"Maksud ibu apa, ini? Masa iya aku hamil?" Neira terus bertanya-tanya.Sayangnya, ia tak membalas pesan ibunya sama sekali. Meski sudah dibaca, Neira langsung mematikan ponsel sekaligus mematikan lampu untuk mengelabui ibunya bahwa ia sudah tidur. Sementara itu, ibunya mencoba mengetuk pintu beberapa kali. Beliau datang untuk mematstikan anaknya baik-baik saja. Sesekali ia mengintip ke arah jendela dimana kamar Neira masih terlihat sedikit terang dengan lamput tidurnya. "Ouh apa dia tadi mengigau ya? Hmm." Setelah melihat Neira sudah terlelap tidur sambil memeluk guling, beliau pergi. Tak ada lagi ketukan pintu yang terdengar beberapa kali. Ervin yang juga belum tidur hanya bisa mendengar suara mertuanya dari dalam kamar. Ia juga keheranan, kenapa mertuanya bisa menduga-duga anaknya hamil. Dalam benak Ervin, tak mungkin rasanya seorang wanita bisa hamil hanya melakukan satu kali berhubungan. Sambil mengubah posisi dari tidur menjai duduk, Ervin mulai berpikir keras.
"Kamu kenapa, sih? Makanya kalau jalan itu harus berdekatan. Jangan sok jual mahal gitu.""Siapa juga yang jual mahal. Kamu harus ngerti, Vin. Aku lagi sensi aja sama aroma kamu!""Halah, aneh banget. Udah, kasih tahu aku. Kamu lagi dimana sekarang?" Ervin terlihat cukup kesal. Ia baru saja sampai di depan pintu apartemen dan menyimpan beberapa barang lebih dulu. Sesekali ia menyeka keringat dan menatap area linkungan apartemen yang cukup sepi. Dalam perjalanannya menuju tempat Neira berada, ia juga menoleh ke beberapa pintu. Berharap bisa bertemu dengan sosok teman lama sekaligus manta pacarnya, Aurora. Sayang, lirikan itu tak cukup membuat matanya puas. Ponselnya berdering karena Neira yang terus saja memanggil. Tak langsung diangkat, Ervin mempercepat langkahnya untuk menemui Neira. "Hmm.. sabar dikit bisa kan, Nei?" Ervin menggerutu di hati kecilnya. Sementara itu, Aurora yang sedang duduk di salah satu area loby bersama Neira tampaknya sedang asyik ngobrol. Kedua
"Sebentar, kamu kok kelihatan pucat?""Biasa, mas. Gara-gara kurang minum kayanya. Belum lagi hari ini banyak kerjaan dan rapat terus. Menguras energi kan?""Oh, pantesan." Sekretarisnya mulai terkecoh. Antony menawarkan diri untuk mengantarkan wanita pujaannya itu pulang bareng. Tanpa penolakan, mereka pun pergi bareng dalam satu mobil. Sepanjang perjalanan jalan kaki menuju parkiran, kantor tempat Antony kerja itu sudah cukup gelap. Tersisa hanya beberapa petugas kebersihan dan satpam yang berjaga. Mereka mengucapkan salam kepada Antony dan sekretarisnya dengan hangat. "Baru pulang, pak?""Oh, iya pak." Setelah mereka pergi menaiki mobil, sisa petugas tadi berkumpul di pos. Mereka tampak semangat ngobrol dan mungkin sedang membicarakan Antony. Seolah tak peduli, Antony hanya fokus pada jalanan dan wanita yang duduk di sampingnya. Tangan wanita itu Antony pegang dan sesekali menciumnya. "Gak inget istri ya, pak?""Ingetlah..""Kalau ingat, harusnya dilepas dulu.""Heh
"Kenapa cemberut? Ayo jawab, Neira.""Aku pengen bareng aja. Aku kan bisa duduk di kursi paling belakang?" Neira menjawabnya sambil mengunyah kerupuk. Dengan jawaban sederhana itu, Ervin pun duduk. Padahal, ia sudah berpakaian rapih dan bergegas pergi ke kantor. Ia menunggu Neira makan sampai selesai. Dengan jarak kursi yang cukup jauh, Ervin tak bisa menahan tawa. Sesekali ia menoleh dan menetap istrinya. Saat ia ditatap balik, Ervin mengelak. Ia langsung membuka ponsel pura-pura mengetik pesan untuk seseorang. Kejadian lucu itu tak berlangsung lama. Hingga pada saatnya ia mulai kesal dan menatap jam tangan karena sudah menunjukkan pukul 8.20. Neira baru selesai makan."Aku mau mandi dulu, ya!""Gausah mandi, gapapa. Mending cuci muka saja. Kita udah kesiangan.""Serius? Aduh! Yaudah, cuci muka doang kok." Ervin kembali harus menunggu istrnya cuci muka dan ganti baju. Sambil menunggu, ia membuka grup rekan kerejanya. Beberapa diantara mereka sudah sampai di kantor.
"Perantau kok sok-soan tinggal di apartemen, sih!" gumam Aurora. Ia mencatat rincian alamat yang dibagikan wanita itu. Lalu, bergegas mandi dan merias wajah secantik mungkin lebih dari hari-hari biasanya. Tekad Aurora semakin kuat. Ia berjalan untuk turun ke lantai dasar apartemen. Disanalah, Aurora memesan taxi online tujuan apartemen tempat tinggal wanita yang merebut hati suaminya. Ia beberapa kali mondar-mandir menunggu taxi. Ia sudah tak sabar melihat dengan jelas wanita itu. Tanpa perlu menunggu lama, ternyata taxi datang 2 menit kemudian. Aurora masuk ke dalam mobil. Bukti-bukti perselingkuhan itu semakin jelas. "Kamu mau kemana, ra? Ibu sendirian disini.""Aku ada perlu dulu, bu. Mas Antony lagi butuh bantuan." Tak disangka, Bu Firah baru sadar menantunya tak ada di rumah. Padahal, Aurora mendapati dirinya sudah terlelap tidur di kamar. Beruntung, beliau bisa mengerti. Aurora bisa pergi dengan hati lapang. Fokusnya hanya tertuju pada kebenaran adanya wanita
"Udah nanti aja, Nei.""Aku tambah penasaran, Vin!""Nanti kita bahas kalau paket datang!" Ervin meninggikan nada bicara. Neira kaget bukan main. Ia menunduk dan memainkan buku yang ada di depannya. Ervin yang posisi duduknya memang jauh dari Neira, perlahan mendekat. Ia mencoba mengelus pundaknya untuk meminta maaf. Baru saja ia mendekat, Neira justru menutup hidung. Sadar dengan kode tersebut, Ervin kembali ke tempat semula. Untuk memulai pembicaraan, Ervin membuat segelas teh manis hangat. Dirinya menyempatkan diri ke dapur untuk mempersiapkan 2 gelas teh manis hangat. Lalu, ia bawa dan simpan di meja. Tentu saja, Ervin menawarkan istrinya itu untuk minum sambil menungu paket makanan itu datang. "Oh, makasi Vin.""Hmm.. aku mau nanya serius boleh ya?""Apa?" Ervin mulai membuka obrolan. Disela-sela setelah terdengar seruput teh yang diminum. Ervin mulai bertanya-tanya terkait pernikahan. Sampai detik ini, ia masih bingung dengan perasaan yang sebenarnya. Yang a
"Kenapa kok malah beneran hamil, sih?" Neira menggerutu di hati kecilnya. Ia terus saja mengepalkan tangannya dan menarik baju daster yang ia kenakan. Air mata itu jatuh terus menerus meski tanpa suara sama sekali. Ervin juga diam sambil melamun. Meratapi kenyataan yang di luar kendali. Mereka berdua diam tanpa saling bertukar kata. Kenyataan hamil itu sudah ada di depan mata. Ervin menarik nafas secara perlahan. Lalu, menoleh ke araah Neira yang tertunduk. Ia didapati olehnya menangis dengan daster yang sudah basah. Ervin berusaha mendekat. Lagi-lagi, aroma Ervin tercium kuat oleh Neira. Ia mendorong suaminya untuk menjauh. Hingga pada saatnya, terdengar suara mamangguil nama Neira. Ya, sekarang giliran dia untuk kembali berobat. "Bu Neira bukan?""Oh, i-iya bu.""Segera masuk, bu. Sudah ditunggu sama dokter." Neira berjalan lebih dulu. Ervin membiarkan istrinya masuk lebih dulu. Lalu, ia maju paling belakang dan mengintip Neira dari kursi ruang tunggu. Dokter yang
"Aduh, ibu ada apa sih?" gumam Aurora. Ia terpaksa mematikan panggilan secara sepihak. Lalu, membuka pintu kamar untuk mempersilahkan ibu mertuanya masu ke kamar. Dengan wajah yang tampak lesu sambil mengucek mata, beliau menuturkan pada Aurora bahwa ia juga sangat merindukan Antony. Tanpa sengaja, ternyata obrolan tadi terdengar dari luar. Bu Firah bangun dari tidurnya di sofa. Aurora merasa sedikit malu. Pasti oborolan permintaan aneh tadi terdengar juga. Benar saja, ia langsung menarik ponsel untuk menghubungi Antony. "Ibu telpon kok gak diangkat. Boleh minjam sebentar ya? Ibu juga pengen minta uang tambahan buat beli kacamata baru. Yang kemarin bentuknya ibu gak suka." "Ta-tapi, bu.." "Udah, diam aja ra!" Meski matanya sayu, kecepatan tangan beliau tak diragukan. Seolah cemburu, beliau duduk di kasur sambil menunggu panggilannya diangkat. Sayang, tak sesuai dugaan panggilan itu justrus ditolak. Tak tinggal diam, Bu Firah terus memencet tombol hijau untuk meman
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh