Seketika itu juga aku tersadar. Benar juga, aku tidak boleh sampai kehilangan semua yang aku punya begitu saja. Kalaupun aku melawan, pada akhirnya aku yang akan rugi. Alhasil ponselku pun lama-lama berhenti berdering.Sembari menatap sorot mata Fanny yang begitu tegas, aku pun kembali tenang dan pikiranku jadi jernih kembali.“Aku ngerti sekarang! Untung saja di saat begini ada orang lain di sampingku yang terus mengingatkan aku harus gimana,” kataku.Saat itu ponselku kembali berdering. Aku sudah menenangkan diri dan Fanny mengembalikan ponselnya padaku, sambil berkata, “Kamu pasti bisa.”Aku menarik napas panjang dan mengangkat teleponnya. “Halo, sayang! Akhirnya kamu telepon juga. Aku mau tanya, uang yang ada di kartu kita ke mana, ya? Ini Adele lagi kena pneumonia akut, tengah malam tadi aku bawa dia ke rumah sakit. Pas itu aku lagi nggak bawa cash, pas aku mau tarik uangnya, ternyata uangnya sudah nggak ada!”Fanny langsung menepuk jidatnya seketika dia mendengar aku berkata sepe
Aku sungguh tak habis pikir ternyata masih ada kabar baik apa lagi di saat seperti ini. Fanny tidak bilang apa pun kapan waktu untuk bertemu, dan aku juga tidak bertanya lebih jauh. Pokoknya dia hanya membuat janji untuk bertemu besok.Semua orang ada di rumah saat aku pulang ke rumah keluarganya Harry. Mereka semua sedang menungguku pulang dengan penuh rasa cemas. Bahkan Jasmine juga ada di sana.“Ayo makan! Maya, sudah lama kamu nggak pulang dan makan bareng!” kata ibu mertuaku.Selagi makan, mereka menanyakan Harry tentang pekerjaannya di luar kota kemarin. Harry menjawab seadanya saja, lalu ibu mertuaku gantian bertanya kepada Jasmine, “Kamu sama Harry ngapain saja?”Jasmine langsung tertegun saat ditanya begitu. Dia melirik Harry dan Harry spontan bertanya, “Memangnya dia juga pergi ke Linde?”“Eh … aku perginya bareng teman!” jawab Jasmine.“Terus kenapa kamu bilang perginya bareng Harry?” tanya ibu mertuaku.“Kalau aku bilang mau pergi ke sana, memangnya Mama bakal izinin aku?”
Tiba-tiba aku merasa diriku sungguh pantas ditertawakan. Bisa-bisanya aku masih berpikir untuk mencari jalan pulang, bahkan rumahku saja sudah hilang entah ke mana. Mungkin memang aku yang sudah gila.Benar seperti apa yang Fanny katakan, aku ini hanyalah manusia bodoh. Harry ingin menjualku, tapi aku justru malah membantunya menghitung uang. Sampai detik ini, aku masih tidak tahu siapa selingkuhannya Harry.Akan tetapi, sejujurnya bagiku sudah tidak penting lagi siapa wanita itu. Itu hanya sebatas rasa penasaranku saja. Setiap orang pasti ingin tahu dari siapa mereka kalah. Sebenarnya siapa pun orangnya, hasilnya akan tetap sama. Akulah yang kalah.“Yang paling aku mau tahu, ke mana perginya uang itu,” kataku.“Aku sudah minta orang buat selidiki, nggak perlu buru-buru,” balasnya.Sesudah itu aku kembali ke kantor. Aku harus memikirkan cara bagaimana caranya aku mendapatkan kembali perusahaan yang sudah kudirikan ini. Aku ingin membuat Harry kembali ke wujud asalnya, hanya itulah hara
Harry tampak tercengang mendengar pertanyaanku.“Uang untuk beli rumah baru kita! Uang itu harus balik secepatnya. Kalau ada tanah yang bagus, aku bakal langsung beli nggak pakai lama. Apalagi sehabis Adele jatuh, aku jadi makin panik. Aku mau cari TK lain, kalau bisa yang terbaik kayak Sekolah Bina Karunia.”Karena Harry dari tadi hanya diam saja, aku pura-pura bertanya lagi, “Kamu kenapa nggak ngomong apa-apa? Kayaknya kamu nggak begitu peduli, ya?”“Mana mungkin! Aku sudah punya perhitunganku sendiri, tenang saja! Soal uang itu aku sudah bilang, ‘kan. Aku pakai untuk investasi ke satu proyek. Banyak orang yang sudah nunggu-nunggu, karena kepepet, jadi aku pakai uangnya. Kalau nanti perusahaan kita sudah makin besar, kita nggak perlu pusing lagi mikirin rumah!”Harry tersenyum ramah dan mencubit hidungku. Namun aku bisa melihat bahwa senyumannya itu hanya sebatas di permukaan saja. Makan siang itu berjalan dengan kami berdua yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sangat khawati
