“Bismillah ....”
Kalimat yang terlontar saat menginjakkan kaki kembali di rumah keluarga Bang Hasan. Debar-debar kekhawatiran segera menyergap begitu kudapati suara riuh rendah dari arah dalam.
Perlahan, dengan memberanikan diri, aku melangkah memasuki ruang depan. Tempat yang sama dengan dimana kutemukan kenyataan tentang Husein dan Bang Hasan.
Di sofa-sofa yang sama, beberapa orang duduk berdekatan. Mamak mertua memilih posisi menyamping, tepat di sebelah Bang Hasan yang memangku Husein. Sedang kakak sepupunya yang kemarin mengaku sebagai orangtua kandung Husein, duduk di arah berlawanan.
Dari tempatku berdiri saat ini, bisa kulihat dengan jelas jika mereka terlihat bahagia. Termasuk dua orang yang sepertinya pasangan suami istri itu.
Mereka tertawa kecil, sesekali melontarkan canda dan tawa sampai suara riuh kembali menyapa. Sembari meneguk minuman berwarna jingga yang disuguhkan di atas meja, mereka lagi-lagi menjerumuskan
“Iya, Dek. Alhamdulillah-nya, anaknya beneran dikasih ke kita. Wanita yang tadi, datang-datang malah bikin ulah!” sahut suaminya.Suaranya yang ternyata kemayu membuatku merinding hebat. Keduanya terkikik setelah membocorkan niat hitam yang seharusnya mereka simpan sendiri sampai mati.Membayangkan keinginan untuk mengadopsi Husein hanya agar memiliki keturunan sendiri, bagiku adalah sebuah kejahatan. Memang, sering terdengar embusan angin soal hal ini, saat pasangan-pasangan yang belum memiliki anak untuk sekian lama, memilih untuk mengadopsi anak orang lain dan dirawat bagaikan anak sendiri. Lalu, izin Allah, tidak lama setelahnya, sang istri mengandung.Lucunya, setelah beberapa kali hal ini terjadi, orang-orang menganggapnya sebagai kejadian ajaib. Mengadopsi anak adalah bentuk usaha untuk memancing anak sendiri. Bukan itu masalahnya, tetapi kenyataan yang timbul usai mereka mendapatkan seorang anak dari rahim sang istri.Tidak se
POV 3, oleh penulis.Kantor Perwakilan Kalimantan Timur, dua tahun yang lalu.--“San, dipanggil Pak Erga, tuh!” ujar salah satu pria dengan badge dari sebuah perusahaan BUMN.Pria berkacamata yang membawa beberapa map di tangannya menghampiri meja kerja Hasan untuk sejenak. Panggilan dari atasan keduanya memaksa dia menemui pria muda yang belum genap setahun menjadi rekan kerjanya.“San! Astaga, nih anak!” imbuhnya.Hasan yang bersembunyi di balik kubikel biru tidak memberi respon apapun. Dia sibuk menautkan pandangannya dengan layar komputer. Satu tangannya menyentuh bibir, tangan yang lain begitu lihai memainkan mouse di atas pad.“San! Mau dipecat kayaknya!” tegur sang teman.Dia sengaja berdiri di depan kubikel Hasan, lalu memukul pembatas dengan keras agar pria yang dipanggilnya mendengar. Begitu pandangan keduanya beradu, dalam jarak lebih dari satu meter, Hasan beruj
“Bapak sudah tahu jawabannya, karena itu, tidak seharusnya menawarkan pilihan memuakkan ini denganku. Sebaiknya, simpan sendiri tawaran itu dan kita bisa melanjutkan kehidupan masing-masing tanpa berurusan sama sekali. Soal istri bapak, atau Husein, itu tidak ada kaitannya denganku. Seharusnya yang harus Bapak lakukan sejak awal adalah berusaha membuat istri Bapak mencintai Bapak, bukannya mencarikannya seorang pria yang dapat menggantikan Bapak dan membuat penawaran ini dengan menggunakan posisi Bapak. Terima kasih, permisi ....”Hasan mengangkat tubuhnya dari bantalan kursi yang empuk. Hatinya tetap saja memegang teguh keyakinan yang dipercayainya sampai kapanpun tanpa rasa iba dengan apa yang dialami Erga.Keduanya saling diam usai Hasan memberikan perlawanan. Erga tidak lagi mencoba mendesak Hasan, dan terus menekuk wajahnya dengan memandangi berkas-berkas penting yang harus dia selesaikan hari ini.Bagi Erga, ini adalah kekalahan terbesar
Langit berarak saat kerabat, teman, atasan, mengantar kepergian Erga untuk selamanya. Pria ramah yang disebut-sebut akan naik jabatan lagi itu menghela napas untuk kali terakhir di depan sang istri sesaat sebelum Hasan tiba.Permintaan maaf meluncur dari bibirnya yang dipenuhi darah. Tangan Erga terayun pelan, berusaha menggapai wajah sang istri yang paling ingin dibahagiakannya di dunia ini.“Maaf, dan terima kasih. Sepertinya, aku hanya bisa menemanimu sampai di sini. Kembalilah ke orangtuamu, dan bahagiakan Husein walau dia lahir tanpa cinta di antara kita,” rintih Erga saat itu.Tangannya seketika terkulai, terjatuh ke brankar rumah sakit. Beberapa dokter yang masih mencoba menyelamatkan pria itu memulai upaya penyelamatan terakhir.Tubuh sang istri terpukul mundur. Dia menutup mulut yang menganga, kemudian menggeleng tanpa henti sebab tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.Baru pagi tadi, Erga berkata padanya, akan membe
“Astagfirullah ....”Tanganku masih gemetar setelah mendengar cerita soal kepergian sahabat baik Bang Hasan dengan cara nan tragis. Tidak hanya itu, juga sang istri yang dengan tega meminta dinikahi di depan pusara suaminya sendiri.Benarkah ada wanita sekeras itu di dunia ini? Aku bahkan tidak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Erga saat mendengar keinginan istrinya di depan pusaranya.Dia baru pergi, belum genap satu hari. Istrinya bukannya mendo’akan, tetapi malah ingin dinikahi segera, tanpa mengingat masa iddah dan Husein yang masih begitu kecil.Kutatap punggung polos nan tegap Bang Hasan usai merasa berat di kepala. Dia berdiri di depan almarinya, menelusuri satu per satu bagian dari kaos rumahannya yang sudah tersusun rapi. Bahkan berdiri membelakangi saja bisa begitu mempesona.Ya, dia memang rupawan, lebih dari itu, sikapnya juga menyenangkan. Pantas jika wanita yang tidak kutahu namanya begitu mengin
Lepas perih, datanglah luka.Engkau cinta, ada dimana?-Mine--“Mamak enggak setuju! Titik! Ada-ada saja kamu, Rah? Belum sebulan menikah sudah pengen ngangkat anak. Apa kata tetangga, keluarga, saudara, bahkan almarhum mak bapakmu? Adikmu saja sudah hampir melahirkan anak keduanya, sedangkan kamu yang baru menikah malah mau ngurus anaknya orang lain!”Mamak mertua menunjuk-nunjuk ke arahku. Emosinya meluap-luap sampai dia berdiri dari kursi meja makan, mengayun-ayunkan lengan kaftannya yang lebar dan transparan. Mamak mertua terlihat begitu membenci gagasan yang baru saja kuutarakan padanya, sampai tidak lagi bersedia melanjutkan makan malam.Bang Hasan di sebelahku selalu ingin membuka suara. Sebelum bibirnya sempat berkata, selalu kutahan dengan menggenggam tangannya di bawah meja. Apapun itu, Bang Hasan tidak boleh menentang ibunya, sebab keputusan ini memang berasal dariku.Jika memang mamak mertua ingin membenci, ma
“Syarat?” sambutku begitu mamak mertua berdiri di depan kami berdua.Mamak mertua memutar bola matanya. Bibirnya manyun, tanda sebenarnya dia keberatan dengan apa yang ingin diakuinya pada anak dan menantu. Namun, mungkin demi Bang Hasan, mamak mertua merubah ketetapannya, hingga melunak dan akhirnya mengalah.“Iya, syarat. Katanya mau Husein batal dibawa orang!” sindir mamak mertua tepat ke arahku.Aku tersenyum getir, seperti kucing yang disirami hujan sendirian. Mamak mertua dengan jelas menunjukkan jika dia tidak menyukai kehadiranku yang mungkin menjadi penghalang antara dirinya dan Bang Hasan. Padahal, jika mengingat pernikahan suamiku dengan Anisya dulu, wanita cantik itu juga tidak terlalu sering bertemu mamak mertua. Entahlah, apa memang aku seburuk itu atau mamak mertua hanya sedang berusaha melunakkan menantunya.“Kalau batal ya batal, Mak. Kenapa pakai syarat segala? Lagee hana cara laen! (Seperti tidak ada cara l
“Kamu serius, Wul?” sungut Tya begitu kami bertiga kembali menempati kursi di sebuah warung makan di daerah Darussalam. Jika biasanya mereka yang akan menjemput lalu menyeretku pergi menjauh dari sini, maka kali ini Tya tidak punya selera menyetir. Pengakuan Wulan dua malam lalu membuat kami berdua masih tidak menyangka, jika Wulan akan mencapai kesimpulan nan polos hanya demi membahagiakan bapak dan mamaknya di kampung sana. “Tapi, enggak gini juga, Wul! Kamu kan enggak suka dia, dan dia juga lebih muda dari kamu. Serius aja, Wul, kamu nikahin brondong!” sembur Tya lagi. Dia tidak bisa berhenti mengomeli Wulan yang mengambil keputusan paling aneh menurut gadis itu. “Kamu lihat aja, Zahrah! Dari ceritanya saja harusnya kamu sudah paham, Wul, menikah itu enggak main-main. Sama orang yang kamu suka saja, banyak rintangannya, apa lagi yang enggak,” cerocosnya lagi. Aku masih belum berkata sepatah kata pun. Cukuplah mendengar Tya yang terus menyudutkan Wu
Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.
“Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah
Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me
“Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint
“Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam
Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me
Setelah mendapatkan apa yang kucari dari apotek, kami bergerak dengan cepat menuju rumah mamak mertua. Bang Hasan di sebelah mobil tidak bertanya apapun, bahkan dia lupa jika hari ini seharusnya masuk kerja.Mobil yang disetirinya mengambil jalur putar arah, lalu bergerak menuju sebuah rumah yang begitu familier dengan kami. Halamannya hening sempurna, tidak ada siapapun di depannya, seolah-olah tidak ada satu kehidupan pun yang bersembunyi di balik bangunan besar itu.“Abang langsung ke kantor saja, aku akan masuk dan bicara sendiri!” pintaku pada Bang Hasan. Kantong plastik bertuliskan nama apotek ternama itu kuremas sekuat tenaga. Perasaanku bercabang banyak arah, namun terus tertahan di dalam rongga dada agar pria itu tidak merasakannya sedikitpun.Bukannya aku tidak menghargai hadirnya sebagai seorang suami, melainkan semuanya hanya untuk menjaga hubungan kami. Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan akan sesuatu yang belum pasti, dan ingin fokus pada hal yang sudah ter
“Apa lagi ini, Abang? Di mana kalimatku yang menegaskan kalau aku keberatan jika Husein bersama kita?” protesku segera. Padahal hanya satu kalimatnya, namun emosiku tersulut begitu hebat dan dalam waktu yang begitu singkat.Bang Hasan salah paham? Tapi kenapa? Apa yang membuatnya mengira kalau aku membenci anak kecil malang yang begitu polos itu? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya juga menikahi seseorang yang tidak lagi memiliki orang tua di dunia ini?Selesai masalah antara Annisa dan Bang Burhan, kini Bang Hasan mulai memupuk masalah di dalam rumah tangga kami. Dia baru saja pulang dari dinasnya, belum usai rindu kami bina bersama dan Bang Hasan malah membuat perasaanku berderak geram karenanya.“Apa menuduhku tanpa ada penyebabnya. Padahal aku tidak pernah berpikir begitu terhadap Husein.”“Tidak, Zahrah ... Abang hanya terawa perasaan setelah melihat Anisya.”“Lalu Abang mengira aku akan sama dengannya? Aku tahu, Abang pernah menikah dengan Anisya, tapi sekarang yang Abang nikahi itu
Pagi menyingsing dengan cepat. belum genap dua jam aku beristirahat, semburat matahari terasa dari jendela kamar. Kemudian, disusul hiruk-pikuk dari orang-orang di luar sana. Beberapa perawat berlalu lalang di depan kamar Anisya, pun sesekali dokter, petugas kebersihan dan keluarga pasien.Aku yang tertidur di sofa segera mengusap wajah. Kulirik Anisya, wanita itu masih terlelap di brangkar, dengan posisi yang sama seperti semalam. Satu tangannya masih mendekap gawai, dan raut wajahnya sesekali merengut, seperti sedang bermimpi buruk.Kuhela napas, semuanya tetap saja sama beratnya di pundak. Andai saja mamak dan bapak ada di sini, mungkin perjalanan hidup kami akan terasa berbeda. Seberat apapun masalahnya, jadi lebih mudah kala dihadapi dengan nasihat mamak dan bapak, saat ditemani oleh dua orang yang telah melahirkan kami berdua ke dunia.Sesaat, aku memutuskan untuk menghapus lamunan itu, lalu beristigfar segera. Tidak boleh begini, sama sekali tidak boleh mengeluhkan takdir yang