"Ngapain mas Antony nelpon?" Aurora bertanya-tanya. Ia hanya menatap panggilan masuk itu sampai selesai. Sayang, tak sampai berhenti panggilan itu terus saja masuk. Aurora merasa risih dibuatnya. Ia memilih diam dan membiarkan panggilan yan masuk berkali-kali. Sesekali ia tatap untuk mengecek pesan salah kirim yang masuk. Nyatanya, pesan itu dihapus sepihak oleh Antony. Beruntung, ia bisa bernafas dengan lega. Bukti pesan tadi sudah ia foto dan simpan di arsip. Tak sampai di sana, Aurora bergegas ambil buku harian di laci. Dirinya membuka lembaran buku catatan yang sudah usang. Catatan lamanya hanya berisi seputar rona bahagia pada saat pernikahan dengan suaminya. Sayang, kali ini ia kembali menulis tapi dalam bentuk kekecewaan. Dimulai dari penulisan tempat, dan tanggal di ujung kanan atas kertas. Lalu, ia jabarkan secara rinci bukti yang menyayat hati. Ia menyeka air mata dan berusah kuat merangkai kata sebagai bukti nyata. Cinta itu kadang ada bumbu tangis yang mu
"Hmm, boleh juga. Saya terima tawarannya. Semoga setelah bergabung, girl band ini semakin sukes!" ujar Antony. "Serius, pak?!" Rupanya Antony dengan mudahnya menerima mereka untuk bergabung di agecy ini. Selanjutnya, ia meminta sekretarisnya untuk mengeprint berkas persetujuan yang akan langsung mereka berdua tanda tangani. Wanita yang mengenakan pakaian semi formal itu mengangguk. Lalu, berjalan menuju meja kerjanya. Ikuti perintah Antony dengan menggerakkan jari-jarinya di keyboard. Sesekali ia mendengar obrolan Antony yang terdengar so asyik. Tapi memang benar, obrolannya terasa hangat. Hal itu membuat salah satu leader terpukau. Mereka sesekai curi pandang dan digoda oleh anggota lain. "Kayanya kita bakalan betah deh kalau gabung di agency ini.""Jelas, harus dong!""Oh, iya untuk keperluan administasi lanjutan, kamu bisa share nomor teleponmu?" Baru saja sang leader akan mengambil ponsel Antony, sekretarisnya datang. Ia memberikan berkas untuk mereka tandatangani
"Aduh, kok dia pulangnya cepet? Tumben banget!" gumam Aurora sambil menutup tirai karena sudah di penghujung magrib. Lalu, ia bergegaske dapur untuk memasak beberapa lauk favorit Antony. Tepat saat ia selesai memasak sambal petai, terdengar suara bel di pintu berdering. Bu Firah menyuruh Aurora untuk segera membukanya. Tanpa penolakan, Aurora berjalan ke arah pintu dan langsung membuka pintu. Ya, senyum merekah hiasi wajah Aurora. Ia terlihat sumringah menyambut kedatangan suami yang sudah lama tak ia temui. Perlahan Aurora mendekat dan menawar pelukan. Sayangnya, pelukan itu ditolak. Antony melepasnya langsung dan menutup hidung. "Kamu bau bawang banget, sih! Emang belum mandi ya?""Aku sudah mandi, mas. Cuman barusan aku masak samba petai kesukaan kamu.""Ya ampun, ngapain sih masak sambal kampung kaya gitu? Jangan bilang ditambah ikan asin, sekarang kita tinggal di kota. Kamu mau suamimu ini hipertensi?! Hah. Suami datang bukannya disambut cantik malah bau dapur gak jelas!
"Gak kok, bu. Aman!" Saut Neira yang tiba-tiba datang mendekat. Entah, sejak kapan dia ada di samping ibunya. Kini, Neira kembali seperti semula. Meski begitu, wajahnya tampak lemas. Ibunya menyuruh Neira untuk segera mengisi perut. Mertua ervin itu duduk di ujung meja makan seorang diri. Sedangkan Ervin, berada di dekat beliau namun tak saling menghadap karena beda posisi. Perlahan, ia mendekat ke arah meja Neira, sayangnya ia justru ditolak mentah-mentah. Neira pindah tempat duduk melewati 3 kursi di sampingnya. Tangan kanannya mendorong ke arah Ervin memberi sinyal untuk jangan mendekat. Meski begitu, ibunya tak pedulikan tingkah mereka. Dalam benaknya, ia hanya tak ingin anaknya hamil sebelum resmi jadi istri Ervin secara negara. "Awas aja ya, Vin. Kalau ngebobol anak gue sebelum resmi secara negara.""Hmm.. tapi kalau memang kebobolan gimana ya? Ah, harus dipaksa sidang pokoknya!"Isi kepala ibu Neira terus saja berputar sambil sesekali menatap ke arah mereka. Per
"Ibu mau ikut juga?" tanya Aurora"Yaiyalah..""Maaf ya, bu. Kirain ibu udah tidur. Ibu gapapa keluar malam?""Ibu masih kuat, kok!" Bu Firah memaksakan diri dan langsung mengambil hijab yang ada di kursi. Lalu, ikut berjalan bersama anak dan menantunya untuk naik mobil. Sesampainya di depan mobil, Aurora membukakan pintu belakang untuk beliau. Bukannya diterima dengan senyum, Bu Firah justru memasang wajah ketus. Bahkan ketika baru saja Antony menyalakan mobil, celetukan Bu Firah keluar tanpa jeda. "Antony itu pinter, lho ra. Dalam beberapa bulan dia bisa adaptasi kerja di perusahaan sebesar itu.""Iya, alhamdulillaah. Saya juga bangga bu.""Makanya, kamu juga harusnya bisa imbangi Antony. Masa mau jalan ke mall aja kucel gitu?""Ekhem!" Antony menyela mereka. Beberapa kalimat pujian untuk Antony terus saja terdengar. Lagu yang diputar dlam mobil pun kalah oleh seruan memuji Antony. Ditengah-tengah percakapan, Bu Firah meminta Aurora untuk tukar posisi duduk. Ia ingin
"Ngapain chat segala, sih?" gumam Antony yang kesal. Ia membuka ponsel tersebut tanpa diketahui Aurora. Istrinya itu justru melepas genggamannya dan beralih memegang tangan Bu Firah. Sayang, pesan itu memang hanya dibaca tanpa membalasnya. Ia mencari genggaman tangan Aurora. Kini, kedua tangan Aurora dipegang sekaligus oleh suami dan mertuanya. Ia tersenyum tipis dan sesekali menatap ke arah mereka. Ada hal lucu yang menghiasi suasana menonton. Tangis Bu Firah terdengar cukup kencang karena menghayati jalannya cerita. Sontak membuat orang-orang di sekitarnya kaget. "Sabar bu, ini hanya film." Aurora melepas sejenak genggaman Antony. Ia memilih mengelus kepala mertuanya itu agar tenang. "Dia jahat banget, sih! Beraninya bawa pasukan, kalau lawan sendiri pasti dia ciut. Mana beraninya sma perempuan. Dasar cemen!""Ya ampun, ibu.." Antony menggelengkan kepala sambil memijat jidatnya sendiri. Selama hampir 2 jam lamanya, Bu Firah terus saja bergelut dengan perasaanya. Tang
"Maksud ibu apa, ini? Masa iya aku hamil?" Neira terus bertanya-tanya.Sayangnya, ia tak membalas pesan ibunya sama sekali. Meski sudah dibaca, Neira langsung mematikan ponsel sekaligus mematikan lampu untuk mengelabui ibunya bahwa ia sudah tidur. Sementara itu, ibunya mencoba mengetuk pintu beberapa kali. Beliau datang untuk mematstikan anaknya baik-baik saja. Sesekali ia mengintip ke arah jendela dimana kamar Neira masih terlihat sedikit terang dengan lamput tidurnya. "Ouh apa dia tadi mengigau ya? Hmm." Setelah melihat Neira sudah terlelap tidur sambil memeluk guling, beliau pergi. Tak ada lagi ketukan pintu yang terdengar beberapa kali. Ervin yang juga belum tidur hanya bisa mendengar suara mertuanya dari dalam kamar. Ia juga keheranan, kenapa mertuanya bisa menduga-duga anaknya hamil. Dalam benak Ervin, tak mungkin rasanya seorang wanita bisa hamil hanya melakukan satu kali berhubungan. Sambil mengubah posisi dari tidur menjai duduk, Ervin mulai berpikir keras.
"Kamu kenapa, sih? Makanya kalau jalan itu harus berdekatan. Jangan sok jual mahal gitu.""Siapa juga yang jual mahal. Kamu harus ngerti, Vin. Aku lagi sensi aja sama aroma kamu!""Halah, aneh banget. Udah, kasih tahu aku. Kamu lagi dimana sekarang?" Ervin terlihat cukup kesal. Ia baru saja sampai di depan pintu apartemen dan menyimpan beberapa barang lebih dulu. Sesekali ia menyeka keringat dan menatap area linkungan apartemen yang cukup sepi. Dalam perjalanannya menuju tempat Neira berada, ia juga menoleh ke beberapa pintu. Berharap bisa bertemu dengan sosok teman lama sekaligus manta pacarnya, Aurora. Sayang, lirikan itu tak cukup membuat matanya puas. Ponselnya berdering karena Neira yang terus saja memanggil. Tak langsung diangkat, Ervin mempercepat langkahnya untuk menemui Neira. "Hmm.. sabar dikit bisa kan, Nei?" Ervin menggerutu di hati kecilnya. Sementara itu, Aurora yang sedang duduk di salah satu area loby bersama Neira tampaknya sedang asyik ngobrol. Kedua
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh