Seberapa keras pun Kaira berusaha untuk tidur, dia tetap saja sulit terlelap. Wanita itu membuka mata yang tadi dipaksanya untuk terpejam. Kali ini kembali dipaksa menghadapi kamar yang temaram dan sunyi. Disampingnya sang mama mertua sudah terlelap lebih dulu. Wanita itu memang menginap sesuai dengan permintaan Davian katanya yang ingin supaya Kaira ada yang menjaga di rumah.Mengingat lagi tentang Davian, Kaira hanya bisa menghela nafasnya dengan kasar. Sejak panggilannya yang canggung tadi bersama sang suami, dia jadi banyak pikiran. Meskipun begitu, ia tentu tidak bisa menumpahkan seluruh kekhawatirannya itu pada sang mertua. Kaira takut dianggap posesif dan berlebihan hanya karena mendengar ada suara wanita lain di dekat Davian. Tapi serius, Davian katanya kan sedang berada di site dan langsung mengikuti acara formal, wajar saja kalau dia jadi banyak bersosialisasi dan bercengkrama dengan lawan jenis. Itu bukan hal baru dan sebelumnya pun Kaira tidak pernah sampai mempermasalahk
"Kamu kenapa sih, Kai? Mama perhatiin kok dari semalam banyak bengongnya?" Celetukan Mama Tania berhasil membuat Kaira yang tadinya tenggelam dalam bayang kembali naik ke permukaan. Wanita itu mengedipkan matanya beberapa kali sebab mungkin tanpa sadar hanya berdiam diri tanpa berkedip tadinya. Posisi selang dan tanaman yang ia sirami tidak berubah. Mungkin sekitar tiga menit lebih? Kaira hanya menyiram satu pot bunga hingga airnya meluap karena tidak bisa meresap dengan cepat. Mama Tania yang tadinya berinisiatif memotongkan buah untuk sang menantu sudah menyaksikan Kaira bengong disana selama itu. Dia juga beberapa kali menyebut nama Kaira namun menantunya itu seolah tak mendengarnya. Baru setelah berhasil menyentuh pundaknya, Kaira seolah tersadar dan meresponnya.Buru-buru Kaira mengarahkan selang ke tanaman lainnya. Sembari memaksakan sebuah senyuman hanya untuk menenangkan sang mertua yang bisa jadi justru akan menguliknya sampai akar sekarang."Nggak kok, ma. Tadi lagi mikiri
Kaira menatap layar laptop dengan fokus, tangannya lincah mengetik sembari mengecek ulang jadwal dan laporan yang menumpuk di mejanya. Sejak pagi, ia sudah disibukkan dengan berbagai tugas sebagai asisten pribadi Davian, memastikan semua agenda berjalan lancar. Begitu juga delegasi tugas untuk merapikan kembali dokumen di ruangan.Namun, ada satu hal yang membuat pikirannya tidak tenang—Davian belum juga memberi kabar.Sejak siang tadi, suaminya pergi bersama Aldo untuk menghadiri rapat penting di luar kantor. Memenuhi persyaratan dari Mama Tania dan tentu juga Davian bahwa Kaira tidak boleh terlalu banyak bekerja dan juga tidak boleh sering-sering ikut dinas keluar. Makanya untuk saat ini Kaira harus puas untuk jaga kandang dan menyeleksi pekerjaan para staf dan membiarkan Aldo yang wara-wiri bersama suaminya.Awalnya, Kaira tidak terlalu khawatir. Namun, seiring waktu berlalu hingga sore menjelang, Davian belum juga kembali. Berkali-kali ia menghubungi ponselnya, tapi hanya nada sam
"Mas Davian kenapa?"Ketika Dokter Raina keluar, Kaira berusaha keras menata perasaannya. Mengesampingkan seluruh ego dan kecurigaannya sebab yang terpenting saat ini baginya adalah keadaan Davian.Davian menatapnya lama, seolah ada banyak yang ingin dia sampaikan namun semuanya tertahan di ujung lidah. Pada akhirnya, dia hanya bisa menjawab seadanya. "Enggak apa-apa, Kai. Cuma diminta untuk istirahat saja," ujarnya dengan seberkas senyum yang kelihatan dipaksakan.Lama Kaira terdiam sampai akhirnya dia menghela nafas pelan, "Bagaimana tadi kejadiannya? Apa benar seperti yang Dokter Raina katakan?"Davian melihat dan mendengar bagaimana istrinya itu menatapnya datar. Seolah tak ada apapun yang terjadi diantara mereka. Dia bahkan tidak keberatan menyebut kembali nama Raina."Tadi seusai rapat, tiba-tiba saja kepalaku pusing. Sebenarnya perut juga sudah tidak enak sejak pagi. Saat keluar ruangan, tiba-tiba saja aku muntah dan ya seluruhnya gelap."Kaira menghela nafas untuk kesekian ka
"Kamu benar-benar dengan bangga menyebut diri sebagai seorang istri saat bahkan kamu sendiri tidak tahu kesulitan yang Davi tengah hadapi?"Kaira menutup matanya sembari menahan sesak di dada yang terus memenuhinya. Wanita itu duduk di kursi panjang rumah sakit sendirian—memikirkan kembali keganjilan belakangan ini yang tak pernah dia anggap sebagai pertanda apapun. Tapi sentilan sinis dari Raina membuatnya merasa rendah diri. Apa dia benar-benar se-egois itu dan begitu cuek terhadap suaminya sendiri hingga bahkan tidak mengetahui bahwa Davian belakangan ini memang berada dalam kondisi tubuh kurang baik?"Bu Kaira.."Kaira melirik suara yang tiba-tiba menyapanya. Menatap lelaki tinggi dihadapannya yang hadir dengan kedua tangan bertautan dan raut bersalah."Saya minta maaf karena tidak bisa menemani Pak Davian tadi," ucapnya sembari menunduk.Kaira menghela nafas, ini juga bukan salah Aldo sama sekali. "Pak Aldo... Bagaimana kondisi ibu anda?"Aldo tersenyum tipis, "Syukurnya kondisi
Percakapan dengan Aldo terus berputar di kepalanya. Kaira yakin selama ini dia tidak melakukan sesuatu yang menyalahi aturan, tapi mengapa kemudian dia harus menghadapi segala macam kebetulan di dunia yang luasnya tak terhingga namun ternyata seolah sangat sempit ini?Dokter Raina adalah putri sulung mantan bosnya—putri dari Hanan Suditra?Jadi, dialah putri hilang yang sempat dia dengar desas-desusnya karena berselisih dengan ayahnya itu? Alasannya adalah ini? Karena rasa bersalahnya pada Davian?Mengapa semuanya jadi bertumpukan seperti ini? Itukah yang membuat Hanan Suditra memandangnya remeh sebelumnya? Karena mungkin dia pikir Kaira tidak akan pernah sebanding dengan putrinya untuk mendampingi Davian?"Bu Kaira, anda baik-baik saja?"Lamunannya terketuk, Kaira dengan cepat kembali pada dunia nyata—berada di ruang rawat bersama dengan Davian dan juga dokter yang tengah menjelaskan beberapa hal sebelum memperbolehkan Davian untuk beristirahat di rumah.Kaira melirik dokter dan suam
Davian akhirnya kembali ke rumah setelah seluruh urusannya di rumah sakit selesai. Tubuhnya masih lemah, tetapi jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Begitu memasuki rumah, Kaira sigap membantunya duduk di sofa sebelum membawa bantal tambahan agar suaminya lebih nyaman."Pak Aldo, mau minum sesuatu? Teh ataupun soft drink?" Tanya Kaira pada Aldo yang sudah setia membantunya dan mengantar mereka pulang ke rumah dengan selamat.Aldo melirik Davian, memahami makna tatapan Davian dan tersenyum tipis berusah atak terlalu kentara. "Terima kasih, tapi tidak perlu repot, bu. Saya izin untuk langsung pulang ke rumah sekarang," ujarnya menolak halus tawaran Kaira.Tak membiarkan Kaira membujuk atau melakukan percakapan tambahan, Davian menambahkan narasi yang mungkin bisa membantu. "Benar, orang rumah pasti lebih tenang jika kamu berada disana. Terima kasih atas bantuannya ya, Do! Salam buat tante dan semoga lekas sembuh," ujar Davian pada Aldo yang pada akhirnya juga disetujui oleh Kaira. "Ah
Suara-suara aneh tiba-tiba saja terdengar berisik dan mengganggu pendengaran. Belum lagi guncangan kecil yang menyebabkan pergerakan pada tempatnya berada cukup mengusiknya. Kaira yang masih diliputi setengah rasa kantuk terpaksa membuka matanya untuk menemukan sumber gangguan.Matanya terbelalak, saat ini dia menghadap samping. Tepat menyaksikan bagaimana seorang wanita menduduki atau bahkan bisa dikatakan tengah menunggangi suaminya—tepat disampingnya. Pemandangan gila yang membuat Kaira berdebar sakit menyaksikannya. Lenguhan dan kesibukan dari sepasang insan gila disebelahnya cukup membuat Kaira tak bisa menahan air mata dan juga amarah. Namun tetap saja, Kaira tak bisa menggerakkan tubuhnya atau bahkan sekadar mengeluarkan suaranya. Ia kaku dan bisu. Ingin berteriak namun seolah tak bisa keluar apapun.Ketika pasangan gila itu menatap kearahnya, mereka tersenyum, dan itu jelas membuat Kaira semakin diliputi kemarahan. Bagaimana bisa suaminya dan Raina melakukan ini disana?Mata
Langit sore tampak cerah, seolah turut merayakan momen spesial di perhelatan sederhana namun meriah keluarga bahagia tersebut. Siapapun bisa dengan mudah melihat dan merasakan binar yang terpancar, terutama dari Kaira dan Davian.Ketika mereka menikah sekitar dua tahun lalu, mungkin tak pernah sepasang insan itu sangka bahwa mereka akan ada di titik seperti sekarang ini. Tersenyum bahagia dengan mata penuh cinta. Pernikahan yang awalnya digagas penuh intrik oleh adik Davian sekaligus juga mantan Kaira—Alvero. Pernikahan yang awalnya dilaksanakan dengan prinsip hanya untuk sekadar "menikah". Pernikahan yang mungkin tidak didasari cinta tapi tetap dengan komitmen bahwa menikah hanya sekali seumur hidup. Kalau bukan karena kekuatan mereka berdua yang menjalani didalamnya, tentu semua tidak akan seperti ini, kan?Hari ini adalah ulang tahun pertama Arsandi Rajendra—putra kecil mereka yang telah membawa begitu banyak kebahagiaan dalam keluarga. Ruang tamu dan halaman belakang rumah didekora
Mobil yang dikendarai Davian melaju dengan kecepatan stabil, membawa mereka pulang dengan anggota keluarga baru yang mungil dan berharga. Di kursi belakang, Kaira duduk dengan hati-hati, memastikan bayi mereka tetap nyaman dalam gendongannya. Sesekali, ia menatap wajah mungil itu dengan mata berbinar, seolah masih sulit percaya bahwa mereka akhirnya bisa membawa pulang buah hati mereka setelah seminggu di NICU.Kaira sudah diperbolehkan pulang lebih dulu sekitar tiga hari lalu. Selama itu juga dia bolak-balik rumah sakit untuk menengok putranya sekaligus memberikan ASI. Setelah perjuangan tersebut, akhirnya pagi ini bayi mereka diperbolehkan untuk dibawa pulang. Berat dan kadar bilirubinnya dikatakan sudah normal sehingga kondisinya sudah memungkinkan untuk pulang ke rumah."Dia tidur nyenyak sekali," bisik Kaira, menatap wajah bayi mereka yang tenang dalam balutan selimut lembut.Davian melirik melalui kaca spion tengah, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. "Akhirnya kita pulang be
Teruntuk Kaira—Kakak Iparku.Ketika kamu membaca ini, aku mungkin sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja atau bahkan sudah tak bernafas di lingkup yang sama denganmu. Aku nggak berharap kamu membaca ini pada akhirnya, tapi sebagai manusia aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya atau bagaimana Tuhan menggagalkan aneka rancangan rencanaku. Aku pasrah.Tapi satu yang pasti. Ketika kamu membaca surat ini, aku yakin kamu sudah berbahagia dengan laki-laki yang kamu cintai dan bisa mencintai kamu sama atau bahkan lebih besar. Dan itu..tentu saja kakak kebangganku—Davian Rajendra. Aku nggak bohong saat mengatakan bahwa Davian adalah lelaki terbaik yang bisa menemani kamu. Begitupula untuk Davian, aku yakin kamu adalah pilihan terbaik untuknya. Aku sangat mengenal bagaimana kalian berdua. Itulah mengapa aku berjuang menjodohkan kalian dan syukurnya aku berhasil, kan? Lihat bagaimana Davian menatapmu penuh dengan cinta. Juga kamu yang selalu tanpa sadar tersenyum bahag
Lorong ruang tunggu ICU terasa amat sangat dingin. Kaira masih duduk di kursi roda, berdampingan dengan Cindy yang duduk di kursi ruang tunggu sembari memandang kosong tembok yang ada dihadapannya. Suasana terasa lebih sunyi dan mencekam setelah Kaira pada akhirnya mengetahui fakta baru. Alvero kritis karena kanker?"Maaf, aku dan Alvero belum bisa menepati janji kami untuk menemani persalinanmu," buka Cindy setelah lama menutup mulutnya. Bahkan ketika Davian menitipkan Kaira padanya untuk membiarkan mereka bicara, Cindy baru bersuara selang tiga menit lamanya.Dalam selang waktu tersebut juga Kaira tidak bersuara sama sekali. Dia hanya mendengar sedikit dari Davian, selebihnya Davian bilang Kaira harus mendengarnya dari Cindy langsung. Tapi jujur saja, apa yang bisa Kaira tampilkan selain keterkejutan yang mendalam? Kaira bergeming, wajahnya terlalu datar dan tidak memberikan jawaban apapun pada Cindy. Kali ini dia hanya akan fokus mendengarkan. "Aku...aku nggak tahu harus mulai da
Kaira menggenggam erat tangan Davian saat mereka berdiri di depan ruang NICU. Hatinya bergetar melihat bayi mungil mereka yang terbaring di dalam inkubator, tubuhnya yang kecil masih dipenuhi selang dan monitor yang berbunyi lembut. Meski dokter sudah menjelaskan bahwa putra mereka harus mendapat perawatan intensif karena lahir prematur di usia kandungan 34 minggu, tetap saja sulit bagi Kaira untuk menahan air matanya.Davian melingkarkan lengannya di bahu sang istri, menguatkannya. "Dia kuat, Sayang. Lihat, dia bahkan sudah mulai menggenggam jari perawat tadi." Suaranya lembut, namun ada kebanggaan dan kasih sayang yang begitu dalam di matanya.Mata Kaira terus memandangi buah hati mereka, dadanya sesak oleh campuran emosi. "Dia masih begitu kecil..." bisiknya, suaranya nyaris patah. "Aku ingin memeluknya, Mas. Aku ingin menghangatkannya di dekapanku."Davian menenangkan dengan mengusap punggung istrinya. "Sebentar lagi, Sayang. Dokter bilang kondisinya sudah terus membaik. Dia hanya
Kaira membuka matanya perlahan, cahaya lampu kamar rumah sakit terasa sedikit menyilaukan setelah ia tak sadarkan diri entah berapa lama. Ada rasa lelah yang masih melekat di sekujur tubuhnya, tapi itu semua langsung tergantikan oleh kehangatan yang menjalar di hatinya saat melihat sosok suaminya, Davian, duduk di samping ranjangnya. Pria itu tampak begitu lelah, lingkaran hitam menghiasi bawah matanya, tetapi senyum lega yang menghiasi wajahnya saat melihat Kaira sadar membuatnya terlihat lebih lembut dari biasanya. "Kaira..." Suaranya terdengar serak, seperti seseorang yang hampir tak berani berharap. Kaira mengerjap pelan, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Bibirnya merekah dalam senyum kecil. "Hei..." Seolah tak mampu menahan diri lebih lama, Davian langsung menggenggam tangannya, mengecupnya lembut. "Kamu baik-baik saja?" Kaira mengangguk, meski tubuhnya masih terasa lemah. "Bayinya?" "Dia masih harus berada di ruang NICU, tapi tidak akan lama lagi dia bisa berkumpul bersama
Dokter telah menjelaskan semuanya—Kaira mengalami placenta previa, kondisi di mana plasenta menutupi jalan lahir, menyebabkan pendarahan hebat dan berisiko bagi ibu dan bayi. Tidak ada pilihan lain selain operasi caesar darurat.Sejujurnya Davian tidak sepenuhnya kaget akan terjadinya Placenta Previa. Memang di beberapa pemeriksaan, indikasi sebab plasenta tidak bergerak naik dengan posisi janin juga menjadi kekhawatiran mereka. Kaira pun sempat stres, namun Davian menjadi suami yang berupaya untuk menjaga pikiran sang istri. Mengafirmasi bahwa mereka akan baik-baik saja. Tapi tetap saja, ketika ini sudah di depan mata, Davian tidak bisa tidak ikut panik. Melihat raut dan suara istrinya yang tengah kesakitan sudah jelas membuatnya kalut. Tak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain memanjatkan doa berkali-kali dan berharap bahwa baik istri dan anaknya akan keluar dari ruang operasi dengan kondisi yang baik. Belum lagi, Alvero yang tadi secara tiba-tiba tidak sadarkan diri membuat p
Apa yang lebih membahagiakan dari berkumpulnya seluruh keluarga dengan penuh riuh canda tawa? Tania Rajendra, di usianya yang jelas tak muda lagi, satu-satunya yang paling dia inginkan adalah menemani dan menyaksikan anak-anaknya dengan kebahagiaan mereka. Putra-putranya yang sudah menghadapi asam garam kehidupan bersamanya meskipun mereka terlahir dari keluarga berada. Saling menguatkan ketika dihantam cobaan saat harus merelakan suami dan ayah tercinta berpulang lebih dulu. Berjuang dengan keras untuk mempertahankan semua yang mereka miliki atas nama keluarga Rajendra. Sekarang, melihat bagaimana Davian dan Alvero tersenyum cerah sembari tertawa dalam suasana hangat yang melingkupi, membuatnya merasa sangat bahagia.Malam itu, suasana rumah keluarga Rajendra dipenuhi gelak tawa dan kehangatan. Setelah sekian lama, akhirnya mereka kembali berkumpul lengkap. Mama Tania Rajendra jelas tampak begitu bahagia melihat anak-anaknya duduk mengelilingi meja makan, menikmati hidangan yang te
Kata orang, kalau sedang berbahagia, maka waktu jadi terasa berlalu begitu cepat. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh pasangan yang tengah menanti kehadiran buah hati mereka—Davian dan Kaira. Sepasang insan yang tak sabar menunggu peran baru keduanya. Menginjak bulan kedelapan usia kehamilan, Kaira pada akhirnya diminta untuk rehat di rumah. Kaira menurut saja. Lagipula, dia masih bisa melakukan banyak aktivitas di rumah seperti menulis dan bahkan turut menghandle pekerjaan kantor secara remote. Kaira tidak akan bosan sebab Davian benar-benar menyediakan semua yang dia perlukan. Dia bahkan mengganti tv lama mereka dengan layar yang lebih besar hanya untuk membuat aktivitas menonton Kaira jadi lebih nyaman. Rumah mereka semakin dipenuhi kehangatan. Setiap sudutnya terasa lebih hidup dengan keberadaan Kaira yang kini tengah mengandung buah hati mereka. Davian, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan, semakin sering menyempatkan diri untuk pulang lebih awal, hanya untuk menemani istriny