Alfaro mendesah berat. Tobias masih tampak santai. Sementara Mathias masih sibuk bertelepon dan juga mencoret jadwal.“Anak itu kembali lagi pergi secara tiba-tiba. Jalan pikirannya seperti apa aku makin tak mengerti. Ini sudah kurang seminggu pernikahannya,” gerutu Alfaro geram. Ia menahan diri untuk tidak langsung menelpon Ramon dan menyuruhnya kembali. Ramon masih calon menantunya bukan menantunya. Posisi Ramon yang lama ditinggalkannya baru saja ditempatinya kembali. Tak sampai sebulan ia sudah meninggalkannya. Tentu saja kinerja perusahaan sangat dirugikan. “Aku tak percaya kalau kakak sepupuku pergi hanya karena tertarik dengan bisnis di Indonesia. Indonesia bukan negara yang akan membuatnya kaya,” ucap Tobias sinis sambil melipat kedua tangannya di dada.“Lantas apa yang kau pikirkan selain bisnis yang membuat Ramon pergi? Marco telah tiada,” tukas Alfaro menatap tajam Tobias.Tobias tersenyum tipis.“Mungkin seorang wanita eksotik,” ujarnya membuat Alfaro marah.“Dia sudah ak
Dalam balutan matahari pagi yang hangat di dapur dalam bungalow Ganis sedang memasak dengan Ramon yang ada di sekitarnya. Tampak kemesraan diantara keduanya. Ramon memeluk Ganis dari belakang dan mengecup tengkuknya. Ganis tersenyum melanjutkan untuk mengiris wortel. Masakan sederhana saja. Sebisa Ganis. Ramon suka masakan simpel. Memasak dimsum kuah yang segar di pagi hari. “Kak lepaskan. Biar cepat selesai,” seru Ganis mencoba mengendurkan pelukan Ramon di perutnya.“Hmm,” Ramon hanya menggeram. Tubuh Ganis sungguh bikin candu. Ia tak pernah puas. Mulutnya kembali memagut leher jenjang gadis muda itu. Rambut cepak Ganis ternyata begitu menggoda. Ganis memekik kecil. Ia kemudian meletakkan pisaunya dan menghadapi Ramon. Ramon segera menyerang bibir gadis itu. Tangannya mulai merapah punggung Ganis panas. Dalam suasana sunyi pagi itu mereka kembali terbawa gairah. Ramon menidurkan Ganis di meja dapur. Ia mulai melolosi semua pakaianya. Cecapan lidah terdengar basah. Ramon kembali me
Hari itu untuk pertama kalinya Ganis naik pesawat. Tentu saja terlihat norak. Apalagi Ganis seorang gadis yang mulutnya tak bisa diam. Ia terus mengoceh mengomentari semua yang dilihatnya. Bukanya malu. Ramon yang sudah hampir 5 tahun lebih tinggal di Indonesia dan sudah fasih berbahasa Indonesia tak begitu masalah. Malah ia merasa komentar Ganis cukup lucu.“Nis jangan makan terlalu banyak!” kata Ramon memperingatkan. Tangan Ganis berhenti untuk meraih makanan di depannya. Mereka kini sedang terbang menuju lombok tengah. Ganis langsung begitu bersemangat. Impiannya dengan Marco akan terwujud. Menonton motoGP di sirkuit Mandalika.“Kenapa memangnya. Sayang bukan kalau tak dihabiskan,” kata Ganis menatap Ramon. “Kau tak pernah naik pesawat. Aku tak mau kau jetlag dan kemudian muntah. Itu akan sangat merepotkan,” ujar Ramon tak mau mengambil resiko. Waktu mereka terbatas. Begitu turun dari bandaramereka akan langsung menuju sirkuit dimana motoGP akan segera berlangsung. Ia tak mau Ga
Malam itu setelah menonton motorGP Ramon mengajak Ganis pergi ke penginapan dekat sirkuit Mandalika. Setelah mendapatkan kamar mereka makan malam terlebih dahulu. Makan malam paling mewah dan juga romantis. “Ini sangat berlebihan,” ujar Ganis menatap meja bertaplak putih dengan pendar lilin. “Tidak kalau untuk dirimu Ganis. Kau layak mendapatkanya,” ujar Ramon menggeser duduk untuk Ganis. Ganis menatap hidangan yang tersaji begitu sempurnanya. Ada anggur merahnya juga. “Ini nyata. Aku nggak mimpi, kan?” seru Ganis duduk dan masih terpesona melihat makanan yang bukan saja terlihat enak tapi juga penataannya yang estetik. Tentunya dimasak dan disajikan oleh Chef resort dengan hati-hati. Ramon membungkuk dan berbisik dekat telinga Ganis. “Anggap saja ini mimpi terindah kita,” Ganis tersenyum kecil menyentuh pucuk hidung Ramon mesra. Ramon mengecup dahi Ganis kemudian duduk di seberang Ganis. “Mari kita makan. Kau pasti sudah lapar,” serunya. Dan benar saja perut Ganis langsung berb
Setelah Sofia menelepon semua jadi tak menyenangkan. Ganis tak bisa menikmati jalan jalan ke desa tanpa membayangkan Sofia yang kini hancur. Ramon berusaha untuk mengajak Ganis melihat pemandangan di pantai tapi Ganis sudah tak berminat. "Kak kita pulang. Segera kakak temui kak Sofia. Aku tak ingin pernikahan kakak batal gara-gara aku. Ramon tak bisa membujuk Ganis lagi. Mau tak mau ia harus menghadapi kenyataan yang ada. Meninggalkan Ganis dan menikahi Sofia itulah takdirnya. itulah jalan yang benar. Ia melihat Ganis kini tampak tegar. Entah kenapa kini hatinyalah yang hancur. "Nis kukira kita bisa punya waktu sedikit lagi," ujarnya menatap Ganis muram."Sebanyak apapun kita tak akan cukup kak. Kita pulang sekarang atau kita akan terjebak menjadi penghianat cinta," kata Ganis tegas. Ramon meraih tangan Ganis erat. Ia mendesah berat."Nis kita kawin lari saja. Persetan dengan Sofia," ujar Ramon penuh emosi. "Aku tak pernah bisa berbahagia di atas penderitaan wanita lain kak. Ayolah
Sofia turun di depan sebuah Bungalow lumayan besar. Dari luar tampak pepohonan yang lumayan asri.“Kau boleh pergi Sergio!” kata Sofia menatap garasi. Ada mobil Ramon di sana. Tak salah Ramon memang menghabiskan waktunya bersama gadis jalang itu disini. Perlahan Sofia berjalan menuju pintu utama. “Maaf anda siapa?” tanya seseorang tua mengagetkan Sofia.“You siapa?” tanya Sofia balik. Pak Dirman menatap seluruh penampilan Sofia menyelidik. Wanita Bule yang sangat tak tahu sopan santun pikirnya.“Saya Pak Dirman. Penjaga Bungalow ini. Ada perlu apa anda ke sini? apa anda kenal dengan pemilik Bungalow ini?” tanya Pak Dirman tak bisa membiarkan sembarang orang masuk tanpa izin.“Perlu You tahu ya. Aku adalah tunangan Ramon. Bukannya Ramon ada di dalam? jangan halangi aku untuk masuk,” kata Sofia terus menerobos untuk membuka pintu. Pak Dirman langsung pasang badan menghalanginya.“Pak Ramon sedang keluar. Saya akan telepon dulu orangnya kalau Pak Ramon kasih izin baru saja perbolehkan a
Di sanalah Ramon sedang mencumbu Sofia dengan ganasnya. Di atas ranjang yang beberapa hari lalu juga menjadi saksi percintaan Ganis dan Ramon. Ganis berusaha untuk tetap membuka matanya tanpa air mata. Dadanya terasa sesak ketika Ramon melucuti bajunya. Ganis berusaha memegangi dadanya. Ramon sama sekali tak menoleh pada Ganis. Ia hanya akan berkonsentrasi pada tubuh Sofia yang kini juga telah polos. Rasa mual mulai menguasai Ganis ketika mendengar desahan Sofia. Tangannya mulai gemetar, kakinya nyaris tak bisa menapak menyaksikan Ramon mulai menggenjot Sofia dengan brutalnya. Jeritan Sofia memenuhi ruangan diiringi geraman Ramon. Ganis sudah tak bisa menahan rasa mualnya yang memuncak. Ia langsung berlari keluar Bungalow. Di teras ia memuntahkan semua isi perutnya. Beberapa menit Ganis harus merasakan kepalanya yang pening dan perut yang serasa diperas. Untuk kemudian akhirnya ia tumbang tak sadarkan diri. ***** Ramon tak bisa melanjutkan semua ini. Segera saja ia menarik dirinya
Bunyi dering ponsel membangunkan Ramon yang memang tak bisa tidur dengan lelap. Setelah apa yang terjadi tentu saja ia tak bisa tenang. Pikirannya masih melayang pada Ganis. Dering ponsel itu tidak berhenti. Sofia menggeliat ikut terbangun.“Ponselku,” ucap Ramon meraih ponselnya. Ia mendesah berat. Dari Alfaro papa Sofia.“Ya,” kata Ramon bersiap menerima omelan.“Ramon kau sedang bersama Sofia?” tanya Alfaro yang begitu mengkhawatirkan putrinya yang langsung menyusul Ramon tanpa pamit padanya.“Ya. Di sedang tidur. Dia bersamaku,” jawab Ramon singkat.“Kau tahu kan apa yang membuat Sofia pergi menyusulmu? Kau ini pria dewasa. Harusnya ini tak terjadi. Tobias sudah mengurus semuanya. Ia kini merangkap direktur sekaligus CEO untuk sementra. Segera bawa Sofia pulang bersamamu setelah masalahmu selesai. Setelah ini aku tak mau lagi mendengar keluhan dari Sofia. Panggil Sofia!” perintah Alfaro.“Dia sedang tidur!” jawab Ramon melihat Sofia masih berbaring dan menutup matanya.“Bangunkan