“Itu ...,” tunjukku ke arah si kecil.
Bang Hasan, kakak sepupu serta mamak mertua lekas menoleh. Mereka mengikuti arah jariku yang menyoroti anak itu.
“Itu siapa, ya, Mak?” ujarku lagi.
Terus kuperhatikan si kecil, mendadak saja perasaan cemas berkecamuk di dalam dada jika mengingat foto yang dikirimkan Bang Zaky siang tadi. Anak itu, juga ada di sini. Di rumah ini, bersama keluarga Bang Hasan dan yang lain.
Sejenak, kuputuskan untuk terus berpikiran positif walau belum ada satu penjelasan apapun mengenai siapa sebenarnya anak kecil itu. Dia si kecil yang berwajah masam, sedang memandangi layar gawai, berpakaian bagus dan mahal, juga tampan.
“Siapa, ya, Mak?” Entah sudah berapa kali aku menuntut, namun tetap saja mamak dan Bang Hasan diam.
Mereka terlihat bertukar pandangan, sampai kakak sepupu Bang Hasan yang mengaku tinggal agak jauh dari kediaman mamak mertua bersuara, “Itu anaknya Kakak, Zahrah.
Manik mata Bang Hasan memendar mendengar tuduhanku barusan. Niat hati hanya ingin menjebaknya, namun suamiku malah bersikap di luar dugaan. Kami saling menatap dalam keheningan. Tidak ada yang berbicara untuk sesaat, yang menggema hanyalah tangisan tanpa henti dari Husein, dan bujuk rayu dari mamak mertua yang terus mencoba untuk menghentikan tangisnya. “Abang, jelasin!” Aku mencoba menahan gejolak emosi. Tidak mungkin benar tebakan sembaranganku itu. Husein tidak mungkin anaknya Bang Hasan. Selain tidak ada kemiripan di antara keduanya, aku yakin benar Bang Hasan belum pernah menikah selama kepergiaannya ke Kalimantan. Setidaknya, itulah yang disiratkannya dalam setiap kata sebelum kami memutuskan untuk menikah. “Hasan, kalau kamu enggak bawa Zahrah ke kamar, tolong bujuk Husein dulu,” pinta kakak sepupunya. Kami bersamaan melongok ke lantai dasar. Di bawah sana, mamak mertua menengadah, pun kakak sepupu. Sedang Husein, tangan mungiln
Pekikan nyaring dari mamak mertua terdengar saat tubuh Bang Zaky melayang sebelum kemudian menghantam lantai. Rahang pria itu mendapat pukulan telak dari suamiku saat bibirnya mengucapkan kata nan menyakitkan untuknya.Aku lekas menahan Bang Hasan lebih dulu, sebelum tangannya yang membentuk kepalan keras itu mencumbu rahang Bang Zaky untuk kali kedua. Apapun yang dilakukan oleh Bang Zaky selama ini, tidak seharusnya diselesaikan dengan kekerasan seperti ini.“Abang, berhenti ... jangan pukuli lagi.”“Minggir, Zahrah. Abang tidak bisa tinggal diam melihat kelakuannya Bang Zaky,” geramnya.Bang Hasan mendekat lagi usai menepis tanganku. Dia membawa serta semua emosi ke hadapan Bang Zaky seolah siap untuk menumpahkannya di sana.“Sadar kamu, San!” Kakak sepupu berteriak lebih lantang. “Tahan Hasan!”Kerabat lelaki menyerbu, mereka mulai mengapit lengan Bang Hasan yang memberontak, menyeret paksa
“Abang tidak ingin menjelaskannya sekarang?” tanyaku begitu aku menutup daun pintu rumah.Bang Hasan yang menggendong Husein hanya berdiam diri di depan pintu kamar kami. Bibirnya terkatup sempurna sampai aku tidak bisa menebak apa yang ada di benaknya. Tidak cukup sampai di situ, Bang Hasan pun enggan menoleh padaku meski untuk sejenak.“Abang ....”“Besok, besok Abang jelaskan. Sebaiknya, malam ini kita istirahat dulu, Zahrah,” elaknya. Sesuatu yang sudah kutebak saat melihatnya mengajakku gegas pulang ke rumah.Bang Hasan tentu akan bertahan dengan pikirannya, dan menganggap jika keputusannya adalah yang terbaik. Akan tetapi, bagiku semuanya tentu berbeda. Anak kecil yang akan dibawa Bang Hasan ke dalam kehidupan kami, aku tentu berhak untuk tahu tentang siapa dia dan dari mana asalnya.“Itu anaknya Abang, kan?” Sesak terasa di dalam dada.Aku hampir saja menumpahkan air mata saat mendapati
Kami duduk bersisian setelah menghabiskan sekian waktu dalam keheningan. Ekspresi Bang Hasan yang tiba-tiba berubah menjadi sedih, membuatku memilih menyerah dan memutuskan untuk menenangkannya lebih dulu. Setidaknya, sampai Bang Hasan bersedia berbicara lebih jauh.Tanganku bersedekap di dada yang membusung, sedangkan Bang Hasan duduk dengan jemari yang terpilin di pangkuan. Tidak ada yang berbicara, hanya ada helaan napas yang mengudara, dan aku masih belum sanggup untuk membuka suara.“Abang tidak tahu harus memulainya dari mana ....” Begitulah ucapan Bang Hasan kemudian.Dia menghela napas sedalam mungkin, sampai dadanya yang bidang membusung, mengalahkanku yang sejatinya seorang wanita. Aku paham, sesuatu yang disimpannya sekian lama, telah membuat dirinya sakit dan tersiksa sampai mengenang pun mampu membuatnya terluka.“Soal ini, Abang juga tidak jujur sepenuhnya pada mamak dan yang lain,” imbuhnya lagi.Bang Hasan me
Kupeluk erat Bang Hasan saat melihatnya terdiam usai menyibak sedikit kisah. Tubuhnya mendadak dingin, keringat sebesar biji jagung berhamburan di pelipis, hingga membasahi kerah kemeja kerjanya hari ini. Bang Hasan mulai memilin jemarinya di pangkuan untuk kesekian kali. Gugup terasa jelas dari setiap pergerakannya. Seakan tidak ingin membuka tabir itu, Bang Hasan tertawa kecil sendirian. Hanya beberapa detik, sebelum kemudian bibirnya merapat lagi, dan suamiku bersiap untuk menguak lebih banyak kisah yang selama ini disimpannya seorang diri. “Abang, jadi sering diajak ke rumah. Makan malam di sana bersama dia dan istrinya. Kadang, Abang menolak karena merasa tidak nyaman. Istrinya kerap kali berpakaian terbuka saat Abang datang, dan teman Abang tidak menegur sama sekali. Selain itu, tatapannya ke arah Abang mulai berbeda dan jelas membuat Abang risih. Sesekali, dia tersenyum, senyum penuh napsu. Ekor matanya meruncing, Abang mulai merasa aneh dengan wanita itu. ”
Andai saja hari ini weekend, mungkin aku bisa meluruskan lutut yang lelah di rumah, bertemankan gawai, menonton tv, dan semangkuk cemilan. Sungguh, semua hal yang dulu mudah kulakukan, sekarang bagaikan hujan di musim panas.Jangankan bisa berleha-leha seharian, batinku saja terus bergolak usai menikahi Bang Hasan. Walau dia tidak pernah menuntutku memasak atau mengurusnya setiap hari, tetapi hal-hal yang dilakukannya belakangan ini membuat perutku mual sendiri.Pagi tadi, Bang Hasan langsung berangkat ke rumah mamak mertua. Dia mengantar Husein yang masih terlelap di ranjang kami tanpa berkata apapun padaku. Usai mandi pagi, kutemukan rumah sepi, lalu deru mobil kami terdengar dari arah luar.Ingin rasanya bertanya, kenapa Bang Hasan mengambil keputusan sepihak. Namun, jawaban yang akan kuterima akan selalu sama. Dia ... ingin menjaga perasaanku, di atas segalanya.“Bu ... Bu Zahrah!”Aku mengerjap sekali, nanar segela menghilang dan b
“Bismillah ....”Kalimat yang terlontar saat menginjakkan kaki kembali di rumah keluarga Bang Hasan. Debar-debar kekhawatiran segera menyergap begitu kudapati suara riuh rendah dari arah dalam.Perlahan, dengan memberanikan diri, aku melangkah memasuki ruang depan. Tempat yang sama dengan dimana kutemukan kenyataan tentang Husein dan Bang Hasan.Di sofa-sofa yang sama, beberapa orang duduk berdekatan. Mamak mertua memilih posisi menyamping, tepat di sebelah Bang Hasan yang memangku Husein. Sedang kakak sepupunya yang kemarin mengaku sebagai orangtua kandung Husein, duduk di arah berlawanan.Dari tempatku berdiri saat ini, bisa kulihat dengan jelas jika mereka terlihat bahagia. Termasuk dua orang yang sepertinya pasangan suami istri itu.Mereka tertawa kecil, sesekali melontarkan canda dan tawa sampai suara riuh kembali menyapa. Sembari meneguk minuman berwarna jingga yang disuguhkan di atas meja, mereka lagi-lagi menjerumuskan
“Iya, Dek. Alhamdulillah-nya, anaknya beneran dikasih ke kita. Wanita yang tadi, datang-datang malah bikin ulah!” sahut suaminya.Suaranya yang ternyata kemayu membuatku merinding hebat. Keduanya terkikik setelah membocorkan niat hitam yang seharusnya mereka simpan sendiri sampai mati.Membayangkan keinginan untuk mengadopsi Husein hanya agar memiliki keturunan sendiri, bagiku adalah sebuah kejahatan. Memang, sering terdengar embusan angin soal hal ini, saat pasangan-pasangan yang belum memiliki anak untuk sekian lama, memilih untuk mengadopsi anak orang lain dan dirawat bagaikan anak sendiri. Lalu, izin Allah, tidak lama setelahnya, sang istri mengandung.Lucunya, setelah beberapa kali hal ini terjadi, orang-orang menganggapnya sebagai kejadian ajaib. Mengadopsi anak adalah bentuk usaha untuk memancing anak sendiri. Bukan itu masalahnya, tetapi kenyataan yang timbul usai mereka mendapatkan seorang anak dari rahim sang istri.Tidak se
Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.
“Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah
Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me
“Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint
“Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam
Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me
Setelah mendapatkan apa yang kucari dari apotek, kami bergerak dengan cepat menuju rumah mamak mertua. Bang Hasan di sebelah mobil tidak bertanya apapun, bahkan dia lupa jika hari ini seharusnya masuk kerja.Mobil yang disetirinya mengambil jalur putar arah, lalu bergerak menuju sebuah rumah yang begitu familier dengan kami. Halamannya hening sempurna, tidak ada siapapun di depannya, seolah-olah tidak ada satu kehidupan pun yang bersembunyi di balik bangunan besar itu.“Abang langsung ke kantor saja, aku akan masuk dan bicara sendiri!” pintaku pada Bang Hasan. Kantong plastik bertuliskan nama apotek ternama itu kuremas sekuat tenaga. Perasaanku bercabang banyak arah, namun terus tertahan di dalam rongga dada agar pria itu tidak merasakannya sedikitpun.Bukannya aku tidak menghargai hadirnya sebagai seorang suami, melainkan semuanya hanya untuk menjaga hubungan kami. Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan akan sesuatu yang belum pasti, dan ingin fokus pada hal yang sudah ter
“Apa lagi ini, Abang? Di mana kalimatku yang menegaskan kalau aku keberatan jika Husein bersama kita?” protesku segera. Padahal hanya satu kalimatnya, namun emosiku tersulut begitu hebat dan dalam waktu yang begitu singkat.Bang Hasan salah paham? Tapi kenapa? Apa yang membuatnya mengira kalau aku membenci anak kecil malang yang begitu polos itu? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya juga menikahi seseorang yang tidak lagi memiliki orang tua di dunia ini?Selesai masalah antara Annisa dan Bang Burhan, kini Bang Hasan mulai memupuk masalah di dalam rumah tangga kami. Dia baru saja pulang dari dinasnya, belum usai rindu kami bina bersama dan Bang Hasan malah membuat perasaanku berderak geram karenanya.“Apa menuduhku tanpa ada penyebabnya. Padahal aku tidak pernah berpikir begitu terhadap Husein.”“Tidak, Zahrah ... Abang hanya terawa perasaan setelah melihat Anisya.”“Lalu Abang mengira aku akan sama dengannya? Aku tahu, Abang pernah menikah dengan Anisya, tapi sekarang yang Abang nikahi itu
Pagi menyingsing dengan cepat. belum genap dua jam aku beristirahat, semburat matahari terasa dari jendela kamar. Kemudian, disusul hiruk-pikuk dari orang-orang di luar sana. Beberapa perawat berlalu lalang di depan kamar Anisya, pun sesekali dokter, petugas kebersihan dan keluarga pasien.Aku yang tertidur di sofa segera mengusap wajah. Kulirik Anisya, wanita itu masih terlelap di brangkar, dengan posisi yang sama seperti semalam. Satu tangannya masih mendekap gawai, dan raut wajahnya sesekali merengut, seperti sedang bermimpi buruk.Kuhela napas, semuanya tetap saja sama beratnya di pundak. Andai saja mamak dan bapak ada di sini, mungkin perjalanan hidup kami akan terasa berbeda. Seberat apapun masalahnya, jadi lebih mudah kala dihadapi dengan nasihat mamak dan bapak, saat ditemani oleh dua orang yang telah melahirkan kami berdua ke dunia.Sesaat, aku memutuskan untuk menghapus lamunan itu, lalu beristigfar segera. Tidak boleh begini, sama sekali tidak boleh mengeluhkan takdir yang