"Udah, lah pusing. Aku mau ke kamar lagi.""Ekhem.." Ditengah percakapan itu, datanglah mama Neira ia masuk ke rumah tanpa sengaja. Lalu, beliau mengambil bobol yang sudah diisi air mineral. Sembari melempar senyum ke arah mereka, beliu putar badan dan kembali ke luar rumah. Entah, kemana perginya beliau. Sudah pasti berkumpul bersama geng ibu-ibu di komplek atau jalan-jalan ke suatu tempat. Pasalnya, mama Neira itu tampil dengan pakaian modis dengan air putih yang tak pernah ditinggal. Ervin dan Neira hampir lupa dengan bahasan tadi. Hingga akhirnya, mereka memilih diam tanpa kata sambil menikmati kerupuk jangung yang renyah. Saat tangan mereka secara bersamaan bersentuhan berebut keripik, Neira merengek. "Aah, aku yang duluan kan? Kamu ngalah, deh!""Hmm.. iya, iya. Oh, tadi kita bahas sampai mana ya?""Mana aku tahu?!" Neira mengelak dan mengambil toples itu."Oh, iya perihal sidang isbat itu aku masih ragu sama kamu." Ervin berusaha kembali menjelaskan kata-kata yang sama.
"Jawab dulu, Nei!" Ervin menarik tangan Neira yang beursaha mengejar teman-temannya untuk ikut pulang lebih dulu. " Ya, semoga Allah rida. Aku harap pernikahan kita memang bukan pernikahan main-main" ucap Neira sambil tertunduk dan kembali duduk di kursi."Iya, semoga." Ervin melepas genggamannya dan menoleh ke kiri. Kini, mereka berdua berusaha saling menatap satu sama lain. Obrolan tentang sidang isbat nikah masih berlanjut. Neira menguatkan argumennya dan tetap berpegang teguh pada jadwal sidang tersebut. Tangannya dengan lincah memencet tombol hijau di ponsel. Ia mencoba hubungi pamannya yang sempat menjadi saksi saat pelaksanaan menikah siri. Ervin yang melihatnya hanya bisa memegang kepala sambil geleng-geleng. Melihat Neira yang sedang sibuk telponan, ia juga dengan berat hati membuka ponsel. Lalu, mengirimkan pesan kepada pamannya juga untuk datang ke Jakarta."Udah telponannya? Ribet kan?""Namanya juga usaha, Vin. Semua ibadah pasti ada ujiannya. Santai aja, bi
"Insyaa allaah, bu. Pasti aku dan Mas Antony akan berusaha semaksimal mungkin. Mohon doanya saja ya, bu!" Aurora mendorong mangkuknya secara perlahan. Ia tak nafsu lagi menghabiskan sisa kuah mi. Sementara itu, Bu Firah langsung menunduk dan menghabiskan air di gelasnya. Mereka diam seribu bahasa selama beberapa saat. Lalu, bu Firah membalas pernyataan Autrora tadi dengan satu kata. Yaitu, Aamiin. Saat kuburan Nakula masih basah sekaligus hati Aurora masih ditikam rasa kehilangan, semua mata tertuju pada status Aurora sebagai istri. Rasa sakit itu justru tak bisa membuatnya pulih. Hati Aurora kembali menggerutu karena kecewa. "Kenapa harus aku yang dituntut sempurna? Ya Allah, lapangkan hati ini untuk menerima takdir yang menyayat hati ini." Kemudian, Bu Firah bangun dari tempat duduknya dan langsung pergi ke kamar. Sementara itu, Aurora mengambil mangkuk dan gelas untuk ia cuci. Tanpa perlu ditumpuk, ia langsung mencucinya sembari mengahalau segala rasa tak enak yang
"Tentu, karena pernikahan kami ingin diakui oleh negara. Mengingat ada banyak keuntungan bagi istri atau pun anak kelak jika pernikahan kami sudah resmi.""Lantas, kenapa kamu memilih nikah siri? Kan kalian bisa melangsungkan pernikahan sederhana di KUA terdekat?""Begini, izinkan saya yang menjawab." Neira mengambil alih mikropon. Saat itu Neira bicara panjang lebar. Tangannya menjelaskan dengan rinci kejadian mereka telat akadl. Padahal, tamu dan acara resepsi dirayakan cukup meriah. Sementara itu, Ervin yang ada di dunia nyata hanya bisa tersenyum. Ia duduk dan medekat ke araah kasur. Sesekali tangannya ia arahkan ke rambut Neira dan membelainya. "Aku tahu, kesungguhan cintamu nyata. Sabar, ya!" ucap Ervin. Meskia ia elus, Neira tak sadar sama sekali. Di sana, ia justru memilih untuk ubah posisi tidur dengan membelakangi Ervin. Lalu, ia melanjutkan serangkaian pertanyaan sidang isbat nikah yang cukup serius. Ervin tak tega membangunkan istrinya. Ia mengambil pons
