"Kenapa kok malah beneran hamil, sih?" Neira menggerutu di hati kecilnya. Ia terus saja mengepalkan tangannya dan menarik baju daster yang ia kenakan. Air mata itu jatuh terus menerus meski tanpa suara sama sekali. Ervin juga diam sambil melamun. Meratapi kenyataan yang di luar kendali. Mereka berdua diam tanpa saling bertukar kata. Kenyataan hamil itu sudah ada di depan mata. Ervin menarik nafas secara perlahan. Lalu, menoleh ke araah Neira yang tertunduk. Ia didapati olehnya menangis dengan daster yang sudah basah. Ervin berusaha mendekat. Lagi-lagi, aroma Ervin tercium kuat oleh Neira. Ia mendorong suaminya untuk menjauh. Hingga pada saatnya, terdengar suara mamangguil nama Neira. Ya, sekarang giliran dia untuk kembali berobat. "Bu Neira bukan?""Oh, i-iya bu.""Segera masuk, bu. Sudah ditunggu sama dokter." Neira berjalan lebih dulu. Ervin membiarkan istrinya masuk lebih dulu. Lalu, ia maju paling belakang dan mengintip Neira dari kursi ruang tunggu. Dokter yang
"Aduh, ibu ada apa sih?" gumam Aurora. Ia terpaksa mematikan panggilan secara sepihak. Lalu, membuka pintu kamar untuk mempersilahkan ibu mertuanya masu ke kamar. Dengan wajah yang tampak lesu sambil mengucek mata, beliau menuturkan pada Aurora bahwa ia juga sangat merindukan Antony. Tanpa sengaja, ternyata obrolan tadi terdengar dari luar. Bu Firah bangun dari tidurnya di sofa. Aurora merasa sedikit malu. Pasti oborolan permintaan aneh tadi terdengar juga. Benar saja, ia langsung menarik ponsel untuk menghubungi Antony. "Ibu telpon kok gak diangkat. Boleh minjam sebentar ya? Ibu juga pengen minta uang tambahan buat beli kacamata baru. Yang kemarin bentuknya ibu gak suka." "Ta-tapi, bu.." "Udah, diam aja ra!" Meski matanya sayu, kecepatan tangan beliau tak diragukan. Seolah cemburu, beliau duduk di kasur sambil menunggu panggilannya diangkat. Sayang, tak sesuai dugaan panggilan itu justrus ditolak. Tak tinggal diam, Bu Firah terus memencet tombol hijau untuk meman
"AKU KASIH KAMU OPSI, CERAI ATAU BERTAHAN? JADI ISTRI BUKANNYA DUDUK MANIS MALAH KELAYAPAN KE KANTOR. ITU MOBIL MAU OTW. KAMU NGAPAIN KESINI?!" Pesan itu cukup membuat dirinya kaget. Bagaimana bisa kata-kata itu muncul dari ketikan jari Antony? Sebelum terlambat, Aurora langsung membalasnya dengan alasan manis. Pasalnya, dirinya tak ingin diceraikan oleh suaminya dalam keadaan miskin tanpa sepeser uang. Ia pastikan dialah yang menggugat dengan alasan jelas dan logis. Sebelum membalasnya, ia minum air terlebih dahulu. Lalu, duduk manis di sebuah kursi taman yang tersedia. "Aduh, kok bilangnya gitu? Masku. Maaf banget, mas. Soalnya aku kangen banget. Bingung mau nyusul kemana, akhirnya ada di kantor hehe.""Hmm.. lain kali kalau kesini telpon dulu. Kebetulan mas baru aja nyampe""Alah, bulshit!" Aurora tak mengetik pesan tersebut. Ia hanya bicara sendiri di depan ponselnya. Mesi begitu, ia masih saja terngiang-ngiang ucapan Antony yang tadi. Sejak ia punya jabatan dengan g
"Tapi kan, bu. Makan camilan saja bisa kan?""Masih kurang, dik. Tolong buatkan nasi goreng saja." Antony menyela. Terpaksa Aurora kembali ke dapur. Ia mengambil 3 mangkuk nasi putih dan beberapa bahan yang diperlukan untuk membuat nasi goreng. Dimulai dari mengiris bawang dan topping, memori Aurora masih saja riuh. Ia memikirkan rencana selanjutnya. Setelah ia dapatkan mobil, ia ingin sekali membangun bisnis yang bisa hasilkan uang dari rumah. Tapi, darimana modalnya? Tentu saja dari Antony."Sebelum memutuskan cerai, aku harus berjaga-jaga punya penghasilan dan bermain manis dulu di depan dia. Semoga ada jalannya, deh!" Tepat saat mengaduk-ngaduk nasi dan menambahkan beberapa bumbu, ia sesekali membuka ponsel. Senang bercampur bingung. ternyata ada pesan yang masuk dari Ervin. Bagaimana bisa Ervin bisa berkata seperti itu? Ia bingung harus membalas seperti apa. Jari-jarinya sudah siap merangkai kata, dan Bu Firah datang ke dapur. "Kalau lagi masak, fokus saja ke masa
"Apa kupencet enter aja ya? Tapi, takut salah juga. Entar malah diomelin" gumam Neira yang masih terheran-heran. Tangannya tak jadi menyentuh keyboard leptop Ervin. Ia memilih bangun dari duduknya itu dan berkaca ke cermin. Ia menatap wajah dirinya sendiri yang mulai berubah. Pipinya mulai mengembang dengan 2 bulatan jerawat merah. Hal tersebut cukup mengganggu pandangannya. Tak berhenti sampai di sana, ia kembali duduk dan menatap layar. Pada saat itu juga, datanglah Ervin. Berniat untuk ganti baju, sepertinya tak jadi. Ervin memilih pergi ke kantor dengan baju tidur dan rambut acak-acakan. "Eh, kamu apain layarnya?""Gue diam aja, kok. Cuman heran aja kok belum submit ya?""Aduh, lupa lagi. Semalam aku coba daftar sidang isbat secara daring. Coba kamu klik submit aja." Awalnya Neira marah karena merasa disudutkan. Namun, berubah menjadi senyum cengengesan karena Ervin bertekad untuk daftar sidang isbat nikah. Neira tak tahu bahwa selama ini ia hanya daftar langsung
"Maafkan saya, mbak" Wanita itu bergerak mundur dan berlindung di belakang badan Antony. Aurora yang melihat pemandangan tersebut sangat risih dan ingin menjambak rambutnya. Namun, usaha itu sia-sia. Antony ikut melawan Aurora dan membela si sekretaris gatal. Sepertinya yang harus ia lawan adalah suaminya sendiri. Tak tahu malu, wanita itu juga berani memeluk Antony dari belakang seolah tersakiti. Pemandangan yang sangat menjijikan bagi seorang istri sah. Tapi, bagaimana perasaan Antony? Pasti perasaan jumawa hiasi dirinya. "Udah, ra! Dia gak salah dan gak tahu apa-apa!" Antony menarik tangan Aurora. "Wah, kamu lebih memilih wanita ini?!" "Ya, maafkan mas dik. Karena ada sesuatu hal yang tak bisa kujelaskan." "Niatnya kerja buat banggain istri, malah sebaliknya. Jangan bilang alasan itu sekarang!" "Saya hamil anak mas Antony, mbak." suara wanita itu terdengar jelas menyela obrolan. Aurora terkejut dibuatnya. Saat situasi gentin ini, ia harus melawan 2 orang manus
"Ervin.." "Kok gak balas?" "Bisa bantu gak?" "Ini penting banget." "Ternyata suamiku memang benar selingkuh dan sekretarisnya hamil." "Tolong bantu kasih bukti di kantor. Apa dia memang sedang hamil? Atau hamil-hamilan?" "Dia sekarang ke kantor gak?" Ervin kaget dibuatnya. Pesan yang masuk ternyata datang dari Aurora. Ervin ikut kesal dibuatnya. Pria yang saat ini jadi suami dan atasan di kantornya itu bisa berbuat arogan seperti itu. Pada saat yang sama, Ervin duduk di kursi dan melihat Antony berjalan sendiri menuju ruang kerja. Tanpa sekretaris, dia bekerja dan meminta beberapa orang untuk membantu pekerjaanya. Termasuk, dirinya. Ia diberi tugas tambahan untuk menemaninya mengerjakan proyek yang lain. "Aduh, bukannya sudah sama Pak Nugros ya?" "Ini beda lagi." Obrolan singkat itu terdengar saat Antony menghampiri meja kerja Ervin. Setelah ia pergi, Ervin duduk sambil membalas pesan untuk Aurora. Selain itu, ia juga mengabadikan foto kantor dan mengabarka
"Kayanya ini sudah cukup."Wanita itu menunduk dan memutar-mutar garpu. Ia berusaha menikmati spageti pesanannya. Sementara itu juga, Aurora kembali fokus ke pembicaraan inti. Ada mungkin 5 menit setelah Arora ngobrol, wanita itu pergi meninggalkan area kafe. Kini tak ada lagi distraksi memori. Aurora memainkan tangannya sambil menjelaskan semua kejadian yang dia alami. Bukti-bukti sudah jelas. Hanya saja masih butuh keterangan saksi yang adil. Tentu, pikirannya tertuju pada Ervin dan Neira. Ia menjelaskan tentang mereka bahwa pernah melihat Antony dan pacarnya pergi ke sebuah klinik. Tentunya bukan untuk berobat suatu penyakit. Tapi, mengecek janin yang ada di kandungannya. "Ada bukti kuatnya gak?""Bukannya itu sudah termasuk bukti?""Bukti kuatnya seperti tespeck atau semacamnya.""Ya, aku juga mendengar kata-kata wanita itu hamil keluar dari mulutnya sendiri." Mengulik beberapa bukti perselingkuhan suami ternyata sedikit menyayat hati. Aurora harus mengalihkan tan
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh