengunjung yang tak sengaja ia tabrak hingga membentur meja."Tidak apa-apa, Mas. Lain kali, tolong lebih hati-hati," ucap pengunjung tersebut.Lian dan Hesti yang melihat kejadian tersebut dan sadar akan siapa pengunjung itu pun merasa sedikit terkejut. Jika Hesti senang karena melihat rekan kerjanya di sana, lain hal dengan Lian yang geram saat melihat pengunjung laki-laki tersebut.Laki-laki itu pun menghampiri meja Lian dan Hesti. Dengan senyuman yang menurut Lian sangat memuakkan, laki-laki itu pun kemudian menyapa."Hesti ... Lian? Kalian di sini juga rupanya."Hesti melunturkan senyum saat laki-laki itu ternyata juga mengenali Lian. Dengan penasaran, Hesti pun menanyakan hal itu."Lho, Mas Damar kenal sama Mas Lian juga?"Damar melemparkan senyum yang sama sekali tak Lian sukai. Dalam senyuman itu, Lian merasa bahwa Damar tengah menertawakan dirinya."Kita pindah ke kafe lain sa
"Tapi apa, Lian? Kamu jangan bikin Ibu penasaran, ya.""Aku gak jadi ngelamar dia di kafe, Bu. Tapi, aku ngelamarnya tadi langsung di depan orang tuanya dan mereka nerima lamaran aku, Bu."Bu Tri merasa sangat senang dengan berita itu. Lian terus saja menebar senyum melihat ibunya bahagia dan dirinya pun sebentar lagi akan memiliki Hesti seutuhnya. Tapi, tanpa mereka berdua sadari, ada Sandi yang memandang miris ibu dan kakaknya itu."Maafkan aku, Mbak Sari, aku tidak bisa membuat mas Lian sadar dari kesalahannya," batin Sandi merana. Sandi pun menatap Kia yang tengah asik melahap makanan yang ia bawakan tadi. Ia merasa kasihan dengan keponakannya itu. Bagaimana nanti saat Kia mengerti apa yang terjadi di antara ayah dan ibunya."Bagus sekali, Lian. Kamu memang anak Ibu yang hebat. Sebentar lagi, Ibu akan jadi orang terpandang di kampung ini. Orang-orang tidak akan bisa lagi merendahkan Ibu.""Aku juga rasanya sudah begitu kesepian, Bu. Dengan adanya Hesti, aku bisa mengobati kesendi
Semua orang tercengang, termasuk Damar. Kia yang baru saja selesai diobati oleh Hesti pun tanpa pikir panjang langsung melompat turun. Meringis sebab luka di lututnya terasa sakit, tapi, sakit yang ia rasakan tak sebanding dengan rasa bahagia yang kini ia rasakan."Ibuuu!" teriak Kia sembari berjalan terseok-seok menuju sang ibu yang menatapnya penuh haru. Kia langsung masuk ke dalam pelukan Sari. Tangis bahagia pecah di antara keduanya. Namun, siapa sangka jika pertemuan mengharukan antara ibu dan anak itu justru tak disukai oleh beberapa orang yang berada di sana."Sari? Kamu sudah pulang?" lirih Lian yang kemudian membuat Sari mengalihkan pandangannya ke arah sang suami.Sari yang semula berjongkok, kini melepaskan pelukannya terhadap Kia dan berjalan perlahan memasuki teras rumahnya dengan Kia yang tak lepas dari gandengannya."Kenapa terkejut seperti itu, Mas? Kamu tidak senang jika aku sembuh dan pulang ke rumah ini?"Lian terdiam, ia tak mampu menatap mata Sari yang memancarka
"Ibuuu ... Kia mau ikut Ibu!" teriak Kia dengan tangisan pilunya.Bocah itu tak bisa berbuat banyak saat ibunya kembali pergi, kali ini, ibunya juga membawa dua tas jinjing besar di tangannya. Apalagi, tubuh Kia juga tengah ditahan oleh sang ayah.Sari tak bisa membendung tangisnya. Ia juga tak ingin dipisahkan dengan anaknya. Tapi, dia tidak punya kekuatan lebih untuk mempertahankan anaknya."Cepat pergi kamu dari sini! Kamu sudah bukan bagian dari keluarga ini lagi. Jadi gembel aja, sana!"Ucapan bu Tri semakin membuat Sari merasa lemah. Memang benar, setelah ia angkat kaki dari rumah ini, ia tidak tahu harus pulang kemana. Rumah orang tuanya yang dulu sudah ia jual untuk merenovasi rumahnya dengan Lian dan juga rumah bu Tri.Tentu saja semua itu bukan semata kehendak Sari. Bu Tri yang semula memaksanya dan Lian sudah bisa ditebak akan memihak ke arah mana."Kia di sini dulu ya, Nak. Nanti, kalau Ibu sudah punya rumah yang layak, Ibu akan jemput Kia," ucap Sari di sela tangisnya. S