"Kayanya masih dinas di luar, bu. Semalam udah telpon soalnya.""Oh, kirain udah pulang. Soalnya udah kirim gaji ke rekening ibu." Bu Firah dengan sengaja masuk ke kamar Aurora. Ia duduk di kasur dan menatap ke area sekitar. Rupanya, ia mendapati sang menantu sedang beres-beres berkas. Tak sampai di sana, beliau menoleh ke arah jendel untuk mengecek kebersihan kamar lebih dalam. Tangannya menyentuh kaca dan didapati masih kotor dengan debu. "Pantas aja Nakula mudah sakit. Jendela saja masih berdebu. Coba bersihkan juga area ini, ra.""Oh, iya bu? Biasanya aku suka bersihin dan kebetulan saja ini beres-beresnya juga belum selesai.""Hmm.." Beliau terus saja mengelilingi area kamar. Kemudian, beliau keluar dan bergegas pergi menuju dapur untuk memasaak. Sementara itu, hati Aurora bergusar. Ia ingin sekali jalan-jalan keluar untuk jajan atau sekadar cari angin. Sayang, jatah uang bulanan sudah habis. Ia ingin sekali menghampiri Bu Firah untuk mengajaknya jalan. Menging
"Kok gak dibalas, ra?""Udah, kok!""Emang siapa yang chat?""Hmm.. Tumben kepo?" Setelah ditanya oleh Neira, lagi-lagi Ervin mengelak dan alihkan pembicaraan. Sambil menggarukkan kepala, ia mengajak Neira untuk jalan-jalan keluar bersama Pak Adam. Dengan wajah tersipun malu, mereka tersenyum dan mengiyakan ajakan Pak Adam kepada mereka. Kebetulan sekali Ervin mengajak, ada beliau yang juga mengajak mereka dengan resmi. Namun tidak langsung berangkat, Ervin mempersilahkan atasannya itu untuk berangkat lebih awal. Mereka berdua akan mengikutinya dari belakang. Sambil berjalan, Ervin dan Neira berusaha cairkan suasana."Nei tahu gak?""Apa?""Lihat, Pak Adam sama istri pertamanya romantis bukan?" Ervin menunjuk ke arah beliau yang memegang erat tangan seorang wanita sambil sesekali mengelus rambutnya."Iya juga, Vin. So sweet, ya!""Ekhem, kalau ditarik benang merah ke belakang katanya Pak Adam dan istrinya juga terjebak perjodohan seperti kita. Sayangnya, saat cinta mereka tumbuh sa
"Emang kenapa, bu? Ibu lagi disini juga?" "Iya, ton. Lain kali jangan keseringan main ke mall daerah Jakarta. Kalau mau pacaran, di liuar kota aja biar gak ketahuan Aurora." Bu Firah mencurahkan segala wejangan untuk anak kesayangannya, Antony. Meski memang salah, Bu Firah tetap saja membela. Tak sampai di sana beliau memberi wejangan, Bu Firah juga menanyakan alasan anaknya itu mendua di belakang Aurora. Sambil menyeruput segelas jus jeruk di meja, Bu Firah dengan lincah mengirimkan pesan kepada Antony. Tak lama, pesan itu ternyata langsung dibalas. Selama Aurora menikmati ramen, mertuanya hanya fokus pada ponsel. Ramen yang ada di meja sama sekali tak beliau sentuh. Tak ingin mengganggu, Aurora juga membuka ponsel dan menghiraukan Bu Firah. "Itu sama sekretaris kamu kan, ton?""Iya, bu. Hehe.""Kenapa kamu kaya gitu, Ton? Bukannya kerja malah pacaran. Gak ingat sama Aurora?""Bosan bu kalau lihat dia terus. Apalagi sekarang Aurora sudah berubah. Semenjak Nakula pergi
"Kamu ngapain di sini, ra?" tanya Ervin dengan gugup. Ia tak menjawab pertanyaan Aurora sama sekali. "Aku baru saja sidang cerai. Kamu ngapain di sini?""Hmm.. aku juga sama" Percakapan itu terdengar oleh Neira yang ada di dunia nyata. Sambil mendengarkan percakapan Ervin dengan wanita yang tak ia kenal, dirinya dengan santai memasak air. Lalu, dituangkan ke dalam gelas dan dicampurkan bersama teh serta 1 sendok teh gula pasir. Setelah segelas teh itu jadi, Neira membawanya ke kursi. Ia menonton suaminya sedang mimimpi indah. Sesekali Ervin tersenyum manis dengan setelah menyapa wanita yang ia sebut Aurora. Melihat pemandangan itu rasanya sakit sekali bagi Neira. Meskipun hanya mimpi, dirinya berspekulasi bahwa ha itu sesuai dengan kenyataan. "Kenapa kamu mimpinya sidang cerai, Vin? Bukan sidang isbat nikah?""Terus, siapa itu Aurora?" Neira bertanya-tanya sambil sesekali berdirir dan mondar-mandir. Ia masih setia menunggu suaminya bangun tanpa perlu ia bangunkan.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh