Ketika bangun, aku mendapati diriku terbaring di ranjang ruang gawat darurat. Semuanya seperti biasa. Rasa sakit yang dahsyat telah menghilang sepenuhnya. Di sebelahku, hanya ada Taufan yang tampak cemas. Sepertinya, dialah yang membawaku ke rumah sakit. Aku merasa sedikit bersalah karena kondisi mendadak ini mengejutkannya. "Aku membuatmu terkejut, ya? Maaf!" ucapku seraya tersenyum kikuk. "Maaf membuatmu selalu menyaksikan momen-momen paling memalukan di dalam hidupku. Terima kasih! Kamu menyelamatkanku lagi!" "Kamu baik-baik saja sekarang?" tanya Taufan dengan khawatir sembari menatap wajahku dengan serius. "Aku mengidap penyakit batu empedu, jadi ini sudah sering terjadi!" jawabku dengan tenang. Dia memanggil dokter untuk pemeriksaan lanjutan. Dokter menjelaskan padaku tentang kondisi dan tindakan pencegahan secara rinci, lalu memberi tahu Taufan bahwa aku sudah boleh pergi setelah infus. Taufan yang merasa khawatir memastikan kepada dokter lagi. Setelah dokter pergi, aku menasi
Aku turun dari mobil tanpa menunggu Harry. Ketika aku berjalan masuk bersama Adele, Harry mengikuti kami seraya menatapku dan tersenyum tenang. Di masa lalu, dia selalu membiarkanku pergi sendiri. Kali ini, dia jelas ingin memverifikasi apakah aku berbohong atau tidak.Ketika tiba di toko eksklusif, aku melirik sepatu di rak. Sementara itu, Harry berpura-pura menatapku dengan serius. Jelas, dia sedang menunggu momen kebohonganku terungkap. Tanpa diduga, seorang pelayan mengenaliku. "Nona Maya, Anda datang untuk ambil sepatu?" Aku tersenyum. "Iya!""Kami sudah menyiapkannya untuk Anda, saya akan segera membantu Anda mengambilnya!" ucap pelayan itu dan berlari ke dalam gudang. Tidak lama kemudian, dia menyerahkan kotak sepatu padaku. "Ukuran 38, cokelat!" Aku mengambilnya dan melihatnya sejenak, lalu menyerahkannya kepada Harry dan berterima kasih kepada pelayan.Harry tertegun sesaat, lalu segera mengambil kotak sepatu itu dengan lembut. Dia juga merangkulku dengan penuh perhatian dan b
Harry dan Giana menegur dengan keras, "Jasmine …." Sementara itu, Jack malah berujar dengan tidak sabar, "Makan!" Sikap lelaki tua itu sama sekali tidak mengherankan. Dia sangat memanjakan putrinya, yaitu Jasmine. Dia selalu menoleransi segala perbuatan Jasmine, jadi ucapannya sebenarnya tertuju padaku.Adele dikejutkan oleh hal ini. Tangannya gemetar dan tidak sengaja menjatuhkan sendok ke lantai. Suara dentang yang sangat keras menyadarkan diriku. Aku menahan kemarahanku dan membungkuk untuk mengambil sendok Adele, lalu memberinya sendok baru lagi. Setelah melakukan hal itu, aku melihat ke arah Jasmine. "Maksudmu, akulah perusak keharmonisan keluarga ini? Kalau nggak, kamu nggak akan bilang begitu, bukan? Tanyakan saja pada ayah, ibu, dan Harry. Apakah pendapat mereka juga sama denganmu?" Harry tampak muram dan menepuk pundakku. "Jangan dengarkan omong kosongnya, makanlah!" Giana pun buru-buru mencairkan suasana. "Jangan mengucapkan kata-kata buruk terhadap sesama keluarga! Makanla
Pagi harinya, aku tidak sabar untuk pergi ke perusahaan. Begitu tiba, aku memanggil James masuk dan menanyakan detail tentang Hana. Aku merasakan adanya arti lain dari perkataan James, yaitu Hana ini mendambakan Harry. Dilihat dari adegan saat berpapasan dengan mereka hari itu, Harry belum tentu tidak tertarik dengan Hana. Yang sudah sekali selingkuh pasti akan selingkuh lagi. Ketika memikirkan hal ini, hatiku kembali terasa sakit. Dahulu kala, aku mengira kedua orang yang pernah melewati masa sulit bersama sudah pasti adalah cinta sejati! Tidak kusangka, yang kutemui bukanlah orang yang tepat. Namun, aku tidak punya waktu untuk bersedih karena hanya aku yang bisa menyelamatkan diriku. Sementara itu, informasi yang ditemukan oleh Fanny membuatku makin terkejut. Benar saja, ketiga anggota Keluarga Sinjaya memiliki rekening bank. Jasmine tidak hanya memiliki vila, tetapi juga memiliki sebuah perusahaan konstruksi dan dekorasi dengan modal sebesar 20 miliar. Subjek hukum perusahaan itu
Aku berjalan tanpa tujuan dan tiba di tepi sungai lagi tanpa sadar. Aku membeli alkohol dan meminta ibu mertuaku menjemput Adele. Setelah itu, aku duduk di tanggul sungai dan mulai minum dengan tenang. Aset perusahaan telah dialihkan. Sepertinya, perusahaan yang kudirikan sudah hampir menyelesaikan misinya dan menghasilkan banyak uang untuk Keluarga Sinjaya. Sementara itu, aku malah melawan mereka dengan tangan kosong. Pantas saja, Jasmine memprovokasiku tanpa rasa takut. Biarpun menikah dengan Harry, aku tetap bukan keluarga mereka.Bahkan, rumahku yang sederhana pun dimanfaatkan oleh mereka. Ketika aku tidak ada, mereka melakukan hal-hal kotor di ranjang tempat aku tidur. Aku benar-benar merasa jijik dengan perbuatan mereka. Semalam, aku mengira diriku sudah sangat hebat dan berhasil melawan Jasmine di Keluarga Sinjaya. Alhasil, Jasmine malah harus dibujuk dengan mobil. Harry tega mengeluarkan banyak uang untuk Jasmine, tetapi dia malah berang ketika memberi uang penyelamat sebesar
Saat ini, kami saling menatap. Pelukan Taufan makin erat hingga membuatku tidak bisa bernapas. Tanganku yang awalnya mendorong Taufan menjadi lemah dan akhirnya memegang pinggangnya dengan lembut. Aku bisa merasakan tubuh Taufan yang menegang. Detik berikutnya, dia menundukkan kepalanya dan mencium bibirku. Seketika itu juga, aku merasa lemas seolah-olah tersengat listrik. Taufan menahan kepalaku dan terus memperdalam ciumannya hingga membuatku hampir kehabisan napas. Tiba-tiba, adegan intim di antara Harry dan Jasmine terlintas di benakku. Aku sontak terhasut dan menginginkan rangsangan semacam ini.Entah karena efek dari alkohol, gairah yang sudah lama terpendam, atau kenikmatan balas dendam, aku tanpa sadar mendekat dan memeluk Taufan, lalu menanggapi ciumannya yang ganas. Adegan di benakku perlahan-lahan menghilang. Aku tidak bisa berpikir jernih dan hanya ingin melanjutkan hasrat yang ada di hadapanku. Akhirnya, Taufan melepaskanku. Aku menarik napas dan menghirup udara segar ya
Aku merasa Taufan keluar dari kamar, lalu mendengar seseorang berbicara di luar pintu. Setelah itu, terdengar suara pintu ditutup dan seseorang berjalan balik. "Kamu nggak merasa sesak napas?" Terdengar suara Taufan lagi. Tak berselang lama, aku merasa sesak hingga tidak bisa bernapas. Jadi, aku menyingkap sudut selimut dan mendapati Taufan yang menatapku sambil berdiri dan tersenyum cerah. Penampilannya saat ini terlihat sangat tampan. Apa pria ini masih Taufan yang kukenal? Dia tidak bersikap dingin seperti biasanya. Ketika melihat aku terpana dan tampak lugu, Taufan mengulurkan tangannya dan langsung menarikku bersama selimut, lalu dia mengangkat tubuhku dan memelukku dengan erat. Aku merasa sangat panik dan buru-buru berkata, "Hei … kamu … kamu … apa yang kamu lakukan?"Berhubung jarak kami terlalu dekat, aura Taufan sontak menyelimutiku. Aku merasa sedikit sesak napas saat melihat wajah Taufan yang makin dekat denganku. Tiba-tiba, aku teringat dengan ciuman gila dan memabukkan
Ketika menengadah dan melihat Harry yang berdiri di depan kantorku, aku merasa terkejut. Bukankah dia pergi ke Linde? Saat ini, dia seharusnya masih bersenang-senang dengan Jasmine, bukan?Aku tidak berbicara dan hanya menatap Harry. Dia pun tersenyum lembut dan berkata, "Sayang, apa yang mau kamu makan siang ini?" "Aku belum memikirkannya!" jawabku dengan nada datar tanpa merasa terkejut sama sekali.Harry menghampiri dan berkata, "Semalam, aku membahas pekerjaan dengan klien sampai kemalaman. Aku pergi secara mendadak dan takut kamu khawatir. Jadi, aku bergegas kembali pagi ini dan bahkan nggak sempat makan sarapan! Ayo kita makan siang lebih awal nanti. Pikirkanlah, apa yang mau kamu makan? Aku akan mentraktirmu!"Ketika melihat Harry tersenyum dan berakting, aku malah tidak merasa marah dan berkata dengan senang, "Kebetulan, aku juga belum sarapan!" "Kamu minum alkohol semalam?" tanya Harry yang mencium bau alkohol saat mendekatiku. Ironisnya, tubuh Harry malah tidak berbau alkoh
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung