Kini mereka berdua telah sampai di sekolah. Lima menit setelahnya bel sekolah berbunyi, Akira dan Dany telah sampai di depan pintu kelas dan segera duduk untuk menanti guru mata pelajaran datang.“Dan, tadi ibu kirim pesan, besok ayah ibu pulang. Lu disuruh nginep dulu, katanya ibu bawa oleh-oleh buat lu.” Ucap Akira sembari membuka buku pelajaran dan mengeluarkan alat tulisnya.“Wah asyik tuh, oleh-oleh gue suka. Kalau gitu gue nanti malam masih nginep semalem di rumah lu ya, besok baru gue balik.” Ucap Dany, mengikuti teman sebangkunya untuk mengeluarkan buku dan alat tulisnya.“Dan, semalem lu keluar? Ketemu Argi?” Akira mulai menatap ke arah Dany.“Yup, gue bosen di rumah gak ada lu, lagian gak ada motor, motor lu bawa. Ya sudah gue telpon Bayu, minta temenin, cuma gak mungkin juga kalau Bayu aku suruh ke rumah sini, yang ada bakal digrebek sama tetangga. Makanya gue diajak main ke rumahnya. Eh, gue lihat ada Argi di sana, dia tanya kemana lu, ya gue bilang aja lu lagi ke rumah sa
Dengan sedikit keberanian, Akira mulai menegakkan pandangannya ke arah depan. Melihat ke arah pemuda yang selalu tersenyum hangat padanya.“Gi, maaf selama ini aku gak jujur sama kamu.” Suara Akira terdengar sangat pelan, namun begitu jelas terdengar di telinga Argi.“Maaf? Gak jujur gimana sayang? Aku gak ngerti.” Jawab Argi dengan raut wajah terlihat sedikit bingung.“Aku..” ucapan Akira menggantung, karena kehadiran waiters ke meja mereka, mengantar minuman dan makanan yang di pesan beberapa menit lalu.Dua gelas es cappucino dan croissant terhidang di meja. Argi bersikap ramah dan mengucapkan terima kasih pada waiters yang mengantar.“Ini sayang, minum dulu.” Ucap Argi sembari menyodorkan minuman di hadapan Akira.Akira menerima dan mulai menyeruput sedikit minuman. Kata-kata yang tadinya sudah berada di ujung lidahnya, tinggal mengeluarkannya saja, kini kembali tertelan.Beberapa menit keduanya sama-sama terdiam. Hingga Argi memulai obrolannya lagi.“Gimana sayang? Tadi mau ngomo
Akira meraih ponsel dalam tasnya, dia tak berani menatap ke arah Argi, dia merasa tak enak hati dan tidak tega melihat wajah yang penuh gurat kekecewaan dari pemuda itu. Kini dia berada di posisi bingung, ingin meninggalkan tempat itu namun bibirnya terasa kelu untuk menyampaikan keinginannya pada Argi. Akhirnya dia mengirim pesan singkat kepada Dany, untuk menjemputnya sekarang. Tak lama kemudian terlihat Dany berada di parkiran samping mobil hitam milik Argi. [Na, gue masuk atau tunggu di depan?] Pesan singkat dari Dany. [Masuk aja, Dan. Bantuin gue.] Balas Akira. Dany menutup ponselnya dan turun dari motor, berjalan memasuki coffe shop. Matanya mengedar ke penjuru ruangan mencari keberadaan Akira dan Argi. “Hay, Na.” Teriak Dany ketika telah mengetahui posisi duduk temannya. Lalu berjalan menghampiri keberadaan mereka dengan senyum merekah. “Hay, Argi. Apa kabar, sorry ya gue ganggu kalian.” Ucap Dany, sembari duduk di samping sahabatnya. Argi tampak memaksakan senyumnya yan
Sementara itu, Argi kini telah berada di halaman rumahnya, wajahnya begitu kusut dengan mata yang sedikit memerah. Turun dari mobil, lalu berjalan langsung ke dalam rumah, tanpa menghiraukan sapaan dari bik Minah, asisten rumah tangga yang berada di taman depan rumah. Tujuannya kini hanya ingin berada di kamar. Saat akan menaiki tangga menuju lantai dua, mama Lina menyapanya, namun sapaan itu tidak dia dengar. Bik Minah yang merasakan keanehan pada sikap anak majikannya segera memasuki rumah, menghampiri mama Lina yang tengah menatap ke lantai atas. “Bu, mas Argi terlihat aneh tak seperti biasa.” Ucap bik Minah sembari ikut memandang ke arah tangga. “Iya bik, aku sapa juga tidak menyahut anak itu. Kenapa ya?” Ucap mama Lina. Kedekatan bik Minah di keluarga itu terjalin sejak lama. Meskipun dia hanya asisten rumah tangga dan merupakan pengasuh dari Argi anak majikannya. Namun pemilik rumah selalu bersikap ramah dan selalu menghargainya. Sudah hampir dua puluh tahun dia bekerja di
Ucapan Bayu membuat Argi mengalihkan pandangannya, Argi merasa belum cerita apapun pada temannya. Namun mengapa Bayu seakan telah mengetahui semua.“Dany ada cerita apa ke lu?” Tanyanya sembari menatap ke arah temannya.“Cerita apa? Gak ada cerita apa.” Bayu mengedikkan bahunya sembari tersenyum.“Ah lu gak asyik. Pulang dah sana.” Ucap Argi sembari menyesap rokoknya dan kembali mengalihkan pandangan ke depan.“Ngambek. Kayak anak ingusan aja lu, isi ngambek segala.” Ujar Bayu sembari menyiku lengan temannya.“Lagian lu, gue nanya lu gak mau jawab.”“Hmm, Dany gak cerita banyak ke gue, cuma inti-intinya saja.”“Intinya gimana maksud lu? Dany cerita apa?” Kembali Argi mengulang pertanyaannya, berharap dia mendapat jawaban dari temannya, karena apa yang dikatakan Dany tentu karena Akira menceritakan sesuatu padanya.“Ya kayak tadi gue bilang, perasaan lu gak dibalas sama Akira. Is that true?”Argi tampak menghembuskan nafas beratnya, raut wajahnya kembali terlihat menyedihkan, mengingat
Hari sudah semakin sore, sedari tadi Bayu mengajak Argi untuk main game. Niatnya untuk membuat temannya melupakan kisah cintanya.Meskipun di setiap permainan, Argi sedikit kurang fokus sehingga membuat tim mereka kalah. Tak biasanya permainan Argi payah, mungkin karena kondisi hati yang sedang tidak baik, sehingga mempengaruhi cara bermainnya. Bayu tak mempermasalahkannya, yang terpenting adalah kebaikan temannya.Selama dua jam lebih mereka main, hingga kebosanan melanda keduanya, kini mereka berdua merebahkan tubuh di kasur. Tidur berdampingan dengan pandangan menuju langit-langit kamarnya.“Nanti malam kita jadi keluar ya, Gi. Kita nongkrong tempat Aang.” Ajak Bayu tanpa mengalihkan pandangannya.Argi terdiam tak menjawab ajakan Bayu. Matanya terpejam, namun tak tidur. Pikirannya terus berkelana, memiliki rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan begitu menyakitkan, menyesakkan dada.Hingga tiba-tiba terdengar ketukan pintu, mama Lina telah berada di balik pintu, mengajak mereka unt
Setelah menyelesaikan acara makan, mereka melangkah kembali ke kamar. Bayu segera menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Sementara Argi kembali menyalakan rokoknya dan termenung di sofa.Hingga Bayu keluar dari kamar mandi, Argi masih hanyut dalam pikirannya sendiri. Bayu berjalan menuju lemari, mencari baju milik Argi, karena dia tak membawa baju ganti. Mengambil satu baju yang menjadi favorit dari temannya. Sengaja mengenakannya untuk melihat respon dari Argi. Dia memang menggunakan caranya sendiri untuk mengganggu temannya. Dan kebetulan ukuran mereka tak jauh berbeda. Hanya celana panjangnya yang terlihat lebih panjang, sehingga dia menggulung bagian bawahnya.Memantapkan dirinya di depan cermin besar yang berada di balik lemari baju. Melirik dari cermin ke arah temannya yang masih termenung. Dan senyum jahil terlihat di bibirnya.Dengan segera menutup kembali lemari itu, dan berjalan menghampiri Argi.“Gi, yuk gue sudah siap. Lu gak mandi?” Ucapnya memancing perhatian Arg
Sementara itu di rumah, Akira tampak begitu lelah dengan pekerjaan rumah yang dia kerjakan sedari sore. Besok ayah dan ibunya akan pulang ke rumah, sehingga dia harus membersihkan rumah. Dari menyapu, mengepel dan mencuci bajunya dia lakukan dengan sepenuh hati. Berharap ibunya akan merasa senang ketika pulang ke rumah.Akira menyandarkan punggungnya di sofa untuk mengistirahatkan badannya, tugas terakhir mengepel seluruh sudut rumah telah dia selesaikan. Kini rasa lelah baru terasa olehnya, namun dia merasa puas dengan hasil kerjanya, rumah terasa lebih bersih dan wangi dari sebelumnya.“Calon ibu rumah tangga yang baik lu.” Ujar Dany, sedari tadi dia hanya sibuk mengurus kuku-kukunya dan mengenakan masker pada wajahnya.“Kasian ibu kalau besok sampai rumah, keadaannya kotor, Dan. Hitung-hitung olahraga sore.” Ucap Akira sambil menghapus peluh di pelipisnya.“Rajin lu, Na. Kalau gue di rumah, nyokap marah baru gue bersih-bersih. Btw, jam berapa ayah ibu pulang besok?”Akira menaik-t
Baskoro tak berniat melanjutkan perkaranya di meja hijau. Tentunya atas saran dari Anggara dan Akira. Meski Ester begitu jahat, namun Akira sangat mengasihi anak perempuan dari wanita itu. Alea masih terlalu kecil untuk bisa menanggung hasil dari perbuatan ibunya. Entah apa jadinya Alea, jika Baskoro masih mencoba menuntut Ester dan Yosi. Tentunya itu hal yang mudah bagi Baskoro yang ingin memberi hukuman terhadap orang yang telah menjebak putranya. Bukti sudah lengkap, dan siap untuk menjerat Ester dalam jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya. Namun Akira selalu menyatakan jika dirinya merasa kasihan pada Alea yang nantinya ditinggal oleh kedua orang tuanya jika nantinya harus dipenjara. Sungguh Akira tidak bisa membayangkan nasib anak itu. Akira sendiri sudah mengalami kehilangan kedua orang tuanya di usianya yang ke 17 tahun. Dan dia mampu melewatinya, berkat kehadiran Anggara yang selalu menjaga dan menemani. Namun bisakah anak sekecil Alea hidup tanpa kedua
Kini Akira bersimpuh di depan pusara ayah dan ibu. Anggara terus memeluk bahu kekasihnya.Baskoro dan Ruth menghampiri keberadaan mereka.“Nak Akira, mama ikut berduka cita. Jika kamu ingin bercerita, mama siap menjadi tempat ceritamu. Kamu anak yang baik, pasti ayah dan ibumu sangat bangga.” Ruth mengusap lembut bahu Akira.“Terima kasih Tante. Maaf jika selama ini saya merepotkan keluarga Tante dan Anggara.” Ucapnya tulus. Ya, selama ini memang Anggara yang mengeluarkan biaya rumah sakit dan biaya pemakaman untuk kedua orang tuanya. Bahkan Anggara sudah menempatkan orang tuanya di pemakaman elit.“Tidak masalah, nak. Bahkan jika kamu membutuhkan sesuatu tolong sampaikan pada mama atau Anggara. Kami siap untuk membantu. Tolong jangan segan untuk bercerita pada kami. Ya sudah, mama pulang dulu, nanti mampirlah ke rumah, sayang.” Ujar Ruth menghibur.Akira mengangguk samar, dia mencium tangan Ruth namun wanita itu membalas memeluknya.Akira begitu merindukan sosok ibunya, hingga dia l
Ternyata ucapannya memang didengar oleh Lidiya, secara perlahan mata Lidiya terbuka dengan jemari yang mulai bergerak. Menandakan jika wanita itu sudah sadar dari tidur panjangnya.Akira begitu senang hingga memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya itu.“Ibu terima kasih sudah mendengar Lena.” Ucap Akira bahagia.Lidiya masih merasa lemah, sangat lemah hingga ingin mengucapkan sesuatu pun dia tak berdaya.Anggara menangkap gerakan lemah itu, hingga akhirnya dia membantu Lidiya untuk melepas masker oksigennya.“Ibu mau bicara sesuatu?” Tanya Anggara, dijawab dengan anggukan lemah Lidiya.“Lena, dimana ayah nak?” Suara Lidiya terdengar lirih dan sangat kecil. Dia bisa melihat wajah sedih putrinya. Namun dia ingin memastikan keadaan suaminya.“Ayah sudah di surga, Bu.” Akira menjawab dengan suara gemetar menahan tangis. Dia tidak ingin membuat ibunya sedih, namun dia tidak bisa untuk berbohong.Lidiya begitu terkejut hingga nafasnya kembali tersengal. Anggara panik dan segera memasa
Anggara menuntun langkah Akira untuk bisa melihat ibunya dalam jarak lebih dekat.“Ibu, bangun Bu. Ini Lena sudah datang Bu.” Ucap Akira berbisik, dia tidak ingin mengganggu istirahat ibunya. Diraihnya tangan lemah yang terkulai itu dalam genggamannya.“Ibu pasti bisa melewati ini semua. Lena akan terus di sini jaga ibu. Tolong bangun Bu.” Ucap Akira lirih dengan air mata terus menetes tanpa henti.Anggara berdiri di belakang Akira, mengusap lembut bahu Akira. Seakan ingin berbagi kekuatan.*****Lidiya masih terbaring koma, kini dia sudah dipindahkan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Tentunya atas saran Anggara, dan Anggara yang menanggung semua biaya perawatan, termasuk biaya pemakaman Bustomo.Pagi ini sangat cerah, namun hati Akira diliputi kabut mendung mengawal kepergian ayahnya menuju tempat peristirahatan terakhir.Dany dan Bayu sudah berada di tempat pemakaman. Yeni dan Handoko juga turut hadir. Begitu pun Ruth dan Baskoro, Anggara sudah menceritakan pada mamanya. Dan ent
“Keluarga atas nama pasien Bustomo?” Ucap suster itu sembari mengedarkan pandangan. “Saya sus, saya keluarga Bustomo.” Tio melangkah semakin mendekati suster itu. “Maaf saya harus menyampaikan kabar ini.” Suster terlihat menarik nafas panjang. Tentunya membuat Tio berfirasat buruk akan kabar yang akan disampaikan. “Ada apa sus? Bagaimana keadaan kakak saya dan istrinya?” Ucap Tio terbata, dia berusaha menguatkan hati untuk menerima apapun kabar yang akan disampaikan oleh suster. “Pasien atas nama Bustomo tidak bisa diselamatkan.” Seperti mendengar petir di siang bolong, kabar itu membuat Tio syok. Matanya berkaca-kaca, hingga tubuhnya gemetar menahan kesedihan yang mendalam. “Apa benar sus? Apa saya tidak salah dengar?” Ucap Tio mencoba tidak mempercayai pendengarannya. “Mohon maaf, apa yang saya sampaikan tadi benar adanya. Pasien atas nama Bustomo tidak bisa terselamatkan. Bapak yang sabar.” Ulang suster itu dengan raut sedih. Tak hanya sekali ia menghadapi suasana pilu seper
Mata Anggara melotot sempurna. Dia sangat terkejut mendengar berita itu. Sungguh dia pun ingin segera ke rumah sakit tempat ibu dan ayah Akira dirawat.“Baiklah kita siap-siap sekarang.” Anggara segera bersiap-siap untuk melakukan perjalanan ke salah satu rumah sakit di Bogor. Sambil menunggu Akira menyelesaikan acara mandinya, Anggara menelpon pak Yanto untuk segera mengirim mobilnya ke rumah Akira. Dia mengirimkan titik lokasi alamat rumah Akira pada supirnya.Anggara hanya mencuci mukanya, lalu mengganti bajunya dengan kaos hitam polos dan celana jeans panjang.Kini dia tengah menunggu di halaman rumah, hingga tak lama Yanto datang dengan mobilnya. Anggara segera menghampiri.“Pak, nanti bapak pulang dengan taksi.” Anggara memberi beberapa lembar uang pada Yanto. Lalu kembali memasuki rumah untuk mencari keberadaan kekasihnya. Tanpa mengetuk pintu kamar, Anggara segera membuka pintu yang tak terkunci.“Sudah? Ayo kita berangkat sekarang.” Ajak Anggara, sebenarnya dia tidak tega m
“Ya, Yosi tentu kamu ingat. Dia yang sudah menjemput kita di bandara saat kita mengantar Dany menemui Bayu.” Jelas Anggara mencoba mengingatkan Akira.“Saat aku mengunjungi rumah wanita itu, Yosi berada di sana. Dan aku selalu mengikuti gerak-geriknya. Sepertinya Yosi dan wanita itu mempunyai hubungan. Namun ini hanya dugaanku saja.” Jelas Anggara.Kini Akira bingung untuk merespon seperti apa. Dalam hati dia merasa senang akan kabar baik itu. Namun dia juga merasa kasihan terhadap anak perempuan yang memanggil Anggara dengan sebutan papa. Kemungkinan anak itu hanya tahu jika Anggara adalah ayahnya.Bagaimana jika kenyataannya bukan?“Sayang? Kok diam? Kamu percaya kan sama aku? Besok aku akan menemui papa, dan nantinya hasil tes DNA itu akan aku jadikan bukti untuk pengajuan pembatalan nikah. Aku juga sudah mempunyai bukti rekaman ketika Yosi berada bersama wanita itu.” Diraihnya tangan Akira, menggenggam jemari gadis itu, dimana masih terpasang cincin berlian pemberiannya. Anggara m
Anggara melangkah menuju dapur, memindahkan bubur ayam di sebuah mangkok. Lalu membawanya masuk ke kamar. Mendapati Akira tengah berbaring namun matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar.“Sayang kita makan dulu, habis itu minum obat.” Ucapnya sembari menyendok bubur berisi kuah dan potongan daging ayam itu. Dan mengarahkannya ke mulut Akira. Meski awalnya menolak, namun Anggara terus memaksanya. Akira tidak bisa meminum obatnya dalam keadaan perut kosong.Akira menerima makanan itu hingga beberapa suap. Suapan berikutnya, Akira menolak. Anggara tak memaksanya lagi, kini dia meraih obat yang terbungkus dalam plastik. Mengeluarkannya satu tablet lalu mengambil gelas berisi air putih. Membantu Akira untuk meminum obatnya.Anggara segera menyelimuti tubuh kekasihnya. Sesekali meletakkan telapak tangannya di dahi Akira untuk memastikan suhu tubuhnya.Menggenggam tangan Akira yang terkulai di sisi tubuhnya. Menatap wajah pucat Akira dengan rasa cemas.Dia tidak akan mengatakan apa
Anggara terpaksa meraih Alea dari pangkuan Ester. Meskipun dia tahu Alea bukanlah anaknya, namun dia merasa kasihan melihat wajah kecil itu menangis terisak.Sekilas Anggara melihat ke belakang, ke arah dimana Akira duduk. Mendapati tempat duduk itu sudah kosong. Mencari keberadaan Akira di sekeliling ruangan itu, namun tak juga mendapati sosok Akira di sana.Anggara memutuskan untuk memulangkan Ester dan anaknya agar tak mengganggu suasana orang-orang yang sedang berkunjung ke restoran. Dia tahu kini mereka menjadi pusat perhatian.Anggara segera melangkah menuju kasir, membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan namun belum dimakan.Lalu segera melangkah keluar dari restoran, diikuti oleh Ester yang tersenyum puas. Dia berpikir rencananya telah berhasil menaklukan hati Anggara. Kini dia bisa mendapatkan Anggara kembali, menikmati kekayaan sang papa mertua. Ester pun melenggang tanpa menghiraukan tatapan orang-orang di sana.Anggara memesan sebuah taksi, lalu menyuruh Ester untuk d