Kata-kataku ini mengejutkan semua orang, terutama Manuela. Dia mungkin tidak akan menyangka jika aku berani membuat masalah.Tiba-tiba saja, Manuela menghentikan apa yang sedang dilakukannya dan menatapku dengan tajam. Namun, dia tidak mengatakan apa pun. Dia hanya diam menyaksikan pertengkaran antara aku dan gadis kecil itu.Resepsionis yang pertama kali menyambutku buru-buru mendekatiku sambil tersenyum. “Jangan khawatir, Nona. Aku akan segera memeriksa berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk masuk ke ruangan.”“Aku nggak terburu-buru. Santai saja. Semua orang bisa menunggu, aku pun juga bisa menunggu. Di mana pun aku berada, aku akan mengikuti aturan di tempat itu. Semua orang sedang menunggu. Pasti ada yang datang duluan dan ada yang datang belakangan. Yang duluan datang yang dilayani. Bisa-bisanya bilang ada perbedaan tingkatan. Bukankah itu nggak pantas namanya!”Aku sengaja memprovokasi massa untuk saling menyerang dan memancing kemarahan semua orang. Lagi pula, bukan hanya
Aku menyeruput tehku dengan tenang sambil menatap Manuela. Aku sama sekali tidak menghindari tatapan matanya dan malah tersenyum kepadanya. Aku sengaja menunjukkan pada Manuela jika aku sama sekali tidak peduli.Wajah Manuela tampak makin dingin. Dia terlihat seperti ingin mencabik-cabikku dengan tatapan matanya.Aku merasa geli. Orang ini benar-benar agresif. Aku tidak mengerti kenapa Gilbert bisa jatuh cinta pada wanita yang menyebalkan seperti ini. Pantas saja Gilbert mengatakan jika harus ada seseorang yang bisa menyembuhkan sikap angkuh Manuela ini.Tiba-tiba saja aku mengerti kenapa Gilbert ingin menyembunyikan asetnya. Mungkin Gilbert sudah lama merasa jika hubungannya dengan Manuela tidak akan bertahan lama. Mereka tidak akan menjadi pasangan yang berbagi suka dan duka untuk waktu yang lama. Itu sebabnya Gilbert sudah mulai menyembunyikan hartanya. Dia pasti sedang membuat semacam persiapan.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan setelan jas hitam keluar dari dalam. Posturnya
Saat aku memberikan kartu keanggotaanku kepadanya, Wanda mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Saat hendak menyentuh kartu itu, tiba-tiba saja dia diam terpaku …Aku menatapnya dengan bingung dan masih memegang kartu keanggotaanku. Aku tidak mengerti apa maksud Wanda.Wanda memicingkan matanya dan tiba-tiba menatapku. Dia memperhatikan wajahku dengan saksama. “Kamu … kamu …”Aku benar-benar tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja kelakuan Wanda menjadi aneh begini.Susan juga menjadi bingung dan berkata, “Ayo kita pergi.”Namun, Bu Wanda terlihat malu. Sudut mulutnya bergerak-gerak. Dia menatapku dan berkata sambil tersenyum, “Tolong tunggu sebentar. Aku … aku mau menelepon dulu.”Susan terlihat enggan. “Apa maksudmu? Kami masih harus menunggu lagi? Kami harus mengantre untuk beristirahat. Sekarang, mau mengembalikan kartu saja juga harus menunggu? Apa maksudmu? Memangnya kami datang kemari untuk membuang-buang waktu?”“Bukan begitu … aku, kalian tunggulah sebentar.” Ekspresi Wanda menu
Manuela tampak tidak memercayai pendengarannya sendiri. Dia menatap Wanda dengan marah dan kembali bertanya kepadanya, “Apa aku nggak salah dengar? Apa kamu yakin?”“Ya, aku yakin. Bu Gilbert, aku akan segera mengurus prosedur pembatalan keanggotaanmu.” Wanda juga tampak bersikap tegas. Dia memanggil supervisor bagian kartu dan mulai mengurus prosedurnya.“Tunggu sebentar,” teriak Manuela dengan marah. “Apa maksudmu, Wanda? Panggil bosmu untuk memberiku penjelasan.”“Maaf Bu Gilbert, jangan mempersulitku. Bos sudah memerintah seperti ini.” Ekspresi wajah Wanda terus berubah.“Apa maksud kalian? Kenapa bukan keanggotaan dia yang dibatalkan?” Amarah Manuela langsung meledak dan lupa akan citra dirinya. Beberapa wanita yang bersamanya juga terlihat cemas. “Itu benar. Kenapa malah keanggotaan kami yang dibatalkan?”Manuela melangkah maju dan menatap Wanda, seakan-akan ingin memakannya. “Percaya atau nggak kalau aku akan meminta semua temanku untuk membatalkan keanggotaan mereka?”“Kak Manu
Segera setelah itu, orang-orang ini mendapatkan ruangannya masing-masing. Aku dan Susan juga masuk bersama. Wanda datang sendiri menghampiriku dan memberitahuku bahwa dia sudah mengatur terapis pijat terbaik di tempat itu untuk melayaniku.Sambil dipijat, aku dan Susan mengobrol bersama. Susan tertawa terbahak-bahak. Kami berdua menjadi lebih dekat.Setelah selesai dipijat, aku mengajak Susan pergi ke Restoran Benvoli. Kami makan sambil mengobrol. Kali ini, barulah aku benar-benar mengenal diri Susan yang sesungguhnya. Susan juga menceritakan kepadaku bagaimana dia bisa bertemu dengan bosnya. Sepertinya dalam kehidupan seseorang, setiap orang punya kisahnya masing-masing. Kita tidak bisa menilai moralitas seseorang hanya berdasar benar dan salah saja.Tidak sulit untuk melihat jika Susan adalah orang yang cakap. Entah kenapa, aku merasa sedikit tertarik kepada Susan. Aku pun bertanya dengan ragu kepadanya, “Kalau kamu kembali dan istri bosmu mencari gara-gara denganmu, apa yang akan ka
Harry terlihat begitu antusias dan gembira saat melihatku, hingga membuatku tidak bisa berkata-kata.“Maya, kebetulan sekali. Kamu juga datang lebih awal? Kita akan pergi bersama. Aku nggak sabar ingin bertemu dengan putriku.” Harry keluar dari mobil dan menutup pintunya. Kemudian, dia bergegas menghampiriku.Aku tidak menghentikan langkahku dan ingin menjaga jarak darinya. Sejujurnya, aku benar-benar tidak ingin Adele pergi makan malam bersama Harry. Alasan yang pertama adalah aku tidak bisa merasa tenang dan alasan yang kedua adalah aku merasa tidak nyaman.Aku buru-buru menelepon ibuku. Aku takut ibu akan keluar lebih awal dan bertemu dengan Harry. Aku tidak ingin menambah beban pikiran ibuku.Baru setelah itu, aku menjemput Adele dan keluar. Adele tertegun untuk sesaat saat melihat Harry. Tanpa sadar, Adele menatapku. Aku mengerti perasaan Adele.Anak ini sudah belajar menilai perkataan orang lain dan mengamati ekspresinya, untuk menebak apa yang dipikirkan orang itu.Harry bersika
Seperti yang sudah kuduga. Begitu turun dari taksi, Jasmine yang mirip dengan harimau betina itu berjalan terhuyung-huyung ke arah Harry dan menyerang Adele dengan ganas.Aku berteriak kaget dan langsung menerjang ke depan, memeluk Adele yang berada dalam pelukan Harry.Jasmine menjambak rambutku dengan sekuat tenaga dengan satu tangannya, hingga kulit kepalaku mati rasa dan kepalaku juga tertarik ke belakang.Adele langsung ketakutan dan menangis histeris sambil memanggil-manggil diriku, “Ibu ... Ibu …”Semua orang di sekitar kami berteriak kaget. Mereka semua ketakutan melihat adegan yang tiba-tiba terjadi depan mereka. Jasmine adalah seorang wanita hamil dengan perut besar, tidak ada seorang pun yang berani menariknya.“Harry, apa aku ini benar-benar sudah gila? Kamu selingkuh di belakangku, tapi masih tetap menemui mereka, ‘kan? Hari ini, aku akan membunuh kedua wanita j*lang ini. Lihat saja, apa kalian masih berani berhubungan nanti!”Jasmine mengumpat sambil menjambak rambutku ma
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Tanganku gemetar. Aku menelepon James, memintanya datang kemari untuk mengambil mobil milik Harry dan bergegas pergi ke rumah sakit untuk membantu.Aku menunggu sampai James datang dan menjelaskan semuanya kepadanya, sebelum pergi bersama Adele. Apa pun yang terjadi, Adele sudah tidak mau lagi menerima boneka itu.Sesampainya di rumah, Adele langsung memeluk neneknya sambil menangis. Ibuku menatapku dengan heran.Aku menceritakan secara singkat mengenai apa yang barusan terjadi. Orang tuaku menghela napas setelah mendengarnya.Malam itu, aku tidur bersama Adele. Adele mengatakan kepadaku dengan sedih, jika dia sudah tidak lagi menginginkan ayahnya.Aku tidak bisa berkata-kata. Ayah seperti itu, sekalipun aku ingin membelanya, aku tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk melakukannya. Namun, dari kejadian hari ini, aku bisa melihat betapa menyedihkannya hidup Harry di masa yang akan datang.Aku menghibur Adele dan menceritakan beberapa kebenaran ya
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung