Sebenarnya, aku belum pernah bertemu secara langsung dengan pria yang bersama Hana ini. Namun, aku sudah sangat familier dengan penampilan pria itu. Bukan hanya aku saja yang familier, mungkin semua orang di Kota Reva juga mengenalnya.Dia sering muncul di televisi dan radio. Betapa mudahnya bagi media sekarang untuk menyelidiki seseorang, apalagi dia seorang selebritas.Kami berdua menaiki mobilku. Hana melanjutkan ceritanya, "Dia benar-benar sudah sangat toleran terhadapku. Orang harus tahu diri. Setelah masalah dengan Harry waktu itu, dia hanya perang dingin sebentar denganku. Tapi, kami tetap tidak bisa terpisahkan. Hei … Tiap orang mendapatkan apa yang dia butuhkan! Mungkin inilah takdir kami!"Mengenai kejadian antara Hana dan Harry, sebenarnya aku merasa sangat bersalah sekarang. Jika aku tidak membesar-besarkan masalah, mungkin Hana tidak akan terekspos ke publik dan semua orang juga nggak akan mengetahuinya.Siapa sangka, pada akhirnya kami malah menjadi teman.“Dia hampir sel
Berita itu sangat mengejutkan. Aku menatap Fanny dengan bingung. "Apa maksudmu? Apa dia juga pindah ke Goldland Villa?”"Bukan hanya pindah ke Goldland Villa saja, tapi juga ke kompleks vila di daerah kalian. Harusnya jaraknya sangat dekat dengan vilamu,” kata Fanny dengan marah. "Perusahaan ini memang memanjakannya!"Entah kenapa, aku merasa agak tidak nyaman saat mendengar berita ini. Firasatku mengatakan jika suatu saat nanti, aku akan mendapat masalah dengan Yvonne ini.Yvonne juga memiliki wajah yang mirip denganku. Ketika aku melihat foto Alina, aku merasakan keakraban dengannya. Namun, ketika aku melihat wajah Yvonne, aku merasa agak tidak menyukainya.Aku tidak tahu perasaan ini. Apa kebencian Fanny terhadapnya sudah memengaruhiku? Namun, aku tidak merasa begitu. Aku bukan orang yang mudah terpengaruh.Hana menepuk Fanny. "Aku ‘kan sudah bilang, kita keluar makan untuk bersantai. Bisakah kamu ganti topiknya? Apa kamu nggak ngrasa kalau orang ini memengaruhi selera makan kita?”
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkanku. Ternyata dia tahu namaku?Aku melirik Fanny dan sedikit bertanya-tanya bagaimana dia bisa tahu namaku. Padahal aku belum pernah bertemu dengannya.Ketika aku melihat raut wajah Fanny, aku pun tahu bahwa dia sama terkejutnya denganku.“Ya, itu aku,” jawabku dengan tegas.Sudut mulut Yvonne tiba-tiba terangkat membentuk senyuman di wajahnya. "Pantas saja beberapa orang mengatakan kalau ada seseorang yang mirip denganku. Tapi, aku nggak menyangka kalau kamu memang mirip denganku dalam beberapa hal!"Segera setelah mendengar dia berkata seperti itu, aku pun langsung tanggap. Naluriku mengatakan kalau dia sudah bertemu dengan seseorang."Nona Yvonne, bolehkah aku bertanya berapa umurmu?” Aku masih bicara dengan acuh tak acuh. Tidak seantusias yang ditunjukkannya padaku, tetapi juga tidak terlalu dingin.Dia tertegun sejenak dan menatapku dengan dingin. Jelas terlihat jika ekspresinya barusan hanyalah akting yang dibuat-buat olehnya.“Kenapa?” Dia me
Kata-kataku membuat Hana memicingkan matanya. Dia menatapku dan bertanya, "Apa kamu benar-benar punya ide? Jangan lupa untuk membiarkanku menonton pertunjukannya nanti!"“Tentu saja,” kataku dengan angkuh.Kembali ke lantai bawah perusahaan, Hana pergi dengan mobilnya sendiri. Aku melihat jam dan waktu pulang kantor masih lama. Diam-diam aku mentertawakan diriku sendiri karena sangat menantikannya, layaknya seorang gadis ingusan yang baru saja mulai jatuh cinta.Belum lagi, aku merasa jika sehari tak bertemu serasa seperti setahun.Meskipun tidak sabar, aku harus tetap menunggu sampai waktunya tiba. Akhirnya, aku pun naik ke lantai atas.Selama menunggu, aku benar-benar merasa jika satu hari tidak ubahnya seperti satu tahun. Sepanjang sore, aku merasa gelisah. Aku merasa waktu berjalan begitu lama. Setiap menit terasa bagai siksaan bagiku. Kebetulan sore ini aku juga tidak ada pekerjaan. Aku hanya menunggu waktu berlalu detik demi detik.Dengan susah payah, aku menunggu sampai waktu pu
Telingaku terasa sangat kacau dan aku merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhku. Guncangan hebat dan truk yang melaju langsung mengenai benda-benda putih di sekitarku. Dadaku terasa sesak karena terimpit. Aku mencium bau disinfektan yang menyengat. Terdengar suara rem yang kencang dan telepon yang berdering, lalu aku berteriak, "Aaah!""Sudah bangun! Dia sudah bangun!"Napasku terengah-engah. Aku merasa benda putih itu menghancurkanku hingga aku tidak bisa bernapas."Maya, apa kamu baik-baik saja? Maya ...."Aku mengikuti suara itu dan melihat mata ibuku yang tampak cemas dan wajah ibuku yang sedih karena menangis. Hana memegangi lengan ibuku. Ayahku yang ada di belakang matanya juga sangat merah."Ibu ....""Bagaimana perasaanmu? Maya, bisakah kamu mendengarku?" Itu adalah suara Fanny.Aku perlahan menoleh untuk melihat Fanny. Fanny tampak sangat ketakutan. Ada juga Danny dan kerabatku yang lain."Aku belum mati?" tanyaku. Sebenarnya aku tidak ingin bertanya dan hanya ingin b
Mario berbalik dan segera pergi dari bangsal.Dokter juga memberikan beberapa poin observasi dan memintaku untuk istirahat yang cukup. Jika aku merasa tidak nyaman, aku harus segera memberi tahu petugas medis. Setelah itu, para dokter pergi meninggalkan bangsal.Kepalaku masih kacau dan masih ada rasa sakit yang tak tertahankan di sekujur tubuhku. Adele berlutut di sampingku, sepertinya dia ingin menerkamku, tetapi Shea memeluknya dan membujuknya, "Sayang, jangan sentuh Ibu, nanti dia kesakitan!""Ibu, Ayah, kalian pulanglah! Aku mau makan mi buatan Ibu." Aku berkata dengan pelan, "Kak Oscar, tolong antar orang tuaku pulang. Kalau besok aku nggak kenapa-kenapa, aku akan pulang!"Oscar menatapku, dia dari tadi menatapku dari kejauhan dan tidak berbicara, tapi matanya tampak sangat cemas.Begitu Oscar mendengarku mengatakan itu, dia langsung berkata, "Baiklah, kalau begitu kami akan pulang dan membuatkan mi untukmu! Aku akan membawakannya untukmu nanti!""Oke!" Aku tersenyum padanya dan
Aku sedikit terkejut dengan apa yang dia katakan."Mobil itu benar-benar rusak, semua kantong udara mengembang dan melindungimu. Untungnya, truk itu menabrak bagian belakang mobilmu dan kamu lolos dari maut! " Hana melanjutkan, "Kalau saat itu kamu ... Ya ampun, sungguh mengerikan! Memikirkannya saja aku takut!"Saat mendengar uraian dari Hana, aku teringat langkah putus asa terakhir yang kuambil.Jika benar seperti yang dikatakan dokter, jika aku sedikit lebih lambat, seluruh anggota tubuhku akan kehilangan fungsinya dan mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengan kerabatku lagi.Aku sangat terkejut ketika melihat foto-foto yang mereka pasang di laporan kecelakaan.Terlebih lagi, aku harus mengagumi ketahanan mental Luna karena dua hari kemudian dia benar-benar muncul di bangsalku.Ibuku dan Hana juga berada di bangsal bersamaku saat itu.Luna diikuti oleh seorang pengawal, dia memegang buket bunga dan membawa sekeranjang buah-buahan.Luna masuk dengan anggun. Harus kukatakan, aku sa
Aku sedikit terkejut dan melihat ke arah Taufan yang masuk dengan wajah dingin, sepertinya dia tidak terkejut sama sekali bahwa Luna ada di sini.Luna sedang duduk di depan tempat tidurku dengan punggung menghadap pintu. Luna sepertinya mendengar langkah kaki seseorang masuk. Luna menoleh ke belakang dan melihat bahwa itu adalah Taufan. Luna tampak sedikit terkejut dan berkata, "Kak Taufan, kamu datang ke sini?"Kemudian, Luna segera berdiri dengan senyuman manis di wajahnya dan berdiri di samping Taufan. Luna mengulurkan tangan dan memeluk lengan Taufan. "Aku datang menjenguk Kak Maya, kenapa kamu nggak kasih tahu kalau masalah ini sangat serius."Taufan sedikit menunduk, dia menatap wajah manis Luna dan menggerakkan sudut mulutnya. "Kamu nggak bisa lama-lama di rumah sakit. Mario, antar dia pulang!"Ketika Luna mendengar kata-kata Taufan, matanya menegang. Luna mungkin tidak menyangka bahwa Taufan akan muncul di depan kami dan mengabaikan dia. Luna segera berkata dengan genit, "Kak T
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung