Risti masih menyusui Salman dan Aishwarya secara bergantian. Kedua bayi kembar itu seolah-olah tidak kenyang menyusu asi bundanya. Baru saja diletakkan di dalam box, keduanya sudah menangis ingin menyusu lagi. Risti cukup kewalahan karena ia ibu baru, langsung dapat kembar pula. Tentu saja masih banyak bingungnya dalam hal mengurus bayi kembar. Beruntungnya ia memiliki suami seperti Bambang, yang juga ikut andil mengurus bayi mereka. Bahkan, sepekan setelah istrinya melahirkan, Bambang belum juga masuk ke kantornya. Ia masih betah bermain dengan si kembar yang wajahnya merupakan duplikat dirinya. Membantu mengganti popok bekas kencing, memandikan bayinya, serta ikut bergadang menemani istrinya.Sementara ini, mereka tinggal di rumah ayah Risti, Pak Hermawan. Itu adalah permintaan ayahnya karena sekarang ayahnya sudah susah berjalan, apalagi bepergian. Pak Hermawan ingin sekali dekat dengan cucu kembarnya. Bayangkan, betapa bahagianya hati lelaki paruh baya itu, memiliki cucu kembar y
Pagi ini, Bambang mulai masuk ke kantor. Seperti biasa, Risti selalu menyempatkan dirinya untuk mengurus segala keperluan suaminya. Baju kemeja bergaris dan celana jeans favorit suaminya telah ia siapkan di atas ranjang. Salman masih terlelap, sedangkan adiknya Aishwarya sudah bangun dan bersiap untuk mandi.Bambang keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Risti yang duduk di kasur sambil menggendong Ais memperhatikan suaminya dengan saksama. Entah bagaimana Allah membolak-balikkan hatinya saat itu. Hingga dia bisa benar-benar cinta dengan lelaki berondong di depannya ini. Bambang mengelap tubuhnya yang basah, dengan memunggungi Risti. Aish yang tadinya berada di pangkuan bundanya kini sudah berpindah tempat ke dalam box bayi. Bersebelahan dengan abang Salman.“Kok, diam saja, sih, Pa?” Risti memeluk suaminya dari belakang. Harum sampo dan sabun yang biasa dipakai suaminya begitu segar melewati indera penciuman Risti. Bahkan ia kini mengendus punggung dan rambut s
Flash backSudah lima hari Bambang di Bandung, membereskan semua urusan percetakan yang akan dia pindahkan ke Jakarta. Tidak mungkin dia tetap bekerja di Bandung, sedangkan istrinya tinggal di Jakarta. Untuk itu, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Risti, Bambang memutuskan untuk memindahkan usaha percetakannya ke Jakarta. Lokasi baru untuk usahanya sudah ia temukan, tidak terlalu jauh dari kompleks perumahan yang ditinggali olehnya. Sekarang tinggal membenahi semua berkas dan urusan yang telah ia tunda selama sebulan.Ya, sebulan menikah. Baru kali ini, Bambang kembali ke Bandung. Mempersiapkan kepindahannya. Lala dan Lulu sudah terlebih dahulu pindah ke Jakarta, menempati rumah baru abang dan juga kakak iparnya. Mereka bahkan sudah sekolah kembali, di sekolah baru yang dicarikan oleh Risti. Bahkan keduanya sangat senang dengan sekolah yang baru karena memiliki halaman yang sangat luas dan sangat keren, kata mereka. Sedangkan, untuk urusan percetakan, ada karyawan yang membantun
Dua hari telah berlalu sejak Risti jujur pada suaminya, perihal musibah yang ia alami di awal pernikahan mereka. Bambang sudah terlihat seperti biasa, bisa menerima keadaan yang sudah terlanjur terjadi pada istrinya. Hanya saja, Bambang masih sering murung. Apabila mengingat musibah yang dalam sepekan ini bertubi-tubi menimpa dirinya dan juga keluarganya. Bambang juga sudah dua hari ini bolak-balik ke polres, guna membereskan persoalan berkaitan dengan musibah kebakaran.Siang ini, Risti memberi ASI pada Ais di kamarnya. Sedangkan Salman baru saja pulas. Dengan suara merdu, Risti menyenandungkan selawat pada puteri kecilnya. Sesekali Risti mencium gemas pipi Aish yang gaya menyusunya sangat konyol, kadang disedot, lalu tiba-tiba dilepas. Seperti hanya ingin bermain-main saja. Namun, jika ditaruh maka bayi cantik itu akan menangis kencang, hingga wajahnya berubah menjadi biru.“De, Aish. Nennya, yang benar, dong!” Ujar Risti pada bayi cantiknya, bayi itu seakan mengerti ucapan bundany
Lelaki misterius itu mengirimkan alamat yang harus Risti datangi. Bambang pun membacanya dan mencari tahu melalui google map . Alamat ini adalah sebuah bangunan tua yang sudah tidak terpakai. Risti menelan salivanya saat membayangkan seaindainya ia tidak memberitahukan hal ini pada suaminya, jika ia terlalu berani datang ke tempat yang diminta sendirian. Risti tak sanggup membayangkannya, berkali-kali kepalanya menggeleng, mulutnya pun terus saja memohon ampun, beristighfar.Om Yuda yang sejak Subuh berada di rumah Risti bersama kedua anak buahnya tengah serius berdiskusi dengan Pak Hermawan. Bambang baru saja keluar dari kamar dan langsung ikut bergabung bersama mereka. Om Yuda menjelaskan cara agar pelaku tidak tahu bahwa Bambanglah yang datang ke sana, bukan Risti.Akhirnya, saat ini Bambang didandani oleh Risti di depan cermin. Memakai gamis besar istrinya, berikut dengan khimar yang bercadar. Memang, sesekali Risti memakai cadar saat bepergian, belum bisa konsisten. Namun, untuk
Setahun kemudian.Udara sore hari sangat cerah. Bambang mengajak anak-anak dan istrinya bersepeda keliling perumahan tempat mereka tinggal. Kakinya yang kini pincang tidak menyurutkan semangatnya untuk selalu menghadirkan kebahagiaan dan senyum anak istrinya. Bambang menaiki sepeda lipat bewarna abu-abu yang memiliki duduk boncengan di belakangnya dan diberi sandaran penyangga. Risti juga menggunakan sepeda lipat bewarna merah, yang juga memiliki duduk boncengan. Mereka sengaja membeli sepeda seperti itu agar dapat membawa si kembar bersepeda keliling kompleks perumahan. Tawa riang balita kembar mampu mengisi hari-hari mereka lebih bewarna.“Main di lapangan, yuk, Pa!" ajak Risti yang masih mengayuh sepeda mendekati sebuah taman di dalam perumahannya.“Ayo!” Bambang juga ikut mengarahkan kayuhannya menuju taman tersebut. Sudah banyak anak-anak seusia si kembar sedang bermain bersama orang tua mereka. Lingkungan asri, bebas polusi, dan sangat jarang kendaraan bermotor melewati area ta
Dengan perasaan gembira, ia mulai menyusun pakaian yang akan dibawa. Sepertinya satu koper besar pakaian dia dan suami. Satunya lagi pakaian si kembar. Lala dan Lulu baru saja mengetahui bahwa abang dan kakak iparnya akan jalan-jalan, raut wajah mereka cemberut. Kenapa mereka tidak diajak? Risti dan Bambang memberi pengertian dan berjanji akan membawakan oleh-oleh yang banyak untuk keduanya. Akhirnya, saat ini Lala dan Lulu yang membereskan pakaian si kembar di dalam koper.“Ada ransel lama papa di dalam koper itu, Bun. Papa bawa itu aja!” Risti kemudian, membuka koper lama suaminya. Mencari ransel yang dimaksud."Ini, Pa? Udah butut begini, masih mau dipakai?" tanya Risti dengan nada tidak yakin. Ia mengangkat tas ransel tersebut dan menunjukkannya pada suaminya.“Eh, iya, ya. Udah jelek banget. Ya udah, buang, deh. Kayaknya sobek juga itu, Bun.”Risti memeriksa isi tas tersebut, di dalamnya ada dua buah kaos polos dan satu celana bahan bewarna hitam. Saat Risti melipatnya kembali,
Suara halus mesin mobil sedan keluaran terbaru memecah keheningan pagi di salah satu sudut ibu kota. Tepatnya, mobil tersebut baru saja keluar dari pelataran apartemen elite di kawasan Jakarta Selatan. Mobil melaju pelan, berbaur bersama kendaraan yang lain. Suara saling sahut klakson kendaraan begitu nyaring terdegar.Suasana cukup padat pada jam kerja, tidak menyurutkan niatnya untuk berangkat pagi ini ke kantor. Ada banyak masalah yang harus segera ia selesaikan, berkaitan dengan perusahaan ekspedisi dan properti yang saat ini dibawah naungannya. Sesekali wanita cantik itu melirik spion, memastikan riasannya sempurna untuk menjalani padatnya agenda hari ini. Ponselnya bahkan tidak berhenti berdering sepanjang perjalanan, ia hanya melirik sekilas, lalu mengabaikannya.Siapa, sih? Berisik! Gumamnya tanpa melirik ponsel yang berdering dari dalam tas merk H****S keluaran terbaru miliknya. Ia masih fokus menatap jalanan padat di depannya. Memberikan jalan bagi seorang lelaki muda pejal
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber