***
Saat mata Putri hampir terlelap, pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan Dira yang masuk tanpa sopan. Langsung membuka selimut dan menarik adik tirinya itu supaya duduk.
"Ada ap--"
"Sapu kamar gue dulu. Gantiin sarung bantal, sprei sama gordennya." Dira berucap layaknya majikan menyuruh pembantu. Tegas dan pasti tidak menerima penolakan.
Putri melirik jam tangannya. Pukul 22:25. Gadis itu mengangguk. Walaupun mengantuk dan tubuhnya lelah setelah seharian menemani Diana menjalani pesta perpisahan, ia tidak bisa menolak, karena memang'lah pembantu sesuai perjanjian. Jadi, ia akan mengabdi dan siap ditugaskan kapanpun. Sedihnya, gaji pertama sebagai Babu sudahbia terima tadi pagi.
"Buruan!"
"Iya, Kak." Putri langsung beranjak keluar kamar.
"Put, cuci piring dulu," ucap Dira yang melihat Putri akan menginjak anak tangga pertama.
"Dia beresi
***Putri menyeka keringat. Melihat dengan senyuman manis jemuran pakaian, sprai dan sarung bantal yang tergantung semua. Selesai juga berurusan dengan kain kotor. Ia pun masuk rumah, berniat ke kamar."Put, ambilin make up gue di atas meja. Gue lupa masukin tas," ucap Dira. Gadis itu berada di anak tangga terakhir paling bawah. Enggan naik lagi, membuatnya lebih baik menyuruh orang yang memang harus disuruh-suruh."Baik, Kak." Putri yang sudah sempat membuka pintu kamarnya, menutup lagi. Kemudian berjalan mendekati tangga, menaiki satu persatu untuk masuk ke kamar Kakaknya."Aunty," panggil Diana di depan pintu. Gadis itu baru bangun tidur. Masih acak-acakan."Ya?""Temani mandi, yuk."Putri tersenyum. "Bentar, ya. Aunty ambilin dulu make up aunty Dira.""Ya udah. Aku tunggu di kamar, ya."Putri mengangguk. Ia segera masu
***Seminggu berlalu dengan cepat. Putri mulai nyaman dengan suruhan yang tidak pernah berhenti dari Dina dan Dira. Dua kakaknya itu tidak segan-segan menyuruh walaupun ada Radit dan pria itu tidak banyak komentar karena malas ribut dengan istrinya.Dina semakin sibuk. Butiknya semakin berjaya. Radit juga tidak kalah sibuk. Ia sedang membuat cabang perusahaan di kota-kota lain. Dira, gadis itu sibuk mengerjai Putri. Menyuruhnya apapun. Merasa diri adalah nyonya besar di rumah ini. Sedangkan, Diana selalu bersama Putri. Karena belum sekolah, Dina dan Radit menyerahkan tanggung jawab pengurusan anaknya pada Putri, membuat gadis itu tidak bisa mengajukan surat lamaran kerja di manapun.Minggu pagi yang cerah, Putri yang sudah selesai dengan tugas beberes, langsung menuju dapur. Ia membuat mie instan dengan campuran telur dan segera makan saat masih panas di teras belakang. Ya, saat yang lain makan di meja makan, ia memilih ma
***Amalia memeluk baju Putri. Wanita paruh baya itu berada di kamar anak tirinya, duduk di tepi kasur. Ia rindu. Kebersamaan membuat mereka dekat. Bertukar kasih sayang membuat mereka berdua mempunyai ikatan batin. Hari ini jantungnya terus berdebar, perasaannya tidak enak dan ia merasa gelisah. Pikirannya hanya tertuju pada Putri, sedang apa gadis itu? Bagaimana keadaannya? Mungkinkah firasat ini untuknya?Amalia mengambil ponsel. Ia berniat menelepon Putri. Kangen bisa ia obati dengan mendengar suara, saling tanya kabar dan sedikit bertukar cerita. Namun, sampai panggilan ketiga, anaknya itu tidak merespon."Kamu lagi apa, Nak? Semoga ngga terjadi hal buruk sama kamu," ucap Amalia lirih. Wanita itu menghela napas. Kemudian berbaring di tempat tidur Putri, memeluk guling kesayangan anaknya.Putri, nama yang Amalia pilih untuk bayi perempuan baru lahir yang tergeletak di lantai depan pintu rumahnya. Bersa
***"Assalamualaikum," ucap Dina di depan pintu rumah mertuanya."Waalaikumsalam. Loh, Mbak Dina, tumben," ucap Riri, adik perempuan Radit."Iya. Mas Raditnya ada?""Jelas ada. Ini kan hari dia biasa jenguk ibu. Mbak datang buat?" tanya gadis berkaca mata itu dengan alis yang terangkat. Wajah datarnya membuat Dina gelagapan. Tujuannya mengejar suami dan anaknya, ingin meluruskan hubungan yang sedikit bengkok, tetapi alasan seperti itu entah mendapat reaksi apa dari adik iparnya yang menyebalkan ini."Kok malah melamun? Kalau Mbak datang buat panggil suami dan anak Mbak, nanti aku panggilan, mbak cukup tunggu aja di sini, tapi kalau niat ke sini mau tenggok ibu, silahkan masuk.""Em ... itu ... anu ...." Dina melirik jam tangannya. Kurang 10 menit lagi adalah waktunya mereka packing barang kemudian melakukan pengiriman dan ia harus ada sebagai pengawas supaya karyawan
***Putri membuka mata saat ponselnya terus saja bergetar. Setelah dilihat, nama pemanggil adalah Mita. Gadis itu langsung mengeser icon hijau dan menaruh ponsel di atas telinga kanan."Halo, Mit. Assalamualaikum." Gadis itu menyapa dengan ramah. Namun, ia memeluk guling erat, tetiba perasaannya melow, air matanya perlahan menetes. Mita, andai sahabatnya itu di sini, ia pasti akan memeluk dan menceritakan semua kejadian yang terjadi pagi ini."Halo, Put. Waalaikumsalam. Kamu lagi apa?""Baru bangun tidur." Putri mengigit bibir bawahnya. Selain tepi bibirnya yang luka terasa sakit untuk berbicara, suaranya juga bergetar, pasti sahabatnya itu tahu kondisinya. Benar saja, Mita yang peka langsung mengatakan,"Aku yang ke situ atau kamu yang ke sini?""Aku yang ke situ." Putri menjawab cepat. Ia menyeka air matanya. Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. "Aku butuh pund
***Tama dan Putri sampai di pasar yang ramai dengan penjual dan para pembeli. Mereka berdua langsung diberi suguhan pemandangan tawar menawar, desak-desakan bahkan ada yang sempat bergosip di tempat itu."Hayuk. Elo mau beli jeruk berapa kilo?" tanya Tama setelah membuka helm."Sekilo aja."Oh, ya udah, ayo," ajak Tama dengan senyuman manis. Namun, detik kelima alis pria itu bertaut, menatap Putri dengan tatapan bingung. "Kenapa? Malu jalan sama gue? Tenang, tingkah gue alim kok kalau banyak orang," ucap Tama sembari menyengir.Putri tersenyum. Senang saat ia mempunyai orang yang baik dengannya lagi. Yang membuatnya enggan melangkah bukan karena malu, toh wajah Tama itu tampan, mungkin harusnya kata itu ia yang mengatakan pada dia. Tidak malukah pria setampan itu jalan sama gadis kampung yang jelek sepertinya?"Nama elo Putri, kan? Gue Tama." Pria itu mengulurkan tangan.
***Putri melambai, mengantar kepergian Tama. Pahlawan kesiangan itu harus pergi karena ada hal penting. Panggilan orang tuanya.Tadi, setelah membuatkan Dira jus jeruk hasil mengelabui, Putri pun keluar rumah tanpa larangan. Gadis itu segera menghampiri Tama di depan Gang. Pria itu masih menunggunya bahkan, kini sedang santai ngobrol sama pak Satpam muda.Sesuai janji, Putri memberikan nomer ponselnya. Tama senang. Saat ia tahu adik Dira itu mau bepergian, adegan pemaksaan kembali. Senang bila gadis itu menjadikannya ojek, mengantar ke manapun tujuannya, walaupun hanya senyuman manis sebagai bayaran. Kemauan yang terkesan modus. Namun, Putri mengiyakan demi balas budi.Sempat Tama ingin ikut masuk ke kosan Mita, menyambut baik ajakan Putri, bisa juga memanfaatkan waktu buat saling mengenal, siapa tahu jodoh, tetapi panggilan Ibunya lewat telepon meninggalkan kebahagiaan hari ini. Ia harus pulang.
***Dina dan Dira berada di cafe bersama Rere, Indah dan Melan, teman-teman kuliah Dira. Tempat ini sangat ramai. Sambil bercerita, mereka makan dan semua pesanan Dina yang membayar."Makasih, Mbak. Jadi repot harus bayarin kita makan," ucap Melan."Santai, tapi bolehlah dibalas dengan kalian atau keluarga kalau mau berbelanja pakaian, lari ke butik mbak. Dijamin barang dengan kwalitas bagus dan model masa kini." Sambil menyelam minum air. Dina meneraktir sembari mencari pelanggan baru di butiknya."Siap, Kak." Indah mengacungkan jempolnya, membuat Dina tersenyum ramah. Dilihat dari cara berdandang teman-teman adiknya, terlihat kalau mereka dari kalangan atas. Berharap pertemuan, mengeluarkan kocek lumayan akan berbayar manis."Kak, elo ngga makan di rumah mertua? Lahap baget," ucap Dira. Ia heran melihat cara makan Kakaknya seperti orang kelaparan."Makan, tapi dikit, itu
***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang
***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.
***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri
***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama
***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***
***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"
***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda
***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih
***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b