Sementara itu suasana romantis di dalam kamar Risti dan Bambang. Mereka berpelukan, saling berhadapan saling mencurahkan kerinduan yang membuncah, dahi dan hidung mereka bertemu.“Aku mencintaimu,” bisik Bambang. Wajah Risti pun merona. Ia tidak menyangka dengan takdir yang ada di hadapannya saat ini. Suaminya. satu-satunya lelaki yang pernah menyentuhnya, mengambil seluruh hidup dan kebahagiaanya di masa lalu, kini sudah kembali bersamanya.“Katakan kau juga mencintaiku,” desak Bambang.“Gak mau!” jawab Risti sambil merenggangkan tubuhnya menjauh dari Bambang, lalu memunggungi Bambang. Bambang keheranan mendekati Risti, dagunya diletakkan di puncak pundak istrinya. “Hei... Ada apa, Sayang.” “Gak papa,” Risti sedang tersenyum di dalam sana, dia mau mengerjai Bambang.“Trus kok berbalik?” “Apa aku salah bicara? Maafkan, ya, Sayang. Kalau ada kata-kataku yang salah,” ucap Bambang benar-benar memelas.“Takut khilaf,” ucap Risti.“Maksudnya, Yang? Khilaf apaan?” Bambang masih penasaran.
Sepertinya Pak Bambang habis mengerjakan sesuatu yang terlalu berat, benar begitu Bu?” tanya dokter Lukman pada Risti yang hanya bisa tersipu malu. “Ya ampun, kenapa gue banyak banget bikin kissmark di badan Bambang, sih?Argh... Malunya... Ya ampun, itu di dadanya, di perut sama di leher banyak banget, ih...”gerutu Risti kesal dengan dirinya sendiri.Risti baru tersadar saat dokter menaikkan baju Bambang, hampir saja dokter Lukman tertawa dengan keras, namun ditahannya, karena terlihat otot rahangnya mengeras. “Ih... Dok, mmmm.... pengantin baru,” cicitnya sangat pelan, menahan malu yang luar biasa.“Ohh... Jadi begitu, yang pasti, lebih dari sekali, benar?” tanya dokter memaksa.“Empat, Dok. Yah... empat kali,” jawab Risti dengan polosnya tidak berani menatap wajah Dokter Lukman. Dan jangan bayangkan wajah Risti seperti apa, sudah pasti seperti kepiting rebus.“Begini, Bu. Berhubungan intim yang berlebihan dapat mengakibatkan cedera pada bagian organ intim, nyeri punggung, dan kele
Bambang duduk di teras rumah, menikmati udara pagi sambil menyesap teh manis hangat yang baru saja dihantarkan oleh Lala. Matanya memandang pohon nangka dan jambu air merah yang kini telah tumbuh bunga serta bakal buah, tanda tidak akan lama lagi akan berbuah. Sisa gerimis tadi Subuh, membuat udara terasa sangat sejuk. Sekali lagi, Bambang menyesap tehnya. “Ayo, Pah!”ajak Risti yang sudah bersiap dengan celana kaus serta baju kaus panjang, lengkap dengan jilbab sorong bewarna biru tua. Bambang menoleh pada istrinya, perutnya yang semakin membesar, dengan kulit putih glowing, tubuhnya yang semakin bulat, pipi menjadi lebar, membuat Bambang begitu takjub dengan istrinya yang kini tengah hamil sembilan bulan, sepekan lagi masuk HPL. Namun istrinya ini semakin gusar.“Jangan diliatin terus, nanti tambah bucin!” celetuk Risti saat mengetahui suaminya menatapnya dengan intens. Bambang terkekeh, lalu bangun dari duduknya, sembari membetulkan letak sarungnya yang hampir saja melorot. Keduany
Bambang tidak henti-henti mengusap air matanya yang terus saja mengalir deras di pipinya. Ia juga dengan gemas menciumi wajah wanita yang telah berjuang keras melahirkan buah cinta mereka. Betapa rasa haru dan gembira kini mengisi ruang hatinya. Memiliki istri cantik, kaya, salihah. Sekarang, memiliki dua bayi kembar berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. “Terima kasih, Sayang!” Ucapan itu berkali-kali ia layangkan untuk istrinya.Kini, Risti sudah ditempatkan di kamar perawatan VVIP. Ia tengah tertidur lelap setelah mampu melahirkan secara normal sepasang bayi kembar yang sangat menggemaskan. Kedua bayinya masih berada di dalam ruang inkubator. Berat badan lahir yang tergolong kecil, membuat keduanya harus di masukkan ke dalam ruang inkubator terlebih dahulu.Bambang melangkah masuk ke dalam kamar perawatan istrinya. Kedua tangannya menenteng bungkusan berisi teh hangat dan nasi aneka kue basah yang ia beli di kantin rumah sakit. Pelan ia membuka pintu, tampilan wajah polos ist
Risti masih menyusui Salman dan Aishwarya secara bergantian. Kedua bayi kembar itu seolah-olah tidak kenyang menyusu asi bundanya. Baru saja diletakkan di dalam box, keduanya sudah menangis ingin menyusu lagi. Risti cukup kewalahan karena ia ibu baru, langsung dapat kembar pula. Tentu saja masih banyak bingungnya dalam hal mengurus bayi kembar. Beruntungnya ia memiliki suami seperti Bambang, yang juga ikut andil mengurus bayi mereka. Bahkan, sepekan setelah istrinya melahirkan, Bambang belum juga masuk ke kantornya. Ia masih betah bermain dengan si kembar yang wajahnya merupakan duplikat dirinya. Membantu mengganti popok bekas kencing, memandikan bayinya, serta ikut bergadang menemani istrinya.Sementara ini, mereka tinggal di rumah ayah Risti, Pak Hermawan. Itu adalah permintaan ayahnya karena sekarang ayahnya sudah susah berjalan, apalagi bepergian. Pak Hermawan ingin sekali dekat dengan cucu kembarnya. Bayangkan, betapa bahagianya hati lelaki paruh baya itu, memiliki cucu kembar y
Pagi ini, Bambang mulai masuk ke kantor. Seperti biasa, Risti selalu menyempatkan dirinya untuk mengurus segala keperluan suaminya. Baju kemeja bergaris dan celana jeans favorit suaminya telah ia siapkan di atas ranjang. Salman masih terlelap, sedangkan adiknya Aishwarya sudah bangun dan bersiap untuk mandi.Bambang keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Risti yang duduk di kasur sambil menggendong Ais memperhatikan suaminya dengan saksama. Entah bagaimana Allah membolak-balikkan hatinya saat itu. Hingga dia bisa benar-benar cinta dengan lelaki berondong di depannya ini. Bambang mengelap tubuhnya yang basah, dengan memunggungi Risti. Aish yang tadinya berada di pangkuan bundanya kini sudah berpindah tempat ke dalam box bayi. Bersebelahan dengan abang Salman.“Kok, diam saja, sih, Pa?” Risti memeluk suaminya dari belakang. Harum sampo dan sabun yang biasa dipakai suaminya begitu segar melewati indera penciuman Risti. Bahkan ia kini mengendus punggung dan rambut s
Flash backSudah lima hari Bambang di Bandung, membereskan semua urusan percetakan yang akan dia pindahkan ke Jakarta. Tidak mungkin dia tetap bekerja di Bandung, sedangkan istrinya tinggal di Jakarta. Untuk itu, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Risti, Bambang memutuskan untuk memindahkan usaha percetakannya ke Jakarta. Lokasi baru untuk usahanya sudah ia temukan, tidak terlalu jauh dari kompleks perumahan yang ditinggali olehnya. Sekarang tinggal membenahi semua berkas dan urusan yang telah ia tunda selama sebulan.Ya, sebulan menikah. Baru kali ini, Bambang kembali ke Bandung. Mempersiapkan kepindahannya. Lala dan Lulu sudah terlebih dahulu pindah ke Jakarta, menempati rumah baru abang dan juga kakak iparnya. Mereka bahkan sudah sekolah kembali, di sekolah baru yang dicarikan oleh Risti. Bahkan keduanya sangat senang dengan sekolah yang baru karena memiliki halaman yang sangat luas dan sangat keren, kata mereka. Sedangkan, untuk urusan percetakan, ada karyawan yang membantun
Dua hari telah berlalu sejak Risti jujur pada suaminya, perihal musibah yang ia alami di awal pernikahan mereka. Bambang sudah terlihat seperti biasa, bisa menerima keadaan yang sudah terlanjur terjadi pada istrinya. Hanya saja, Bambang masih sering murung. Apabila mengingat musibah yang dalam sepekan ini bertubi-tubi menimpa dirinya dan juga keluarganya. Bambang juga sudah dua hari ini bolak-balik ke polres, guna membereskan persoalan berkaitan dengan musibah kebakaran.Siang ini, Risti memberi ASI pada Ais di kamarnya. Sedangkan Salman baru saja pulas. Dengan suara merdu, Risti menyenandungkan selawat pada puteri kecilnya. Sesekali Risti mencium gemas pipi Aish yang gaya menyusunya sangat konyol, kadang disedot, lalu tiba-tiba dilepas. Seperti hanya ingin bermain-main saja. Namun, jika ditaruh maka bayi cantik itu akan menangis kencang, hingga wajahnya berubah menjadi biru.“De, Aish. Nennya, yang benar, dong!” Ujar Risti pada bayi cantiknya, bayi itu seakan mengerti ucapan bundany
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber