Catra mengangkat panggilan tersebut, tanpa melihat nama si pemanggil.
"Abang ... "
"Bisa Abang ke rumah mama sekarang? Zurra takut ... " lirihnya sambil terisak.
Catra mengerutkan dahinya. Dia membuka mata, kemudian melihat nama si pemanggil yang tertera dalam telepon genggam miliknya.
"Kenapa?" tanya Catra dengan suara seraknya yang khas.
"Abang bisa kesini? Zurra takut sendirian," lirihnya meminta Catra untuk datang.
"Sendiri? Bukannya Anna dan Abhi ada di sana?" tanya Catra heran.
"I-iya ..., tapi ... mmm ... kalau banyak orang kan lebih tenang," jawab Fazzura tergagap dengan pertanyaan Catra.
"Abang tidur di rumah sakit. Gista sedang benar-benar membutuhkan Abang saat ini. Lagipula, disana kan banyak orang juga, Zurra. Disini Gista hanya berdua sama Abang," jelas Catra.
"Sudahlah. Abang istirahat dulu." ucap Catra mengakhiri panggilannya.
Fazzura mengumpat kesal, saat Catra menutup panggilannya begit
Doakan mommy sehat ya. Dia hari ini mommy demam, terima kasih masih setia mengikuti cerita ini.
Catra pandangi wajah damai sang istri. "Apa yang akan mommy lakukan, kalau mommy tau, sebenarnya Daddy ayah kandung, Dean?" bisik Catra sambil jarinya menyentuh setiap lekuk dari wajah istrinya. "Da-daddy!!" lirih Gisa sambil perlahan membuka matanya. Catra melebarkan matanya, kaget. 'Mommy gak dengar kan, apa yang baru saja daddy ucapkan?' batin Catra bertanya pada dirinya sendiri. "Da-daddy!" panggil Gisa kembali, dengan kedua tangan yang terangkat untuk menyentuh setiap bagian dari wajah suaminya. Seterusnya, mata itu turun untuk menerawang tubuh dari sang suami yang tidak memakai atasan. Catra masih bertelanjang dada. "Mommy tidak sedang bermimpi kan?" tanya Gisa tidak percaya. Tangan yang awalnya menyentuh wajah dari suaminya, kini pindah dan menyentuh setiap lekuk otot-otot padat dari dada Catra. "Ini semua tampak nyata!" ujarnya kembali. "Sssshhh ... Mom!" desah Catra yang mendapat sentuhan dari jari-jari lembut istrinya.
"Daddy ... kenapa lama sih?" gerutu Gisa yang masih menunggu kedatangan suaminya. Hari sudah semakin malam. Keadaan di rumah sakit pun, mulai sepi dengan sedikit aktivitas yang ada. Gisa mengusap lehernya, kemudian menggosokkan kedua tangannya untuk mentransfer hangat pada tubuhnya. "Ih ..., tau gini, mommy tungguin sampai selesai di dalam!" gerutu Gisa kembali. Dia kesal, suaminya tak kunjung datang. Padahal, jarak dari kamar perawatan Gisa menuju lobby, tidak terlalu jauh. Gisa mengalihkan perhatiannya, saat mendengar keributan di sampingnya. Beberapa perawat perempuan yang tengah berjaga malam, saling berbisik, bercerita dengan antusias. "Pantas di belakang ribut, ternyata tuan muda datang." ucap Gisa kesal, karena suaminya selalu menjadi pusat perhatian. Para perawat muda di buat menganga, saat Catra datang dengan rambut yang masih terlihat basah. Dia berjalan memakai celana, dengan panjang hanya sebatas paha atas. Celana pendek itu, berha
"Mom, apa restorannya masih jauh?" tanya Catra pada istrinya. Wajahnya tertekuk, kesal. Dalam seketika, mood Catra menjadi buruk, saat istrinya merengek untuk ikut ke Singapura. Tentu saja Catra tidak mengijinkan. Mana bisa dia jauh dari Gisa. Dia tidak akan tahan, tidur tanpa memeluk istrinya. Bau tubuh Gisa, sudah menjadi candu baginya. "Ckk ... " Gisa hanya menanggapi pertanyaan suaminya dengan decakan. "Hmmm ... " Catra menghembuskan nafas kasarnya. "Oke, Daddy salah. Daddy minta maaf!" ucap Catra dengan lancarnya. Kalau di pikir kembali, minta maaf untuk apa? Entahlah Catra pun tidak tahu. Sebenarnya, ini trik yang diajarkan Abhi padanya. Saat perempuan marah tanpa sebab yang jelas, pria hanya perlu meminta maaf, tanpa harus tau kesalahan apa yang dia perbuat. Seumur hidupnya, ini kali pertama Catra merendah dan meminta maaf pada seseorang. Catra bahkan meminta maaf untuk hal yang menurut Catra bukan kesalahannya. Inilah yang dina
Catra dan Gisa, pagi ini tengah berada di bandara, untuk mengantar kepergian sang anak yang akan ke Singapura. Pesawat yang ditumpangi Dean, kakek Bram dan Kayanna sudah lepas landas 30 menit yang lalu. Gisa tidak jadi ikut bersama sang anak ke Singapura, karena harus terbang ke Solo bersama suaminya, untuk melayat. Gisa ingin berterima kasih secara langsung, di depan pusara sang bodyguard yang telah menyelamatkan nyawa suaminya. Mereka akan terbang sebentar lagi. Keduanya, saat ini tengah menunggu kedatangan Abhi yang rencananya akan ikut ke Solo. Catra duduk menyandar pada bahu sofa ruang tunggu VVIP, dengan kepala sang istri yang menyandar pada bahu miliknya. Kedua tangan sang istri, memeluk perut Catra, sambil sesekali jari-jari istrinya itu, menyentuh dan mengelus perut sixpack miliknya. "Dad, apa boleh setelah pulang nanti, mommy terbang ke Singapura?" tanya Gisa pada suaminya. "Mommy tega meninggalkan Daddy sendirian di sini?" tanya Cat
Yang mengetahui status Gisa sebagai nyonya Ganendra, sekarang bertambah. Selain ketiga sahabatnya, Madava pun kini mengetahui status yang selama ini Gisa tutup-tutupi. Untungnya keadaan kantor tengah sepi, sehingga hanya Madava lah yang terkejut mengetahui fakta yang Catra ungkapkan sendiri. Saat ini, Gisa tengah berada di ruangan suaminya, setelah tadi puas berkeliling untuk melepas rindu nya, pada perusahaan yang pernah menampungnya selama tiga bulan ke belakang itu. Saat tengah berkeliling, tidak sedikit Gisa mendengar suara sumbang yang tengah membicarakannya. Ia berjalan melewati sekumpulan karyawan yang akan naik menuju lantai atas. Mereka secara terang-terangan menuduh Gisa, sebagai simpanan orang kaya. Gisa hanya pura-pura tidak mendengar apa yang mereka ucapkan. Gisa menyumpal telinganya dengan earphone, dan memutar musik dengan sangat kencang. Saat masuk ke dalam ruangan suaminya, Gisa menjatuhkan tubuh lelahnya, di atas sofa. Dia mulai memp
"Bang, Zurra tinggal di rumah Abang boleh?" tanya Fazzura membuat Gisa yang mendengarnya melebarkan mata, dengan rahang yang mengeras. 'Apa katanya tadi? Tinggal? Dia mau tinggal di rumah ini?' batin Gisa tidak habis pikir dengan yang dilakukan Fazzura. 'Apa tujuan kamu melakukan ini semua, Zurig?' tanya Gisa pada dirinya sendiri. Dia memiliki panggilan baru untuk rivalnya itu. Zurig. Ya, sepertinya panggilan itu sangat cocok untuk Fazzura yang memang seperti hantu. Bergentayangan, mencari celah untuk masuk diantara hubungan Gisa dan Catra. Catra mengerutkan keningnya. "Tinggal di sini?" tanya Catra memastikan. Fazzura hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Catra. "Dad, turun dulu," bisik Gisa tepat di telinga suaminya. Catra tidak menghiraukan keinginan istrinya untuk turun. Catra juga belum menjawab permintaan Fazzura, yang meminta ijin, untuk tinggal di rumahnya. Dia terus berjalan, menggendong tubuh ramping sang istri, sa
Gisa bergegas kembali menuju kamar pribadinya. Dia tidak ingin ketahuan suaminya, kalau dia sempat ke bawah untuk menguping. Sesaat setelah sampai di dalam kamar, Gisa menyandarkan punggungnya, di balik pintu kamar yang baru saja ia tutup. Nafas Gisa berhembus kencang, dengan rongga dada yang naik turun. Pikirannya menerawang, melihat masa depannya. "Siapa perempuan itu?" tanya Gisa. "Sepenting apa dia di hidup, Daddy?" gumam Gisa kembali. "Tidak penting dia siapa. Yang jelas, kamulah istrinya sekarang! Kamu yang berhak atas suami kamu, bukan perempuan dari masa lalunya," yakin Gisa sambil menganggukkan kepalanya. Gisa menguatkan dirinya sendiri. Dia sudah terlanjur mencintai suaminya. Dia hanya perlu menutup mata dan telinganya, agar semuanya terlihat baik-baik saja. Gisa berjalan dan naik ke atas tempat tidur. Dia memejamkan matanya, sesaat setelah mendengar suaminya membuka pintu kamar. Gisa pura-pura tertidur, agar sang suami tidak
"Sa-saya hamil???" tanya Gisa kembali. "Ayo, saya antar ibu bertemu dokter Rumi," ajak dokter Naya. Mereka berdua pergi menuju ruangan dokter Rumi. Sepanjang jalan, Gisa tidak berhenti mengembangkan senyumnya, dengan tangan yang terus bergerak memberi usapan di atas perutnya yang masih rata. Gisa bahkan membayangkan ekspresi suaminya, saat tau kalau dia tengah mengandung anaknya. Keduanya saat ini sudah sampai di depan ruangan yang akan mereka tuju. Gisa menarik nafasnya tegang, saat dokter Naya, mulai membuka pintu poli kandungan. Sudah sangat lama Gisa tidak mengunjungi dokter kandungan. Terakhir, saat lahiran Dean, hampir tiga tahun yang lalu. "Mari, Bu." ajak dokter Naya, agar Gisa masuk mengikutinya. Gisa mengerjap, dari lamunannya. "I-iya dok," jawabnya gugup. Dokter Naya hanya tersenyum menanggapi kegugupan Gisa. "Ibu gugup?" tanya dokter Naya mencoba mencairkan suasana. "Iya dok. Sudah sangat lama sejak terakhir kali me
Saat ini sudah pukul tiga dini hari. Gisa tengah tertidur pulas, ditemani Kayanna dan Abhinav yang tidak di ijinkan pulang oleh Catra. "Anna," panggil Catra sambil sedikit menggoyangkan tubuhnya agar bangun. "Mmmmhhhh ... " gumam Anna pelan. "Bangun!" "Kenapa sih, bang?" kesal Anna yang merasa tidurnya terganggu. "Abang pulang dulu. Kalau ada apa-apa bangunkan Abhi dan langsung hubungi Abang." Kayanna mengucek matanya sambil menatap jam dinding yang ada di ruangan Gisa. "Astaga Abang ... ini pukul tiga dini hari. Kenapa tidak pulang besok saja sih?" "Abang harus pulang sekarang. Besok pagi Abang ke sini sekalian membawa Dean," "Ya sudah. Hati-hati," Anna kembali tidur, sementara Catra pergi menuju parkiran dan pulang ke rumah Gisa. Kurang dari setengah jam, Catra sampai di rumah Gisa sambil menenteng goodie bag berisikan pakaian ganti miliknya. Begitu sampai, dia pergi menuju kamar Gisa kemudian mandi dan berganti pakaian. Setelah di rasa sudah bersih, Catra bergegas pergi me
Catra memasuki ruang operasi lengkap dengan baju steril biru telor asinnya. Walaupun sebagian wajahnya tertutupi masker, namun semua orang tau kalau pria tersebut adalah ayah dari anak yang akan mereka tolong kelahirannya itu. Sesaat para petugas medis membeku, tersihir dengan ketampanan Catra. Tubuh tinggi mendulang, mata tajam dengan bola matanya yang indah. Sungguh, jauh lebih tampan dari pada yang mereka lihat di televisi ataupun surat kabar. "Mom," sapa Catra sambil mengusap dan mengecup kening Gisa. Selanjutnya Catra berdiri di samping kiri Gisa. Gisa yang tengah memejamkan mata, kemudian membuka kedua matanya, kala mendengar sapaan lembut dari sang mantan suaminya itu. Dia berusaha tersenyum, ditengah ketegangannya. "Apa mommy sudah cantik?" tanya nya pada Catra. "Selalu. Mommy selalu jadi yang tercantik," jawab Catra membuat pipi Gisa memerah karena malu. "Daddy serius! Mommy gak mau bertemu baby dengan keadaan yang berantakan!" jelas Gisa. Catra tersenyum. "Tapi Daddy
Dengan segala kepanikan yang terjadi pada semua orang, akhirnya Gisa berhasil dievakuasi menggunakan helikopter yang didatangkan langsung dari kediaman Ganendra. Gisa di bawa menuju RS tempat dokter Rumi bekerja. Sungguh beruntung saat kejadian dokter Rumi ada di sana. Semua acara yang sudah di rencanakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Acara gender reveal, gagal. Lamaran? Tentu saja gagal juga. Bahkan cin-cin lamarannya masih tertanam di dalam kue yang belum sempat di potong oleh Gisa. Ditengah kepanikan semua orang, hanya Gisa lah satu-satunya yang terlihat tenang. Dia sibuk memperbaiki riasan wajahnya, sambil sesekali menenangkan anggota keluarganya yang lain. Gisa memalingkan wajah, menatap Catra yang tengah melipat kedua tangannya. Catra tidak banyak bicara. Dari awal hanya diam, sambil sesekali memperhatikan Gisa. Ditengah diamnya tersebut, semua orang tau kalau Catra tengah diliputi kegelisahan. Catra menutup mata, sambil menghembuskan nafasnya secara kasar. Selanjutny
Acara inti dari pesta Gender reverral akan segera dimulai. Semua tamu sudah berkumpul sesuai team yang mereka pilih. Team biru berdiri di sebelah kanan, dan tim merah muda, berdiri di sebelah kiri. Semua orang terlihat begitu antusias menunggu momen mendebarkan tersebut. Tidak terkecuali dengan Catra yang terlihat cemas, dan tegang. Gisa yang menyadari kegugupan yang di rasakan oleh Catra, lantas bertanya kepadanya. "Daddy, are you oke?" tanyanya. Catra tersenyum, mencoba meredam kegugupannya. Dia mengusap pipi Gisa, "It's oke. Daddy terlalu excited menunggu momen ini," dusta Catra. Pada kenyataannya, dia gugup menunggu momen lamarannya. Dia takut semua tidak berjalan sebagaimana yang sudah Catra bayangkan sebelumnya. Perihal jenis kelamin anaknya, Catra tidak terlalu mempermasalahkannya. Mau yang lahir anak laki-laki ataupun perempuan, dia akan tetap menyambut buah hatinya itu dengan penuh suka cita. "Mom, sebentar. Daddy ke kamar mandi dulu," ijin Catra pada Gisa. Dia perlu menen
Dari lantai atas villa, Gisa turun ditemani Catra yang berjalan di sampingnya. Wajah Catra terlihat tegang, namun tak mengurangi ketampanannya. Dia mengenakan kemeja baby blue, yang bagian tangannya dia gulung sebatas sikut. Sudah tau kan, Catra masuk team mana? Berbeda dengan Catra, Gisa justru menggunakan dress berwarna baby pink. Sebuah dress cantik, bermodel tutu dress, yang panjangnya hanya sebatas lutut. Malam ini, Gisa terlihat manis sepeti seorang balerina. Dia berhasil menjadi pusat perhatian orang-orang yang datang ke pesta. Dari sudut ruangan, seseorang menatap Gisa dengan penuh kerinduan. Dari sudut matanya, beberapa air mata, menetes tanpa seizinnya. "Tos, kita satu team!" celetuk Abhi, saat Gisa sampai di lantai bawah, tempat berlangsungnya acara. Abhi menggunakan kemeja merah muda, sama seperti Gisa. Gisa tersenyum, sementara Catra mendelik sambil berdecak seperti biasanya. "Ckk ... " "Kenapa kak Abhi memilih warna merah muda?" tanya Kayanna yang datang menghampiri
Acara yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besar Ganendra, akhirnya terlaksana. Semua persiapan di lakukan dari jauh-jauh hari. Di usia ke delapan bulan kehamilannya ini, tidak banyak yang Gisa pinta. Cukup sehatkan dan lancarkan sampai saat lahirannya tiba. Namun, pada akhirnya Gisa menyetujui permintaan kakek dari mantan suaminya itu, untuk mengadakan sebuah pesta perayaan kehamilan. Kebetulan jenis kelamin dari anaknya belum di ketahui, Gisa dan Catra memutuskan untuk mengadakan gender reverral party, dengan hanya mengundang kerabat terdekatnya saja. Tujuan kakek Brahmana meminta mengadakan pesta ini, tidak lain sebagai bentuk penebusan dosanya di masa lalu. Saat mengandung Dean, Gisa mengalami banyak penderitaan. Kakek berharap, dengan diadakannya pesta ini, dapat menggantikan memori masa lalu Gisa yang menyakitkan, dengan kenangan penuh kebahagiaan dari orang-orang terdekat dalam menyambut anggota keluarga baru yang sangat dinantikan kehadirannya itu. Acara itu sendiri, diadaka
Dengan wajah menahan kesal, pada akhirnya Catra tetap mengikuti Gisa untuk masuk kedalam hotel. "Kenapa harus di hotel?" pikir Catra dalam hatinya. Tidak jauh berbeda dengan Catra, disepanjang jalan menuju tempat pertemuannya, Gisa pun memasang wajah cemberut. Dia malu dengan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan heran. Bagaimana tidak heran, Gisa mengenakan setelan olahraga dipadukan dengan Stiletto dan tas pesta yang berkilau. Setelah keduanya berjalan di tengah keheningan, akhirnya mereka sampai di tempat yang menjadi tujuan Gisa. Sebuah restoran mewah, di lantai atas hotel. Catra tersenyum kecil, mentertawakan pikiran kotornya sendiri. "Oh ... di sini," celetuk Catra membuat Gisa menatapnya dengan tatapan tajam. "Ya! Menurut Daddy," Gisa mengangkat jari kemudian menunjuk dirinya sendiri. "Apa pantas memakai pakaian seperti ini saat masuk kedalam?" tanya Gisa sinis. "Tidak masalah. Mommy datang dengan piyama pun, tidak akan ada yang berani menegur mommy," jawab Catra denga
Novera sudah berlalu beberapa langkah dari hadapan Catra yang saat ini masih mengumpat, mengutuk Novera, yang sudah menghancurkan kegiatan intim dari bos-nya itu. Novera dengan terpaksa harus kembali ke hadapan Catra, dengan konsekuensi amarah dari bos-nya itu akan meledak kembali, begitu melihat dirinya. "Apalagi sekarang?!" Seperti dugaan Novera sebelumnya, Catra menaikan nada suaranya, begitu melihat Novera kembali. "He ... he ... " Novera tersenyum kaku, sambil tangannya sedikit menggaruk leher bagian belakangnya. "Sepuluh menit lagi kita ada rapat, pak!!" ucap Novera dalam satu tarikan nafas. Dengan cepat Novera membungkuk hormat, dan bergegas pergi sebelum Catra benar-benar mengeluarkan sumpah serapahnya. Catra memejamkan mata, sambil menghembuskan nafasnya secara kasar. Mood dia hari ini benar-benar hancur. Dia sudah cukup lelah, sehingga melupakan rapat yang sudah diaturnya dari jauh-jauh hari. Sebuah tangan lembut, menepuk punggungnya dengan pelan, seakan-akan tengah menen
Sebelum membaca bab ini, harap baca ulang bab sebelumnya. ^^ *** Peletak! Catra menyentil dahi Gisa menggunakan telunjuk dan ibu jari yang dia lipat. "Gila mommy bilang?" tanya Catra. Nada bicaranya sudah lebih lembut daripada sebelumnya. Catra kemudian mengusap kepala Gisa dengan lembut. Tubuh Catra sedikit condong ke depan, menatap manik coklat milik Gisa. "Ya. Sepertinya Daddy memang gila. Daddy gila karena berpisah dengan, mommy," ucap Catra terdengar seperti sebuah gombalan. Sejak kapan seorang Catra yang terkenal dingin, sudi melontarkan gombalannya di tempat seperti ini? Entahlah. Hanya dia dan Tuhan yang tau. Gisa mengerutkan kening, melihat perubahan Catra yang tiba-tiba. "Sepertinya lift ini berhantu. Kenapa si keras kepala ini berubah lembut dalam beberapa saat saja?" batin Gisa berbicara pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak heran, beberapa waktu yang lalu, saat mereka berdua bercerai, Catra terkesan dingin dan tidak ramah dengan Gisa. Tapi saat ini, Catra kembali pad