“Biar aku kasih tahu sesuatu. Dia hebat banget!”Sebuah pesan tertulis yang pendek itu membuatku berimajinasi tiada henti. Apa yang dia maksud dengan “hebat” itu tentu sudah tak perlu dijelaskan lagi.Sontak darahku naik sampai ke ubun-ubun dan spontan aku langsung melempar ponselku dengan sangat keras. Aku menahan napasku sekuat tenaga agar aku tidak berteriak histeris.Rupanya wanita ini sedang menantangku! Beraninya dia menantangku secara terang-terangan. Aku menggertakkan gigi dan memejamkan mata, lalu menarik napas yang dalam. Beberapa saat kemudian aku mengambil ponsel dan tasku, lalu pergi keluar. Aku masih tak bisa mengontrol emosiku saat bertemu dengan Fanny. Aku pun menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya.aku tidak tahu mengapa aku harus melalui cobaan yang begitu menyiksa ini.Setelah Fanny melihat fotonya,dia juga marah dan menggila, yang mana itu sudah sangat membantu dalam meredakan kesedihanku.“Dasar nggak tahu malu! Orang gila!”Setelah kami berdua lebih tenang, aku b
Akhirnya, James dikonfirmasi berada di lokasi itu. Ketika Fanny melaporkan padaku, aku merasa sangat terkejut. Ternyata, tempat yang dikunjungi James setiap hari adalah Godland Villa, sebuah kawasan vila kecil yang baru dikembangkan.Fakta ini membuatku tiba-tiba teringat pada kunci itu. Jangan-jangan kunci yang selama ini tidak diketahui fungsinya sebenarnya adalah kunci untuk vila itu? Aku kesulitan menerima kenyataan ini.Selama bertahun-tahun, aku menjalani hidup susah bersama Harry. Aku berulang kali memintanya mencari lingkungan belajar yang lebih baik untuk Adele. Usulanku untuk pindah ke apartemen yang lebih besar di area sekolah tidak pernah dianggap serius olehnya dan tidak pernah terealisasi. Sekarang, dia malah membeli vila kecil di Godland Villa.Perbuatan Harry benar-benar mengubah pandanganku terhadap pria yang berselingkuh. Dia bukan bodoh, melainkan tidak bermoral. Setelah lokasinya dipastikan, aku tidak berani bertindak gegabah. Fanny mengatur seseorang untuk mengawas
Kehidupan dengan hubungan yang munafik sungguh sulit untuk dijalani. Aku sangat kagum pada pasangan yang mampu bertahan tanpa adanya perasaan. Saat ini, kehidupan rumah tanggaku terasa seperti drama, sementara aku dan Harry adalah pemeran yang terus berakting di setiap adegan.Sejak menemukan kondom itu, aku tidak mau lagi berhubungan dengannya. Setiap kali Harry mencoba melakukannya, aku merasa mual layaknya orang yang sedang sakit. Terutama setelah melihat adegan yang terpampang dalam dua foto itu, aku makin tidak bisa menahan rasa jijikku. Setiap sentuhan dari Harry membuatku merinding. Untungnya, hatinya tidak tertuju padaku saat ini.Ketika terjadi hal seperti itu, dia berniat membawaku ke rumah sakit. Akan tetapi, begitu aku bersikeras menyatakan bahwa diriku baik-baik saja, dia akan berhenti memaksa. Jelas, dia makin menjauh dariku.Beberapa hari ini, aku makin berusaha memeriksa data-data asli yang "diretas" Fanny untukku. Aku merasa sangat terkejut ketika melihat penjualan sel
Sesuai informasi yang diberikan Fanny, James benar-benar memasuki vila tepat pada waktunya. Begitu memasuki vila, dia langsung berteriak, "Di mana orang-orang itu? Sialan, ke mana mereka pergi ...." Sebelum kata-katanya selesai terlontar, dia langsung terpaku di tempat dan ternganga karena melihat aku yang duduk tenang di sofa. Aku pun tersenyum dan menyapa, "Pak James!" James terpana untuk waktu yang lama hingga akhirnya menjawab dengan tergagap-gagap, "I ... Ibu!" "Kenapa? Kamu sangat kaget?" Aku masih menatapnya sambil tersenyum dan lanjut berkata, "Ayo duduk! Jangan khawatir, aku yang suruh para pekerja pulang dulu!""Ah ... anu ... saya akan telepon dulu buat suruh ... suruh si mandor hitung jam kerja!" Usai berkata, James buru-buru melangkah keluar. "James! Nggak perlu buru-buru telepon ke mandor, bukan?" tanyaku dengan suara yang pelan, tetapi terdengar cukup mengintimidasi saat bergema di ruang tamu yang kosong.Langkah kaki James tiba-tiba terhenti. Dia berbalik untuk meliha
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung