"Mommy!" pekik Catra yang entah sejak kapan ada di hadapan Gisa dan kakek Bram.
Catra menarik tangan Gisa dengan kencang sambil menjauhkan tubuhnya dari kakek Bram.
"Daddy!" bentak Gisa tidak enak dengan kakek Bram.
Catra menyembunyikan Gisa di belakang tubuhnya. Dadanya naik turun menahan amarah. "Mommy, masuk ke dalam!" perintah Catra dengan suara dinginnya.
"Tapi dad__"
"Masuk!" bentak Catra tanpa ingin di bantah.
"Da-dad," gagap Gisa dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Catra menatap tajam Gisa dengan telunjuk yang terangkat menunjuk ruangan di lantai atas. Dia meminta Gisa pergi ke lantai atas, tempat sang anak dan sang adik berada.
Dengan tangis yang mulai pecah', Gisa berlari dan pergi menuju lantai atas.
Catra kembali memfokuskan perhatiannya pada kakek Bram. Kakek Bram sendiri, masih duduk di tempat sebelumnya, sambil bertumpang kaki dengan kedua tangan terlipat di atas dada.
Wajah kakek bram me
Terima kasih masih bersedia menunggu updatean mommy. Maaf ya update nya telat. Terima kasih atas segala dukunga kalian... Sumbangkan GEMS kalian ❤️❤️
Dean berlari sambil memanggil nama seseorang. "Kakek Bram ... " teriakannya, dan masuk kedalam pelukan Brahmana. Catra, Kayanna dan Fazzura melebarkan matanya tidak percaya. "Kakek Bram?" tanya Catra saat mendengar nama tersebut. "Jadi, selama ini ... ??" pekik Catra tidak percaya. Brahmana berjongkok mensejajarkan tinggi badannya sambil merentangkan kedua tangannya, menyambut kehadiran sang cicit. "Baby, stop!" pekik Catra saat sang anak berlari menghampiri sang kakek. Dean menghentikan langkahnya, sambil menatap sang Daddy dengan tatapan penuh tanya. Brahmana sendiri mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu melarangnya mendekat? Dia cicit ku!" tegas Brahmana dengan sorot mata tajam yang mengintimidasi, Catra. "Sini sayang. Jangan dengarkan Daddy mu!" ucapnya sambil meraih tubuh mungil Dean untuk masuk kedalam pelukannya. Dean tersenyum bahagia dapat bertemu kembali dengan kakek Bram nya. "Sudah sejauh mana kakek me
Gisa masih duduk berjauhan dengan suaminya. Fazzura tengah mengemas barang-barang Melisa, untuk dia bawa pulang. "Kak Zurra, maaf tidak bisa membantu," tulus Gisa. Fazzura tidak menjawab. Dia hanya menatap Gisa sesaat, sambil memberikan sebuah senyum ambigu, kemudian kembali fokus, membereskan barang Melisa di bantu oleh Kayanna. Gisa masih tidak bisa mendekati Fazzura karena mual yang menderanya, saat parfum Fazzura menyeruak masuk kedalam indera penciumannya. Oleh karena itu, Gisa masih menolak untuk di dekati suaminya, karena parfum Fazzura masih menempel pada pakaian Catra. "Kakak ipar masih mual?" tanya Kayanna pada Gisa. "Ya Anna. Sudah beberapa hari belakangan ini, mual terus. Tapi hanya mencium bau parfum saja. Mungkin juga, Gisa masuk angin," jawab Gisa menyebutkan kemungkinan dari penyebab rasa mualnya. "Bukan hamil?" tanya Kayanna tiba-tiba, membuat semua orang yang ada di ruangan melebarkan matanya mendengar kata hamil.
"Mommy tidak apa-apa?" tanya Catra sambil berjongkok di hadapan Gisa, yang tengah duduk di atas bangku sebelah ruang UGD. Gisa menatap mata suaminya. Ada beribu kekhawatiran dalam mata Jamrud nya itu. Gisa mengarahkan kedua tangannya, untuk meraih wajah Catra. Gisa tersenyum, berusaha baik-baik saja. "Mommy sudah jauh lebih baik. Daddy tidak perlu khawatir," ucap Gisa menenangkan. Catra membaringkan kepalanya diatas pangkuan Gisa, dengan kedua tangan melilit pada belakang pinggangnya. "Jangan membuat Daddy khawatir lagi," lirih Catra, sambil memejamkan matanya. Bu Bertha dan Dean sendiri, Catra suruh untuk pulang ke rumahnya. Seorang bodyguard, Catra percayakan untuk mengantar mereka berdua dengan selamat sampai di kediamannya. Catra tidak mau, sang anak lama berada di lingkungan rumah sakit. Karena lingkungan rumah sakit sendiri, tidak baik bagi anak sekecil Dean. Gisa mengusap kepala Catra yang tengah berbaring di atas pangkuannya. "Dad, mal
Brahmana tengah menyambut para pelayat di depan pintu masuk. Tidak ada keluarga lain, baik dari mendiang ayah ataupun ibunya. Dia sebagai tetua merasa bertanggung jawab untuk menjadi perwakilan dari keluarga Fazzura. Brahmana beberapa kali mencuri pandang, ke arah di mana Gisa berada. Dia mengkhawatirkan kondisi Gisa, yang terlihat sedang tidak enak badan. Wajah Gisa bahkan masih terlihat pucat. Catra sendiri masih berada di lantai dua rumah Melisa. Lantai dua itu sendiri merupakan tempat dimana kamar Fazzura berada. Catra masih belum terlihat turun, setelah sebelumnya membopong tubuh Fazzura yang tiba-tiba tidak sadarkan diri tepat dihadapannya. Kayanna berjalan menghampiri Gisa, saat dilihatnya sang kakak ipar tengah melamun dihadapan peti yang berisikan jenazah sang tante. "Abang kemana?" tanya Kayanna sambil celingukan mencari keberadaan sang kakak. Kayanna sendiri, tidak mengetahui kejadian sebelumnya. Gisa diam, tidak merespon pertanyaan dari ad
"Kamu sudah menikah?!" pekik Nio terkejut. Namun, dari raut wajahnya terlukis sebuah kekecewaan. Di sisi lain, Catra tersenyum puas. Dia bangga dengan istrinya yang setiap di dekati pria lain, selalu mengingat statusnya yang sudah mempunyai seorang suami. "Ya. Gisa sudah menikah 4 bulan yang lalu." jawab Gisa. Ardenio tersenyum canggung. "Wow, selamat. Kakak kira, kamu masih sendiri," "Ardenio," Ardenio menjulurkan tangannya pada Kayanna sambil memperkenalkan dirinya. "Kayanna." jawab Kayanna menyambut uluran tangan Ardenio. "Kakak tidak memperkenalkan diri pun, Anna sudah tau," lanjut Kayanna. Catra yang melihat Kayanna bertingkah layaknya seorang ABG, lantas memutar bola matanya jengah. "Wah, apa ini sebuah pujian?" tanya Ardenio ramah. "Faktanya memang begitu, kak. Kita satu alumni, dan kakak ketua osis di sekolah Anna dulu. Siapa juga yang tidak mengenal seorang Ardenio sang kapten basket!" lanjut Kayanna membuat Gi
"ARDENIO!! BERHENTI SEKARANG!!" teriak Catra penuh amarah. Semua orang yang ada di sana mematung melihat kemarahan Catra. Beberapa orang mulai bertanya tentang apa yang membuat seorang Catra marah seperti itu. Ardenio dan Brahmana yang sudah berada jauh di depan Catra, menghentikan langkahnya sambil berbalik menatap Catra dengan kompak. Ardenio mengerenyitkan dahinya bingung. "Kenapa?" tanya Ardenio membuat Catra semakin marah dengan pertanyaan tersebut. Sementara itu, kakek Brahmana hanya menatap tajam sang cucu. "Kenapa? Apa kamu tidak lihat apa yang sedang anak muda ini lakukan?" tanya Brahmana tegas. "Ayo! Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!" ucap Brahmana sambil sedikit mendorong punggung Ardenio agar bergegas pergi dan tidak menghiraukan gertakan cucunya. Catra melebarkan matanya. Dia tidak percaya dengan apa yang di lakukan sang kakek padanya. Bagaimana bisa sang kakek membiarkan istrinya dibawa oleh pria lain? 'Apa ini
"Turunkan istri saya!! Dia istri saya!! Nirwasita Gistara Savrinadeya, adalah istri dari seorang, Catar Dewantara Ganendra!" ucap Catra kencang sambil menekankan setiap kalimat yang diucapkannya. "Apa?" pekik Ardenio tidak percaya. Begitu juga dengan orang-orang yang kebetulan ada di sana. "Kenapa? Anda tidak percaya? Apa anda perlu bukti kalau saya suaminya?" tanya Catra sinis, sambil membawa Gisa dari gendongan Ardenio. "M-maaf. Bukan itu maksud saya pak Catra." bantah Ardenio sopan. "Sebelumnya, saya minta maaf untuk kelancangan saya, karena sudah menyentuh istri, Pak Catra. Sungguh, saya tidak ada maksud lain, saya__" "Pergilah! Saya tidak membutuhkan penjelasan, anda!" perintah Catra dengan arogan, dan nada yang terdengar dingin. "Abang!" bentak Brahmana sambil berjalan mendekati Catra dan Ardenio. "Jangan bilang, kalau kamu sudah lupa bagaimana caranya berterima kasih pada orang lain!" tegas Brahmana memperingatkan cucunya.
Catra mengangkat panggilan tersebut, tanpa melihat nama si pemanggil. "Abang ... " "Bisa Abang ke rumah mama sekarang? Zurra takut ... " lirihnya sambil terisak. Catra mengerutkan dahinya. Dia membuka mata, kemudian melihat nama si pemanggil yang tertera dalam telepon genggam miliknya. "Kenapa?" tanya Catra dengan suara seraknya yang khas. "Abang bisa kesini? Zurra takut sendirian," lirihnya meminta Catra untuk datang. "Sendiri? Bukannya Anna dan Abhi ada di sana?" tanya Catra heran. "I-iya ..., tapi ... mmm ... kalau banyak orang kan lebih tenang," jawab Fazzura tergagap dengan pertanyaan Catra. "Abang tidur di rumah sakit. Gista sedang benar-benar membutuhkan Abang saat ini. Lagipula, disana kan banyak orang juga, Zurra. Disini Gista hanya berdua sama Abang," jelas Catra. "Sudahlah. Abang istirahat dulu." ucap Catra mengakhiri panggilannya. Fazzura mengumpat kesal, saat Catra menutup panggilannya begit
Saat ini sudah pukul tiga dini hari. Gisa tengah tertidur pulas, ditemani Kayanna dan Abhinav yang tidak di ijinkan pulang oleh Catra. "Anna," panggil Catra sambil sedikit menggoyangkan tubuhnya agar bangun. "Mmmmhhhh ... " gumam Anna pelan. "Bangun!" "Kenapa sih, bang?" kesal Anna yang merasa tidurnya terganggu. "Abang pulang dulu. Kalau ada apa-apa bangunkan Abhi dan langsung hubungi Abang." Kayanna mengucek matanya sambil menatap jam dinding yang ada di ruangan Gisa. "Astaga Abang ... ini pukul tiga dini hari. Kenapa tidak pulang besok saja sih?" "Abang harus pulang sekarang. Besok pagi Abang ke sini sekalian membawa Dean," "Ya sudah. Hati-hati," Anna kembali tidur, sementara Catra pergi menuju parkiran dan pulang ke rumah Gisa. Kurang dari setengah jam, Catra sampai di rumah Gisa sambil menenteng goodie bag berisikan pakaian ganti miliknya. Begitu sampai, dia pergi menuju kamar Gisa kemudian mandi dan berganti pakaian. Setelah di rasa sudah bersih, Catra bergegas pergi me
Catra memasuki ruang operasi lengkap dengan baju steril biru telor asinnya. Walaupun sebagian wajahnya tertutupi masker, namun semua orang tau kalau pria tersebut adalah ayah dari anak yang akan mereka tolong kelahirannya itu. Sesaat para petugas medis membeku, tersihir dengan ketampanan Catra. Tubuh tinggi mendulang, mata tajam dengan bola matanya yang indah. Sungguh, jauh lebih tampan dari pada yang mereka lihat di televisi ataupun surat kabar. "Mom," sapa Catra sambil mengusap dan mengecup kening Gisa. Selanjutnya Catra berdiri di samping kiri Gisa. Gisa yang tengah memejamkan mata, kemudian membuka kedua matanya, kala mendengar sapaan lembut dari sang mantan suaminya itu. Dia berusaha tersenyum, ditengah ketegangannya. "Apa mommy sudah cantik?" tanya nya pada Catra. "Selalu. Mommy selalu jadi yang tercantik," jawab Catra membuat pipi Gisa memerah karena malu. "Daddy serius! Mommy gak mau bertemu baby dengan keadaan yang berantakan!" jelas Gisa. Catra tersenyum. "Tapi Daddy
Dengan segala kepanikan yang terjadi pada semua orang, akhirnya Gisa berhasil dievakuasi menggunakan helikopter yang didatangkan langsung dari kediaman Ganendra. Gisa di bawa menuju RS tempat dokter Rumi bekerja. Sungguh beruntung saat kejadian dokter Rumi ada di sana. Semua acara yang sudah di rencanakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Acara gender reveal, gagal. Lamaran? Tentu saja gagal juga. Bahkan cin-cin lamarannya masih tertanam di dalam kue yang belum sempat di potong oleh Gisa. Ditengah kepanikan semua orang, hanya Gisa lah satu-satunya yang terlihat tenang. Dia sibuk memperbaiki riasan wajahnya, sambil sesekali menenangkan anggota keluarganya yang lain. Gisa memalingkan wajah, menatap Catra yang tengah melipat kedua tangannya. Catra tidak banyak bicara. Dari awal hanya diam, sambil sesekali memperhatikan Gisa. Ditengah diamnya tersebut, semua orang tau kalau Catra tengah diliputi kegelisahan. Catra menutup mata, sambil menghembuskan nafasnya secara kasar. Selanjutny
Acara inti dari pesta Gender reverral akan segera dimulai. Semua tamu sudah berkumpul sesuai team yang mereka pilih. Team biru berdiri di sebelah kanan, dan tim merah muda, berdiri di sebelah kiri. Semua orang terlihat begitu antusias menunggu momen mendebarkan tersebut. Tidak terkecuali dengan Catra yang terlihat cemas, dan tegang. Gisa yang menyadari kegugupan yang di rasakan oleh Catra, lantas bertanya kepadanya. "Daddy, are you oke?" tanyanya. Catra tersenyum, mencoba meredam kegugupannya. Dia mengusap pipi Gisa, "It's oke. Daddy terlalu excited menunggu momen ini," dusta Catra. Pada kenyataannya, dia gugup menunggu momen lamarannya. Dia takut semua tidak berjalan sebagaimana yang sudah Catra bayangkan sebelumnya. Perihal jenis kelamin anaknya, Catra tidak terlalu mempermasalahkannya. Mau yang lahir anak laki-laki ataupun perempuan, dia akan tetap menyambut buah hatinya itu dengan penuh suka cita. "Mom, sebentar. Daddy ke kamar mandi dulu," ijin Catra pada Gisa. Dia perlu menen
Dari lantai atas villa, Gisa turun ditemani Catra yang berjalan di sampingnya. Wajah Catra terlihat tegang, namun tak mengurangi ketampanannya. Dia mengenakan kemeja baby blue, yang bagian tangannya dia gulung sebatas sikut. Sudah tau kan, Catra masuk team mana? Berbeda dengan Catra, Gisa justru menggunakan dress berwarna baby pink. Sebuah dress cantik, bermodel tutu dress, yang panjangnya hanya sebatas lutut. Malam ini, Gisa terlihat manis sepeti seorang balerina. Dia berhasil menjadi pusat perhatian orang-orang yang datang ke pesta. Dari sudut ruangan, seseorang menatap Gisa dengan penuh kerinduan. Dari sudut matanya, beberapa air mata, menetes tanpa seizinnya. "Tos, kita satu team!" celetuk Abhi, saat Gisa sampai di lantai bawah, tempat berlangsungnya acara. Abhi menggunakan kemeja merah muda, sama seperti Gisa. Gisa tersenyum, sementara Catra mendelik sambil berdecak seperti biasanya. "Ckk ... " "Kenapa kak Abhi memilih warna merah muda?" tanya Kayanna yang datang menghampiri
Acara yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besar Ganendra, akhirnya terlaksana. Semua persiapan di lakukan dari jauh-jauh hari. Di usia ke delapan bulan kehamilannya ini, tidak banyak yang Gisa pinta. Cukup sehatkan dan lancarkan sampai saat lahirannya tiba. Namun, pada akhirnya Gisa menyetujui permintaan kakek dari mantan suaminya itu, untuk mengadakan sebuah pesta perayaan kehamilan. Kebetulan jenis kelamin dari anaknya belum di ketahui, Gisa dan Catra memutuskan untuk mengadakan gender reverral party, dengan hanya mengundang kerabat terdekatnya saja. Tujuan kakek Brahmana meminta mengadakan pesta ini, tidak lain sebagai bentuk penebusan dosanya di masa lalu. Saat mengandung Dean, Gisa mengalami banyak penderitaan. Kakek berharap, dengan diadakannya pesta ini, dapat menggantikan memori masa lalu Gisa yang menyakitkan, dengan kenangan penuh kebahagiaan dari orang-orang terdekat dalam menyambut anggota keluarga baru yang sangat dinantikan kehadirannya itu. Acara itu sendiri, diadaka
Dengan wajah menahan kesal, pada akhirnya Catra tetap mengikuti Gisa untuk masuk kedalam hotel. "Kenapa harus di hotel?" pikir Catra dalam hatinya. Tidak jauh berbeda dengan Catra, disepanjang jalan menuju tempat pertemuannya, Gisa pun memasang wajah cemberut. Dia malu dengan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan heran. Bagaimana tidak heran, Gisa mengenakan setelan olahraga dipadukan dengan Stiletto dan tas pesta yang berkilau. Setelah keduanya berjalan di tengah keheningan, akhirnya mereka sampai di tempat yang menjadi tujuan Gisa. Sebuah restoran mewah, di lantai atas hotel. Catra tersenyum kecil, mentertawakan pikiran kotornya sendiri. "Oh ... di sini," celetuk Catra membuat Gisa menatapnya dengan tatapan tajam. "Ya! Menurut Daddy," Gisa mengangkat jari kemudian menunjuk dirinya sendiri. "Apa pantas memakai pakaian seperti ini saat masuk kedalam?" tanya Gisa sinis. "Tidak masalah. Mommy datang dengan piyama pun, tidak akan ada yang berani menegur mommy," jawab Catra denga
Novera sudah berlalu beberapa langkah dari hadapan Catra yang saat ini masih mengumpat, mengutuk Novera, yang sudah menghancurkan kegiatan intim dari bos-nya itu. Novera dengan terpaksa harus kembali ke hadapan Catra, dengan konsekuensi amarah dari bos-nya itu akan meledak kembali, begitu melihat dirinya. "Apalagi sekarang?!" Seperti dugaan Novera sebelumnya, Catra menaikan nada suaranya, begitu melihat Novera kembali. "He ... he ... " Novera tersenyum kaku, sambil tangannya sedikit menggaruk leher bagian belakangnya. "Sepuluh menit lagi kita ada rapat, pak!!" ucap Novera dalam satu tarikan nafas. Dengan cepat Novera membungkuk hormat, dan bergegas pergi sebelum Catra benar-benar mengeluarkan sumpah serapahnya. Catra memejamkan mata, sambil menghembuskan nafasnya secara kasar. Mood dia hari ini benar-benar hancur. Dia sudah cukup lelah, sehingga melupakan rapat yang sudah diaturnya dari jauh-jauh hari. Sebuah tangan lembut, menepuk punggungnya dengan pelan, seakan-akan tengah menen
Sebelum membaca bab ini, harap baca ulang bab sebelumnya. ^^ *** Peletak! Catra menyentil dahi Gisa menggunakan telunjuk dan ibu jari yang dia lipat. "Gila mommy bilang?" tanya Catra. Nada bicaranya sudah lebih lembut daripada sebelumnya. Catra kemudian mengusap kepala Gisa dengan lembut. Tubuh Catra sedikit condong ke depan, menatap manik coklat milik Gisa. "Ya. Sepertinya Daddy memang gila. Daddy gila karena berpisah dengan, mommy," ucap Catra terdengar seperti sebuah gombalan. Sejak kapan seorang Catra yang terkenal dingin, sudi melontarkan gombalannya di tempat seperti ini? Entahlah. Hanya dia dan Tuhan yang tau. Gisa mengerutkan kening, melihat perubahan Catra yang tiba-tiba. "Sepertinya lift ini berhantu. Kenapa si keras kepala ini berubah lembut dalam beberapa saat saja?" batin Gisa berbicara pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak heran, beberapa waktu yang lalu, saat mereka berdua bercerai, Catra terkesan dingin dan tidak ramah dengan Gisa. Tapi saat ini, Catra kembali pad