Si pelayan bergegas kembali ke meja kasir di mana terdapat sebuah telepon di sana. Sembari menunggu ambulan datang, bu Tri terus saja menenangkan Mila yang lama kelamaan sudah tak berteriak sekencang tadi karena kram yang perlahan mulai menghilang. Hanya saja, kini tubuh Mila jadi lemas."Lama banget, sih, ambulannya? Menanti saya keburu pingsan ini," ucap bu Tri kesal. Ia berjalan mondar-mandir di sekitar mejanya dan Mila.Tanpa ia sadar bahwa lantai yang tadi ketumpahan minuman dari pelayang belum dibersihkan. Bu Tri berteriak lantaran dirinya terpeleset dan jatuh ke arah depan. Tepat mendarat pada tubuh Mila, sehingga keduanya terjatuh dengan tubuh bu Tri yang menindih tubuh Mila."Ibuuu!"****Sandi berlari di tengah lorong panjang sebuah rumah sakit. Kini, yang menjadi tujuannya adalah ruang operasi. Dirinya begitu terkejut saat ibunya menelpon dan mengatakan jika Mila dilarikan ke rumah sakit.Saat sampai di rumah sakit dan bertanya kepada bagian informasi tentang pasien bernama
Sari turun dari mobil yang ia tumpangi bersama Damar. Seperti biasa, Sari mempersilakan Damar untuk sekadar duduk di kursi teras untuk menikmati secangkir teh buatannya."Terimakasih karena udah anterin aku hari ini ya, Mas."Damar buru-buru menelan air teh yang masih berada dalam mulutnya dan segera meletakkan cangkir teh ke atas meja."Sama-sama."Sari menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang. Ia sendiri tak tahu mengapa rasanya bisa selega ini. Tanpa sadar, Sari tersenyum sendiri membayangkan jika nanti saatnya Kia akan ikut bersamanya.Lamunan Sari buyar saat mendengar suara dering ponsel milik Damar. Buru-buru lelaki itu menjawab panggilan telepon untuknya."Ya, Bu?"Rupanya sang ibu yang menghubungi Damar. Sari tak ingin menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Ia sendiri memilih untuk mengutak-atik ponsel miliknya sendiri."Aku tanya dulu ya, Bu. Bisa jadi dia sedang lelah. Kami baru saja pulang setelah berbelanja."Sari jadi merasa bahwa Damar dan ibunya tengah membi
Wajah Hesti seketika berubah cemberut saat Lian membentaknya di depan umum. Dalam hati, Hesti semakin merasa bahwa ia harus segera membalas dendam pada Lian.Setelah membentak Hesti, Lian berlalu menuju bagian baju anak perempuan yang tadi disambangi oleh Sari dan Damar.Saat ini, Sari sudah berpindah tempat. Mungkin sedang mencari barang-barang lain yang ingin ia berikan pada putrinya.Seketika Lian menelan ludahnya kasar saat melihat harga yang tertera pada baju tersebut.Itu baju yang hampir sama dengan yang Sari ambil tadi. Lian tidak menyangka jika baju anak-anak seperti itu harganya bisa mencapai lima ratus ribu.Ia jadi teringat masa dimana Sari meminta uang pada Lian untuk membelikan baju untuk anaknya itu karena baju-baju milik Kia sudah banyak yang tak muat."Eh, buat apa uang itu, Lian?" tanya bu Tri saat Lian menyerahkan uang senilai dua ratus ribu pada Sari.Padahal, Sari sudah merasa sangat senang karena ia akan pergi ke pasar guna membelikan anaknya itu baju baru."Buat
Hari cepat sekali berganti. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Lian. Akhirnya, perceraiannya dengan Sari pun sudah sah secara hukum negara. Tuntutan Sari akan harta gono gini juga terkabul. Dalam waktu dekat, Lian harus menjual rumah itu agar hasil penjualan bisa ia bagi dengan Sari. Atau, jika Lian masih ingin mempertahankan rumah itu, Lian harus membayar separuh harga rumah pada Sari. Dan tentu saja Lian tak punya uang untuk itu.Berbeda dengan yang Sari rasakan. Selain perasaan lega karena kini statusnya sudah jelas, Sari juga merasa lebih baik karena tak ada lagi ikatan yang menyambung dirinya dan juga keluarga Lian selain Kia.Namun, Sari berjanji untuk tidak menciptakan permusuhan di antara keduanya. Bagi Sari, yang terputus darinya dan Lian hanyalah status suami dan isteri. Tapi, untuk menjadi orang tua Kia, mereka tetaplah berada di posisinya masing-masing."Udah, sih, Mas. Ikhlasin aja rumah itu. Toh, kamu bilang kalau bangun rumah itu pakai uang mbak Sari juga, kan? Berart
Sari dan Damar saling berpandangan. Merasa sia-sia kebohongan yang mereka buat untuk mengelabuhi orang tua Damar."Ibu gak lagi becanda, kan?"Ibu dari Damar itu tertawa. Sesekali menepuk pundak sang suami karena merasa lucu, sebab sudah berhasil menipu anaknya sendiri."Ya enggak, lah, Damar. Namira itu memang saudara jauh kita. Tepatnya, dari keluarga ayah kamu. Ya, kan, dari dulu kamu jarang kumpul sama keluarga dari ayah kamu. Kebetulan juga, Namira kuliahnya di luar negeri, dapat beasiswa kuliah di China."Damar hanya bisa menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Gara-gara ia yang tidak terlalu dekat dengan keluarga ayahnya, apalagi saudara jauh, ia jadi mudah ditipu."Tapi gak apa-apa ya, Pak. Kita nipu kamu juga ada hasilnya, kan? Sekarang, akhirnya kamu pulang bawa perempuan juga. Seneng Ibu rasanya, Mar.""Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian berhubungan?" Ayah Damar yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suaranya.Sari melirik ke arah Damar, seakan menyuruh
"Ya gak usah ditanya lagi, lah, Hesti. Kalau bukan pelakor, apa namanya? Wong kamu sama Lian aja udah jalan bareng sebelum mereka sah bercerai," ucap bu Rasti membuat Hesti mengeram marah. Tapi, ia tidak ingin merusak imej sebagai seorang bidan jika harus marah-marah di depan umum."Tapi gak apa-apa, sih. Secara tidak langsung, kamu sudah menyelamatkan Sari dari mertua toksis macam bu Tri. Siap-siap aja kamu nanti, kalau gak kuat, langsung lambaikan tangan aja, ya. Jangan sampai gila kaya si Sari."Ketiga ibu itu tertawa bersama-sama. Merasa diolok-olok, Hesti sudah tak kuat terus berlama-lama disana."Ini Bu bidan, kembaliannya," ucap pemilik warung seraya menyerahkan beberapa lembaran uang pada Hesti.Tak ingin berlama-lama mendengar celotehan para ibu, Hesti lantas segera menaiki motornya dan segera pulang menuju rumah."Huuu ... malu, kan, dia. Makanya buru-buru pergi, tuh!""Iya. Profesinya mulia banget, tapi kelakuan orangnya gak ada mulia-mulianya. Ya udah yuk, Ibu-ibu, kita la
Lian berkata dengan suara yang cukup keras hingga mengambil alih atensi orang-orang yang semula sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Kini, nyaris semua pasang mata tertuju padanya. Sari hanya bisa melongo melihat apa yang sudah Lian lakukan di tempat umum seperti ini.Sari bangkit, diikuti dengan Damar yang ada di belakangnya. Lian masih menatap tajam ke arah Sari dan secara bergantian menatap ke arah Damar."Mas, apa yang kamu lakukan? Malu didengar orang, Mas!" desis Sari yang jujur saja merasa sangat malu."Kamu malu karena kamu merasa sudah memiliki laki-laki lain sebelum kita resmi bercerai, kan? Kalau aku, untuk apa malu? Aku mengatakan hal yang benar."Sari hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Lian. Kedua mata Sari terasa makin lembab mengingat laki-laki di hadapannya, yang dulu pernah begitu ia damba, kini berubah menjadi laki-laki tak berperasaan."Biarin aja kenapa, sih, Lian. Bener kata kamu, tuh. Dia malu karena orang-orang jadi tahu kalau dia itu perempu
Sari tergagap. Meski sedari tadi hal itulah yang ada di dalam pikirannya. Tapi, ia benar-benar tidak menyangka jika Damar akan mengatakan hal itu."M-mas, ka-kamu becanda, kan?"Damar berdehem singkat, ia pun membetulkan posisi duduknya yang tadinya condong ke depan."Tidak, Sari. Untuk yang kedua kalinya aku meminta kamu untuk jadi kekasihku. Tapi, kali ini tolong jangan tolak aku. Aku hanya ingin meminta bantuan kamu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Maksudku, aku minta kamu untuk jadi pacar pura-puraku."Rasanya jantung Sari nyaris terlepas dari tempatnya. Akhirnya, ia bisa bernapas lega saat Damar mengutarakan niat aslinya untuk menjadikannya seorang kekasih."Maaf, Mas. Tapi, untuk apa?"Sari merasa banyak berhutang budi pada Damar. Jika memang diperlukan dan sangat mendesak, Sari mungkin bersedia menjadi pacar pura-pura Damar. Tapi, tentu saja Sari perlu tahu apa alasannya."Ibuku terus mendesak agar aku segera menikah, Sari. Kamu tahu sendiri, tahun ini usiaku sudah
Sari refleks mendorong tubuh Lian hingga laki-laki tersebut terjatuh dan beruntung, tepat di belakang Lian adalah ranjang dengan ukuran besar. Jadi, tubuhnya hanya terhempas ke atas empuknya kasur."Akh!" Sari memekik sebab bu Tri menarik tangannya dengan kasar. Tak lupa bu Tri juga mencengkeram erat pergelangan tangan Sari hingga wanita itu meringis kesakitan."Buat apa kamu masuk ke kamar ini, wanita gila?!" bentak bu Tri tepat di depan wajah Sari.Kia yang ketakutan langsung memeluk tubuh sang ayah yang kini sudah terduduk. Lian masih sesekali meringis sebab lukanya yang memang terasa nyeri."Bu, Ibu salah paham," ucap Lian mencoba memberi pengertian pada ibunya."Jadi ini pilihan kamu, Mas? Kamu mau pernikahan kita batal, iya?"Ternyata, bu Tri tak datang sendirian ke rumah Lian. Di belakangnya, ada Hesti yang kini menatap nyalang pada Lian dan Sari secara bergantian."Jangan, Hesti! Ibu yakin, ini semua pasti gara-gara wanita gila ini. Pasti Sari yang sudah menghasut Lian agar me
"Sekarang, Kia cerita sama Ibu. Tante Hesti itu jahat gimana sama Kia?" Sari ingin tahu lebih dalam tentang sifat asli Hesti di depan Kia.Mungkin, jika di depan orang dewasa, Hesti akan menjaga sikap. Tapi, di depan anak-anak, biasanya seseorang akan terlihat sifat aslinya."Tante Hesti suka marahin Kia kalau Kia pakai bajunya gak bagus. Katanya Kia kaya Ibu, kampungan. Terus, kalau lagi makan sama-sama ayah, Kia gak boleh minta makanan yang Kia suka. Pokoknya, harus nurut sama tante Hesti. Apalagi kalau gak ada ayah, Kia pernah dicubit gara-gara Kia gak mau habisin makanan Kia."Sari menghela napas berat. Ia tak pernah membayangkan Jika anaknya akan diperlakukan secara kasar oleh orang lain.Selama dalam asuhannya, Sari sebisa mungkin untuk tidak berteriak di depan anaknya. Tapi, justru orang lain yang melakukannya."Ibu, memangnya bener ya, kalau tante Hesti mau jadi ibunya Kia?"Pertanyaan yang sulit untuk Sari jawab. Setahunya, Lian dan Hesti memang sudah merencanakan pernikahan.